PRAKTIK FLASH SALE PADA E-COMMERCE

DITINJAU DARI KETENTUAN PREDATORY PRICING DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

Billyzard Yossy Lauran, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan artikel ini bertujuan guna mengetahui syarat, unsur, serta konsekuensi dari perbuatan predatory pricing berdasarkan perspektif UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang selanjutnya menjadi landasan guna mengetahui ada atau tidaknya perbuatan predatory pricing dalam praktik flash sale yang lazim diterapkan oleh berbagai platform E-Commerce khususnya di Indonesia. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum, guna menganalisis isu hukum dengan berlandaskan pada bahan hukum primer dan sekunder. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa praktik flash sale pada E-Commerce tidaklah serta merta dapat digolongkan sebagai perbuatan predatory pricing yang memicu timbulnya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pasalnya, praktik flash sale pada ECommerce umumnya tidak memenuhi unsur serta syarat dari perbuatan predatory pricing sebagaimana ditentukan oleh UU No. 5 Tahun 1999.

Kata Kunci: Predatory Pricing, Flash Sale, E-Commerce, Praktik Monopoli, Persaingan Usaha Tidak Sehat.

ABSTRACT

This article aims to determine the terms, elements, and consequences of predatory pricing based on the perspective of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, which subsequently becomes the basis for determining whether or not there is predatory pricing in flash sales practices which are commonly applied by various E-Commerce platforms, especially in Indonesia. The writing of this article uses a normative legal research method that focuses on the statutory approach and the legal concept analysis approach, in order to analyze legal issues based on primary and secondary legal materials. The results of this study explain that the practice of flash sales in E-Commerce is not necessarily classified as predatory pricing that triggers monopolistic practices and / or unfair business competition. This is because the flash sale practice applied to E-Commerce generally does not meet the elements and requirements of predatory pricing as stipulated by Law Number 5 of 1999.

Key Words: Predatory Pricing, Flash Sale, E-Commerce, Monopolistic Practices, Unfair Business Competition.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Revolusi digital telah membawa dampak yang masif terhadap berbagai aspek kehidupan tiap pribadi manusia di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.1 Salah satu pengaruh besar yang ditimbulkan dari revolusi digital ini dapat dijumpai pada pergeseran mekanisme jual beli yang dahulu bersifat konvensional menuju mekanisme jual beli yang bersifat modern.

Konsekuensi dari adanya modernisasi terhadap mekanisme jual beli tersebut menyebabkan setiap pelaku usaha secara tidak langsung dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia digital. Hal ini dilakukan agar setiap pelaku usaha tetap dapat bersaing, bertahan, serta meluaskan pangsa pasarnya yang tidak sekadar terbatas pada ranah lokal, melainkan pula internasional. Kondisi tersebut disebabkan karena modernisasi seakan-akan telah menyebabkan hilangnya batasan-batasan antar tiap individu untuk berkomunikasi, bernegosiasi, serta bertransaksi kendatipun berada pada wilayah yang berbeda.

Salah satu bentuk dari revolusi digital khususnya pada mekanisme jual beli dapat dijumpai dari lahirnya berbagai platform Electronic Commerce (E-Commerce) yang menjadi sarana bagi para pelaku usaha guna memasarkan berbagai barang dan/atau jasanya. E-Commerce merupakan suatu media bisnis yang memperantarai pelaku usaha dengan konsumen atas transaksi perdagangan barang dan/atau jasa yang dilangsungkan secara elektronik.2 Hal ini dinilai sangat efektif tidak hanya sekadar bagi pelaku usaha, melainkan pula konsumen karena kedua belah pihak hanya sekadar membutuhkan gadget berupa smart phone untuk mengakses platform ECommerce tersebut. Keberadaan E-Commerce di era yang serba modern ini dinilai sebagai suatu kebutuhan yang esensial khususnya bagi para pihak yang berkecimpung di bidang perdagangan.3

Salah satu langkah yang dijalankan oleh pelaku usaha dalam rangka ekspansi pasarnya melalui platform E-Commerce adalah dengan menerapkan berbagai macam bentuk promosi. Salah satu bentuk dari promosi yang umum dijumpai adalah dengan menerapkan praktik flash sale, yakni suatu penawaran barang dan/atau jasa melalui pemangkasan harga serta penyediaan jumlah yang terbatas dalam jangka waktu yang relatif singkat.4 Praktik flash sale lazimnya terjadi ketika pelaku usaha pada waktu tertentu melakukan penjualan barang dan/atau jasanya di bawah harga pasar, bahkan terkadang terlampau di bawah biaya produksi. Hal inilah yang acap kali dikaitkan sebagai suatu perbuatan predatory pricing atau jual rugi yang dilarang di dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999.

Predatory pricing atau jual rugi secara konseptual dimaknai sebagai suatu langkah yang diterapkan pelaku usaha yang berkedudukan dominan, dengan cara memasarkan produknya dengan nilai yang berada di bawah biaya produksi (marginal cost).5 Predatory pricing diartikan pula sebagai suatu perbuatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mengabaikan kepentingan pihak lain.6 Tidak jarang dijumpai bahwa tatkala predatory pricing tersebut berhasil dilakukan hingga mengakibatkan pesaingnya jatuh pailit, maka dapat dipastikan bahwa aset dari pesaing tersebut dapat ditarik keluar dari pasar.7 Indikator keberhasilan dari perbuatan predatory pricing ini lazimnya ditandai dengan keluarnya pihak pesaing dan/atau terhambatnya calon pesaing baru untuk turut serta terlibat di dalam pasar.

Perbuatan predatory pricing sebagai salah satu strategi usaha, memiliki risiko yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan jenis strategi usaha lainnya. Konsekuensi dari perbuatan predatory pricing timbul ketika pelaku usaha dominan, gagal dalam menyingkirkan pesaingnya dari pasar. Kegagalan tersebut justru akan menjadi suatu "bumerang" bagi pelaku usaha dominan, yang pada akhirnya dapat menyebabkannya jatuh pailit sebab secara terus-menerus mengalami kerugian. Hal ini terjadi ketika kemampuan keuangan pelaku usaha dominan tidak mampu lagi untuk menalangi sejumlah kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan predatory pricing tersebut.

Salah satu problematika yang hingga saat ini cukup sulit untuk dipecahkan adalah mengenai cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya perbuatan predatory pricing dalam suatu mekanisme jual beli yang dapat memicu terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini timbul karena dalam mendeteksi perbuatan predatory pricing, harus didasari dengan suatu pembuktian mengenai akibat dari perbuatan tersebut. Pelaku usaha dalam kondisi ini secara mudah dapat berdalih bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan suatu bentuk efisiensi kinerja dari perusahaan, sehingga dapat menekan biaya produksi.8 Kegiatan predatory pricing yang berhasil dilakukan oleh pelaku usaha tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar yang berpotensi mengalami ketidakstabilan.9 Ketidakstabilan ini timbul terhadap produk yang dijual di bawah biaya produksi, sehingga memicu lahirnya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Setidaknya terdapat 5 (lima) tujuan dari perbuatan predatory pricing, antara lain:10

  • 1.    Mematikan usaha dari pihak pesaing yang berada dalam lingkup pasar yang serupa;

  • 2.    Membatasi pihak pesaing serta calon pesaing baru dengan cara menerapkan harga jual rugi sebagai entry barrier (pembatas masuk);

  • 3.    Menghasilkan keuntungan besar selepas pelaku usaha pesaing telah keluar dari pasar;

  • 4.    Meminimalisir kerugian yang timbul pada periode waktu sebelumnya sebagai akibat dari perbuatan jual rugi; dan

  • 5.    Menjadi wadah promosi dalam rangka memperkenalkan suatu produk yang bersifat baru.

Tujuan perbuatan predatory pricing di atas bila dikaitkan dengan praktik flash sale, maka didapati bahwa walaupun umumnya pelaku usaha menjual barang dan/atau jasanya lebih rendah dari harga rata-rata di pasar, hal ini tidak serta merta menyebabkan praktik flash sale tersebut dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang. Hal ini disebabkan karena perbuatan predatory pricing belum tentu secara serta merta dapat memicu timbulnya suatu pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang, maka harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai ada atau tidaknya pemenuhan terhadap syarat serta unsur dari perbuatan tersebut.

Wujud upaya untuk memahami secara komprehensif mengenai syarat serta unsur dari perbuatan predatory pricing, tidak dapat hanya sekadar bertumpu pada ketentuan di dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999. Diperlukan adanya penelaahan lebih lanjut mengenai berbagai peraturan lain yang menjadi peraturan pelaksana dan/atau berkaitan dengan ketentuan dari perbuatan predatory pricing tersebut.

Penulisan artikel ini diharapkan mampu mempersembahkan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum bisnis. Terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah mengkaji mengenai perbuatan predatory pricing, pertama adalah artikel berjudul “Kegiatan Jual Rugi dalam Persaingan Usaha: Suatu Kajian Yuridis” dalam Jurnal Kertha Semaya oleh I Putu Fajar Apriana, Retnomurni, dan Marwanto.11 Kedua adalah artikel berjudul “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang Dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha” dalam Jurnal Selat oleh Rezmia Febrina.12 Ketiga adalah artikel berjudul “Praktik Jual Rugi (Predatory Pricing) Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha” dalam Jurnal Kertha Semaya oleh I Dewa Gede Riski Mada dan A.A. Sri Indrawati.13 Ketiga penelitian tersebut walaupun mengkaji mengenai kegiatan predatory pricing, namun pada dasarnya terdapat perbedaan mengenai fokus kajian yang cukup spesifik dibandingkan dengan penelitian ini, di mana penelitian ini memfokuskan pada dugaan perbuatan predatory pricing dalam praktik flash sale pada ECommerce yang tidak dibahas pada penelitian sebelumnya. Berlandaskan pada argumen tersebut, penelitian ini tentu memiliki orisinalitas tersendiri.

Mengingat bahwa sebagian besar mekanisme jual beli telah beralih dari cara yang konvensional menuju cara yang modern, maka dirasa penting untuk mengkaji mengenai berbagai program yang dijalankan oleh E-Commmerce sebagai wadah dari transaksi jual beli tersebut. Salah satu program dari E-Commerce yang perlu dikaji

adalah berkaitan dengan praktik flash sale yang diindikasikan berpotensi memicu timbulnya perbuatan predatory pricing yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kondisi tersebut menarik minat penulis untuk mengkaji isu hukum tersebut melalui penulisan artikel yang berjudul “Praktik Flash Sale pada E-Commerce Ditinjau dari Ketentuan Predatory Pricing dalam Hukum Persaingan Usaha”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berlandaskan pada latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disajikan mengenai rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:

  • 1.    Apa saja syarat, unsur, serta konsekuensi dari perbuatan predatory pricing sebagaimana dilarang di dalam ketentuan Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999?

  • 2.    Apakah praktik flash sale pada E-Commerce yang berkembang di Indonesia termasuk pada perbuatan predatory pricing yang berpotensi memicu praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui syarat, unsur, serta konsekuensi dari perbuatan predatory pricing berdasarkan perspektif UU No. 5 Tahun 1999, sehingga selanjutnya menjadi landasan guna mengetahui ada atau tidaknya perbuatan predatory pricing dalam praktik flash sale yang lazim diterapkan oleh berbagai platform ECommerce khususnya di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang diaplikasikan ialah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti hukum dari sudut pandang internal yang objeknya berupa norma hukum.14 Metode pendekatan yang diaplikasikan ialah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum, khususnya berdasarkan norma hukum tertulis berupa UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sumber bahan hukum meliputi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder berupa pendapat para sarjana, literatur buku, serta hasil karya ilmiah yang dipublikasikan. Teknik pengumpulan data serta bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan, yang menekankan pada penggunaan data sekunder atau norma hukum tertulis. Metode analisis data serta bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yakni suatu mekanisme penelitian yang melahirkan suatu data yang bersifat deskriptif analisa. Penelitian ini beranjak dari adanya kekaburan norma terhadap ketentuan mengenai predatory pricing dalam mekanisme transaksi secara elektronik.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Syarat, Unsur, dan Konsekuensi Perbuatan Predatory Pricing

Predatory pricing atau jual rugi secara umum diartikan sebagai suatu skema usaha di mana pelaku usaha dominan menetapkan harga yang terlampau rendah atas suatu produk dalam kurun waktu tertentu guna menyingkirkan pesaingnya dan/atau mencegah calon pesaing baru untuk terlibat di dalam pasar.15 Jual rugi dapat

diilustrasikan ketika pelaku usaha yang menduduki posisi dominan atau daya keuangan yang kuat (deep pocket) menjual barang dan/atau jasanya lebih rendah dari biaya produksi, dengan maksud agar pesaingnya tidak dapat bertahan pada usaha sejenis, sehingga mengakibatkan pesaingnya meninggalkan pasar.16 Pelaku usaha yang berhasil menyingkirkan pesaingnya sehingga mampu mendominasi pasar, selanjutnya akan menaikkan harga produknya secara signifikan di atas harga pasar guna menutupi kerugiannya melalui keuntungan yang diperoleh dari harga monopoli, sebab sudah tidak ada satupun pesaingnya di pasar.

Perbuatan jual rugi dalam jangka waktu yang singkat tentu sangat menguntungkan bagi konsumen, walaupun hanya bersifat sementara. Situasi ini akan berubah ketika pelaku usaha dominan (incumbent) yang melangsungkan perbuatan jual rugi tersebut telah berhasil menyingkirkan para pesaingnya serta menghambat calon pesaing baru dari pasar, sehingga pelaku usaha dominan tersebut tentu dapat melancarkan praktik monopoli dengan cara meningkatkan harga secara signifikan untuk menutupi kerugian yang telah dialaminya. Kondisi ini mengakibatkan bahwa dalam jangka waktu yang panjang, perbuatan jual rugi tersebut justru akan merugikan bagi konsumen secara luas.

Larangan terhadap perbuatan jual rugi pada dasarnya telah ditegaskan di dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 yang memiliki sedikit kemiripan dengan Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999 yang secara bersamaan mengamanatkan larangan terhadap penetapan harga di bawah biaya produksi. Perbedaannya adalah bahwa Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan adanya suatu aktivitas perjanjian terlebih dahulu bagi para pelaku usaha, sementara Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengharuskan adanya aktivitas perjanjian tersebut. Merujuk pada Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999, ditentukan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Ketentuan pasal di atas secara implisit menunjukkan bahwa perbuatan jual rugi tidaklah sepenuhnya dilarang, sepanjang perbuatan jual rugi tersebut tidak memicu lahirnya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.17 Prof. L. Budi Kagramanto mengemukakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) syarat agar suatu pelaku usaha dapat diindikasikan melangsungkan perbuatan predatory pricing, syarat-syarat tersebut antara lain:18

  • 1.    Patut dilakukan pembuktian bahwa pelaku usaha tersebut memasarkan produknya dengan harga rugi (memasarkan di bawah average variable cost). Pelaku usaha yang menjual produknya dengan harga yang rendah akan

tetapi tidak merugi, maka pelaku usaha tersebut dianggap melancarkan persaingan usaha secara sehat.

  • 2.    Pelaku usaha yang terbukti menjual produknya dengan harga yang merugi, maka selanjutnya perlu dibuktikan mengenai sebab dari perbuatan jual rugi tersebut. Hal ini karena ada kalanya pelaku usaha melancarkan jual rugi dengan maksud guna mencegah potensi kerugian yang kian membesar atau sekadar untuk memperoleh dana guna menarik diri dari pasar. Pelaku usaha yang melakukan jual rugi dengan alasan yang demikian, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tindakan yang dilarang karena tidak memicu timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

  • 3.    Pelaku usaha hanya dapat dikatakan menerapkan perbuatan predatory pricing yang dilarang bilamana jual rugi tersebut dilangsungkan dalam jangka waktu tertentu, kemudian ia meningkatkan harga secara signifikan pada periode waktu berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila pelaku usaha hanya melakukan jual rugi pada periode waktu pertama, kemudian tidak menaikkan harga di atas biaya produksi pada periode waktu berikutnya, maka tindakan tersebut bukanlah perbuatan predatory pricing, melainkan hanya sekadar “cuci gudang” atas produk yang bersangkutan.

Perlu untuk dipahami bahwa dalam rangka memahami perbuatan predatory pricing secara lebih tepat dan komprehensif, maka selain mengacu pada ketentuan syarat-syarat di atas, perlu pula untuk memahami unsur-unsur yang terkandung dari perbuatan predatory pricing tersebut. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada dasarnya telah menetapkan Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 20 (Jual Rugi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan peraturan tersebut, maka setidaknya terdapat 13 (tiga belas) unsur dari perbuatan predatory pricing, antara lain:

  • 1.    Unsur Pelaku Usaha, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

  • 2.    Unsur Pemasokan, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Penjelasan atas Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing).”

  • 3.    Unsur Barang, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 16 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”

  • 4.    Unsur Jasa, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 17 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Jasa adalah setiap layanan

yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”

  • 5.    Unsur Jual Rugi, mengacu pada teori ekonomi, jual rugi merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha mematok harga jual atas produk yang dipasarkannya dengan harga yang lebih rendah dari average total cost.19 Pelaku usaha barulah dapat dinyatakan mengantongi laba bilamana menetapkan harga jual atas produknya di atas average total cost, atau semata-mata dalam rangka menutup pengeluaran untuk kegiatan produksinya bila pelaku usaha tersebut menetapkan harga yang setara dengan average total cost. Perlu untuk dipahami bahwa harga jual yang ditetapkan di bawah average total cost tersebut tetap dapat dianggap sebagai harga yang wajar (reasonable price) bilamana masih berada di atas average variable cost. Average variable cost merupakan sejumlah biaya yang bersifat berubah-ubah sesuai dengan tingkat aktivitas produksi.20 Kondisi ini berbeda ketika pelaku usaha menjual barang dan/atau jasanya di bawah average variable cost, maka tindakan tersebut patut dicurigai mempunyai maksud tertentu, karena harga yang ditetapkan adalah tidak wajar (unreasonable price).21

  • 6.    Unsur Harga Yang Sangat Rendah, pelaku usaha dinilai melangsungkan penjualan atas suatu produk dengan harga yang terlampau rendah bilamana harga yang ditentukan jauh lebih rendah dari harga yang dipatok oleh segenap pelaku usaha lainnya terhadap produk yang sejenis. Langkah yang dijalankan guna mengidentifikasi terpenuhi atau tidaknya unsur ini dilakukan dengan metode perbandingan harga dengan pelaku usaha lain (horizontal coparizon).22

  • 7.    Unsur Dengan Maksud, frasa “dengan maksud” dapat diartikan bahwa secara umum, praktik jual rugi dimaksudkan oleh pelaku usaha dominan untuk beberapa tujuan, yakni mematikan usaha pesaing di pasar bersangkutan, menghambat calon pesaing baru dengan menerapkan harga rugi sebagai entry barrier, mengantongi laba secara signifikan selepas berhasil menyingkirkan pesaingnya, menutup kerugian yang terjadi pada saat melakukan jual rugi, serta mengurangi potensi kerugian secara masif dengan mekanisme cuci gudang terhadap barang tertentu yang sukar dijual dan/atau mendekati kadaluwarsa.23

  • 8.    Unsur Menyingkirkan atau Mematikan, kata “menyingkirkan” atau “mematikan” dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilangsungkan oleh pelaku usaha dominan dalam rangka mengeluarkan dan/atau membuat pesaingnya jatuh pailit karena merugi akibat tidak dapat bertahan pada kondisi pasar yang labil.

  • 9.    Unsur Usaha Pesaing, usaha pesaing dapat diartikan sebagai pelaku usaha lain yang menjual produk serupa pada pasar, sehingga menimbulkan suatu persaingan.

  • 10.    Unsur Pasar, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 9 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.”

  • 11.    Unsur Pasar Bersangkutan, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”

  • 12.    Unsur Praktik Monopoli, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”

  • 13.    Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”

Perlu untuk dipahami bahwa andaikata salah satu unsur di atas tidak terpenuhi, maka suatu perbuatan tidaklah dapat dikategorikan sebagai predatory pricing. Perlu dikecualikan pada unsur barang dan unsur jasa, di mana objek dari jual rugi tersebut dapat berupa salah satu diantaranya. Perbuatan predatory pricing dalam hal-hal tertentu tidak melulu memicu lahirnya persaingan usaha tidak sehat. Predatory pricing baru dapat dinyatakan dilarang bilamana pelaku usaha pesaing tidak mampu bertahan, sehingga akhirnya memutuskan untuk menarik diri dari pasar. Tidak dapat dimungkiri bahwa selepas pelaku usaha pesaing menarik diri dari pasar, pelaku usaha dominan lazimnya akan melakukan peningkatan harga barang dan/atau jasa secara signifikan untuk menutupi kerugiannya.

Konsep di atas sejalan dengan pandangan dari R. Shyam Khemani yang menyatakan bahwa jual rugi lazimnya dilarang bukanlah karena pelaku usaha menentukan harga yang terlampau rendah atas suatu produk yang dijualnya saat ini, akan tetapi disebabkan karena pada saat memasuki periode waktu berikutnya, pelaku usaha tersebut akan berupaya untuk memangkas produksinya dan/atau menaikkan harga secara signifikan yang tentu akan merugikan bagi konsumen.24 Hal inilah yang menjadi awal mula timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Perbuatan jual rugi di dalam praktiknya sangatlah sulit untuk diterapkan oleh pelaku usaha. Hal ini karena terdapat berbagai konsekuensi yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap pelaku usaha yang menjalankannya. Tujuan dari

perbuatan jual rugi lazimnya hanya dapat direalisasikan dengan cara menggelontorkan biaya yang relatif besar, sebagai konsekuensi bahwa perbuatan tersebut dilakukan dalam jangka waktu relatif panjang. Hal inilah yang menyebabkan perbuatan jual rugi umumnya hanya dilangsungkan oleh pelaku usaha yang menyandang posisi dominan (incumbent) karena mengantongi kemampuan keuangan yang relatif kuat. Konsekuensi dari perbuatan jual rugi secara umum adalah sebagai berikut:25

  • 1.    Sewaktu melancarkan praktik jual rugi, pelaku usaha dominan akan menanggung kerugian dalam jangka waktu yang relatif panjang. Kerugian yang dialami pelaku usaha dominan tentu terlampau lebih besar daripada kerugian dari pelaku usaha pesaing. Kondisi ini timbul karena adanya keharusan bagi pelaku usaha dominan guna menyanggupi segenap permintaan pasar dengan harga rendah yang telah ditetapkannya. Perbuatan predatory pricing tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi kerugian yang cukup signifikan bagi pelaku usaha dominan yang bersangkutan.

  • 2.    Praktik predatory pricing tidak dapat dilakukan pada suatu pasar yang bersifat sempurna. Hal ini karena pasar sempurna memungkinkan bagi pelaku usaha lain agar secara mudah memiliki akses untuk masuk dan keluar dari pasar. Kemudahan akses tersebut tentunya akan berakibat pada timbulnya kegagalan terhadap praktik predatory pricing, sebab ketika pelaku usaha dominan melakukan peningkatan harga, maka pihak pesaing tentu secara mudah hadir kembali ke dalam pasar. Kondisi ini mengakibatkan pelaku usaha dominan tidak akan berhasil mendominasi pasar.

  • 3.    Pelaku usaha dominan umumnya akan menggelontorkan dana sebagai sunk cost.26 Sunk cost dapat dimaknai sebagai sejumlah biaya yang tidak dapat diharapkan untuk kembali bilamana industri yang bersangkutan mengalami kegagalan.27 Tanpa adanya sunk cost tersebut, maka pelaku usaha dominan tidak akan memiliki akses guna meningkatkan biaya kepada calon pesaing baru yang hendak terlibat di dalam pasar. Kondisi ini mengakibatkan pemberlakuan harga di bawah harga pasar tidak akan efektif dan justru hanya akan merugikan bagi pelaku usaha dominan.

  • 4.    Pelaku usaha yang melancarkan praktik predatory pricing umumnya adalah pelaku usaha yang menyandang posisi dominan di dalam pasar. Hal ini karena untuk melakukan perbuatan predatory pricing, diperlukan biaya yang terbilang cukup besar. Perbuatan predatory pricing yang tidak dilangsungkan oleh pelaku usaha yang menyandang posisi dominan, maka berpotensi menyebabkan pelaku usaha yang bersangkutan tidak memiliki kesiapan untuk mengatasi kerugian. Strategi usaha tersebut justru akan menjadi “bumerang” bagi pelaku usaha yang bersangkutan.

  • 5.    Perbuatan predatory pricing berpotensi mengalami kegagalan manakala pihak pesaing yang menjadi target untuk dieliminasi justru memiliki kekuatan untuk bertahan pada kondisi pasar yang labil. Hal ini justru akan mengguncang posisi dari pelaku usaha yang melakukan perbuatan

predatory pricing karena secara terus-menerus mengalami kerugian, bahkan dapat mengakibatkan terjadinya pailit terhadap pelaku usaha tersebut.

Berlandaskan uraian di atas, dapat dipahami bahwa jenis pendekatan yang tepat untuk diterapkan terhadap perbuatan predatory pricing khususnya dalam transaksi elektronik adalah pendekatan rule of reason. Pendekatan rule of reason menekankan pada mekanisme pembuktian yang tidak terlepas pada penerapan analisis ekonomi guna mengetahui ada atau tidaknya implikasi terhadap persaingan.28 Mengacu pada pendekatan rule of reason, maka pada dasarnya perbuatan predatory pricing yang memicu timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat adalah dilarang, sebab adanya suatu penerapan harga di bawah biaya variabel rata-rata.29 Hal ini menyebabkan adanya keharusan untuk melakukan suatu pembuktian terlebih dahulu guna menentukan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan predatory pricing sebagaimana dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999.

Perbuatan predatory pricing walaupun di satu sisi menguntungkan bagi konsumen dalam jangka waktu tertentu, namun di sisi yang lain turut berpotensi melumpuhkan bahkan mematikan usaha sejenis dari pelaku usaha lain. Penetapan harga yang terlampau rendah tersebut mula-mula sangat menguntungkan bagi konsumen, akan tetapi keuntungan tersebut semata-mata hanya berlaku secara sementara dalam periode waktu tertentu saja. Hal ini karena selepas pihak pesaing telah berhasil dieliminasi dari pasar, konsumen justru akan berpotensi merugi karena pelaku usaha dominan akan segera meningkatkan harga secara signifikan.30

  • 3.2. Praktik Flash Sale pada E-Commerce di Indonesia Ditinjau dari Syarat dan

Unsur Predatory Pricing

Praktik flash sale merupakan suatu aktivitas promosi yang dilangsungkan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang singkat dengan cara memangkas harga atas suatu produk yang dilakukan melalui platform E-Commerce.31 Konsep ini sejalan dengan pendapat dari Agrawal dan Sareen yang menyatakan bahwa flash sale merupakan suatu mekanisme “cuci gudang” dengan melakukan penjualan kilat terhadap suatu produk dengan cara menawarkan suatu potongan harga dalam durasi waktu yang relatif singkat.32 Praktik flash sale diterapkan guna memasarkan produk dengan kuantitas tertentu, harga yang relatif rendah, serta dalam jangka waktu yang relatif singkat.33

Berlandaskan pada syarat serta unsur dari perbuatan predatory pricing, maka pada dasarnya terdapat beberapa hal yang tidak dipenuhi di dalam praktik flash sale pada E-Commerce di Indonesia. Mengacu pada syarat predatory pricing, pada dasarnya praktik flash sale yang dilangsungkan bukanlah ditujukan guna menimbulkan pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi sekadar sebagai media promosi atas lapak yang dimiliki pihak pelaku usaha.34 Sedangkan apabila mengacu pada unsur dari perbuatan predatory pricing, maka terdapat beberapa unsur yang tidak terpenuhi, diantaranya berupa unsur Dengan Maksud, Menyingkirkan atau Mematikan, Praktik Monopoli, serta Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Perlu untuk dipahami bahwa apabila dikaji secara lebih spesifik dalam rangka mengetahui ada atau tidaknya perbuatan predatory pricing yang dilarang dalam praktik flash sale, maka dirasa perlu untuk menguraikan secara terperinci mengenai ciri-ciri dari praktik flash sale tersebut. Berikut dapat penulis uraikan mengenai ciri-ciri praktik flash sale yang lazim diterapkan oleh berbagai platform E-Commerce yang berkembang di Indonesia:

  • 1.    Praktik flash sale yang berlaku umumnya dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat, yakni antara 1 (satu) hingga 3 (tiga) jam yang terbagi atas beberapa sesi dalam kurun waktu 1 (satu) hari. Umumnya, waktu yang lazim digunakan dalam menjalankan praktik flash sale adalah pada angka tanggal dan angka bulan yang sama, misalnya tanggal 10 bulan Oktober, tanggal 11 bulan November, tanggal 12 bulan Desember, dan seterusnya. Praktik flash sale tidaklah dilakukan secara berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama, namun praktik flash sale tersebut hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu.35

  • 2.    Jumlah atau kuantitas dari produk yang masuk ke dalam program flash sale umumnya sangat dibatasi, begitu pula dengan jumlah pembelian yang dapat dilakukan oleh konsumen yang turut pula dibatasi.36

  • 3.    Praktik flash sale yang berlaku lazimnya hanya diterapkan sebagai media untuk melakukan promosi atas lapak milik pelaku usaha.37 Praktik flash sale tersebut bukanlah ditujukan untuk melancarkan pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat, melainkan sekadar sebagai media promosi guna melakukan ekspansi pemasaran produk.

  • 4.    Pelaku usaha yang terlibat pada program flash sale lazimnya adalah berbeda-beda dan selalu berubah-ubah. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak yang menjalankan program flash sale tidak melulu hanya dilakukan oleh satu pelaku usaha yang sama secara terus-menerus. Setiap pelaku usaha diberi kesempatan yang sama oleh platform E-Commerce untuk mengikuti program flash sale, sepanjang pelaku usaha yang bersangkutan

telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh platform E-Commerce.38

  • 5.    Jenis produk yang masuk ke dalam program flash sale lazimnya selalu berubah-ubah guna menghindari potensi timbulnya kerusakan harga terhadap suatu jenis produk. E-Commerce umumnya memberlakuan ketentuan mengenai jenis produk yang dapat diikutsertakan dalam program flash sale, sehingga ketentuan tersebut mengakibatkan bervariasinya jenis produk yang mengalami penurunan harga dalam setiap periode flash sale.39

  • 6.    Tidak seluruh produk yang masuk ke dalam program flash sale adalah dijual dengan harga di bawah biaya produksi. Produk yang memasuki program flash sale adakalanya hanya sekadar dijual dengan harga yang lebih rendah dari biaya total rata-rata (average total cost), namun masih berada di atas biaya variabel rata-rata (average variable cost), sehingga masih tergolong ke dalam kategori harga yang wajar (reasonable price). Pelaku usaha yang menjual produknya dengan harga yang tidak wajar (unreasonable price), lazimnya memberlakukan strategi subsidi silang pada produknya yang lain guna menghindari kerugian.40

  • 7.    E-Commerce sebagai wadah bagi terlaksananya program flash sale merupakan suatu platform jual beli yang dapat diumpamakan sebagai suatu pasar. E-Commerce merupakan suatu pasar yang bersifat sempurna, sebab setiap pelaku usaha memiliki keleluasaan untuk masuk atau keluar dari platform tersebut. E-Commerce sebagai pasar yang bersifat sempurna mampu menciptakan persaingan usaha yang kompetitif sebab melibatkan banyak penjual, banyak pembeli, serta tidak ada pembatasan mengenai penjualan produk sejenis.41

Mengacu pada ciri-ciri dari praktik flash sale pada E-Commerce yang berlaku di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat penulis pastikan bahwa praktik flash sale tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan predatory pricing sebagaimana dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini karena praktik flash sale tersebut tidak memenuhi beberapa syarat serta unsur dari perbuatan predatory pricing. Berikut dapat penulis uraikan mengenai sebab-sebab tidak berlakunya perbuatan predatory pricing pada praktik flash sale E-Commerce di Indonesia:

  • 1.    Bila mengacu pada jangka waktu dari pelaksanaan program flash sale yang relatif singkat, serta hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, maka

dapat dipastikan bahwa praktik flash sale tersebut bukanlah suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang. Pasalnya, untuk dapat digolongkan sebagai perbuatan predatory pricing, maka praktik flash sale tidak dibatasi oleh waktu, sepanjang pelaku usaha pesaing belum berhasil disingkirkan dari pasar bersangkutan.

  • 2.    Bila mengacu pada jumlah dari produk yang masuk ke dalam program flash sale, serta adanya batasan kuantitas pembelian oleh konsumen, maka dapat dipastikan bahwa praktik flash sale tersebut bukanlah suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang. Hal ini disebabkan karena pada perbuatan predatory pricing, lazimnya jumlah produk yang dijual adalah tidak terbatas serta konsumen diberikan kebebasan untuk menentukan kuantitas pembelian.

  • 3.    Bila mengacu pada tujuan dari terlakasananya praktik flash sale di atas, yakni hanya sekadar sebagai wadah untuk melakukan promosi atas lapak dari pelaku usaha, dan bukan bermaksud untuk mengeliminasi pihak pesaing dan/atau menghambat calon pesaing baru untuk terlibat di dalam pasar, maka dapat dipastikan bahwa praktik flash sale tersebut bukanlah suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang.

  • 4.    Bila mengacu pada ciri dari pelaku usaha yang melangsungkan praktik flash sale, di mana pelaku usaha yang bersangkutan tidak hanya terdiri atas 1 (satu) pihak yang sama, maka dapat dipastikan bahwa praktik flash sale tersebut bukanlah suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang. Hal ini karena dalam perbuatan predatory pricing, lazimnya hanya dilakukan oleh 1 (satu) pihak pelaku usaha.

  • 5.    Bila mengacu pada jenis produk yang masuk ke dalam program flash sale, maka dapat dipastikan bahwa praktik flash sale tersebut bukanlah suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang. Hal ini karena sangat tidak dimungkinkan bilamana perbuatan predatory pricing tersebut dilakukan terhadap berbagai jenis produk yang berbeda secara serempak.

  • 6.    Bila mengacu pada harga dari produk yang dijual di dalam program flash sale, di mana tidak seluruhnya adalah di bawah harga produksi, maka dapat dipastikan bahwa tidak seluruh praktik flash sale tersebut dapat diindikasikan sebagai suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang. Hal ini karena salah satu syarat dari predatory pricing yang dilarang adalah penjualan suatu produk di bawah biaya variabel rata-rata (average variabel cost), sehingga mengakibatkan munculnya harga yang tidak wajar (unreasonable price).

  • 7.    Bila mengacu pada sifat dari platform E-Commerce yang menjadi wadah guna terlaksananya praktik flash sale, maka dapat dipastikan bahwa praktik flash sale tersebut bukanlah suatu perbuatan predatory pricing yang dilarang. Hal ini karena salah satu syarat untuk dapat melancarkan perbuatan predatory pricing adalah bahwa perbuatan tersebut harus dilangsungkan pada pasar yang bersifat tidak sempurna. Dengan sifat “pasar sempurna” yang dimiliki oleh platform E-Commerce, maka perbuatan predatory pricing tersebut tentu tidak dimungkinkan untuk dilangsungkan.

Berhubung E-Commerce merupakan suatu wadah atau pasar yang sangat luas, maka sangat sulit untuk melancarkan perbuatan predatory pricing yang dapat melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Sekalipun

apabila dalam kenyataannya tindakan predatory pricing tersebut berhasil dilakukan terhadap 1 (satu) jenis platform pada E-Commerce yang berkembang di Indonesia, maka konsumen cukup sekadar melakukan perpindahan platform untuk menghindari harga produk yang telah dinaikkan secara signifikan oleh pelaku usaha pada platform ECommerce sebelumnya. Hal ini karena terdapat berbagai macam jenis dari platform ECommerce yang berkembang di Indonesia. Sekalipun terjadi perbuatan predatory pricing atas suatu produk pada seluruh platform E-Commerce yang ada di Indonesia, maka konsumen tetap memiliki pilihan untuk menggunakan platform E-Commerce lain yang bersifat internasional. Hal ini sebagai suatu manfaat dari perkembangan dunia digital yang tidak memberikan batasan bagi setiap individu untuk berkomunikasi, bernegosiasi, serta bertransaksi walaupun berada pada benua yang berbeda.

Penulis menilai bahwa celah untuk melakukan perbuatan predatory pricing khususnya pada E-Commerce di Indonesia sangatlah kecil. Hal ini tidak terlepas dari konsekuensi bahwa untuk dapat melakukan perbuatan predatory pricing pada mekanisme jual beli secara modern melalui E-Commerce, dibutuhkan biaya yang terlampau tinggi bila dibandingkan dengan mekanisme jual beli secara konvensional. Hal ini mengingat besarnya jangkauan pasar yang ada pada E-Commerce yang tidak sekadar terpaku pada platform dalam negeri, melainkan pula luar negeri. Kondisi ini pula yang menjadi sebab bahwa perbuatan predatory pricing pada E-Commerce adalah hampir tidak mungkin untuk dilakukan.

  • IV. Kesimpulan

Predatory pricing sebagai salah satu strategi usaha memiliki berbagai konsekuensi bagi pelaku usaha yang menjalankannya. Suatu perbuatan setidaknya harus memenuhi 3 (tiga) syarat serta 13 (tiga belas) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan predatory pricing. Apabila syarat serta unsur dari perbuatan predatory pricing tersebut dikaitkan dengan praktik flash sale pada E-Commerce yang berlangsung di Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa praktik flash sale tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai perbuatan predatory pricing yang berpotensi memicu praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini mengacu pada 7 (tujuh) sebab, diantaranya dilihat dari sudut pandang jangka waktu, kuantitas produk, tujuan, pelaku usaha pelaksana, jenis produk, harga produk, serta sifat dari platform ECommerce yang menjadi wadah bagi terlaksananya praktik flash sale. Ketujuh sebab tersebut mengindikasikan bahwa praktik flash sale yang berlaku pada E-Commerce di Indonesia tidak memenuhi syarat serta unsur dari perbuatan predatory pricing.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum (Jakarta, Prenada Media Group, 2017).

Kagramanto, L. Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 (Sidoarjo, Laros, 2015).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pedoman Pelaksanaan Pasal 20 Tentang Jual Rugi (Predatory Pricing) (Jakarta, KPPU, 2009).

Lubis, Andi Fahmi, et. al., Hukum Persaingan Usaha (Jakarta, KPPU, 2017).

Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2017).

Jurnal

Agrawal, Supriti dan S. Abhinav Sareen. “Flash Sales-The Game Changer in Indian ECommerce Industry.” International Journal of Advance Research and Innovation 4, no. 1 (2016): 192-195.

Apriana, I Putu Fajar, Retnomurni, dan Marwanto. “Kegiatan Jual Rugi dalam Persaingan Usaha: Suatu Kajian Yuridis.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 2 (2020): 78-92.

Devica, Sadana. “Persepsi Konsumen Terhadap Flash Sale Belanja Online dan Pengaruhnya pada Keputusan Pembelian.” Jurnal Bisnis Terapan 4, no. 1 (2020): 47-55.

Dewi, Ni Luh Putu Diah dan I Dewa Made Suartha. “Penerapan Pendekatan Rules of Reason dalam Menentukan Kegiatan Predatory Pricing yang Dapat Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2017): 1-6.

Febrina, Rezmia. “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang Dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha.” Jurnal Selat 4, no. 2 (2017): 234-249.

Hotana, Melisa Setiawan. “Industri E-Commerce dalam Menciptakan Pasar yang Kompetitif Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha.” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune 1, no. 1 (2018): 28-38.

Kasmi dan Adi Nurdian Candra. “Penerapan E-Commerce Berbasis Busniess to Consumers untuk Meningkatkan Penjualan Produk Makanan Ringan Khas Pringsewu.” Jurnal Aktual STIE Trisna Negara 15, no. 2 (2017): 109-116.

Mada, I Dewa Gede Riski dan A.A. Sri Indrawati. “Praktik Jual Rugi (Predatory Pricing) Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 1, no. 6 (2013): 1-5.

Mumtahana, Hani Atun, Sekreningsih Nita, dan Adzinta Winerawan Tito. “Pemanfaatan Web E-Commerce untuk Meningkatkan Strategi Pemasaran.” Jurnal Ilmu Komputer dan Informatika 3, no. 1 (2017): 6-15.

Ostapenko, Nikolai. “Online Discount Luxury: In Search of Guilty Customers.” International Journal of Business and Social Research 3, no. 2 (2013): 60-68.

Pradnyanawati, Ni Kadek Yuni dan I Ketut Westra. “Penerapan Transaksi Non Tunai di Pasar Badung dalam Mendukung Tata Kelola Pasar Modern.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 1-14.

Safitri, Melisa. “Tinjauan Hukum Persaingan Usaha Terhadap Konflik Antara Taksi Konvensional dan Taksi Online.” Jurnal Keadilan Progresif 6, no. 2 (2015): 138148.

Saputri, Respi, Asep Muhamad Ramdan, dan Nor Norisanti. “Peran Flash Sale dalam Memediasi Hubungan Sales Promotion Terhadap Keputusan Belanja Online.” Jurnal Syntax Idea 2, no. 6 (2020): 108-116.

Winarko, Sigit Puji dan Puji Astuti. “Analisis Cost-Volume Profit Sebagai Alat Bantu Perencanaan Laba (Multi Produk) pada Perusahaan Pia Latief Kediri.” Jurnal Nusamba 3, no. 2 (2018): 9-21.

Skripsi

Ardin, Wulan Nabila. “Pengaruh Flash Sale dan Tagline Gratis Ongkir Shopee Terhadap Keputusan Pembelian Impulsif secara Online.” Skripsi Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis Universitas Sumatera Utara (2020).

Eriyanti, Yolanda Eka. “Keterkaitan Promo Gojek dengan Konsep Predatory Pricing dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha.” Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Universitas Jember (2019).

Tesis

Bagaswara, Aditya. “Potensi Pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam Penjualan Surat Kabar Harian Tribun.” Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (2013).

Pratiwi, Arini. “Penerapan Pendekatan Per Se Illegal dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Terhadap Perkara Penetapan Harga di Indonesia.” Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin (2018).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3817)

Sumber Internet

Patrick, Jonathan. 2018. “Asosiasi: 'Flash Sale' Tak Hanya Perkara Adu Kuat Harga.”

URL:       https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180907111445-206-

328451/asosiasi-flash-sale-tak-hanya-perkara-adu-kuat-harga, diakses pada tanggal 12 Juli 2021.

Shopee Indonesia. 2021. “Persyaratan Layanan Flash   Sale.”   URL:

https://shopee.co.id/docs/6621, diakses pada tanggal 12 Juli 2021.

Tokopedia. 2021. “Syarat dan Ketentuan Flash    Sale.”    URL:

https://www.tokopedia.com/help/article/syarat-dan-ketentuan-flash-sale, diakses pada tanggal 12 Juli 2021.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1050-1066

1066