ANALISIS YURIDIS KETENTUAN PASAL TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN (STUDY KASUS I GEDE ARY ASTINA)

Kadek Agus Kusumanadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sekaligus melakukan analisis tentang pemahaman makna kata “rasa kebencian dan antar golongan” pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta implementasi rumusan pasal yang tepat agar memenuhi rasa keadilan. Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep serta pendekatan kasus dalam menganalisis norma kabur pada ketentuan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Hasil studi menunjukan bahwa kurangnya penjelasan secara tegas mengenai makna kata “rasa kebencian” serta pemaknaan yang terlalu luas dalam penerapan hukum pada makna kata “antar golongan” ketentuan rumusan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Secara Implementatif mengakibatkan timbulnya penafsiran secara subyektif serta tidak tepatnya rumusan pasal dalam penerapan terhadap kalimat-kalimat postingan pengguna media sosial. Oleh karena itu di perlukan rumusan pasal berdasarkan prinsip, Lex certa dan Lex stricta agar memenuhi keadilan.

Kata Kunci: UU ITE, Rasa Kebencian, Antar Golongan.

ABSTRACT

The research is aim to discover and analyze the understanding of content, “The distaste and among groups“ occurred on Information and Electronics Transaction Law (UU ITE) Article 28 paragraph (2) in addition to do proper implementation to comply justice. The normative method is used and completed in this journal by approaching the regulation of law, concept analysis, and case in analyzing deviated norm of Information and Electronics Transaction Law (UU ITE) Article 28 paragraph (2). The result of this study shows that there is lack of assertive explanation of “The distaste” and the wide interpretation of law on “among groups” on Information and Electronics Transaction Law (UU ITE) Article 28 paragraph (2). The implementation causes subjective interpretation and incorrect implementation in ensnaring social media posting Therefore, the content formulation based on Lex certa and Lex stricta is necessary to comply the justice.

Key Words : UU ITE, The Distaste, Among Groups.

  • I.      Pendahuluan

    1.1     Latar Belakang Masalah

Hukum diharapkan mampu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat serta problematika yang ada. Indonesia sebagai Negara Hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan hukum sebagai kekuasaan tertinggi dalam menjalankan supermasi hukum guna menegakkan keadilan dalam pengaturannya untuk seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti perbuatan yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku termasuk pada pengaturan penggunaan

sosial media agar tidak timbul informasi yang negatif.1 Perkembangan globalisasi yang semakin berkembang sering berjalannya waktu menghadirkan kecanggihan teknologi informasi sebagai realitas di masyarakat dengan berupa kemudahan dalam mengakses segala sesuatu melalui media sosial. Banyak dampak positif yang di terima tidak berarti masyarakat aman dari segala tindakan negatif. Tindakan negatif terjadi pada penggunaan media sosial, salah satunya mengenai perbuatan ujar kebencian (Hate Speech) yang mengandung unsur suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di media sosial.

Ujar kebencian merupakan suatu masalah serius yang membutuhkan perhatian karena banyak perbuatan di lakukan melalui media sosial salah satunya Instagram. Melihat hal tersebut di bentuklah pengaturan mengenai tingkah laku masyarakat dalam penggunaan media sosial. Melalui Peraturan Perundang-Undangan Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE). Terkait pembatasan maraknya penggunaan sarana teknologi informasi dalam menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan di media sosial yang mengandung unsur SARA di atur pada Pasal 28 ayat (2). Pada peraturan tersebut pemerintah sudah memberikan batasan serta pedoman mengenai penggunaan teknologi informasi secara luas dan terarah agar terciptanya moral dan etika yang baik dalam segala aspek kehidupan khususnya dalam penggunaan media sosial.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE terdiri dari beberapa unsur yakni: setiap orang, adanya niat, bentuk perbuatan melawan hukum dan adanya obyek yang di tuju. Secara garis besar tujuan dari pasal ini adalah untuk melakukan pencegahan mengenai terjadinya suatu kebencian dan permusuhan yang didasarkan pada SARA yang terjadi pada media sosial. Pada tatanan impementasi terdapat dua pemahaman pada unsur-unsur pasal ini berpotensi menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Pemahaman terkait kata “rasa kebencian dan antar golongan” mengandung norma kabur (vage normen) dan multi tafsir.2 Terkait kata “rasa kebencian” tidak ada pemahaman yang jelas mengenai larangan yang menimbulkan akibat tertentu sehingga dalam penafsiran lebih mengarah kepada Pasal 156 KUHP sebagai hukum pokok yang lebih mengacu kepada perbuatan yang menyatakan permusuhan dan menyatakan kebencian terhadap sesama golongan penduduk Indonesia. Mengenai pemahaman kata “antar golongan” tidak ada kejelasan batasan dalam penerapannya sehingga rentan untuk ditafsirkan secara luas.

Dewasa ini, dalam implemetasi rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE ada beberapa contoh kasus yang di jerat salah satunya adalah I Gede Ary Astina yang melakukan postingan instagram melalui alat telekomunikasi. I Gede Ary Astina telah dianggap melakukan tindak pidana menyebar “rasa kebencian” yang mengandung SARA. Akibat beredarnya postingan tersebut pihak korban Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi dokter se-Indonesia merasa dirinya terhina dengan postingan tersebut. Akibat dari perbuatanya I Gede Ary Astina di anggap melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran “rasa kebencian” di sosial media yang mengandung unsur SARA. Berdasarkan keterangan dari I Gede Ary Astina sendiri

mengatakan bahwa tujuan melakukan sebuah postingan hanyalah murni berpedapat sebagai warga negara yang diatur dalam UUD 1945, bahwa mengeluarkan pendapat merupakan salah satu hak mutlak warga negara Indonesia. Terkait tujuan I Gede Ary Astina di atas bahwa telah menimbulkan suatu pemahaman akibat dari rumusan pasal 28 ayat (2) mengandung norma kabur serta multitafsir mengakibatkan pengaturan hukum yang kurang tepat dalam implementasinya.

Berdasarkan uraian diatas ketentuan Pasal 28 ayat (2) sebagai hukum positif pada faktanya belum mampu memberikan penjelasan lebih lanjut serta batasan makna terhadap kata “rasa kebencian dan antar golongan. Begitu banyak akibat yang timbul terhadap masyarakat apabila pengaturan rumusan pasal di rasa masih mengandung makna yang kabur dan multi tafsir. Selain hal tersebut timbul anggapan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (2) kurang menjamin kepastian hukum serta kurangnya rasa keadilan dalam penerapnnya di masyarakat. Terkait hal tersebut sangat di perlukan pengaturan rumusan pasal mengenai perbuatan tindak pidana ujar kebencian agar memenuhi rasa keadian bagi seluruh masyarakat. Hal ini penting guna melakukan pencegahan terhadap pelanggaran serta timbulnya akibat negatif dari norma kabur serta makna yang terlalu luas pada rumusan pasal. Pentingnya rumusan pasal yang jelas dan tegas pengaturnnya dalam setiap kata agar sesuai dengan prinsip hukum, Lex certa dan Lex stricta serta pada penegak hukum di harapkan selalu memperhatikan keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum agar sesuai dengan harapan masyarakat.

Pembahasan mengenai ketentuan pasal tindak pidana ujaran kebencian sebelumnya sudah dianalisa oleh Fransiskus Sebastian Situmorang, Ida Bagus Surya Dharmajaya dan I Made Walesa Putra. Dalam pembahasannya menyimpulkan bahwa pengaturan tentang rasa benci masih menimbulkan multitafsir sehingga kasus terkait rasa kebencian masih sulit diatasi. Sehingga diharapkan ada pengaturan rumusan pasal yang baik kedepannya. Perbedaan dengan hasil penelitian yang penulis buat ialah, lebih mengupas makna dari rasa benci yang masih multi tafsir dan antar golongan yang masih terlalu luas penegakan hukumnya. Selain hal diatas peneliti juga memberikan analisa tehadap akibat formulasi dari pasal tersebut. Penulis lebih fokus memberikan masukan-masukan agar penegakan rumusan Pasal 28 ayat (2) memenuhi keadilan berdasarkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Pentingnya dilakukan penelitian pada tulisan ini karena rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sangat potensial menimbukan kesulitan dalam penegakan hukumnya karena mengandung aturan hukum yang kabur sehingga menimbukan penafsiran yang subyektif sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar rumusan pasal dapat digunakan secara tepat dan secara efektif agar tidak membunuh kebebasan masyarakat dalam mengeluarkan pendapat di masa akan datang.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE terkait makna “rasa kebencian dan antar golongan”?

  • 2.    Bagaimana formulasi rumusan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE agar memenuhi rasa keadilan?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui makna kata “rasa kebencian dan antar golongan” serta menganalisis rumusan pasal yang tepat pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE agar memenuhi keadilan. Hal ini perlu peneliti ketahui karena pemahaman terkait rumusan

pasal yang kabur dan multitafsir perlu di pahami lebih dalam agar sesuai prisip Lex certa dan Lex stricta serta mampu memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang di gunakan dalam pembuatan jurnal ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif dengan menganalisis bahan hukum primer dan sekunder. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep serta pendekatan kasus. Penelitian ini melihat peraturan perundang-undangan dengan mengkaji norma hukum serta asas-asas hukum dan memberikan sudut pandang dalam analisa serta menentukan jalan keluar terhadap peristiwa hukum agar sesuai prisip Lex Certa dan Lex Stricta serta memenuhi rasa keadilan. Dalam teknik pengumpulan bahan hukum peneliti menggunakan dua bahan hukum yakni primer dan sekunder. Bahan hukum primer meliputi suatu peraturan KUHP, UU ITE, Putusan MK No. 76/PUU-XV/2017, serta Putusan Perkara No. 828/Pid.Sus/2020/PN Dps. Bahan hukum sekunder meliputi buku hukum, jurnal-jurnal ilmiah atau literatur yang terkait yang dengan substansi masalah. Bahan-bahan hukum yang diperlukan ditelusuri dengan menggunakan teknik bola salju. Teknik analisa dan pengolahan Pasal 28 ayat (2) UU ITE diatas menggunakan teknik deskriptif yaitu menguraikan permasalahan yang ada pada norma hukum lalu menggunakan teknik sistematisasi mencari kaitan pada suatu rumusan pasal dan suatu konsep hukum yang sederajat maupun tidak sederajat dengan mengumpukan hasil bahan-bahan hukum terkait permaslahan dan selanjutnya melakukan teknik argumentasi dan evaluasi.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Makna “rasa kebencian dan antar golongan” pada rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sesuai dengan Hukum Positif di Indonesia.

Kemajuan perkembangan informasi, transaksi dan elektronik (ITE) membawa pengaruh besar bagi masyarakat Indonesia. Pengaruh positif dan negatif di rasakan seperti pedang bermata dua.3 Pengaruh positif dalam membantu berkomunikasi dan menyampaikan informasi, pengaruh negatif dapat menusuk penggunanya jika disalah gunakan. Adanya sebuah perbuatan penyalahgunaan media sosial membuat pemerintah memberikan pengaturan tegas terkait penyebaran rasa kebencian melalui media sosial yang mengandung unsur SARA melalui beberapa aturan. Dasar hukum yang mengatur mengenai penyebaran rasa kebencian terhadap unsur SARA yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 156 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Pasal 28 ayat (2).

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (2) terkait rumusan kata “rasa kebencian” tidak memiliki penjelasan secara tegas dan menimbulkan pemahaman yang kabur pada norma. Berdasarkan Pasal 156 KUHP sebagai hukum pokok menjelasakan perbuatan mengenai tindakan pernyataan dengan ucapan yang mengadung kalimat tertentu. Karena di keluarkan melalui ucapan maka perbuatan tersebut dilakukan secara lisan dengan memuat isi pernyataan mengenai permusuhan, kebencian dan penghinaan kepada sesuatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Berdasarkan Pasal 156 KUHP syarat suatu ucapan agar memuat pernyataan

permusuhan, kebencian dan penghinaan agar dapat dipandang secara umum harus berpegangan pada nilai moral, serta tata Susila sebagai bangsa Indonesia.4

Memperhatikan penjelasan rumusan “rasa kebencian” diatas mengandung norma kabur serta menimbulkan pandangan yang berbeda mengenai penjelasanya. Pendapat pertama menjelaskan bahwa rumusan “rasa kebencian” bisa di lihat dari tindakan pidana formil, artinya suatu perbuatan dianggap sempurna apabila pelaku menyelesaikan rangkaian rumusan perbuatan dalam delik. Rumusan pasal tidak secara tegas melarang menimbulkan akibat tertentu. Pada makna “ditunjuk untuk” di tafsirkan bahwa tindakan penyebaran informasi itu dituju untuk menimbulkan suatu rasa kebencian. Dalam rumusan pasal tidak secara tegas menjelaskan akibat yang timbul dari suatu delik seperti kebencian biasa dengan rasa ketidaksukaan. Maka menurut penjelasan tersebut harus membutuhkan pembuktian, bahwa tindakan yang dilakukan benar menimbulkan rasa benci dan permusuhan. Teori pembuktian dengan cara melihat bentuk perbuatan yang di buat berdasarkan keadaan pembuat dan sifat yang mampu menimbulkan rasa kebencian pada unsur SARA.5 Pandangan kedua, menjelaskan rumusan “rasa kebencian” dari segi materiil, artinya perbuatan menunjukan pada akibat yang di larang. Menurut tindak pidana materiil dalam menjalankan perbuatan akibat merupakan hal yang di wajibkan ada. Pendapat ini lebih mengarah kepada cara mengetahui berhasil atau tidaknya timbul rasa kebencian.6 Dalam menafsirkan kata “rasa kebencian” harus adanya pembuktian, karena terkait dengan kata “rasa” menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) itu hanya ada dalam hati seseorang dan “kebencian” merupakan ungkapan dari rasa hati seseorang akibat perbuatan tertentu. Berdasarkan hal ini harus ada tindakan yang dilakuan dari korban atas perbuatan yang di terima agar bisa diketahui dan di buktikan. Apabila tindakan yang di lakukan tidak menimbukan akibat yang di larang, maka hanya terjadi percobaan delik.7

Terkait mengenai rumusan “antar golongan” pada Pasal 28 ayat (2) di rasa dalam penerapanya menimbulkan kesulitan. Rumusan pasal tidak jelas dan tegas terhadap batasan pengaturan sehingga menimbulkan penafsiran yang bereda-beda.8 Berdasarkan Putusan MK No: 76/PUU-XV/2017 menjelaskan makna “antar golongan” tidak meliputi suku, agama dan ras (SAR) tetapi melebihi itu, antara lain keseluruhan etnis tidak terwakilkan SAR. Berdasarkan penjelasan diatas, tidak ada kriteria yang jelas terkait rumusan “antar golongan” sehingga bisa saja di tafsirkan pada golongan kasta, golongan organisasi profesi, golongan jenis kelamin, golongan hobi karena terlalu luas batasnya. Untuk mengetahui makna yang jelas maka diperlukan penafsiran hukum dengan penggunaan tenik sistematisasi dengan mencari rumusan pasal yang berhubungan dengan pasal yang terkait yakni, Pasal 156 KUHP. Pada pasal

ini makna rumusan “golongan” mencakup beberapa etnis, seperti keturunan, agama, negeri asal, ras, asal, tempat, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Apabila dilakukan penafsiran hukum teknik sistematisasi maka makna antar golongan pada ketentuan pasal 28 ayat (2) sudah mencangkup SAR. Terkait penjelasan diatas bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE bersifat Lex spesialis merujuk makna golongan pada Pasal 156 KUHP yang bersifat Lex Generalis maka mengakibatkan pengulangan unsur-unsur pada pasal.

Merujuk uraian diatas, rumusan pasal mengandung norma kabur pada kata “rasa kebencian” dan pemaknaan yang terlalu luas pada kata “antar golongan” menimbulkan ketidak sesuaian pada prinsip hukum pidana yakni, Lex certa dan Lex stricta. Lex certa artinya perumusan unsur-unsur tindak pidana dalam perundang-undangan harus secara terperinci. Lex stricta merupakan definisi dalam rumusan perundang-undangan harus jelas dan rigid tanpa ada ketentuan yang dirasa masih samar-samar yang mengakibatkan multitafsir dalam memaknai sebuah rumusan pasal.9

Implementasi pasal ini masih berlaku dalam penyelesaikan beberapa kasus seperti Dandhy Dwi Laksono, Faisol Abod Batis, Buni Yani dan I Gede Ary Astina.10 Pelaksanaan pasal ini dalam lingkungan peradilan khususnya penegakan hukum hakim harus menggunakan penafsiran hukum mengenai pemahaman telah ada suatu perbuatan melawan hukum dengan melanggar pasal tersebut. Secara garis besar terdapat dua pahaman penafsiran yakni, penafsiran harfiah, artinya mencari maksud dan makna dari peraturan terkait agar tidak keluar dari maksud dan tujuan. Penafsiran fungsional artinya mencari maksud atau makna dengan beberapa literatur yang bisa memberikan keterangan secara konkrit.11

Mencermati keempat kasus diatas memiliki latar belakang yang berbeda-beda serta telah mendapatkan putusan akhir. Oleh karenanya, kategori perbuatan melanggar rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE meliputi unsur-unsur, a) setiap orang: subjek atau pelaku b) niat: dengan sengaja, c) melawan hukum: tanpa hak d) perbuatan: menyebarkan, e) obyek: informasi, f) tujuan: menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan, g) sasaran yang dituju: individu dan kelompok, serta berdasarkan unsur SARA.12 Dalam pelaksanaan kategori perbuatan melawan hukum itu harus dimulai dari sebuah niat untuk merumuskan perbuatan yang menimbulkan rasa benci melalui media sosial, sasaran yang ingin di tuju meliputi (SARA) serta akibatnya harus mampu menimbulkan tindakan dari korban atas ketidak nyamanan mengenai perilaku pembuat agar bisa diketahui dan di buktikan.

Terkait tindakan yang menimbulkan rasa benci pada ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE yang sudah mendapatkan putusan pengadilan yaitu I Gede Ary Astina. Berdasarkan putusan perkara tingkat pertama pidana Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN Dps tertanggal 19 November 2020 bahwa I Gede Ary Astina dinyatakan terbukti telah

memenuhi rumusan unsur perbuatan melawan hukum. I Gede Ary Astina di anggap melakukan tindak pidana penyebar rasa kebencian yang mengandung unsur SARA karena telah melakukan postingan di instagram miliknya. Postingan yang di lakukan berupa tulisan yang berbunyi “Gara-gara bangga jadi kacung Who, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan di tes CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tes-nya di bikin stres dan menyebabkan kematian pada bayi/ ibunya, siapa yang bertanggung jawab?” dan di lanjutkan dengan tulisan di caption” Bubarkan IDI!! Saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini! (emoticon babi). Rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS? TIDAK. IDI & RS yang mengadu diri mereka sendiri dng hak-hak rakyat” yang telah mendaptkan like (disukai) sebanyak 57.397 dan komentar sebnyak 3.390 pertanggal 02 Januri 2020.

I Gede Ary Astina, memberikan penjelasan sehubungan postingan yang dibuatnya tidak mempunyai niat menyatakan rasa benci terhadap IDI, terdakwa murni ingin bertanya dan mengajak IDI berdiskusi langsung tetapi tidak pernah di tanggapi. Dasar terdakwa melakukan postingan di instagram karena sering membaca berita di media sosial, bahwa ibu-ibu yang melahirkan di persulit dalam prosedur rapid test sampai mengakibatkan bayinya tidak bisa diselamatkan serta banyak netizen dari kolom komentar dan kontak pesan di instagram meminta bantuan agar menyuarakan kejadian yang terjadi. Terdakwa berharap bahwa IDI bisa sebagai agen perubahan yang mampu dan bepihak kepada orang yang perlu dibantu serta ibu-ibu hamil yang akan melahirkan.

Terkait dengan postingan I Gede Ary Astina, ahli bahasa dan ahli hukum pidana menyampaikan pendapat. Pendapat pertama dari Drs. I Made Jiwa Atmaja, SU (ahli Bahasa) menyatakan dalam memahami sebuah tindak pidana khusunya mengeni rasa kebencian melalui media sosial tidak cukup hanya menguji bentuk kalimat, namun harus menilai ide atau niat yang harus di tunjukkan. Pendapat kedua dari Ahli Hery Firmansyah, SH, M.Hum., MPA (ahli pidana) menyatakan apabila ada suatu tindak pidana diduga mengenai ujar kebencian yang mengandung unsur SARA tentunya harus di ketahui apa motivasinya. Dalam hukum pidana alasan mengenai motivasi melakukan sebuah tindakan merupakan cara pembuktian dalam pengujian ada atau tidaknya niat jahat dari pelaku. Ahli juga berpendapat bahwa tujuan hukum pidana lebih kepada pengembalian hak seseoarang yang salah agar bisa kembali ke masyarakat dengan baik.13 Berdasarkan penjelasan diatas unsur-unsur niat atau kesengajaan, rasa kebencian serta antar golongan rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terlihat tidak tepat dalam implementasinya

Bila di cermati unsur kesengajaan, menurut ahli hukum menyatakan niat atau kesengajaan terdiri dari tiga bagian yakni, kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan sebagai keinsyafan dan kesengajaan menyadari kemungkinan.14 Mengenai unsur niat, pendapat pertama, menyatakan I Gede Aryastina dalam penjelasannya tidak mempunyai niatan untuk menyebar rasa benci melainkan ingin mengajak IDI berdiskusi hal ini menjelasakan bahwa bukan kesengajaan sebagai tujuan ataupun kesengajaan untuk kepastian untuk mencapai akibat tertentu. Pendapat kedua, bahwa

dasar pelaku melakukan postingan ialah membawa keresahan di dalam masyarakat, khusunya kejadian ibu-ibu di persulit dalam melahirkan akibat adanya prosedur rapid test. Dalam hal ini pelaku memang secara tegas ingin menyuarakan kepentingan banyak orang sehingga pelaku tidak mengetahui bahwa tindakan yang di lakukan adalah tindakan terlarang atau kesengajaan menyadari kemungkinan.

Pendapat ketiga, terkait dengan unsur “rasa kebencian”. Berdasarkan tidak ada pemahaman makna yang jelas dan tegas yang menimbulkan akibat tertentu mengakibatkan pasal ini dijadikan alat pembungkam kritikan, serta pasal ini bertentangan dengan prinsip hukum Lex stricta. Definisi dalam rumusan perundang-undangan harus jelas dan rigid. Keterangan I Gede Ary Astina hanya bertujuan murni bertanya dan ingin mengajak IDI berdiskusi terkait kesulitan ibu-ibu dalam melahirkan karena harus rapid test. Dalam hal ini implikasi tidak ada penjelasan yang jelas mengenai perbuatan yang menimbulkan rasa kebencian mengkibatkan tujuan pelaku tidak sesuai dengan harapannya.

Pendapat keempat, rumusan unsur antar golongan. Berdasarkan pemahaman rumusan pasal yang terlalu luas mengakibatkan bertentangan pada prinsip hukum Lex Certa yang artinya kejelasan rumusan pasal dan rinci. Penjelasan ini membuat IDI termasuk pada unsur golongan, dalam hal ini berimplikasi kepada I Gede Ary Astina yang melakukan sebuah postingan di akun Instagramnya yang di duga melanggar unsur “antar golongan”.

Berdasarkan uraian diatas makna ”rasa kebecian dan antar golongan” masih mengandung norma kabur dan pemaknaan yang terlalu luas, sehingga sangat potensial menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum serta ditafsirkan secara subyektif. Maka dari hal tersebut diperlukan formulasi rumusan pasal yang baik agar memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.15

  • 3.2    Formulasi rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE agar memenuhi keadilan

Pada tanggal 27 Oktober 2016 telah di lakukannya perubahan UU ITE yang baru. Amandemen bertujuan untuk, memberikan rasa aman, keadilan serta kepastian hukum yang berkaitan dengan penggunaan media sosial.16 Tujuan ini sangat penting dalam implementasi agar masyarakat bisa mengetahui perbuatan hukum yang dilarang dan diperbolehkan dalam penggunaan ITE serta terjaminnya masyarakat dalam mencari keadilan. Dalam implementasi tidak mudah untuk merumuskan sebuah keadilan karena dinilai berdasarkan hal yang diterima dari masing-masing masyarakat. Salah satu implementasi peraturan perundang-undangan yang masih tidak efektif dalam penegakan hukumnya ialah rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengakibatkan kurangnya kepastian hukum yang mencerminkan rasa keadilan.

Pasal 28 ayat (2) sebagai hukum positif Indonesia belum pernah mengalami perubahan baik dalam pengurangan maupun penambahan rumusan pasal. Asas kepastian hukum tidak menjadi tolak ukur dalam pembuatan rumusan pasal sehingga tidak memiliki penjelasan yang jelas pada kata “rasa kebencian” serta pemaknaan yang terlalu luas pada kata ”antar golongan”. Terkait permasalahan yang terjadi pihak

Kejaksaan berpendapat dalam penerapan rumusan pasal ada yang masih belum maksimal yakni, rumusan pasal yang masih memiliki jangkauan terlalu luas sehingga mengakibatkan degradasi budaya hukum di masyarakat serta pasal ini bisa menjadi alat untuk membungkam kritikan.17

Implementasi rumusan pasal 28 ayat (2) UU ITE agar memenuhi keadilan, di harapkan sesuai dengan prinsip Lex certa dan Lex stricta. Hal tersebut agar sejalan dengan tujuan hukum serta nilai keadilan yang akan terus hidup ketika produk peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan terhadap masyarakat.18 Dalam hal ini di butuhkan masukan-masukan pendukung dalam mencapainya. Saran pertama, terhadap rumusan pasal kata “rasa kebencian” seharusnya pada bagian penjelasan pasal demi pasal mampu memberikan syarat-syarat timbul rasa benci agar tegas dan jelas serta masyarakat bisa mengetahui perbuatan yang di larang dalam pasal ini. Karena perbuatan tersebut membutuhkan sebuah pembuktian apakah rasa benci atau ketidaksukaan yang di timbulkan dari perbuatan pelaku. Terkait rasa kebencian dan ketidaksukaan adalah perasaan manusiawi yang wajar pada setiap manusia.

Saran kedua, rumusan pasal kata “antar golongan” seharusnya di berikan kejelasan mengenai batasan penggunaan golongan agar tidak terlalu luas dalam penerapanya. Tujuannya agar masyarakat mengetahui makna “antar golongan” mencakup apa saja, serta hukum tidak di manfaatkan sebagai kekuasan. Saran lain mengenai rumusan kata “antar golongan” di hilangkan saja dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE karena sudah di atur pada Pasal 156 KUHP sehingga terjadi pengulangan unsur. Dalam klasifikasi mengenai golongan pada ketentuan Pasal 156 KUHP di jelaskan bahwa golongan didasarkan pada bagian masyarakat yang memiliki perbedaan berdasarkan unsur-unsur: a) ras, b) negeri asal, c) agama, d) tempat, e) asal, f) keturunan, g) kebangsaan, h) atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sedangkan klasifikasi sasaran yang di tuju berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (2) yakni antar golongan sudah terdapat pada pasal 156 KUHP yakni suku atau keturunan, agama dan ras.

Saran ketiga, mengenai perbuatan penyebar rasa kebancian yang mengandung unsur SARA melalui media sosial perlu di berikan pengaturan dengan dibuatkan bab khusus. Tujuannya dalam penerapan pasal tersebut dapat di ketahui secara khusus mengenai macam-macam perbuatan melawan hukum mengandung unsur SARA.19

Penerapan rumusan pasal 28 ayat (2) UU ITE agar memenuhi rumusan kedilan harus berpegang pada prinsip, kepastian hukum (Reschtssicherheit), keadilan hukum (Gerechtigkeit), serta kemanfaat hukum (Zweckmassigkeit). Prinsip kepastian hukum (Reschtssicherheit), hukum merupakan hal penting karena mencerminkan nilai hak dan kewajiban masyarakat terhadap hukum. Tanpa kepastian hukum masyarakat dalam berperilaku tidak akan mengetahui perbuatan yang dilakukan, salah atau benar.

Terkait rumusan pasal “rasa kebencian dan antar golongan” mengandung pemahaman norma kabur serta multifasir sehingga bertolak belakang dengan prinsip hukum ini. Dalam implemtasinya mengakibatkan banyak masyarakat terjerat dalam pasal tersebut. Salah satunya I Gede Ary Astina. Maka dari itu diperlukan penerapan rumusan pasal sesuai prinsip kepastian hukum agar masyarakat bisa mendapatkan perlindungan dari sebuah tindakan yang sewenang-wenang.

Prinsip keadilan hukum merupakan tujuan penting dalam pelaksanaan hukum. Dalam hal ini hukum bukan berarti memiliki sifat yang adil tetapi hukum harus berifat umum dan sama. Mengenai keadilan merupkan hak individu mengenai tindakan hukum terhadap seseorang agar tidak memihak salah satu pihak. Pada rumusan pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam implementasinya masih kurang asas keadilan hukum, salah satunya terhadap kasus I Gede Ary Astina. Terlihat bahwa penerapan pidana terhadap pelaku sangat dipaksakan padahal tidak terpenuhi unsur niat yang mampu membedakan ekspresi meminta kejelasan dengan ekspresi yang termasuk menimbulkan rasa kebencian. Pada penahanan yang di lakukan terhadap I Gede Ary Astina di masa pandemi covid-19 tampak di paksakan padahal sistem peradilan pidana sedang berusaha keras dalam pengurangan jumlah tahanan untuk mencegah terjadinya penularan virus covid-19. Mengenai keadilan restoratif dalam kasus ini belum di terapkan padahal dalam Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 mengenai ujar kebencian terdapat tindakan preventif wajib didahulukan. Mengenai uraian tersebut prinsip keadilan dalam penegakan hukum merupakan suatu harapan yang sangat besar dari masyarakat. Setiap warga negara memupunyai hak yang sama guna memperoleh perlindungan, keadilan serta pengakuan di dalam hukum. Sehingga penegakan hukum harus mampu mewujudkan hukum sesuai prinsip keadilan.20

Prinsip kemanfaatan hukum tidak bisa di lupakan dari prinsip kepastian hukum (Reschtssicherheit), dan keadilan hukum (Gerechtigkeit). Prinsip hukum ini di pandang sama dengan capaian hukum di terapkan. Maka dari itu penerapan hukum harus mampu memberikan kemanfaatan agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Pada implementasinya prinsip kemanfaatan hukum pada rumusan pasal 28 ayat (2) masih kurang tepat, seperti pada kasus I Gede Ary Astina. Hal tersebut terlihat bertentangan dengan keadilan restoratif yang semata-mata pada kasus ini di manfaatakan sebagai pembalasan kepada orang yang bersalah tanpa memberikan jalan keluar yang sama menguntungkan bagi kedua belah pihak.21 Maka dari itu dalam penegakan hukum pada rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus sesuai prinsip kemanfaatan hukum. Tujuannya agar hukum tidak dijadikan sebagai pembalasan tapi hukum di jadikan sebagai jaminan kebahagiaan supaya sejalan dengan prinsip ultimum remidium atau pidana adalah jalan terahir.22

  • IV.    Kesimpulan

Rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebagai hukum positif di Indonesia masih tidak sesuai pada prinsip hukum pidana yakni, Lex certa dan Lex stricta. Hal ini ditunjukan pada rumusan “rasa kebencian” yang tidak memiliki penjelasan secara tegas terkait menimbulkan akibat tertentu. Sedangkan rumusan “ántar golongan” berdasarkan Putusan MK No: 76/PUU-XV/2017 tidak meliputi SAR tetapi melebihi dari itu, yaitu semua etnis yang tidak terwakilkan SAR. Hal ini mengakibatkan penerapan rumusan pasal sangat luas serta rumusan pasal tersebut tidak tepat dalam menjerat kalimat-kalimat postingan pengguna media sosial khususya pada kasus I Gede Ary Astina. Pada formulasi rumusan pasal 28 ayat (2) UU ITE agar memenuhi rasa keadilan sebaiknya rumusan “rasa kebencian” dalam bagian penjelasan pasal demi pasal diberikan kriteria rasa kebencian secara jelas serta dapat di ketahui perbuatan yang di timbulkan. Terkait makna “antar golongan” seharusnya di berikan batasan makna agar tidak terlalu luas dalam penerapanya. Mengenai rumusan makna “antar golongan” di hilangkan saja dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE karena sudah di atur pada Pasal 156 KUHP, serta mengenai perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur SARA di media sosial perlu di berikan pengaturan dengan dibuatkan bab khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Cetakan II Edisi Revisi (Malang, Media Nusa Creative, 2016).

Chazawi, Adami dan Ferdian, Ardi. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Eektonik Penyeranan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik (Malang, Bayumedia Publising, 2011).

Setiabudhi, I Ketut Rai et. al. Hukum Pidana Lanjutan (Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016).

Jurnal:

Azhari, Aidul Fitriciada. "Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 19, No. 4 (2012).

Darmawan, Iwan. "Perkembangan dan Pergeseran Pemidanaan." Pakuan Law Review 1, No. 2 (2015).

Dwisvimiar, Inge. "Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum." Jurnal Dinamika Hukum 11, No. 3 (2011).

Fitania, Silvia Eka. "Analisis Yuridis Unsur Perbuatan Dalam Tindak Pidana Kesusilaan." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 1 (2018).

Ganari, Mutaz Afif. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penyebaran Informasi Suku Agama Ras dan Antargolongan yang Menimbulkan Permusuhan dan Kebencian." Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan 8, No. 2 (2019).

Jasmi, Putri Conitatillah. "Analisis Implementasi Asas Kepastian Hukum Dalam Proses Putusan Hakim Terkait Penghinaan Melalui Dunia Maya." Jurnal Analisis Hukum 3, No. 1 (2020).

Kumalasari, Tiara. "Konsep “Antargolongan” Dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Uu Ite)." Media Iuris 3, No. 2 (2019).

Lailam, Tanto. "Penafsiran Konstitusi Dalam Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945." Media Hukum 21, No. 1 (2014).

Madile, Magelhaen. "Penjatuhan Pidana Terhadap Perbuatan Percobaan Melakukan Tindak Pidana." Lex Crimen 5, No. 2 (2016).

Moeliono, Tristam P. "Asas Legalitas dalam Hukum Acara Pidana: Kritikan Terhadap Putusan MK Tentang Praperadilan." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 22, No. 4 (2015).

Permatasari, Iman Amanda, dan Junior Hendri Wijaya. "Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Penyelesaian Masalah Ujaran Kebencian Pada Media Sosial." Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan 23, No. 1 (2019).

Putri, Kania Dewi Andhika, dan Ridwan Arifin. "Tinjauan Teoritis Keadilan dan Kepastian Dalam Hukum di Indonesia (The Theoretical Review of Justice and Legal Certainty in Indonesia)." Mimbar Yustitia 2, No. 2 (2018).

Putera, Ryadh Mega. "Tinjuan Yuridis Terhadap Pasal 28 Ayat (2) UU ITE (Sudi Kasus: I Gede Ari Astina Alias Jerinx atau JRX)." YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum 7, no. 1 (2021).

Rohmana, Nanda Yoga. "Prinsip-Prinsip Hukum Tentang Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik Dalam Perpspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia." Yuridika 32, No. 1 (2017).

Simbolon, Tifan Pramuditia, Bahmid Bahmid, and Emiel Salim Siregar. "Perlindungan Kebebasan Berpendapat Melalui Media Internet Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Elektronik Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia." Jurnal Tectum 1, No. 1 (2019).

Situmorang, Fransiskus Sebastian. "Tinjauan Yuridis Terhadap Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 6, No. 5 (2017).

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan-Putusan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 76/PUU-XV/2017.

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN DPS.

Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujar Kebencian (Hate Speech).

Website

Anonim. Putusan PN Denpasar Terhadap I Gede Ary Astina Alias Jerinx. Institute For Criminal Justice Reform, 27 November 2020, https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/11/PUTUSAN-JRX-TINGKAT-1_edited.pdf.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1089-1100.

1100