PENGATURAN TERKAIT PELAKU USAHA

YANG MENIMBUN MASKER PADA MASA PANDEMI
COVID-19 DALAM PERSPEKTIF UU PERDAGANGAN

Ida Bagus Gaga Baskara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kekosongan hukum mengenai perbuatan pelaku usaha yang melakukan penimbunan masker dalam situasi pandemi covid-19 sehingga masker langka dan harganya tinggi. Dalam penelitian dan penulisan artikel ini metode penelitian hukum normatif atau yang sering disebut penelitian hukum doktrinal dengan disertai pendekatan peraturan hukum atau undang-undang dan pendekatan analisis yang digunakan. Hasil Penelitian menunjukan bahwa dalam UU No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015 tentang penetapan barang kebutuhan pokok dan barang penting mengatur tentang penimbunan tetapi permasalahanya adalah, masker tidak dikategorikan atau tidak diatur sebagai barang kebutuhan pokok dan barang penting yang pada saat situasi pandemi masker merupakan kebutuhan yang penting sehingga mengakibatkan sanksi yang telah diatur tidak dapat diterapkan.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Masker, Penimbunan

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the legal vacuum regarding the actions of business actors who hoard masks in the Covid-19 pandemic situation so that masks are scarce and the price is high. In the research and writing of this article, the normative legal research method or what is often called doctrinal legal research is accompanied by an approach to legal regulations or laws and an analytical approach used. The results of the study show that in Law No. 7 of 2014 concerning trade and Presidential Regulation No. 71 of 2015 concerning the determination of basic necessities and essential goods regulates hoarding but the problem is, masks are not categorized or not regulated as basic necessities and essential goods which during a pandemic situation masks are an important necessity, resulting in sanctions that have been regulated cannot be applied .

Key Words: Legal Certainty, Masks, Hoarding

  • I.     Pendahuluan

    1.1.   Latar.Belakang.Masalah

Pergerakan sosial masyarakat yang dinamis selalu bergerak maju dan mengakibatkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, hukum selalu mengikuti perubahan dinamis masyarakat tersebut hukum yang ideal adalah hukum yang selalu mengikuti perkembangan jaman, selain dinamis hukum juga harus bersifat felksibel agar menjadi hukum yang bermanfaat karena dalam suatu kondisi tidak tertutup kemungkinan terjadi sebuah kekosongan hukum yang mengatur perilaku manusia sehingga fungsi hukum dalam menegakan keadilan selalu mengalami

permasalahan baik dari segi aparat penegak hukumnya, instrument hukumnya , maupun pemerintah selaku pihak yang membuat regulasi hukum yang akan diberlakukan dalam kehidupan masyarakat.1 Salah satu kondisi yang terjadi saat ini yakni adalah pandemi covid-19 yang banyak membuat hukum yang berlaku masih dirasa kurang bahkan sampai memerlukan aturan baru guna menyesuaikan perkembangan dengan masyarakat agar dapat diterapkan dengan baik. ancaman serius bagi semua bangsa akibat adanya Virus ini karena tingkat kematian akibat virus ini, mengalami kenaikan yang sangat cepat.2 Akibat dari pemberitahuan oleh pemerintah indonesia terkait dua kasus positif pertama memicu lonjakan harga masker.

Harga masker ditengah masa pandemi COVID-19 mengalami kenaikan hingga menyentuh harga jutaan rupiah, diduga ada oknum yang bermain, baik itu dari pihak produsen maupun oknum pedagang UMKM yang ikut mendistribusikan masker. Hal ini disebabkan karena pembelian masker oleh masyarakat melebihi jumlah produksi, dalam kondisi seperti inilah banyak oknum yang memanfaatkan celah hukum seperti menaikan harga masker dengan harga yang tinggi bahkan diduga ada penimbunan yang yang dilakukan oleh produsen. 3 Para oknum tersebut secara nyata menggunakan kesempatan di masa darurat ini untuk meraup untung setinggi-tingginya serta melakukan penimbunan tanpa perduli akibat yang ditimbulkan di tengah masyarakat yang mana hal ini juga menghalangi program pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus ini di seluruh Indonesia yang diwujudkan dalam Instruksi Presiden untuk melakukan Pencegahan sekaligus Pengendalian pandemi dengan disiplin terhadap peraturan kesehatan No.6/2020 karena saat ini akibat dari pandemi berdampak juga pada sektor ekonomi masyarakat yang melemah dan menyebabkan daya beli masyarakat menurun, akibatnya banyak yang tidak mentaati peraturan kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan memilih tidak membeli masker.4

Diberlakukanya Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang perdagangan yang selanjutnya disebut UU No.7/2014 bertujuan untuk membuat tertibnya pelaku usaha dalam pembangunan ekonomi nasional dengan menerapkan asas asas yakni kepentingan nasional, kepastian hukum, adil, dan keamanan usaha selain itu juga pembatas perilaku menyimpang para pelaku usaha, berkaitan dengan penimbunan para pelaku usaha tidak diperbolehkan untuk melakukan penimbunan yang dapat berakibat terjadinya gejolak harga ditengah masyarakat sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain yang seharusnya dapat memilih harga yang rendah dengan kualitas yang baik. UU No.7/2014 dan Peraturan Presiden No. 71 tahun 2015 tentang penetapan barang kebutuhan pokok dan barang penting yang selanjutnya disebut Perpres No.71/2015 belum mengatur masker dalam kategori barang kebutuhan pokok dan barang penting, padahal pada masa situasi pandemi covid-19 masker merupakan barang penting dan juga termasuk sebagai kebutuhan pokok karena dalam situasi

yang darurat ini seluruh lapisan masyarakat memerlukan alat kesehatan masker sebagai pelindung diri untuk menjaga kesehatan individu masing-masing guna mewujudkan program pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus ini.

Berkaitan dengan orisinalitas penulisan artikel ini penulis menemukan penelitian yang topiknya memiliki kesamaan dengan penelitian ini akan tetapi terdapat perbedaanya. Adapun penelitian tersebut yakni dilakukan oleh Mohammad Faisol Soleh yang berasal dari Universitas Indonesia dan menempuh Program Magister Ilmu Hukum dengan penelitan berupa tulisan jurnal berjudul “Penimbunan Alat Pelindung Diri pada Masa Pandemi Covid-19: Kajian Hukum Pidana Bidang Perlindungan Konsumen” dengan fokus kajian dari perspektif hukum pidana serta hukum perlindungan konsumen terkait tidakan penimbunan APD oleh pelaku usaha.5 Dan penelitian yang dilakukan oleh Retno Sari Dewi dengan judul “Perlindungan Konsumen Di Era Pandemi Virus Corona”.6 Indikator pembeda dengan penelitian yang memiliki kemiripan terdahulu yakni permasalahan penimbunan masker dikaji berdasarkan undang-undang perdagangan sedangkan penelitian sebelumnya permasalahan penimbunan masker dikaji berdasarkan hukum pidana dan hukum perlindungan konsumen.

Berdasarkan penjelasan serta beberapa permasalahan diatas penulis menganalisis bagaimana “PENGATURAN TERKAIT PELAKU USAHA YANG MENIMBUN MASKER PADA MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF UU PERDAGANGAN”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang yang digambarkan di atas, adalah dasar dari penulis untuk menarik permasalahan yakni :

  • 1)    Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai penimbunan dalam UU No.7/2014 dan perpres No. 71/2015?

  • 2)    Apa sajakah implikasi hukum yang akan diakibatkan dari kekosongan pengaturan hukum mengenai penimbunan masker pada masa pandemi covid-19 ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ilmiah ini bertujuan untuk mengkaji hukum yang mengatur mengenai penimbunan dalam UU No.7/2014 dan perpres No. 71/2015 serta untuk menganalisis implikasi hukum yang akan diakibatkan dari kekosongan pengaturan hukum mengenai penimbunan masker pada masa pandemi covid-19.

  • II.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini menggunakan sistem atau metodologi normatif dengan mengkaji suatu masalah dengan hukum positif dengan berangkat dari adanya problem kosongnya norma yang menjadi patokan berprilaku manusia terkait topik yang akan dijabarkan, penulisan penelitian ini menggunakan pendekatan dengan menelaah semua peraturan hukum atau undang-undang yang berlaku yakni lebih dikenal

pendekatan perundang-undangan dalam mengkaji permasalahan pelaku usaha yang menimbun masker.7 Adapun beberapa perundang-undangan yang dimaksud yakni UU No.7/2014 dan Perpres No. 71/2015. Untuk mempertajam pembahasan, pendekatan analisis (analytical approach) terkait dampak dari kekosongan hukum terhadap perilaku pelaku usaha yang menyimpang ditengah pandemi covid-19, dalam tulisan jurnal ini bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan serta teknik studi dokumen digunakan dalam mempelajari bahan hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    PENGATURAN HUKUM MENGENAI PENIMBUNAN DALAM UU No.7/2014 DAN PERPRES No. 71/2015.

Menurut KBBI “penimbunan merupakan kegiatan ilegal dalam mengumpulkan barang-barang yang dibatasi kepemilikannya oleh undang-undang”.8 Dalam UU No.7/2014 tidak dikenal istilah penimbunan tetapi dijelaskan pada Pasal 29 khususnya dalam Ayat (1) bahwa perilaku atau perbuatan pelaku usaha yang menyimpang merupakan pelanggaran hukum dengan menyatakan larangan berupa tindakan untuk menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan. Pasal ini dimaksudkan sebagai upaya memperjelas tindakan yang dilarang dalam UU No.7/2014 karena kata penimbunan tidak dicantumkan secara eksplisit melainkan dengan pengertian menyimpan barang penting dengan tujuan negatif. Kemudian dalam Pasal 107 diatur penjelasan mengenai sanksi dari pelanggaran pelaku usaha tersebut yang berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000.00. Kelanjutan pengaturanya ada pada pasal 29 khususnya dalam Ayat (3) dijelaskan bahwa Ketentuan lebih rinci atau detail mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden.

Satu tahun setelah dikeluarkanya UU No.7/2014 ditetapkan peraturan baru Perpres No. 71/2015. Dalam Pasal 1 Perpres No. 71/2015, khususnya pada Angka 1 dijelaskan bahwa adapun yang dimaksud sebagai barang kebutuhan pokok antara lain yakni barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau masyarakat secara luas dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Kemudian pada Pasal 1 Angka 2 dijelaskan mengenai yang dimaksud sebagai barang penting yakni “merupakan barang strategis dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional”.9

Kategorisasi yang lebih rinci mengenai Barang pokok dan penting diatur pada Pasal 2 Ayat (6) khususnya dalam Huruf a yakni yang pertama barang pokok mencakup Hasil Pertanian yang meliputi Beras, Kedelai bahan baku tahu dan tempe, Cabe, Bawang merah. Kemudian yang selanjutnya adalah Hasil Industri yang meliputi Gula, Minyak goreng, Tepung terigu. Yeng terakhir adalah Hasil peternakan dan perikanan yang meliputi Daging sapi, Daging ayam ras, Telur ayam ras, Ikan segar

yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang. Kemudian penjelasan mengenai cakupan barang penting pada Pasal 2 Ayat (6) khususnya dalam Huruf B yakni antara lain meliputi Benih padi, Benih jagung, dan Benih kedelai, Pupuk, Gas elpiji 3 (tiga) kilogram, Triplek, Semen, Besi baja konstruksi, dan Baja ringan.

Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas pada dasar hukum tersebut, UU No.7/2014 dan perpres No. 71/2015 tidak menyebutkan alat kesehatan yakni masker sebagai salah satu dari kategori barang kebutuhan pokok dan penting.10 Padahal dalam situasi pandemi masker langka dan mahal membuat keadaan semakin tidak sesuai dengan kepentingan umum. Dalam hal seperti ini pemerintah harus segera mengambil sikap tegas ditengah kekacauan ini melalui regulasi baru yang berkaitan dengan penanganan masalah kelangkaan masker yang bisa saja diakibatkan oleh ulah pelaku usaha yang sengaja menyimpan stok masker ditengah permintaan masyarakat yang tinggi pada masa pandemi ini, pengaturan regulasi penetapan barang pokok dan penting dapat dilakukan dengan dasar hukum yakni Pasal 2 Ayat (7) yang menyatakan “penetapan yang dimaksud dalam Ayat (6) bisa diubah melalui usulan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait.”

Penetapan produk hukum ini merupakan sikap pemerintah untuk mengatasi pandemi corona dalam “Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dengan disiplin terhadap protokol kesehatan” dimana instruksi ini mewajibkan setiap orang untuk menggunakan masker dan apabila tidak menggunakan masker maka akan dikenakan sanksi.11 ini merupakan wujud dari pembangunan nasional terutama pembangunan kesejahteraan rakyat di bidang kesehatan dimana perdagangan berperan penting dalam pendistribusian masker agar tidak terjadi fenomena kelangkaan barang dan harga yang tinggi pada saat situasi genting. Upaya ini juga sejalan dengan tujuan dari diaturnya kegiatan perdagangan agar sejahtera yang pengaturanya pada UU No.7/2014 Pasal 3 huruf d yakni mengenai tujuan dari kegiatan perdagangan salah satunya “menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting”. Tetapi pada kenyataanya masker tidak masuk kedalam kategori tersebut yang mengakibatkan tidak adanya instrument hukum yang mengatur sehingga banyak oknum maupun para pelaku usaha yang memanfaatkan celah hukum tersebut.

  • 3.2    IMPLIKASI HUKUM YANG AKAN DIAKIBATKAN DARI KEKOSONGAN PENGATURAN HUKUM MENGENAI PENIMBUNAN MASKER PADA MASA PANDEMI COVID-19.

Kehidupan masyarakat dalam perkembanganya sering terjadi fenomena hukum yang belum ada pengaturanya, masyarakat yang dinamis selalu bergerak maju dan mengakibatkan perubahan besar dalam kehidupanya, hukum selalu mengikuti perubahan dinamis masyarakat tersebut hukum yang ideal adalah hukum yang selalu mengikuti perkembangan jaman, selain dinamis hukum juga harus bersifat felksibel agar menjadi hukum yang bermanfaat karena dalam suatu kondisi tidak tertutup

kemungkinan terjadi sebuah kekosongan hukum yang mengatur perilaku manusia sehingga fungsi hukum dalam menegakan keadilan selalu mengalami permasalahan baik dari segi aparat penegak hukumnya, instrument hukumnya , maupun pemerintah selaku pihak yang membuat regulasi hukum yang akan diberlakukan dalam kehidupan masyarakat.

Dampak dari kekosongan hukum terkait perbuatan pelaku usaha dalam menggunakan celah hukum bisa terhadap beberapa aspek hukum yakni :

  • a.    Aturan hukum yang tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Supremasi hukum adalah prinsip utama Negara Republik Indonesia.12 Dalam “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945” Negara Republik Indonesia dinyatakan secara tegas merupakan negara yang berdasarkan hukum, ini berarti keadilan dan pengakuan hukum adalah hal yang menjadi syarat mutlak demi tercapainya dan tegaknya negara hukum yang berdasarkan konstitusi.13 Berkaitan dengan Asas kepastian hukum, Regulasi pemerintah untuk memasukan atau mengkategorisasikan alat kesehatan yakni masker sebagai bagian dari barang pokok dan penting merupkan kebutuhan yang sangat urgen atau mendesak dalam situasi sekarang. asas kepastian hukum adalah hal yang paling fundamental dalam menegakan hukum dengan cara tepat dan proporsional, karena jika tidak maka hukum tidak lagi menjadi patokan hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Pada pasal 28 D khususnya dalam Ayat (4) UUD 1945 secara tegas diatur mengenai asas kepastian hukum, konstitusi menjamin setiap orang agar mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Rumusan kata dalam Pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa “semua orang harus diperlakukan dengan perlakuan dan perlindungan yang sama di hadapan hukum serta harus negara harus menegakan kepastian hukum secara konsisten dan professional dalam setiap penormaan pasal-pasal dalam membuat hukum positif yang diberlakukan”.

kekosongan pengaturan insturmen hukum terkait penetapan alat kesehatan yakni salah satunya masker sebagai bagian dari kategori barang pokok dan penting pada situasi pandemi yang mana juga termasuk situasi darurat nasional akan mengakibatkan juga tidak dilaksanakanya perintah konstitusi mengenai adanya kepastian hukum yang mengatur. Pemerintah sendiri dalam mengawasi kegiatan perdagangan dalam negeri mempunyai wewenang untuk melakukan kontrol harga dan stok terhadap barang pokok dan penting. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah pemerintah tidak mampu mengkontrol harga dan stok alat kesehatan yakni masker sehingga para pelaku usaha alat kesehatan masker berpotensi bebas melakukan penetapan harga dan juga penetapan stok pada pasar. Akibatnya masyarakat yang merasakan langsung bahwa pemerintah tidak bisa menjamin hak

perseorangan yang ditetapkan dalam pasal 28 D Ayat (4) terpenuhi sebagai akibat dari tidak diaturnya masker sebagai barang pokok dan penting.

  • b.    Terhambatnya pelaksanaan Instruksi Presiden untuk Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 No.6/2020.

Celah hukum yang dapat di manfaatkan oleh pelaku usaha yang menyimpang ini dapat digunakan untuk meraup untung yang setinggi-tingginya serta melakukan penimbunan tanpa perduli akibat yang ditimbulkan di tengah masyarakat padahal pandemi ini juga mengakibatkan perekonomian masyarakat melemah dan menyebabkan daya beli masyarakat menurun, akibatnya banyak yang memilih tidak membeli masker dan tidak taat dengan aturan terkait prokes yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang pada akhirnya menyebabkan hukum tidak berlaku efektiv di tengah masyarakat. Dengan terjadinya peristiwa hukum yang belum ada pengaturanya ini bedampak juga pada terhalangnya program pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus ini di seluruh Indonesia yang diwujudkan dalam Instruksi Presiden untuk melakukan Pencegahan sekaligus Pengendalian pandemi ini dengan disiplin terhadap peraturan protokol kesehatan No.6/2020. Dalam kondisi pandemi ini masyarakat memerlukan aturan hukum yang menjamin hak-hak mereka tidak dilanggar oleh pelaku usaha yang nakal, perbuatan pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan penimbunan dalam situasi genting ini merupakan kejahatan yang harus ditanggulangi oleh pemerintah segera, jika tidak akan terjadi kekacauan hukum di tengah masyarakat yang menyebabkan masyarakat tidak patuh hukum sebagai patokan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat.

  • c.    Tidak terwujudnya asas dan tujuan dari diberlakukanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan.

Pengaturan asas kepastian hukum juga terdapat dalam UU No.7/2014 yakni Pasal 2 yang menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat dalam kegiatan perdagangan disusun berdasarkan beberapa asas, adapun beberapa asas tersebut antara lain meliputi Asas kepentingan nasional, Asas kepastian hukum, Asas adil dan sehat, Asas keamanan berusaha, Asas akuntabel dan transparan, Asas kemandirian, Asas kemitraan, Asas kemanfaatan, Asas kesederhanaan, Asas kebersamaan, Asas berwawasan lingkungan.14 Asas yang tidak terwujud terkait kosongnya instrument hukum dalam mengatur masker sebagai barang yang sangat diperlukan pada situasi pandemi covid-19 ini yakni asas kepastian hukum seperti yang sudah di bahas diatas dan selanjutnya asas kemanfaatan.

Pada praktiknya, Penetapan barang pokok dan penting berdasarkan UU No.7/2014 dan Perpres No. 71/2015 tidak menyebutkan alat kesehatan yakni masker sebagai bagian dari salah satu kategori barang pokok dan penting, tidak diaturnya Masker dalam Perpres No. 71/2015 sebagai barang pokok dan penting mengakibatkan sanksi dalam UU No.7/2014 yakni “pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp.50.000.000.000.00” tidak dapat diterapkan terhadap pelaku usaha masker yang menyimpang. Mengenai asas kemanfaatan berdasarkan permasalahan tidak diaturnya masker sebagai barang pokok dan penting mengakibatkan hukum tidak bermanfaat dalam menjamin stabilnya ketersediaan barang yang dalam hal ini masker. Disamping itu juga jika kasus sampai pada tahap persidangan, hakim berpotensi melepaskan pelaku usaha yang melakukan penimbunan dan penetapan harga masker dengan alasan tidak ada sanksi yang dapat diterapkan oleh hakim dalam UU No.7/2014. Kemudian mengenai Tujuan dari diberlakukanya UU No.7/2014 yakni sebagai aturan hukum yang mengatur serta membatasi hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan guna menjamin kelancaran dari kegiatan perdagangan di Indonesia agar tidak terjadi kekacauan dan pelanggaran.15

Lebih luas lagi tujuan dari diberlakukanya UU No.7/2014 diperjelas dalam Pasal 3 yakni antara lain meliputi : untuk meningkatkan tumbuhnya perekonomian nasional, meningkatkan pemakaian dan pemasaran produk dalam negeri, meningkatkan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, menjamin kelancaran Distribusi dan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, meningkatkan fasilitas serta sarana, dan prasarana Perdagangan, meningkatkan kemitraan usaha besar, koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta Pemerintah dan swasta, meningkatkan daya saing produk dan usaha nasional, meningkatkan citra Produk Dalam Negeri, akses pasar, dan Ekspor nasional, meningkatkan Perdagangan produk berbasis ekonomi kreatif, meningkatkan pelindungan konsumen, meningkatkan penggunaan SNI, meningkatkan pelindungan sumber daya alam, meningkatkan pengawasan Barang dan/atau Jasa yang diperdagangkan”.16

Pada Pasal 3 Huruf d dinyatakan secara tegas bahwa tujuan dari diberlakukanya UU No.7/2014 yakni salah satunya untuk “menjamin kelancaran Distribusi dan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan Barang penting” . tujuan ini tidak dapat terwujud pada terjaminya pendistribusian dan ketersediaan alat kesehatan masker yang lancar karena terdapat celah hukum yang tidak mengatur bahwa masker merupakan bagian dari barang pokok dan penting padahal pada situasi pandemi seperti ini masker harus diatur sebagai bagian dari barang pokok dan penting karena pada masa ini masyarakat diwajibkan menggunakan masker sebagai alat protokol kesehatan untuk melindungi diri dari bahaya virus covid-19.17

  • IV.    Kesimpulan

Situasi pandemi covid-19 memicu banyak pelanggaran hukum, berbagai alasan menjadi penyebab pelanggaran hukum salah satunya karena ada kesempatan atas kekosongan insturmen hukum yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang nakal. dalam UU No.7 Tahun dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015 mengatur tentang penimbunan tetapi masker tidak termasuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok

dan barang penting, padahal pada masa situasi pandemi covid-19 masker merupakan barang penting dan juga termasuk sebagai kebutuhan pokok karena sebagai pelindung diri untuk menjaga kesehatan individu masing-masing guna mewujudkan program pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus covid-19 . Kekosongan hukum ini berimplikasi pada tidak terpenuhinya pasal 28 D Ayat (4) yang mengatur asas kepastian hukum sebagai hak yang dimiliki oleh setiap orang yang telah dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Disamping itu juga mengakibatkan sanksi yang sudah diatur dalam UU No.7/2014 yakni “pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000.00” tidak bisa diterapkan kepada pelaku usaha masker nakal dan melakukan penimbunan pada masa pandemi ini sehingga berpotensi hakim melepaskan pelaku usaha yang melakukan penimbunan masker dengan alasan tidak ada sanksi yang dapat diterapkan dalam UU No.7/2014.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Ichsan, Hukum Dagang,(Jakarta : Pradmua Paramita, 1987)

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Moderen Di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005)

S.C.T. Kansil dan Christina S.T.Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,(Jakarta Sinar Grafika, 2002)

Sunggono, Bambang .Metodologi penelitian hukum: suatu pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003)

Jurnal Ilmiah

Al Fahd, Hanafi Widya, and Handoyo Prasetyo, "Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Menimbun Masker Di Masa Pandemi Covid-19 Ditinjau Dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan", In National Conference on Law Studies (NCOLS), vol. 2, no. 1, (2020): 107-125.

Benuf, Kornelius, "Urgensi kebijakan perlindungan hukum terhadap konsumen fintech peer to peer lending akibat penyebaran COVID-19", Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 9, no. 2 (2020): 203.

Dewi, Retno Sari, "Perlindungan Konsumen Di Era Pandemi Virus Corona", Jurnal Yustitiabelen 6, no. 1 (2020): 38-47.

Engkus, Engkus, "Implementasi Undang-undang Perdagangan dan Implikasinya dalam Pengendalian Harga Kebutuhan Pokok Masyarakat", Jurnal Litigasi (e-Journal) 18, no. 1 (2018).

Latif, Abdul, "Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil", Jurnal Konstitusi 7, no. 1 (2016): 049-066.

Nasir, Gamal Abdul, "Kekosongan Hukum & Percepatan Perkembangan Masyarakat", Jurnal Hukum Replik 5, no. 2 (2017): 172-183..

Nurhalimah, Siti, "Covid-19 dan hak masyarakat atas kesehatan", SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no. 6 (2020): 543-554.

Sofyan, K. N, "Formulasi Hukum dan Pentingnya Jaminan Kepastian Hukum Produk Pangan Halal dalam Hukum Nasional", Nurani: Jurnal Kajian Syari'ah dan Masyarakat 15, no. 2 (2015): 47-74.

Soleh, Mohammad Faisol, "Penimbunan Alat Pelindung Diri pada Masa Pandemi

Covid-19: Kajian Hukum Pidana Bidang Perlindungan Konsumen", Undang: Jurnal Hukum 3, no. 1 (2020): 1-31.

Telaumbanua, Dalinama, "Tinjauan Yuridis Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Akibat COVID-19", Jurnal Education and development 8, no. 2 (2020): 30-30.

Wadi, Raines, "Konstitusionalitas Pemerintah Daerah dalam Menetapkan Kebijakan Lockdown pada Penananganan Covid-19", SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no. 7 (2020): 613-624.

Internet

KBBI Daring, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016, URL: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Penimbunan.

News Detik.Com, URL: https://news.detik.com/kolom/d-4894423/virus-corona-dan-fenomena-lonjakan-harga-masker.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512)

Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 138)

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.824-833

833