KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERLINDUNGAN PENGUPAHAN PEKERJA PADA PERUSAHAAN TERDAMPAK COVID-19

Sang Made Firmana Iswara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Ibrahim R., Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk mengetahui kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 di Indonesia dan untuk mengetahui akibat hukum pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-undangan dan pendekatan konsep. Kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 di Indonesia yaitu melalui Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mencetuskan suatu kebijakan saat berlangsung pada masa-masa pandemi Covid-19 yaitu dikeluarkannya Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 yang prinsipnya menjamin bahwa pekerja yang dikualifisir sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan pekerja yang menjadi suspek Covid-19 maka upah pekerja tersebut harus tetap dibayarkan oleh pengusaha dengan menunjukan surat keterangan dokter serta apabila perusahaan terdampak Covid-19. Akibat hukum pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya yaitu pengusaha wajib memenuhi segala hak-hak dari seorang pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja yaitu memberikan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Pengganti Hak sebagaimana diatur pada Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, uang-uang tersebut sudah seharusnya diterima oleh pekerja berdasarkan lamanya masa kerja pekerja tersebut.

Kata Kunci: Upah, Ketenagakerjaan, Kebijakan Pemerintah, Covid-19.

ABSTRACT

The purpose of this article is to find out government policies related to the protection of workers' wages in companies affected by Covid-19 in Indonesia and to find out the legal consequences of employers if they terminate their employment. This article uses a normative legal research method. The approach used in this study uses the Legislation approach and the concept approach. The government's policy regarding the protection of workers' wages at companies affected by Covid-19 in Indonesia, namely through the Ministry of Manpower of the Republic of Indonesia, initiated a policy during the Covid-19 pandemic, namely the issuance of Circular Letter Number M/3/HK.04/III/2020 which The principle guarantees that workers who are qualified as Persons Under Supervision (ODP) and workers who are suspected of Covid-19, the wages of these workers must still be paid by the employer by showing a doctor's certificate and if the company is affected by Covid-19. The legal consequences of an entrepreneur if he terminates his/her employment relationship, namely that the entrepreneur is obliged to fulfill all the rights of a worker affected by the termination of employment, namely providing severance pay, gratuity for tenure and

compensation as regulated in Article 81 number 44 of the Employment Creation Law. Article 156 paragraph (1) of the Manpower Law states that the money should have been received by the worker based on the length of the worker's working period.

Keywords: Wages, Employment, Government Policy, Covid-19.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan Menjadi makhluk sosial dan makhluk biologis pasti akan bertahan dengan segala cara. Pemenuhan kehidupan yang memenuhi kebutuhan dasar (seperti sandang, pangan, dan papan) adalah sesuatu yang harus dicapai manusia.1 Guna memenuhi segala kebutuhan hidup maka cara manusia mempertahankan hidupnya adalah melalui pekerjaan. Ada dua (dua) bentuk pekerjaan di dunia ini, yaitu bekerja sendiri, artinya orang memulai usaha sendiri dengan dana sendiri dan bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut, kemudian bekerja dengan orang lain yaitu bekerja mandiri, dan jadi bekerja sendiri. Orang bekerja dan bekerja sesuai perintah orang lain untuk mendapatkan gaji / upah.2

Mengenai ketenagakerjaan di Indonesia diatur melalui UU Ketenagakerjaan yang disahkan pada tahun 2003, yang kemudian berdasarkan BAB IV Tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang baru saja di Undangkan pada tahun 2020. Pada Pasal 80 Jo. Pasal 81 UU Cipta Kerja menerangkan bahwa UU Cipta Kerja hadir hanya memberikan beberapa perubahan kepada UU Ketenagakerjaan yang artinya UU Ketenagakerjaan masih berlaku di Indonesia. Pekerja menurut UU Ketenagakerjaan merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah. Menurut UU Ketenagakerjaan, Upah adalah hak pekerja dan harus dikumpulkan dalam bentuk uang sebagai kompensasi bagi pemberi kerja atas kinerja mereka.3 Artinya, menurut definisi tersebut, konsekuensi logisnya adalah pekerja wajib menerima upah dari pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 UU Ketenagakerjaan, yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kerja.

Upah menurut Pasal 1 angka 6 PP 35 Tahun 2021 Jo. Pasal 1 angka 1 PP 36 Tahun 2021 yang pada prinsipnya adalah hak yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditentukan berdasarkan perjanjian kerja maupun hal – hal lain yang ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. Pada konsepnya upah tersebut harus tercermin dari sebuah prinsip keadilan, yaitu pekerja harus menerima upah dari pemberi kerja, dan harus

seimbang sesuai dengan jenis pekerjaan dan risiko pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja.4

Dewasa kini, Indonesia dikagetkan dengan hadirnya virus corona yaitu pada bulan Maret 2020. Berdasarkan data survey yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang menhyatakan bahwa:

“Dari sisi pengusaha, pandemi Covid-19 menyebabkan terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. Hasil survei itu mencatat 39, 4 persen usaha terhenti, dan 57, 1 persen usaha mengalami penurunan produksi. Hanya 3, 5 persen yang tidak terdampak, Kemampuan bertahan oleh di kalangan dunia usaha juga mengalami keterbatasan. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan. Artinya pada bulan Agustus usaha mereka akan terhenti. Sebanyak 24% pengusaha mampu bertahan selama 3-6 bulan, 11% mampu bertahan selama 6-12 bulan ke depan, dan 24% mampu bertahan lebih dari 12 bulan.”5

Sebagaian pengusaha kehilangan sebagian penghasilanya yang berdampak pada kemampuan pengusaha untuk memberi gaji atau upah untuk para pekerjanya. Pengusaha dalam situasi seperti ini tidak bisa serta merta memberlakukan pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK) kepada pekerja atau karyawannya, layaknya dalam aturan yaitu Pasal 151 ayat(1) UU Ketenagakerjaan mengharuskan seorang pengusaha untuk mengupayakan untuk agar jangan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun kenyataanya dalam situasi yang tidak normal ini banyak pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja atas dasar situasi Covid-19 ini padahal 60 persen pengusaha masih bisa bertahan dalam situasi sepeti ini. Tindakan pengusaha demikian tidak mencerminkan apa yang diamanatkan UU Ketenagakerjaan yang dimana pengusaha wajib mengusahakan atau bekerja keras untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun, disisi lain pengusaha saat ini tidak dapat melakukan pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan penuh, karena pengusaha juga mengalami kerugian.

Mengatasi dilema seperti itu, pemerintah juga memiliki tanggungjawab sebagai pelaksana dan yang menjalankan roda pemerintahan haruslah melakukan langkah-langkah stategis yang adil dan solutif dengan mengeluarkan produk-produk kebijakan melalui kementerian terkait guna memberikan solusi dan jalan tengah bagi pengusaha dan pekerja terkait pengupahan ditengah pandemi Covid-19 ini, sehingga tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, agar apa yang dicita citakan oleh UU Ketenagakerjaan dapat dicapai dan juga dilain pihak juga memberikan rasa aman atas perlindungan hukum hak-hak pekerja di Indonesia saat ini.

Maka, berdasarkan isi pembahasan, kita dapat melihat bahwa ada beberapa hal yang layak dibahas dalam jurnal ilmiah ini, yaitu judulnya “KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERLINDUNGAN PENGUPAHAN PEKERJA PADA

PERUSAHAAN TERDAMPAK COVID-19Penulisan karya ilmiah ini merupakan karya asli dari pemikiran penulis, dan mengutamakan unsur pemutakhiran di dalamnya, artinya jurnal ilmiah tidak mengandung kegiatan ilegal yaitu pencurian. Meski pernah ada jurnal ilmiah serupa di masa lalu, jurnal ilmiah ini tentu saja novel, yakni persoalan upah pekerja di perusahaan yang terserang Covid-19 di Indonesia. Jurnal ilmiah sebelumnya mirip dengan jurnal ilmiah ini yaitu :

  • 1.    Tulisan ilmiah ini dibuat oleh Michele Agustine yang terbit pada Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana pada Volume 01, Nomor 01 Bulan Maret 2013. Judul tentang “Pemberlakuan Umk (Upah Minimum Kabupaten/Kota) Terhadap Kesejahteraan Pekerja/Buruh”, dengan permasalahan terkait “Keterlibatan Pekerja/Serikat Pekerja SebagaiKonsep yang Ideal dalam Penetapan Upah dan Pemberlakuan UMK Terhadap Kesejahteraan Pekerja/Buruh”.

  • 2.    Tulisan ilmiah ini dibuat oleh Ida Ayu Ririn Pradnyandari, Ida Ayu Sukihana dan A. A. Gede Agung Dharma Kusuma yang terbit pada Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana pada Volume 01, Nomor 11, Bulan November Tahun 2013. Judul tentang “Pembayaran Upah Pekerapada Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit”, yang mengangkat permasalahan tentang “kedudukan tenaga kerja pada perusahaan yang dinyatakan pailit dan pembayaran upah pekerapada perusahaan yang dinyatakan pailit”.

  • 3.    Tulisan ilmiah ini dibuat oleh Ni Putu Diah Anjeni Werdhi W dan I Wayan Novy Purwanto yang terbit pada Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana pada Volume 7, Nomor 4 pada Bulan Maret Tahun 2019. Judul jurnal ilmiah ini yaitu “Kedudukan Hak Pekerja Ketika Perusahaan Dinyatakan Pailit”, permasalahan yang dibahas mengenai “hak-hak bekerja yang di PHK akibat perusahaan yang mengalami pailit dan kedudukan hak pekerja ditinjau dari UU Ketenagakaerjaan dan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.

Didasarkan oleh kedua jurnal ilmiah yang lebih dahulu diterbitakn, membuktikan bahwa jurnal ini memiliki orisinalitas terhadap isina dan terdapat untur kebaharuannya, sehingga tidak ada satupun upaya penjiplakan dalam penulisan astikel ilmiah ini. Bahwa jurnal ilmiah ini berjudul “Kebijakan Pemerintah Terkait Perlindungan Pengupahan Pekerja Pada Perusahaan Terdampak Covid-19”, yang mengangkat permasalahan mengenai kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 di Indonesia dan akibat hukum pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya. Karena Covid-19 ini merupakan isu terkini yang tentu saja memiliki unsur pembaharuan dan memiliki sifat yang kekinian.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Setelah dilakukan penyisiran permasalahan dapat dirumuskan 2 (dua) pertanyaan yang merupakan permasalahan yang didasarkan oleh latar belakang yang terdapat dalam penulisan artikel ini dan telah dijabarkan diatas, antara lain:

  • 1.    Bagaimana kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 di Indonesia?

  • 2.    Apa akibat hukum pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ilmiah ini memiliki tujuan dan dibuat dengan memperhatikan pembaharuan hukum dengan berititik tolak yaitu secara umum untuk memahami kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 dan tujuan secara khususnya untuk mengetahui kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 di Indonesia dan untuk mengetahui akibat hukum pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian normatif merupakan penelitian yang bertolak pada penelitian atas norma hukum atau kaidah hukum itu sendiri, yang kemudian penelitian inilah yang menjadi dasar menjawab permasalahan pada penelitian ini.6 Pendekatan penelitian jurnal ini menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-undangan dan Pendekatan Konsep yang artinya pendekatan yang dilakukan dengan menelaah Undang-undang dan regulasi yang bersangkutan sesuai dengan permasalahan yang ada, yaitu mengenai kebijakan pemerintah terkait pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 yang kemudian didukung dengan teori, konsep maupun asas hukum yang umum di gunakan di berbagai dunia guna memecahkan permasalahan yanga ada.7 Beberapa teknik digunakan guna melakukan penelusuran bahan hukum yaitu dengan melakukan penelusuran dokumen atau peraturan yang ada, kemudian digunakan sistem pengkajian dengan analisa kualitatif.8

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Kebijakan Pemerintah Terkait Perlindungan Pengupahan Pekerja Pada Perusahaan Terdampak Covid-19 Di Indonesia

Indonesia dikejutkan dengan muncunya kasus pertama corona atau disebut dengan Covid-19 pada bulan Maret tahun 2020 yang kondisinya pada bulan tersebut hamper menginfeksi seluruh belahan dunia. Negara china, tepatnya dikota Wuhan pertama kali virus ini menyebar tepatnya pada bulan Desember tahun 2019 dan mulai saat itu virus tersebut terus menerus menyebar secara cepat ke seluruh belahan dunia. Kasus positif seseorang terjangkit virus ini di seluruh dunia saat ini pada posisi

2.601.774 jiwa, dengan total kematian akibat virus corona sudah menyentuh angka 183.803 jiwa, kemudian jumlah pasien yang masih bertahan dan mempunyai harapan sembuh saat ini tercatat pada posisi 674.413 jiwa. Kemudian untuk Negara Indonesia sendiri tercatat 6.760 pasien terjangkit virus corona terhitung pada tanggal 20 April tahun 2020.9 Beberapa kebijakan diberlakukan untuk menyelesaikan dan menyesuaikan dengan kasus Covid-19 di Indonesia seiring dengan bertambah pesatnya jumlah pasien positif virus tersebut di Indonesia, salah satunya dengan menlakukan penyebarluasan gerakan masyarakat sehat dengan Social Distancing / menjaga jarak aman dan hinbauan bagi masyarakat untuk #dirumahaja. Kurangnya daya beli masyarkat mengakibatkan banyak perusahaan kehilangan sebagian penghasilan ataupun ada yang kehilangan seluruh penghasilan, yang berakibat dengan maraknya nya penurunan gaji ataupun pemutusan hubungan kerja daripada pagawai pada perusahaan terdampak.

Covid-19 berdampak pada sektor ketenagakerjaan, segala sesuatu yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, baik itu waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.10 Menurut data survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dari perspektif pekerja, pengusaha, dan pelaku usaha mandiri, dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia kerja di Indonesia, selanjutnya Humas LIPI memberikan data sebagai berikut:

“Dari sisi pekerja, terjadinya gelombang PHK tenaga kerja dan penurunan pendapatan sebagai akibat terganggunya kegiatan usaha pada sebagian besar sektor. Sebanyak 15,6% pekerja mengalami PHK dan 40% pekerja mengalami penurunan pendapatan, diantaranya sebanyak 7% pendapatan buruh turun sampai 50%. Sedangkan dari sisi pengusaha, pandemi Covid-19 menyebabkan terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. Hasil survei mencatat 39,4 persen usaha terhenti, dan 57,1 persen usaha mengalami penurunan produksi. Hanya 3,5 persen yang tidak terdampak, Kemampuan bertahan oleh di kalangan dunia usaha juga mengalami keterbatasan. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan. Artinya pada bulan Agustus usaha mereka akan terhenti. Sebanyak 24% pengusaha mampu bertahan selama 3-6 bulan, 11% mampu bertahan selama 612 bulan ke depan, dan 24% mampu bertahan lebih dari 12 bulan”.11

Pengusaha dalam situasi seperti ini tidak bisa serta merta memberlakukan PHK kepada pekerja atau karyawannya, layaknya diatur dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengharuskan seorang pengusaha untuk mengupayakan untuk agar

jangan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun kenyataanya dalam situasi yang tidak normal ini banyak pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja atas dasar situasi Covid-19 ini padahal 60 persen pengusaha masih bisa bertahan dalam situasi sepeti ini. Tindakan pengusaha demikian tidak mencerminkan yang diamanatkan UU Ketenagakerjaan yang dimana pengusaha wajib mengusahakan atau bekerja keras untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun, disisi lain pengusaha saat ini tidak dapat melakukan pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan penuh, karena pengusaha juga mengalami kerugian.

Sehingga pemerintah sebagai pemangku kepentingan pada saat kondisi pandemi ini, tidak bisa hanya mengandalkan UU Ketenagakerjaan yang sanagat bersifat abstrak dan umum, namun harus memberikan tindakan nyata dan kongkrit agar tidak terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, dan pengupahan terhadap pekerja disaat pandemi ini dapat terpenuhi dan tetap mempertimbangkan kondisi pengusaha yang sangat merugi karena efek pandemi ini. Pemerintah harus mampu menempatkan diri ditengah-tengah didalam situasi yang tidak normal ini, guna mengakomodir semua kepentingan antara pekerja dan pengusaha, karena sehingga pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mencetuskan suatu kebijakan pada masa pandemi Covid-19 yaitu Surat Edaran No: M/3/HK.04/III/2020 yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia yang membahas tentang Pelindungan Pekerja Dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Covid-19 (selanjutnya disebut SE :M/3/HK.04/III/2020 ).

SE: M/3/HK.04/III/2020 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2020 ini ditujukan kepada Gubernur pada masing-masing daerah Provinsi guna menjamin dan melaksanakan agar pengupakan terhadap pekerja terlindungi pada masa pandemi covid – 19 ini dengan ketentuan sebagai berikut:

  • 1.    “Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 (empat belas) hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.

  • 2.    Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek Covid-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.

  • 3.    Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit Covid-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.

  • 4.    Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”

Gubernur memiliki kewajiban untuk meneruskan pengaturan terkait hal tersebut kepada Bupati/Wali Kota diwilayah Provinsi tersebut untuk melaksanakan dengan baik dan dengan keyakinan penuh akan aturan tersebut. Karena pekerja dan pengusaha harus diakomodir secara adil guna mewujudkan kelangsungan usaha ditengah pandemi Covid-19. Ini merupakan kebijakan yang mengedepankan suatu perlindungan hukum preventif maupun represif. Dikatakan perlindungan hukum preventif karena mampu mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha dan dikatakan represif karena kebijakan ini menyelesaiakan atau sebuah

solusi antara pekerja dan pengusaha dalam hal pengupahan dalam kondisi pandemi Covid-19 ini.12

SE :M/3/HK.04/III/2020 menjamin bahwa untuk seorang pekerja yang dimasukan dalam kategori sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan pekerja yang menjadi suspek Covid-19 yang kesemuanya mengakibat pekerja itu harus dikarantina maupun diisolasi yang mengakibatkan pekerja tidak dapat menjalankan kewajibanya untuk melakukan pekerjaan pada perusahaan, maka upah pekerja tersebut harus tetap dibayarkan oleh pengusaha dengan menunjukan surat keterangan dokter yang pada intinya menerangkan kondisi pekerja tersebut sebagai ODP ataupun suspek Covid-19. Hal ini menjamin hak-hak pekerja untuk mendapatkan upahnya ditengah pandemi ini, namun tetap harus melampirkan surat keterangan dokter yang merawat pekerja tersebut. Pada bagian ini pemerintah mengakomodir kepentingan pekerja. Karena upah memiliki peran sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup oleh pekerja.13

SE :M/3/HK.04/III/2020 juga pada sisi lain mengakomodir kepentingan dan hak-hak pengusaha pada masa pandemi Covid-19 ini, pada poin ke -4 Surat Edaran tersebut “Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.” Poin ke-4 ini menjadi penengah antara kepantingan pengusaha yang telah merugi atau berkurang penghasilanya pada situasi ini bahwa kepentingan pengusaha yang merugi ini juga perlu di akomodir oleh pemerintah. Karena pekerja pada masa pandemic menjadi pekerja paruh waktu maka dapat dibijaksanai dengan menggunakan Pasal 15 PP 36 Tahun 2021 yang merupakan peraturan pelaksana daripada UU Cipta Kerja bahwa pekerja dadapat diberikan upah dalam satuan jam. Sehingga adil untuk semua pihak, yaitu pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja.

Untuk menghindari Pemutusan Hubungan Kerja, pembayaran upah kepada pekerja yang tidak bekerja sementara atau dirumahkan secara sementara dengan alasan Covid-19 ini terdapat cara atau alternative yang dapat dilakukan oleh pengusaha untuk mengatasi dan mengakali Pemutusan hubungan kerja yaitu dengan mengadakan kesepakatan para pihak dengan jalan melakukan perundingan terlebih dahulu, sehingga pengusaha tidak bisa sewenang-wenang menurunkan atau merubah upah pekerja ataupun memberikan upah bagi perkerja dalam satuan jam.

Jadi dengan dikeluarkanya SE :M/3/HK.04/III/2020 pemerintah memiliki cita-cita bahwa terjalin komunikasi yang baik antara pekerja dengan pengusaha dengan mengedepankan kepentingan bersama demi keberlangsungan usahanya, untuk tetap menjadi sumber kehidupan bagi pekerja maupun pengusaha, karena sejatinya hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak dapat dipisahkan satu – sama lain, karena hubungan pekerja dan pengusaha harus seiring sejalan, sehingga dengan melaksanakan Surat Edaran tersebut, Gubernur, Bupati/ Walikota dapat menekan

angka Pemutusan Hubungan Kerja dan bangkrutnya suatu usaha di tengah pandemi Covid-19.

  • 3.2    Akibat Hukum Pengusaha Jika Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerjanya

Dikeluarkanya SE M/3/HK.04/III/2020 oleh pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia ini, memang bertujuan untuk mengurangi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengusaha kepada pekerjanya pada masa pandemi Covid-19 ini. Namun apabila segala upaya telah dilakukan oleh pengusaha sebagaimana Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan sebagaimana diatur pada SE M/3/HK.04/III/2020 dan pemutusan hubungan kerja itu tidak dapat dihindarkan. Pengusaha tetap harus memenuhi segala kewajibannya atas hak-hak yang diterima pekerja apabila mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai bentuk akibat hukum daripada pemutusan hubungan kerja tersebut.

Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan hal – hal yang berkenaan dengan hak-hak apa saja yang didapat setelah pekerja setelah diputus hubungan kerjanya, yang kemudian dimana pemenuhan hak-hak pekerja tersebut menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan pengusaha. Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur, “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Jadi dapat dianalisa bahwa hak-hak pekerja yang didapat setelah mengalami pemutusan hubungan kerja yaitu:

  • 1.    “Uang Pesangon;

  • 2.    Uang Penghargaan Masa Kerja; dan

  • 3.    Uang Pengganti Hak yang seharusnya diterima.”

Terkait dengan hal – hal di atas berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja uang pesangon merupakan hak pekerja yang paling dasar jika terjadinya pemecatan oleh pengusaha, pesangon merupakan uang yang diberikan pengusaha kepada pekerja yang dipecar atau putus hubungan kerja yang dimaksudkan agar pekerja setelah dipecat dapat bertahan hidup hingga pekerja tersebut mendapatkan pekerjaan yang baru.14

Adapun pengaturan besaran pesangon yang diatur dalam Pasal 156ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya mengatur besaran pesangon yang diberikan pengusaha kepada pekerjanya yaitu paling sedikit harus memenuhi perhitungan di bawah ini:

  • a.    “masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

  • b.    masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

  • c.    masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

  • d.    masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

  • e.    masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

  • f.    masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

  • g.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

  • h.    masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

  • i.    masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.”

Begitu juga dengan uang masa kerja yang ditentukan sedmikian rupa pada Pasal 81 angka 44 mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, besaranya dihitung berdasarkan:

  • a.    “masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

  • b.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

  • c.    masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

  • d.    masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

  • e.    masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

  • f.    f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

  • g.    masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

  • h.    masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.”

Terakhir, mengenai Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

  • a.    cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

  • b.    biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja

  • c.    Hal-haI lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Demikian rincian daripada besaran uang penghargaan masa kerja, uang pesangon, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang di dapat oleh pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja besaran itu menurut Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja Merubah Pasal 157 UU Ketenagakerjaan di komponen upah yang digunakan adalah upah pokok dan tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/ buruh dan keluarganya, jadi masa kerja pekerja tersebut memberikan pengaruh terhadap besaran pesangon yang diberikan kepada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan hal tersebut menjadi kewajiban hukum bagi pengusaha sebagai akibat hukum melakukan pemutusan hubungan kerja.

  • IV. Kesimpulan

Kebijakan pemerintah terkait perlindungan pengupahan pekerja pada perusahaan terdampak Covid-19 di Indonesia yaitu melalui Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mencetuskan suatu kebijakan saat berlangsung pada masa-masa pandemi Covid-19 yaitu dikeluarkannya Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 yang prinsipnya adalah menentukan bahwa menjamin bahwa pekerja yang dikualifisir sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan pekerja yang menjadi suspek Covid-19 maka upah pekerja tersebut harus tetap dibayarkan oleh pengusaha dengan menunjukan surat keterangan dokter serta apabila perusahaan terdampak Covid-19 dan pendapatanya berkurang maka untuk menghindari pemutusan hubungan kerja pengusaha dapat merubah besaran upah pekerjanya melalui kesepakan antara pengusaha dengan pekerja guna mempertahankan kelangsungan usaha. Akibat hukum pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya yaitu pengusaha wajib memenuhi segala hak-hak dari seorang pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja yaitu memberikan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Pengganti Hak sebagaimana diatur pada Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, uang-uang tersebut sudah seharusnya diterima oleh pekerja berdasarkan lamanya masa kerja pekerja tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Iftar, Pembayaran Pesangon Bagi Pekerja Yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Jamsostek, (Depok, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011)

Asikin, Zainal, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993)

Asri Wijayanti. Hukum Ketenagakerjaan Pascareformasi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2016)

Jurnal Ilmiah

Arthayani, I Dewa Ayu Sri. “Pengenaan Sanksi Denda Terhadap Pengusaha Akibat Dari Keterlambatan Pembayaran Upah Kepada Para Pekerja.” Jurnal Acta Comitas Jurnal Kenotariatan. Vol. 04. No. 01. (2019). 159

Endrawati, Netty. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Sektor Informal. Jurnal Dinamika Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Vol. 12. No. 02. (2012). 275

Jayadinata, I Nyoman Rekya Adi. et. al. “Urgensi Kecakapan Dalam Perjanjain Jual Beli Secara Online”, Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 8, No. 7 (2020): 972-973

Noor, Faiz. “Korelasi Pengaturan Upah Dengan Investasi Di Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana. Vol. 06. No. 03 (2017). 292

Permana, I Putu Yogi Indra, et.al. “Implementasi Undang-Undangnomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Terkait Pendaftaran Peserta Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Di Kabupaten Gianyar.” Jurnal Kerta Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana. Vol. 05. No. 02 (2017). 5

Pratama, Alvyn Chaisar Perwira Nanggala. et.al. “Kedudukan Mediasi Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pekerja Outsourcing Di Indonesia”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 8, No. 30 (2020): 35

Sukarta, I Wayan. “Kedudukan Dan Hak Bank Terhadap Hak Preferen Upah Buruh Dalam Kepailitan.” Jurnal Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 03. No. 06. (2017). 307

Wirasningrum, Ketut Yulia. “Konstruksi Hukum Tentang Kewajiban Perusahaan Daerah Bali Mempekerjakan Penyandang Disabilitas.” Jurnal Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol.04. No. 02 (2019). 180

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39)

Surat Edaran No: M/3/HK.04/III/2020 yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia yang membahas tentang Pelindungan Pekerja Dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Covid-19

Sumber Internet

Humas LIPI, 2020, Survei Dampak Darurat Virus Corona Terhadap Tenaga Kerja di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, html: http://lipi.go.id/siaranpress/survei-dampak-darurat-virus-corona-terhadap--tenaga-kerja-indonesia/22030, diakses pada tanggal 2 Juli 2020, pada Pukul 21.00

Syeikha Nabilla Setiawan dan Nunung Nurwati, 2020, Dampak Covid-19 Terhadap Tenaga           Kerja           di           Indonesia,           html:

https://www.researchgate.net/publication/340925534_Dampak_COVI D-19_terhadap_Tenaga_Kerja_di_Indonesia , diakses pada 2 Juli 2020, Pukul 20.51

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 8 Tahun 2021, hlm.611-622

622