PENGATURAN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG

MERANGKAP JABATAN SEBAGAI KOMISARIS BADAN USAHA MILIK NEGARA

Ida Ayu Intan Pramesti Dewi Pidada, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ilmiah ini bertujuan yaitu untuk mengetahui pengaturan tentang PNS yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan mengenai PNS yang melakukan rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN didasari dengan diundangkannya Peraturan Menteri BUMN yang memperbolehkan Pejabat PNS merangkap sebagai komisaris BUMN. Konflik norma antara Peraturan Menteri BUMN dengan UU BUMN dan UU Kebijakan Publik ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum didalamnya mengenai boleh atau tidaknya PNS menjabat sebagai Komisaris BUMN. Konflik norma ini dapat diselesaikan dengan menggunakan teori lex superior derogate legi prori, yang pada prinsipnya UU BUMN dan UU Kebijakan Publik lah yang berlaku karena lebih tinggi hirarkinya daripada peraturan menteri. Kedudukan Rangkap Jabatan Pejabat Publik Dalam Penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik bahwa Rangkap jabatan memaksa seorang pejabat untuk mengurus dan bertanggungjawab atas dua wewenang yang berbeda yang artinya ada waktu yang dipangkas dari penyelenggaraan kepentingan umum untuk memikirkan dan mengurus entitas privat atau BUMN tersebut, sehingga dkewenangan tersebut dapat memecah konsentrasi dan profesionalisme dalam penyelenggaraan kepentingan umum dan pelayanan publik. Oleh karena itu, praktik rangkap jabatan menurut penulis akan bertentangan dengan penerapan asas penyelenggaraan kepentingan umum dalam AAUPB.

Kata Kunci : Rangkap Jabatan, Badan Usaha Milik Negara, Pegawai Negeri Sipil

ABSTRACT

This scientific article aims to find out the regulations regarding civil servants who concurrently serve as commissioners of BUMN. The research method used is normative legal research and uses a statutory approach. The research results show that the regulation regarding civil servants who carry out concurrent positions as BUMN commissioners is based on the enactment of the BUMN Ministerial Regulation which allows PNS Officials to concurrently be BUMN commissioners. The conflict of norms between the BUMN Minister Regulation and the BUMN Law and the Public Policy Law has resulted in the absence of legal certainty in it regarding whether or not civil servants can serve as BUMN Commissioners. This conflict of norms can be resolved using the lex superior derogate legi prori theory, which in principle applies to the BUMN Law and the Public Policy Law because it is higher than the ministerial regulations. Dual Positions of Public Officials in the Application of General Principles of Good Governance that concurrent positions force an official to manage and be responsible for two different powers, which means that time is cut from the implementation of the public interest to think about and manage the private entity or BUMN, so that Such authority can break the concentration and professionalism in the administration of public interests and public services. Therefore, the practice of concurrent positions according to the author will conflict with the implementation of the principle of administering the public interest in AAUPB

Keywords: Multiple Positions, State-owned enterprises, Civil Servants

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Menjadi suatu alat pemerintah atau bisa disebut juga aparatur pemerintah, Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS) mempunyai kedudukan sentral dalam melaksanakan komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama secara nasional. Komponen tersebut menjadi satu di dalam bentuk pembagian tugas, fungsi dan kewajiban PNS. Melalui dengan adanya transformasi terhadap paradigma pelayanan publik maka secara langsung pula akan merubah UU Ketenagakerjaan, dan menyesuaikan pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajiban PNS, termasuk penyesuaian struktural birokrasi pemerintahan, sistem dan tatanan kepegawaian.1

Kedudukan PNS dalam penyelenggaraan dan dalam melaksanakan penata kelolaan pemerintahan yang baik (good governance) sangatlah penting, yang membentuk PNS sebagai peserta penting dalam pencapaian tujuan kesejahteraan sosial.2 Sehingga profesionalitas dan tidak berpihak menjadi kunci daripada PNS dalam menjalankan tugas serta kewajibanya, salah satunya mengenai hal rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.

Meski fenomena PNS yang bekerja rangkap jabatan sebagai Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) yang sudah lama menjadi perhatian masyarakat dan masih marak terjadi. Selain itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) membuka pula hasil dari identifikasi penelitian terkait adanya rangkap jabatan. Berdasarkan data ORI tersebut yang terjadi pada tahun 2017 dari 144 unit satuan kerja di tingkat nasional yang terpantau, dari total 541 komisaris BUMN/BUMD dapat diidentifikasi terdapat 222 komisaris yang melakukan rangkap jabatan sekaligus menjadi pelaku pelaksana pelayanan publik.3 Dasar kebijakan ini diambil karena terdapat peraturan yang mengijinkan seorang Pejabat PNS melakukan rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN yaitu Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN (selanjutnya disebut Peraturan Menteri BUMN). Dalam Peraturan Menteri BUMN inilah yang menyatakan bahwa “Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas BUMN dapat berasal dari Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional Pemerintah”.

Namun, kebijakan tersebut akan bertentangan dengan Pasal 17 huruf (a) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik), disebutkan bahwa “pelaksana pemerintahan dilarang merangkap sebagai Komisaris/Pengurus Organisasi usaha bagi pelaksana yang dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD”. Peraturan Menteri BUMN dan UU Kebijakan Publik memandang boleh atau tidaknya PNS merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN ini mengalami konflik norma yang menyebabkan hilangnya suatu kepastian hukum dalam PNS bersikap maupun lembaga penindak dalam menyikapi permasalahan diatas.

Sehingga berdasarkan konflik norma antara Peraturan Menteri BUMN dan UU Kebijakan Publik sehingga relevan untuk dibuat jurnal ilmiah dengan judul “HARMONISASI PENGATURAN PNS YANG MERANGKAP JABATAN SEBAGAI KOMISARIS BUMN”

Peneliti membuat Jurnal ini sangat mengedepankan unsur orisinalitas dan unsur kebaharuan, jurnal ini dibuat dengan pemikiran sendiri dan orisinil tanpa memiliki maksud untuk melakukan suatu tindakan plagiat. Walaupun dalam pembuatan jurnal ini terdapat jurnal – jurnal terdahulu yang menyerupai daripada jurnal ini, namun jurnal ini memiliki pembaharuan didalamnya. Sehingga untuk membuktikan itu semua dilakukan perbandingan dengan 2 (dua) jurnal terdahulu yang ada kaitanya dengan seorang PNS yang merangkap sebagai pejabat BUMN, antara lain:

  • 1.    Jurnal yang dibuat oleh Martchella Setiawan dan I Nyoman Suyatna, terbit pada Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul “Pengaturan Aparatur Sipil Negara Eselon I Yang Merangkap Jabatan Sebagai Komisaris di BUMN”, dengan mengangkat permasalahan tentang Bagaimana pengaturan Eselon I Aparatur Sipil Negara yang juga menjabat sebagai Komisaris BUMN? Apa makna hukum bagi Eselon I Aparatur Sipil Negara yang juga menjabat sebagai Komisaris BUMN ?.4

  • 2.    Jurnal yang dibuat oleh Nisa Agistiani Rachman dan Antonius Galih Prasetyo, terbit pada Jurnal Mercubuana Universitas Mercu Buana Jakarta dengan judul “Rangkap Jabatan ASN Dan Komisaris Bumn: Perspektif Konflik Kepentingan”, dengan permasalahan yang dibahas yaitu mengenai bagaimana Rangkap Jabatan Asn Dan Komisaris Bumn: Perspektif Konflik Kepentingan?.5 Berdasarkan 2 (dua) jurnal yang digunakan sebagai pembanding dapat dibuktikan bahwa terdapat suatu perbedaan antara jurnal ini dengan jurnal yang sudah ada sebelumnya. Jurnal ini berjudul Harmonisasi Pengaturan PNS Yang Merangkap Jabatan Sebagai Komisaris BUMN dengan permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana pengaturan PNS yang melakukan rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN ? Dan bagaimana kedudukan rangkap jabatan pejabat publik dalam penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik?. Permasalahan yang dibahas mengandung unsur pembaharuan untuk dunia hukum pada umumnya dan hukum administrasi negara pada khususnya.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dapat dirumuskan suatu permasalahan yang didasarkan dari latar belakang yaitu mengenai:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan PNS yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN?

  • 2.    Bagaimana kedudukan PNS yang merangkap jabatan pejabatan sebagai komisaris BUMN ditinjau dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Jurnal ilmiah ini memiliki tujuan secara umum dan khusus. Tujuan umum yaitu untuk memehami pengaturan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan rangkap jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara. Tujuan Khususnya yaitu untuk mengetahui pengaturan PNS yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN dan mengkaji kedudukan PNS yang merangkap jabatan pejabatan sebagai komisaris BUMN ditinjau dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang digunakan oleh manusia sebagai upaya untuk memperkuat, membina serta mengemban ilmu pengetahuan.6 Jenis penelitian yang digunakan pada penulisan artikel ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum dengan menelaah segala undang-undang dan aturan yang terkait dengan permasalahan hukum yang ada.7 Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) atau disebut pula regulasi terkait.8 Penulisan artikel ilmiah ini menggunakan peraturan perundang – undangan terkait yaitu: Peraturan Menteri BUMN dan UU Kebijakan Publik sebagai sumber bahan hukum primer dan menggunakan artikel-artikel terkait sebagai sumber bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan artikel ini yaitu dengan studi dokumen atau studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Setelah dikumpulkan bahan – bahan hukum tersebut di analisis dengan teknik deskriptif yang pemaparan atas subyek dan obyek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Pegawai Negeri Sipil Yang Merangkap Jabatan Sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Negara

Guna untuk meningkatkan daya saing BUMN dalam menjalani suatu persaingan usaha yang semakin berat serta semakin ketat, terkhusus di dalam era globalisasi seperti sekarang ini, dalam pengelolaan BUMN khususnya dalam pengelolaan sumber daya harus memiliki kehandalan, profesionalisme, integritas, dan dedikasi dan sumber daya manusia yang kompeten. Yang menduduki jabatan di organisasi BUMN termasuk Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN. Dewan Komisaris/Dewan Pengawas menjadi satu dari banyak lembaga milik negara memiliki tugas untuk melakukan pengawasan atas pengelolaan di suatu perusahaan kepada direksi dan untuk memberikan masukan serta kritikan kepada direksi itu sendiri. Sumber daya manusia yang kompeten sangat dibutuhkan sebagai pihak yang mengawasi pengelolaan perusahaan dan memberikan rekomendasi kepada direksi.

Meski fenomena PNS yang bekerja rangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN yang sudah lama menjadi perhatian masyarakat dan masih marak terjadi. Selain itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) membuka pula hasil dari penelusuran terkait dengan adanya rangkap jabatan. Berdasarkan data ORI tersebut yang terjadi pada tahun 2017 dari 144 unit satuan kerja di tingkat nasional yang terpantau, dari total 541 komisaris BUMN/BUMD dapat diidentifikasi terdapat 222 komisaris yang melakukan rangkap jabatan sekaligus menjadi pelaku pelaksana pelayanan publik.9 Dasar kebijakan ini diambil karena yang mengijinkan seorang Pejabat PNS melakukan rangkap jabatan sekaligus menjadi komisaris BUMN adalah Peraturan Menteri BUMN.

Peraturan Menteri BUMN tersebut menjelaskan bahwa “Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dapat berasal dari pejabat struktural dan pejabat fungsional pemerintah”. Banyak pihak yang tidak mempermasalahkan adanya rangkap jabatan pejabat pemerintah Karena berbagai pertimbangan, ia menduduki posisi komisaris BUMN. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga yang berkompoten di Indonesia yang pelayanan publik (public service obligation), Oleh karena itu, perwakilan pemerintah dituntut untuk menjaga kepentingan dan kebijakan pemerintah BUMN. Selain itu, tujuan kehadiran perwakilan pemerintah tersebut adalah untuk melihat bahwa apakah tanggung jawab social dari perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) sudah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah.

Namun, adanya Peraturan Menteri BUMN disebutkan dalam Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara / PKSANHAN (2017) perlu mempertimbangkan agar pejabat pemerintah menjadi komisaris BUMN, karena minimal saham yang dimiliki oleh pemerintah adalah 51%, berupa modal negara yang ikut serta dalam kewajiban tersebut, maka timbul ketidaksinkronan dalam bentuk muatan yang saling bertentangan dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan rangkap jabatan, sehingga alasan untuk mengacu kepada aturan hukum nampaknya tidak dapat dilakukan karena kenyataannya antara peraturan-peraturan tersebut bertentangan. Dari hasil penelitian setidak-tidaknya ada dua undang-undang yang menyebutkan secara eksplisit mengenai larangan rangkap jabatan pejabat publik sebagai komisaris BUMN, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN) dan UU Pelayanan Publik. Ketentuan mengenai larangan tersebut berbunyi sebagai berikut:

  • 1.    Pasal 33 UU BUMN menyebutkan bahwa:

“Anggota komisaris BUMN dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

  • a)    anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau

  • b)    jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Berdasarkan Pasal 33 UU BUMN dalam penjelasannya menjelaskan bahwa Tujuan larangan rangkap jabatan adalah agar komisaris benar-benar mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya, dan / atau menaruh perhatian penuh pada tanggung jawab, kewajiban, dan realisasi tujuan Persero, serta menghindari benturan kepentingan.

  • 2.    Pasal 17 huruf a UU Kebijakan Publik menyebutkan bahwa :

“Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.” Pelaksana dalam hal ini menurut UU Pelayanan Publik adalah seorang petugas, seorang pegawai, ataupun seorang pejabat, dan semua orang yang bertanggung jawab untuk melakukan satu atau serangkaian kegiatan pelayanan publik dalam suatu organisasi penyelenggara.

Ketidak sinkronan atau dapat disebut konflik norma antara Peraturan Menteri BUMN dengan UU BUMN dan UU Kebijakan Publik ini dapat menimbulkan konflik norma yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum didalamnya mengenai boleh atau tidaknya PNS menjabat sebagai Komisaris BUMN. Konflik norma ini dapat diselesaikan dengan menggunakan teori preferensi hukum yaitu dengan menggunakan asas lex superior derogate legi inferiori.

Asas lex superior derogate legi inferiori ini bermakna bahwa peraturan yang berkedudukan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang hierarki nya lebih rendah. Mengenai permasalahan di atas berarti Peraturan Menteri BUMN yang posisi hierarkinya berdasarkan Undang –Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan (UU Perundang – Undangan) berada dibawah Undang – Undang, sehingga Peraturan Menteri itu seyogyanya jangan bertentangan terhadap suatu Undang-Undang. Hal itu memiliki arti bahwa isi dari Peraturan Menteri BUMN tidak boleh memiliki konflik atau bertentangan dengan UU BUMN dan UU Kebijakan Publik, jadi mengenai permasalahan harmonisasi Pengaturan PNS Yang Merangkap Jabatan Sebagai Komisaris BUMN berdasarkan asas lex superior derogate legi inferiori yang digunakan adalah UU BUMN dan UU Kebijakan Publik, yang Pada prinsipnya PNS dan pejabat instansi pemerintah dilarang menjabat sebagai komisaris BUMN sebagai penyelenggara pelayanan publik.

  • 3.2    Kedudukan PNS Yang Merangkap Jabatan Pejabatan Sebagai Komisaris BUMN

    Ditinjau Dari Perspektif Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Selanjutnya, pengaturan rangkap jabatan dalam undang-undang diatas disebutkan bahwa konflik atau benturan kepentingan merupakan salah satu alasan kenapa rangkap jabatan publik sebagai komisaris BUMN dilarang. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan konflik kepentingan, konflik kepentingan tidak hanya sekedar sebuah definisi namun lebih kearah sebuah teori. Adapun teori-teori konflik kepentingan dapat diuraikan sebagai berikut:10

  • 1.    “Menurut Nikolov, konflik kepentingan muncul ketika kepentingan dari seseorang tidaklah sama dengan kepentingan dari orang lain atau organisasi dimana orang tersebut berhutang kesetiaan.

  • 2.    Menurut Ethics Unwrapped, konflik kepentingan juga dapat muncul ketika seseorang harus merespons kepentingan dari dua individu, kelompok, atau organisasi yang bertentangan satu sama lain. Jika hanya kepentingan salah satu pihak yang diakomodasi, maka kepentingan pihak yang lain tercederai.

  • 3.    Thomson, merumuskan konflik kepentingan sebagai kewajiban atau pengaruh yang bertentangan ketika suatu individu terlibat dalam suatu hubungan atau aktivitas. Konflik kepentingan bisa jadi muncul sebagai hasil dari motivasi jahat namun lebih sering timbul sebagai efek dari fitur-fitur struktural sebuah hubungan atau praktek.”

Seorang pejabat publik yang memiliki jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN diharuskan memiliki standar loyalitas, motivasi, dan kewajiban yang berbeda terhadap dua entitas tersebut. Pejabat tersebut harus memiliki peran ganda, sehingga fokus dan waktu kerjanya harus setengah-setengah dan dibagi, sebagai pejabat publik di satu sisi dan sebagai komisaris BUMN di sisi yang lain. Sesuai dengan teori konflik kepentingan, dimana konflik akan timbul jika seseorang memiliki kewajiban atau pengaruh yang bertentangan kepada dua entitas atau organisasi yang berbeda sementara orang tersebut sebagai pejabat dan sebagai komisaris harus merespon kepentingan dari kedua entitas tersebut.

Instansi pemerintah yang diisi oleh para pegawai ASN merupakan badan hukum publik dan berorientasi kepada kepentingan publik, sedangkan BUMN sebagai badan hukum privat atau perdata, sehingga jabatan komisaris BUMN sendiri memiliki orientasi privat yang kuat karena bekerja pada sebuah entitas yang wajib mencari untung/benefit. BUMN sebagai badan hukum privat sesuai dengan pandangan Prof. Arifin yang telah diuraikan sebelumnya. Instansi pemerintah sebagai badan hukum publik akan seringkali beririsan dengan pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas sektor privat, sehingga pada sisi inilah konflik atau benturan kepentingan dikhawatirkan akan seringkali terjadi. Selain berpotensi untuk menimbulkan konflik kepentingan, praktik rangkap jabatan juga dikhawatirkan akan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).

Ichsan Syuhudi menyebutkan bahwa “AAUPB berkembang menjadi wacana yang dijadikan kajian para sarjana dan ini menunjukkan bahwa AAUPB merupakan konsep terbuka (open begrip). Sebagai konsep terbuka, maka akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada. Atas dasar ini tidaklah mengherankan jika secara kontemplatif maupun aplikatif AAUPB ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya.”11

AAUPB menurut Word Bank adalah sebagai “the way state is used in managing economic and social resources for development and society”. Sementara United Nation Development Program mendefinisikannya sebagai “the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”.12 Kemudian, Pada jurnal milik Solechan dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, berdasarkan pemikiran para pakar tentang AAUPB, maka dapat ditarik suatu pengertian AAUPB yang komprehensif dengan menarik unsur-unsur yang membentuk pengertian tentang, yaitu :13

  • 1.    AAUPB merupakan nilai nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi Negara.

  • 2.    AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi Pejabat Administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat.

  • 3.    Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat.

  • 4.    Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Sebagian asas telah berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.

Menurut Crince le Roy suatu konsepsi dari AAUUPB itu yang meliputi:14

  • 1.    asas kepastian hukum,

  • 2.    asas keseimbangan,

  • 3.    asas bertindak cermat,

  • 4.    asas motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintah,

  • 5.    asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan,

  • 6.    asas kesamaan dalam pengambilan keputusan,

  • 7.    asas permainan yang layak,

  • 8.    asas keadilan atau kewajaran,

  • 9.    asas menanggapi pengharapan yang wajar,

  • 10.    asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal, dan

  • 11.    asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi.

Koentjoro kemudian memberikan ada dua penambahan asas lagi, antara lain yakni: asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. AAUPB sebagai asas hukum digunakan sebagai rambu-rambu untuk memandu tindakan-tindakan pemerintah agar setiap tindakan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan tetap dalam bingkai hukum. Kaitannya dengan praktik rangkap jabatan dengan AAUPB yaitu rangkap jabatan seperti yang disampaikan sebelumnya memiliki konsekuensi berperan ganda, memiliki wewenang yang berbeda dan terkadang dapat terkait, dan berpotensi timbulnya konflik kepentingan dari dua kewenangan tersebut, sehingga ketika konflik kepentingan terjadi maka tindakan pemerintah tersebut akan tidak selaras atau bertentangan dengan AAUPB.

Berdasarkan uraian AAUPB tersebut bahwa penerapan atau praktik rangkap jabatan memungkinkan untuk tidak selaras atau bertentangan dengan asas tidak mencampur adukkan kewenangan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. Pertama, Prinsip tidak mengaburkan kewenangan tersebut mensyaratkan bahwa penyelenggara negara tidak boleh menggunakan kewenangannya untuk tujuan selain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau menggunakan kewenangan di luar batas.15 Beberapa undang-undang telah mengatur mengenai larangan rangkap jabatan karena berpotensi terjadinya konflik kepentingan, dengan potensi timbulnya konflik kepentingan terhadap kewenangan dalam dua entitas berbeda tersebut maka mempertahankan asas ini akan sulit dilaksanakan bagi pejabat yang memiliki dua kewenangan publik dan privat tersebut, sehingga atas dasar pertimbangan tersebut rangkap jabatan mempersulit penyelenggara pemerintah untuk menerapkan asas tidak mencampuradukkan kewenangan dalam AAUPB.

Kedua, asas penyelenggaraan kepentingan umum. Asas ini menuntut pemerintah untuk selalu mengedepankan kepentingan publik dalam menjalankan tugasnya, yakni mencakup kepentingan seluruh aspek kehidupan masyarakat.16

Rangkap jabatan memaksa seorang pejabat untuk mengurus dan bertanggungjawab atas dua wewenang yang berbeda yang artinya ada waktu yang dipangkas dari penyelenggaraan kepentingan umum untuk memikirkan dan mengurus entitas privat atau BUMN tersebut, sehingga dua kewenangan tersebut dapat memecah konsentrasi dan profesionalisme dalam penyelenggaraan kepentingan umum dan pelayanan publik. Oleh karena itu, praktik rangkap jabatan menurut penulis akan bertentangan dengan penerapan asas penyelenggaraan kepentingan umum dalam AAUPB. Karena pada prinsipnya AAUPB merupakan pedoman tidak tertulis dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.17

  • IV. Kesimpulan

Pengaturan PNS yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN terdapat konflik norma antara Peraturan Menteri BUMN dengan UU BUMN dan UU Kebijakan Publik ini dapat menimbulkan konflik norma yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum didalamnya mengenai boleh atau tidaknya PNS menjabat sebagai Komisaris BUMN. Konflik norma ini dapat diselesaikan dengan menggunakan asas lex superior derogate legi prori, yang pada prinsipnya UU BUMN dan UU Kebijakan Publik lah yang berlaku karena lebih tinggi khirarkinya daripada peraturan menteri. Artinya Pada prinsipnya PNS dan pejabat instansi pemerintah dilarang menjabat sebagai komisaris BUMN sebagai penyelenggara pelayanan publik. Kedudukan PNS yang merangkap jabatan pejabatan sebagai komisaris bumn ditinjau dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik bahwa kedudukan rangkap jabatan tersebut memaksa seorang pejabat untuk mengurus dan bertanggungjawab atas dua wewenang yang berbeda yang artinya ada waktu yang dipangkas dari penyelenggaraan kepentingan umum untuk memikirkan dan mengurus entitas privat atau BUMN tersebut, sehingga dua kewenangan tersebut dapat memecah konsentrasi dan profesionalisme dalam penyelenggaraan kepentingan umum dan pelayanan publik. Oleh karena itu, praktik rangkap jabatan akan bertentangan dengan penerapan asas penyelenggaraan kepentingan umum dalam AAUPB

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)

Sri Hartini. et.al.. Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta, 2018) Tim Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara. Kajian Isu – Isu Strategis:

Perlindungan Hukum Bagi ASN Dalam Melakukan Tindakan Pemerintahan.” (Jakarta, Lembaga Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Kebijakan, 2017)

JURNAL ILMIAH

Abimanyu Rhesa Agatha dan Edward Thomas Lamury Hadjon. “Urgensi Pengawasan Layanan Konten Digital Over The Top (OTT) Di Indonesia”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana 8. No.12 (2020): 24-39.

Ermalena dan I Ketut Sudiarta. “Penerapan Asas Good Governance Dalam Pelayanan Publik Di Indonesia Berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana 2. No.03 (2014): 1 – 5.

Ichsan Syuhudi. “Media Komunikasi Dan Kajian Hukum Implementasi AsasAsas Umum Pemerintahan Yang Baik”. Jurnal Pena Justitia 17. No.01 (2017): 10 – 19.

Margareta Nopia Merry Venita Jarmanih, et.al. “Wewenang Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang)”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana 6. No. 02 (2016): 1 - 15.

Martchella Setiawan dan I Nyoman Suyatna. “Pengaturan Aparatur Sipil Negara Eselon I Yang Merangkap Jabatan Sebagai Komisaris di BUMN.” Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana 6. No.03 (2018): 1-15.

Muamar dan Anak Agung Sri Utari. “Pengaruh Penghapusan Asas Strict Liability Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Masif Deforestasi Di Indonesia”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana 8. No.12 (2020): 1-12.

Muhammad Azhar. “Relevansi Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Sistem Penyelenggaraan Administrasi Negara” Jurnal Notarius 8. No.02 (2015): 274–287.

Nisa Agistiani Rachman dan Antonius Galih Prasetyo. “Rangkap Jabatan Asn Dan Komisaris Bumn: Perspektif Konflik Kepentingan.” Jurnal Mercubuana: 144-157.

Putu Teguh Rahayu dan I Ketut Sudiarta. “Problematik Normatif Dan Urgensi Pengaturan Kartu Identitas Anak”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana 8. No.11 (2020): 30-43.

S., Adrie. “Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dalam Perspektif Hukum Kepegawaian.” Jurnal Yustitia 13, No. 1 (2019): 1-14.

Solechan. “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelayan Publik”. Administrative Law & Government Journal 2. No. 03 (2019): 541 – 557.

Widhya Mahendra Putra. “Jabatan Pimpinan Tinggi Berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara Dan Perbandingannya Dengan Jabatan Struktural Pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Kasus: Analisis Terhadap Praktik Rangkap Jabatan Pejabat Publik Sebagai Komisaris BUMN)”. Jurnal Legislasi Indonesia 17. No.02 (2020): 167 – 179.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297)

Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 503)

Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 3 Tahun 2021, hlm.189-198

198