PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PENGGUNAAN DISKRESI TERKAIT PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19

Yohanes Febriyanto Gibert, Fakultas Hukum Udayana, E-mail: [email protected]

I Ketut Suardita, Fakultas Hukum Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban penggunaan diskresi bagi Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan terkait situasi pandemi covid-19, serta untuk mengetahui batasan-batasan wewenang yang dipunyai Kepala Daerah dalam menggunakan diskresi yang dapat berdampak hukum. Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Pada penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, serta pendekatan konseptual. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama: Batasan diskresi bagi Kepala Daerah adalah perbuatan hukum yang dimana harus memenuhi unsur unsur antara lain belum diaturnya ketentuan pada undang-undang yang mengatur tentang tindakan tersebut, atau ketentuan yang mengatur tindakan tersebut masih tidak jelas yang mengakibatkan perlunya kebebasan mengambil tindakan dari Kepala Daerah, tindakan tersebut hanya bisa dilakukan untuk memberikan kepastian hukum,dalam keadaan kekosongan hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan keadaan penting dan mendesak untuk kepentingan umum dengan batasannya. Kepala Daerah harus tetap bertindak sesuai koridor hukum yang ditetapkan, dalam hal ini adalah hukum tidak tertulis yaitu AAUPB, apabila terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar AAUPB dapat ditutut baik secara hukum administrasi maupun pidana. Kedua, Tanggungjawab secara administrasi kepada Kepala Daerah diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sedangkan tanggungjawab secara pidana diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kata Kunci: Pertangungjawaban, Diskresi, Kepala Daerah, COVID-19

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the accountability of the use of discretion for Regional Heads in government administration related to the Covid-19 pandemic situation, as well as to determine the limits of authority that the Regional Head has in using discretion that can have legal implications. This type of research method used in this paper is a juridical normative research method. In this study, the type of approach used is a statutory approach (Statute Approach), as well as a conceptual approach. The results of this study indicate that, firstly: Discretionary limits for Regional Heads are legal acts which must meet the elements, among others, the provisions of the law governing such actions are not regulated, or the provisions governing such actions are still unclear which results in the need for freedom. taking action from the Regional Head, such action can only be done to provide legal certainty, in a state of legal vacuum, and to overcome government stagnation in conditions of urgency and urgency for the public interest with limits. The Regional Head must continue to act in accordance with the stipulated legal corridor, in this case it is unwritten law, namely AAUPB, if it is proven that it has misused authority and violated the AAUPB, it can be prosecuted both in administrative and criminal law. Second, the administrative responsibility to the regional head is regulated in Law no. 30 of 2014 concerning State Administration, while criminal responsibility is regulated in Law no. 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption Crime.

Keywords: Accountability, Discretion, District Heads, COVID-19

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Penyakit corona adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Virus Corona penyakit ini sudah menjadi pandemi dan menyebabkan kerugian di banyak negara-negara di dunia, Pandemi Covid-19 yang sudah terjadi sejak akhir tahun 2019 telah mempengaruhi tidak hanya kesehatan tapi seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti sosial, politik, hukum, serta ekonomi, untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan yang tepat guna menanggulangi situasi genting yang mendesak dengan efektif. Birokrasialat kekuasaan yang dibuat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan politik guna menanggulangi pandemi Covid-19 , dalam praktiknya,terkait sistem dan prosedur tata kelola penyelenggaraan pemerintahan selalu ada potensi dalam penyalahgunaan jabatan, maka daripada itu proses dalam penyelenggaraan pemerintahan perlu adanya hukum yang mengatur, namun adakalanya masa dimana pemerintahan mengalami stagnasi, yaitu saat dimana pemerintah mengalami disfungsi atau kebuntuan dalam menyelenggarakan pemerintahan, contohnya gejolak politik dan bencana alam, atau pada kasus ini adalah pandemi covid-19. Maka dari itu dibutuhkan wewenang bagi pejabat-pejabat publik untuk mengambil tindakan dalam mengatasi permasalahan yang penting dan genting yang masih belum atau masih samar-samar aturannya.1 dibutuhkan kewenangan yang memberikan kebebasan untuk bertindak dengan inisiatif sendiri bagi penyelenggara Negara yang berwenang untuk melakukan tindakan dalam menyelesaikan masalah demi memberikan kepastian hukum serta mengisi kekosongan hukum. Hal tersebut dalam hukum administrasi merupakan diskresi atau bisa disebut frieies Ermessen (bahasa Jerman) atau pouvair discretionaire(bahasa Prancis).2

Berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 2020 telah ditetapkan bahwa Pandemi COVID-19 adalah bencana non-alam. Pemerintah sebagai pelaksana dan pembuat peraturan telah mengambil sejumlah tindakan sebagai upaya untuk mengatasi pandemi Covid-19. Pemerintah telah membuat beberapa aturan terkait situasi pandemi COVID-19, antara lain adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, Keppres Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, PP No. 21 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Keppres No. 12 Tahun 2020, Perpres No. 54 Tahun 2020, serta Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Kepala Daerah dalam mengendalikan situasi Pandemi Covid-19, selain menggunakan peraturan hukum yang ada, juga dapat menggunakan diskresi apabila terjadi kekosongan hukum. berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tujuan diskresi dilakukan salah satunya apabila terjadi stagnasi pemerintahan, dijelaskan pada pasal 22 huruf d yang dimaksud staganasi pemerintahan adalah “tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.” Dari pengertian tersebut, kondisi stagnasi pemerintahan merupakan kondisi dimana tidak

berjalannya fungsi pemerintahan dengan normal yang menyebabkan tidak berjalannya roda pemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan, stagnasi pemerintahan pada umumnya menimbulkan keadaan genting yang mendesak seperti bencana alam dan kericuhan politik.3 Oleh karena itu salah satu fungsi diskresi yaitu digunakan untuk mengatasi persoalan stagnasi dalam persoalan penting dan mendesak. Diskresi atau freies ermessen digunakan oleh Kepala daerah dimaksudkan untuk meyelesaikan persoalan persoalan genting dan mendesak serta tiba-tiba yang bersifat kumulatif, dalam hal ini adalah pandemi COVID-19. Ada juga kemungkinan terdapat persoalan yang tidak mendesak untuk diselesaikan tapi penting, bisa juga terdapat persoalan yang mendesak, tapi tidak terlalu penting untuk diselesaikan. Sebuah persoalan bisa dikategorikan sebagai persoalan penting ketika persoalan tersebut bersangkutan dengan kepentingan publik, sedangkan suatu peraturan perundang-undangan harus sudah ditetapkan dahulu dalam persoalan yang memiliki kriteria kepentingan umum.4

Kekuasaan dalam melaksanakan jabatan yang dimiliki Pejabat Negara merupakan letak kekuasaan diskresi. Agar para Kepala Daerah dapat menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya, maka diberikanlah kekuasaan oleh undang-undang. Dalam Kondisi seperti inilah rawan terjadimya penyalahgunaan wewenang, karena besar potensi terdapat niat untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi atau pun keuntungan kelompok dalam menjalankan wewenang untuk membuat kebijakan di suatu daerah. Syarat-syarat khusus harus dipenuhi sebelum menggunakan diskresi, supaya dalam menjalankan kewenangannya, tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Daerah. Dalam melaksanakan wewenang, tugas serta perannya, para pejabat dan badan pemerintahan pemerintahan sudah sewajibnya melaksanakan wewenang dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Salah satu asas umum untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik yaitu larangan penyalahgunaan wewenang. Hukum sebagai alat untuk mengontrol penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan rakyat. Hukum menjadi unsur penting bagi terciptanya birokrasi yang sejalan dengan harapan untuk dapat membuahkan pelayanan yang diperlukan kepada masyarakat.

Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat krusial dalam menghadapi situasi darurat pandemi COVID-19 ini. Hal ini berkaitan dengan pemahaman pemerintah daerah yang lebih mengenai kondisi dan situasi pandemi di daerahnya serta kesulitan yang dihadapi masyarakat daerah tersebut, mengingat hal itu, pemerintah pusat hendaknya memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten/kota dalam menangani pandemi yang sedang terjadi.

Kepala Daerah yang diberikan diskresi mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan yang dilakukan kepada publik serta atasannya, maka diharapkan penggunaan asas diskresi akan menjadi alat untuk penanganan pandemi COVID-19 yang lebih efektif. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, apalagi dalam menggunakan diskresi di tengah bencana seperti pandemi COVID-19 ini. penggunaan diskresi juga mempunyai potensi yang

merugikan publik, dalam penggunaan diskresi itulah wewenang rawan disalahgunakan, Sebab adanya suatu tindakan bebas juga berarti adanya suatu peluang untuk menyalahgunakan suatu wewenang(detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang wenang (willekeur) yang pada akhirnya bisa memberikan kerugian terhadap publik, karena dengan bersamaannya menjalankan wewenang, terdapat potensi untuk menyelipkan kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Untuk itu perlu juga adanya batasan-batasan dalam kebijakan diskresi agar dalam praktiknya tetap dilakukan berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pemahaman mengenai batasan-batasan tindakan diskresi diperlukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, apalagi disaat pemerintah sedang dalam keadaan stagnasi, karena dengan adanya batasan ini menunjukkan bahwa tidak semua persoalan dapat diambil tindakan diskresi, namun pembatasan diskresi juga tidak boleh bertentangan dengan norma hukum positif. Penulisan ini merujuk kepada penelitian Fahmi Ramadan Firdaus dengan judul Perlindungan Kebijakan Diskresi Dalam Penanganan COVID-19 Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 yang membahas perlindungan hukum bagi pejabat negara yang menggunakan diskresi dalam masa pademi COVID-19.5 Serta merujuk dari penelitian Luftil Ansori yang berjudul Diskresi Dan Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang membahas tentang bagaimana penggunaan diskresi dan pertanggungjawaban Pemerintah dalam menggunakan diskresi.6 Berkaitan dengan kedua penelitian tersebut, penulis tertarik untuk membahas pertanggungjawaban kepala daerah dalam penggunaan diskresi terkait penanggulangan pandemi COVID-19, serta apa saja Batasan-batasan Kepala Daerah dalam menggunakan kewenangannya. Penulisan ini lebih spesifik dari dua penelitian sebelumnya karena menyangkut pertanggungjawaban kepala daerah dalam menggunakan diskresi dalam situasi pandemi COVID-19.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penulis mendapatkan dua rumusan masalah, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan dan batasan Kepala Daerah yang melakukan tindakan diskresi terkait keadaan pandemi Covid-19?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggungjawaban penggunaan diskresi bagi Kepala Daerah yang dapat berdampak hukum?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan yang berkaitan dengan diskresi Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dalam menggunakan diskresi yang dapat berdampak hukum administrasi.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian normatif yuridis. Pada penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), serta pendekatan konseptual (Conceptual Approach), pendekatan-pendekatan ini digunakan untuk meninjau aturan-aturan, asas, serta norma yang berkaitan dengan kebijakan diskresi. Sumber bahan hukum yang digunakan, merupakan sumber primer yang berasal dari UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara. Bahan hukum sekunder, yaitu data-data pendukung yang terdiri dari doktrin-doktrin dan pendapat para ahli yang bertujuan membantu data utama sehingga dapat menunjang bahan-bahan hukum primer. Sumber hukum tersier yaitu majalah, media massa, internet.

  • III    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan dan Batasan Kepala Daerah yang Melakukan Tindakan

Diskresi Dalam Keadaan Pandemi COVID-19

Diskresi (freies ermessen) dalam konsep negara hukum modern diperlukan dan selaras dengan tuntutan pelayanan publik kepada pemerintah yang makin meningkat terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat yang semakin kompleks, sekaligus menjadi penunjang dalam penyelenggaraan negara dalam mewujudkan tata kelola Pemerintahan yang baik (Good Governance). Diskresi dibutuhkan dalam melengkapi asas legalitas, asas legalitas menyatakan bahwa setiap tindakan yang berhubungan dengan kegiatan administrasi negara wajib berdasarkan undang-undang, tapi dalam prakteknya tidak semua peraturan perundang-undangan mengatur segala permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.7

Pengertian Diskresi sendiri menurut Prajudi Atmosudirjo merupakan “kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dalam setiap situasi menurut pendapatnya sendiri”. Sedangkan Sjahran Basah menjelaskan bahwa “diskresi merupakan kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksaannya haruslah tindakan-tindakan administrasi negara itu sesuai dengan hukum yang berlaku.”8 Sebagai perbandingan diskresi di Britania Raya dikenal dengan istilah ‘discretionary power’, di Jerman dikenal sebagai ‘freies ermessen’, dan di Belanda sebagai ‘bevoegdheid vrij’. Diskresi dalam arti sebagai kewenangan diskresi di Britania Raya merupakan kewenangan hakim dan Kepala Daerah yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan berdasarkan pendapatnya yang dalam ruang lingkup fungsionarisnya berdasarkan pedoman hukum normatif.9

Pemberian kewenangan bebas (discresionare power) atau freies ermessen kepada pemerintah merupakan tindakan logis, akan tetapi pemberian diskresi ini tidak lepas dari potensi masalah. Sebab penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) memiliki peluang untuk terjadi dengan adanya kewenangan bebas ini, tentu hal tersebut dapat merugikan masyarakat. berdasarkan ini Hukum Administrasi Negara memiliki fungsi pada konsep negara kesejahteraan merupakan salah satu alternatif bagi upaya perwujudan

tata kelola pemerintahan yang baik. Penggunaan diskresi harus sesuai dengan koridor hukum tertulis dan tidak tertulis.10

Dalam UU 30 Tahun 2014 pasal 24 kebijakan diskresi bisa dilakukan oleh Kepala Daerah apabila memenuhi persyaratan berikut:

  • 1.    Sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (2)

  • 2.    Tindakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

  • 3.    Tidak bertentangan dengan AAUPB

  • 4.    Tindakan diskresi memiliki dasar alasan yang objektif

  • 5.    Tidak menciptakan konflik kepentingan

  • 6.    Tindakan diskresi Dilakukan berdasarkan itikad baik

Pada pasal 22 ayat (2) dijelaskan bahwa “penggunaan diskresi bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu untuk kepentingan umum”. Jadi dalam perspektif administrasi negara diskresi dilakukan jika dalam keadaan:11

  • 1)    belum adanya aturan perundang-undangan yang mengatur menganai masalah penting serta genting yang dihadapi dan dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan segera;

  • 2)    Adanya pemberian kebebasan kepada Pejabat Negara yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangannya, serta;

  • 3)    Adanya delegasi undang-undang, yang dimana Pejabat Negara diberi kewenangan untuk membuat kebijakan, yang sebenarnya kewenangan itu merupakan kewenangan individu yang memiliki jabatan lebih tinggi.

Penggunaan diskresi dan kaitannya dengan stagnasi pemerintahan yang menimbulkan permasalahan yang mendesak, harus memenuhi unsur-unsur keadaan penting yang mendesak, yaitu:12

  • 1.    Timbulnya suatu masalah yang tidak terduga yang berbeda dari rencana utama

  • 2.    Permasalah tersebut berkaitan atau merupakan kepentingan public

  • 3.    Dalam penyelesaian permasalahannya belum ada peraturan umum yang mengatur teknis-teknis dalam penyelesaian masalahnya, sehingga diperlukan kebebasan membuat kebijakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang logis serta objektif

  • 4.    Dalam prosedur penyelesaian masalah secara administrasinya tidak bisa dengan cara normal

Sebagaimana dinyatakan pada pada UU No. 30 Tahun 2014 Pasal 1 angka 9 bahwa “pejabat pemerintahan bisa membuat aturan dalam rangka mengatasi masalah konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Ruang lingkup atau batasan mengenai diskresi dinyatakan pada pasal 23 UU No.30 Tahun 2014: “pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan

Keputusan dan/atau Tindakan, pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur,pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan dikarenakan terjadinya stagnasi pemerintahan untuk kepentingan umum”.

Selain ketentuan-ketentuan tersebut, kebijakan diskresi juga harus berpedoman kepada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik, hal ini bertujuan agar diskresi dilakukan tetap pada koridor yang semestinya, terutama asas larangan menyalahgunakan wewenang serta asas kepentingan umum.13 Asas larangan menyalahgunakan kekuasaan berarti Kepala Daerah yang menggunakan diskresi tidak boleh bertindak diluar wewenangnya,sedangkan asas kepentingan umum yang terdapat pada UU No.23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa unsur Asas kepentingan umum adalah “mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.” Namun demikian menurut Bintan Saragih pakar hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa diskresi tidak perlu dibatasi dan diatur dikarenakan pertanggungjawaban diskresi sendiri sudah ada secara moral dan hukum, Beliau menambahkan bahwa hanya pada system parlemennter, ketentuan-ketentuan mengenai diskresi pejabat hanya biasa digunakan, sedangkan kebiasaan lebih sering digunakan di sistem presidensial.14

Seperti yang dinyatakan dalam UU No 30 Tahun 2014 pasal 1 angka 9, bahwa dalam menangani masalah konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan pejabat pemerintahan dapat membuat aturan mengenai masalah tersebut. Kemudian pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga dinyatakan bahwa pemerintah daerah dapat menggunakan ruang desemtralisasi sebagai daerah otonom. Dengan berlakunya kedua peraturan tersebut, Kepala daerah dapat memanfaatkan hal tersebut untuk untuk melakukan perubahan terhadap APBD demi keperluan dana darurat sebagai untuk menopang selama pandemi COVID-19, mekanisme perubahan anggaran daerah dinyatakan dalam pasal 239,296, dan 316 UU No 23 Tahun 2014. Ruang diskresi ini seharusnya dapat digunakan oleh Kepala Daerah dalam mengatasi pandemi COVID-19 dengan sebaik-baiknya sejalan dengan aturan yang terdapat pada dan AAUPB.

Penggunaan diskresi terkait pandemi COVID-19 memerlukan aturan mengenai mekanisme pengawasan dan tanggungjawab yang jelas, dengan disahkannya UU No 2 Tahun 2020, untuk kedepannya aturan-aturan mengenai langkah mekanisme serta pengawasan dalam penggunaan diskresi oleh setiap organ pemerintah dalam UU No. 2 Tahun 2020.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup batasan mengenai kewenangan diskresi adalah AUPB dan Hukum Administrasi negara, terutama asas detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang). Kepala Daerah yang menggunakan diskresi dapat dikatakan melanggar batas jika melanggar dua asas tersebut, serta apabila tindakan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan umum. Untuk melihat apakah terdapat unsur penyalagunaan wewenang dan unsur tindakan sewenang wenang dapat menggunakan asas spesialitas, asas spesialitas merupakan asas yang memastikan wewenang yang ditumpahkan kepada Kepala Daerah berada pada koridornya. Jika suatu tindakan menyimpang dari koridornya maka dianggap penyalahgunaan

wewenang. Kemudian asas rasionalitas (redelijk) digunakan untuk menguji tindakan penyalahgunaan wewenang tersebut.15

  • 3.2 Pertanggungjawaban Kebijakan Diskresi oleh Kepala Daerah yang Berdampak Hukum

Diskresi dalam penggunaannya terkait pandemi COVID-19 memerlukan aturan mengenai mekanisme pengawasan dan tanggungjawab yang jelas. Dengan disahkannya UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, untuk kedepannya aturan-aturan mengenai prosedur pengawasan serta mekanisme dalam penggunaan diskresi oleh seluruh organ pemerintahan dalam UU No. 2 Tahun 2020. Untuk mengidentifikasi pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam kebijakan diskresi perlu lebih dahulu mengetahui tentang jabatan pemerintahan dan kaitannya dengan kewenangan dan fungsi pemerintahan. Logemann menjelaskan bahwa organisasi jabatan dan negara “de staat is ambtenorganisatie” di satu negara terdapat jabatan pemerintahan, yaitu ruang lingkup pekerjaan yang dikaitkan dengan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan yang disana terdapat tugas-tugas negara.16 Manusia yang bertindak sebagai pejabat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang melekat dengan jabatan. Penggunaaan wewenang oleh kepala daerah pasti disertai juga dengan tanggung jawab, karena wewenang dan tanggung jawab menempel pada jabatan yang dijalankan oleh manusia sebagai fungsionaris jabatan, untuk menentukan siapa yang mendapat tanggung jawab secara hukum harus dilihat secara kasuistik.17 Diskresi di negara Indonesia dalam kaitannya dengan tanggung jawab melekat dengan pemberian tugas bagi pemerintahan untuk melayani publik dalam situasi darurat atau stagnasi pemerintahan. Situasi darurat dapat diartikan sebagai daya paksa seperti yang dinyatakan pada pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “barangsiapa melakukan perbuatan karena daya paksa, tidak dipidana”. Selanjutnya, UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menjelaskan bahwa penggunaan diskresi wajib mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat dan atasannya yang telah diambil dan dapat diuji dengan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara atau upaya hukum administratif.18

Wewenang yang bersumber dari jabatan dari Kepala Daerah yang melakukan kebijakan menentukan apakah tanggungjawab dari wewenang itu bersumber dari atribusi, delegasi atau mandat. Pertanggungjawaban jabatan terdapat pada pejabat yang mendapat wewenang tersebut. Dijelaskan pada Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa “tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya”. Selanjutnya, mengenai tanggungjawab secara hukum dengan

wewenang yang didapatkan dari delegasi, yang dimana delegasi merupakan wewenang yang dilimpahkan oleh suatu organ pemerintahan ke pihak lain yang melaksanakan wewenang, itu dengan tanggungjawabnya sendiri. Dinyatakan dalam Pasal 1 butir 6 UU No 5 Tahun 1986 bahwa “tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan berdasarkan wewenang yang dilimpahkan kepadanya”. maka tanggung jawab jabatan tidak bergeser ke penerima mandat, seperti yanng dijelaskan Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986, tergugat merupakan pemberi mandat.

Setelah mengetahui tentang jabatan dan kaitannya dengan kewenangan maka perlu juga elaborasi untuk mengetahui bentuk-bentuk tanggung jawab jabatan serta tanggung jawab pribadi Kepala Daerah saat melaksanakan diskresi.

  • 1.    Tanggung Jawab Jabatan

Perlu diketahui dulu bahwa jabatan merupakan sebuah lembaga yang memiliki lingkup pekerjaan fungsionaris sendiri yang dibuat untuk suatu periode tertentu yang padanya diberikan tugas dan wewenang.19 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Logemann yang Mengatakan bahwa “berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat”. Bedasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab menempel pada jabatan.20

Tanggung jawab jabatan memiliki keterkaitan dengan validasi tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atas nama jabatan . Seperti yang dinyatakan oleh F.R. Bothlingk “baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab”. Terkait perbuatan hukum definisinya sudah jelas. sudah jelas. Perbuatan hukum merupakan pernyataan kehendak, dengan tanggung jawab secara khusus ditujukan kepada pihak yang menyatakan kehendak, yaitu pihak yang diwakilkan. Walaupun wewenang tersebut melekat dengan jabatan yang menghasilkan tanggung jawab pada jabatan tersebut, tapi bisa saja pelaksanaannya tanggungjawab dari wewenang tersebut dibebankan kepada pribadi pejabat.21

  • 2.    Tanggungjawab Pribadi

Dalam penggunaannya, diskresi memiliki potensi untuk dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kepentingan bagi golongan tertentu, baik itu kepentingan sendiri, keluarga, korporat, dan kepentingan lainnya, yang mengakibatkan diskresi digunakan untuk penyalahgunaan jabatan yang bertentangan dengan hukum tertulis. Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan perbuatan melawan hukum secara administrasi pada penggunaan wewenang seorang Kepala Daerah, jadi seorang Kepala Daerah yang melaksanakan kebijakan berdasarkan kewenangan jabatannya memiliki konsekuensi bahwa ia akan dibebani tanggungjawab dalam terjadinya

maladministrasi.22 Maladministrasi berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang ombudsman Republik Indonesia memiliki definisi “Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.” Hendra Nurtjahjo menyatakan macam-macam bentuk maladministrasi yang umum antara lain “kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, serta salah pengelolaan”.23

Kepala Daerah yang telah diberikan kebebasan untuk bertindak dalam situasi pandemic COVID-19, walaupun tidak ada dasar hukum atau dasar hukumnya tidak jelas, tidak berarti Kepala Daerah dapat bertindak sewenang-wenang, semua tindakan tidak boleh melanggar kepentingan umum, menyimpang dari tujuan awal yang ditetapkan, serta tidak melanggar AAUPB, jadi Kepala Daerah tetap bertanggungjawab secara hukum apabila melanggar hal-hal yang baru saja disebutkan. Tanggung jawab tersebut dapat berupa Hukum Administrasi maupun Hukum Pidana. Selanjutnya jika ada individu atau kelompok yang merasa dirugikan oleh berbagai keputusan dan tidakan Kepala Daerah, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada para pihak yang telah menerima kerugian baik materiil maupun imateriil yang disebabkan secara langsung dan/atau tidak langsung, berhak melakukan upaya hukum. Pertanggungjawaban hukum bagi pejabat yang melakukan diskresi dapat dibedakan dari aspek hukum pidana, perdata, dan administrasi. Bagi para pihak yang telah dirugikan akibat dari berbagai jenis tindakan yang dilakukan oleh Kepala Daerah dapat melakukan berbagai upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, Ombudsman,dan berbagai lembaga lain yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan publik. Terdapat dua jenis tanggung gugat tergantung dari kompetensi pengadilan dalam mengadili ruang lingkup suatu perkara. Gugatan kepada suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) diajukan melalui PTUN, sementara gugatan untuk KTUN maupun perbuatan pemerintah yang menimbulkan kerugian bagi publik atau individu dapat digugat melalui pengadilan negeri atas dasar perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.24 Dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara juga dinyatakan pada pasal 75 ayat (1) bahwa “Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.” Selanjutnya pada angka dua (2) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

upaya administratif terdiri dari keberatan dan banding. Maka dapat disimpulkan bahwa dari peraturan-peraturan yang sudah disebutkan diatas memungkinkan publik untuk mengajukan banding serta keberatan terhadap keputusan maupun kebijakan diskresi yang dilakukan Kepala Daerah untuk dapat mempertanggungjawabkan tindakannya sebagaimana terdapat pada peraturan yang ada dalam UU No.30 Tahun 2014. Apabila dalam putusan PTUN tersebut ditemukan unsur unsur pidana. Antara lain merupakan tipu muslihat, ancaman, dan suap guna mendapakan keuntungan secara tidak sah, maka diselesaikan melalui proses pidana.

Terdapat polemik pada proses pemidanaan penyalahgunaan wewenang bagi kepala daerah terkait pandemi COVID-19. ketentuan yang ada di UU No 2 Tahun 2020. Pada pasal 27 ayat (2) Dinyatakan bahwa: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Kepala Daerah yang melakukan tipikor berpotensi besar dalam menggunakan pasal tersebut untuk perlindungan. Hal ini dapat berimplikasi pada aparat penegak hukum dibatasi dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Namun Feri Amsari, berpendapat bahwa pasal 27 tidak dapat meloloskan siapa saja apabila melakukan menyalahgunakan anggaran yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.25

Adapun sanksi bagi penyalahgunaan wewenang sebagaimana dinyatakan pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (limah puluh jutarupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).”

Penyalahgunaan wewenang yang dimaksud adalah tipikor, Kepala Daerah dianggap melakukan korupsi jika perbuatan tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal dan memiliki maksud atau dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu yang menngakibatkan kerugian keuangan negara dimana peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak atau belum mengaturnya, atau tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut memenuhi sebagaimana dinyatakan pada undang-undang dan jika diskresi tersebut: 1) Penyimpangan dari tujuan peraturan yang mendasari kewenangan pejabat public dalam mennggunakan diskresi dan 2) Pejabat publik yang menggunakan diskresi untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu kelompok yang mengakibatkan merugikan keuangan negara.26

IV KESIMPULAN

Kepala Daerah yang yang diberikan kewenangan diskresi dalam lingkungan formil wewenangnya semua hasil yang terjadi merupakan tanggung jawab jabatan. Diskresi harus sesuai dengan koridor hukum tertulis (Undang-Undang) dan tidak tertulis (AAUPB). Batasan wewenang diskresi bagi Kepala Daerah adalah perbuatan hukum administrasi negara yang dimana harus memenuhi unsur-unsur antara lain belum atau tidak adanya ketentuan di undang-undang yang mengatur tentang tindakan tersebut , atau ketentuan yang mengatur tindakan tersebut masih tidak jelas yang mengakibatkan perlunya kebebasan mengambil tindakan dari Kepala Daerah. Tindakan tersebut hanya bisa dilakukan dalam keadaan tidak ada dasar hukum yang mengatur, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan saat keadaan keadaan penting dan mendesak untuk kepentingan umum dengan batasan-batasan yang telah ditentukan, diskresi dianggap tidak sah jika melampaui batas, antara lain yaitu jika kebijakan bertentangan dengan kentuan perundang-undangan dan asas hukum yang dimana terdapat unsur pelanggaran HAM, penyalahgunaan wewenang, bertentangan dengan AAUPB, serta jika terdapat maladministrasi. Kepala Daerah dalam menggunakan diskresi memiliki tanggung jawab karena tanggung jawab tersebut merupakan konsekuensi kewenangan yang diberikan. Pertanggungjawaban dituntut apabila Kepala Daerah melanggar batas-batas kewenangan yang diberikan. Batas-batas tersebut adalah hukum tidak tertulis yang dalam hal ini adalah AAUPB. Dalam menuntut pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah dapat dilihat dari berbagai bentuk hukum, yaitu dari segi hukum pidana maupun administrasi. Tanggungjawab secara administrasi kepada Kepala Daerah diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara, bagi pihak yang merasa dirugikan terhadap tindakan atau kebijakan yang merupakan hasil dari wewenang diskresi Kepala Daerah, masyarakat dapat melakukan upaya hukum berupa keberatan dan banding administrasi lewat pengadilan tata usaha negara, Apabila dalam menjalankan wewenang tersebut ditemukan unsur unsur pidana., maka diselesaikan melalui proses pidana. Sanksi bagi penyalahgunaan wewenang Sebagaimana dinyatakan pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Daftar Pustaka

Buku

JCT Simorangkir . “Kamus Hukum”. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008

Ridwan, “Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi”, Yogyakarta: FH UII Press, 2009

Jurnal

Alamsyah, T.M Taufik, “Efektivitas Penggunaan Diskresi Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik”, Juristek Universitas Antakusuma Vol 2 No.1 (2013)

Anjani, Ajeng Kartika, “Pertanggungjawaban Pengelolaan Dana Desa”, Jurist-Diction: Vol. 2 No. 3, (2019),747

Ansori, Lutfi, “Diskresi Dan Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”, Jurnal Yuridis. Vol.2 No.1 (2015).

Arbani, Tri Suhendra, “Penggunaan dan Batasan Diskresi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Indonesia”, Jurnal Pranata Vol 1 No. 2 (2019).

Arwanto, Bambang, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual Pemerintah”, Yuridika: Jurnal Fakultas Hukum Unair, Vol 31 No. 3 (2016).

Endang, M. Ikbar Andi, “Diskresi Dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Hukum Peratun Vol. 1 No. 2 (2018).

Firdaus, Fahmi Ramadhan, “Perlindungan Kebijakan Diskresi Dalam Penanganan COVID-19 Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2020”, Jurnal Unpak. Vol 6 No 2 (2020).

Gelora, Ahmad Mahardika, “Potensi Penyimpangan Hukum Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 “,Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 2 Vol. 27 (2020).

Juliani, Henny, “Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Penggunaan Diskresi Yang Membebani Keuangan Negara”, Adminitrative Law & Governance Journal : Vol. 1 No. 3, (2018).

Mustamu, Julista, “Diskresi dan Tanggung Jawab Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 (2011).

Nirahua, Salmon.,“Discretion Government Officials in Implementing Government”,Asian Journal of Applied Sciences Vol 5 No. 3 (2017).

Setiawan, Adam, “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam Penggunaan Diskresi Sebagai Instrumen Pelayanan Publik (Public Service)”, Jurnal UGM Mimbar Hukum Vol 32 No. 1 (2020).

Sihotang, Githa Angela,“ Diskresi Dan Tanggung Jawab Pejabat Pblik Pada Pelaksanaan Tugas Dalam Situasi Darurat”, Jurnal Law Reform Undip Vol. 13 No. 1 (2013).

Sufriadi, “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia”, Jurnal Yuridis UPN Veteran Jakarta Vol 1 no. 1(2014).

Ulya, Zaki, “Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan dalam Menetapkan Diskresi (Studi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016)”, Jurnal hukum Ius Quia Iustum Vol. 24 No. 3 (2017),

Yuhdi,Mohammad, “Peranan Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”, Likhitaprajna: Jurnal Ilmiah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Vol. 15 No. 1 (2013)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tan 1999 Nomor 140)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601 )

Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485)

Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, PP No. 21 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional

Peraturan presiden Nomor 54 Tahun 2020 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 94)

Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 326)

Sumber Internet

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e85caabd121d/perppu-stabilitas-sistem-keuangan-dinilai-rawan-disalahgunakan Diakses pada tanggal 2 Februari 2021

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 3 Tahun 2021, hlm.175-188

188