Perang Terhadap Narkoba Serta Penarikan Diri Dari Pengadilan Pidana Internasional Oleh Filipina: Perspektif Hukum Internasional
on
PERANG TERHADAP NARKOBA SERTA PENARIKAN DIRI DARI PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL OLEH FILIPINA: PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Gabriel Mallatang Sianturi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Anak Agung Sri Utari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui perspektif HAM dan Hukum Internasional terhadap penjatuhan hukuman mati pelaku penyalahguna narkoba tanpa proses peradilan dan untuk ,menganalisis yuridiksi ICC setelah Filipina menarik diri. Penulisan ini menggunakan metode normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan pendekatan-pendekata instrumen, fakta, dan kasus. Hasil dari penelitian ini bahwa menurut perspektif HAM dan hukum internasional hukuman mati tanpa proses peradilan sebagaimana kebijakan Filipina adalah kejahatan terhadap kemanusiaan karena sesuai dengan yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Statuta Roma 1998 , dan penarikan diri filipina dari ICC tidak menghalangi ICC untuk dapat memeriksa presiden Filipina sebagai pelaku kejahatan internasional.
Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Hukum Internasional, Pengadilan Pidana Internasional
ABSTRACT
The objectives to be achieved in this study are to find out the perspective of human rights and international law on the imposition of the death penalty for drug abusers without trial and to analyze the jurisdiction of the ICC after the Philippines withdraws. This writing uses a normative method, namely legal research that uses the approach of instruments, facts, and cases. This paper concludes that according to the perspective of human rights and international law the death penalty without trial as the Philippines policy is a crime against humanity because it is in accordance with the Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), the 1998 Rome Statute, and the withdrawal of the Philippines from the ICC does not hinder the ICC. to be able to examine the president of the Philippines as a perpetrator of international crimes.
Key Words : Human Rights, International Law, International Criminal Court
Produksi dan peredaran Narkotika waktu ke waktu selalu bertambah, peningkatan yang cukup signifikan dimana mencapai angka 225.000.000 (Dua ratus limah puluh lima juta ) jiwa dari kurun waktu 2006 – 2018.1 Narkoba sendiri adalah Zat yang memiliki efek samping yaitu penurunan kesadaran menghilangkan rasa nyeri dan menyebabkan ketergantungan pada pengguna nya, dimana ini lah yang sangat membahayakan bagi pengguna nya.2
Narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba) memang menjadi salah satu masalah yang menjadi ancaman di banyak negara, tidak terkecuali Filipina. Sebagai contoh, narkoba jenis Opium telah masuk dan mulai digunakan di Filipina sejak tahun 1521. Pada tahun 1631 pada saat zaman penjajahan oleh Spanyol dimana opium ini digunakan oleh suku Moro di Mindanao yang menyebabkan bekurang nya rasa kesadaran secara perlahan dengan tujuan menghilangkan rasa takut dan dapat menyerang atau membunuh pasukan Spanyol, terlepas dari digunakannya narkoba untuk melawan penjajah. Ketergantungan terhadap Narkoba di Filipina semakin lama membesar dengan seiring berjalan nya waktu, hal tersebut diakibatkan dengan masuknya heroin, ganja, morfin, dan kokain dan berbagai macam jenis obat-obatan berbahaya lainnya. Masyarakat dapat menggunakan obat–obatan terlarang tersebut secara bebas, karena selain pengaturan tentang opium belum ada pengaturan lebih lanjut terkait dengan narkotika berbahaya lainnya. Hal ini Menyebabkan sulit nya mengatur peredaran narkotika tersebut.
Keberadaan Narkoba di Filipina semakin lama semakin mengkhawatirkan, masyarakat Filipina kerap menyalahgunakan Narkoba tersebut, usaha yang dilakukan oleh pemerintah Filipina belum membuahkan hasil yang baik dan belum dapat diatasi. Rodrigo Dueterte yang terpilih sebagai Presiden Filipina pada tahun 2016 dimana setelah terpilih beliau langsung melaksanakan janji kampanye nya yaitu melakukan pemberantasan narkoba di Filipina dengan cara perang terhadap narkoba, adapun cara– cara yang dilakukan salah satunya dengan diberlakukan kembali pasal 9 Republic Act 9145 yang berisikan hukuman bagi penyalahguna narkoba yaitu berupa penjara seumur hidup hingga hukuman mati, serta dikenakan denda 500.000 peso hingga 10.000.000 peso. Tidak hanya demikian Presiden Rodrigo Duterte juga memerintahkan pihak kepolisian untuk mengeksekusi mati para penyalahguna narkoba yang tidak mau untuk ditahan. Kendati demikian penyalahguna tetap ditembak mati walaupun telah menyerahkan diri untuk ditangkap, polisi dengan mengatasnamakan satuan anti-narkoba mendatangi rumah penduduk dan melakukan demikian dikarenakan ada kebijakan yang menyatakan bahwasanya “setiap satu orang yang terbunuh maka polisi tersebut mendapatkan bayaran
sebesar $300 (tiga ratus dolar) oleh pimpinannya dan tidak ada tindakan insentif bagi penangkapan yang kemudian dibawa ke proses peradilan”. Kebijakan tersebut dilaporkan telah menewaskan sedikitnya lebih dari 5000 tersangka dalam baku tembak dan penggerebekan narkotika. Oleh sebab itu, terjadi krisis kemanusiaan di Filipina karena Presiden Durterte terus melakukan pembunuhan mengatasnamakan “War on Drugs”3.
Dalam pidato kenegaraan nya, Presiden Rodrigo Duertete menyampaikan bahwasannya “Perang melawan narkoba belum selesai dan perang melawan obat–obatan terlarang tidak akan di kurangi skala nya, bahkan ini akan terus dilanjutkan…” 4. Hal ini kemudian menjadi fokus “Amnesty International” yang sebagai salah satu organisaasi dunia dalam penegakan HAM, yang menyatakan bahwa Rodrigo Duterte melakukan pembunuhan terhadap terduga pelaku penyalahgunaan narkoba dalam upaya pemberantasan narkoba tanpa melalui proses peradilan adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat diadili di Pengadilan pidana internasional (ICC) berdasarkan statuta roma 1998. Hal ini dikarenakan HAM yang di miliki oleh setiap orang sejak dia didalam kandungan adalah Hak untuk hidup dan hak untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan.5 Berdasarkan alasan tersebut juga ICC melakukan penyelidikan terhadap presiden Filipina Rodrigo Duterte tepatnya pada bulan Februari 2019, dan sebulan kemudian Filipina menarik diri dari ICC tepatnya tanggal 19 Maret 2019.
Penulisan artikel ini dibuat berdasarkan pemikiran pribadi penulis dengan melihat keadaan yang terjadi saat ini, penulis melihat adanya norma konflik antara Hukum Nasional yang ada di Filipina dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan setelah menelusuri sumber-sumber kepustakaan, penulis menemukan bahan penelitian yang sesuai untuk dijadikan acuan dalam penulisan artikel ini penelitian tersebut yang pertama adalah Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul Pengaturan Hukum Tindak Pidana Narkotika Sebagai Kejahatan Trans Nasional Di Kawasan Asia Tenggara yang ditulis oleh Ni Putu Nita Mutiara Sari dan Suatra Putrawan.6 Penelitian selanjutnya yang penulis jadikan acuan dalam penulisan artikel ini adalah Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul Penegakan Hukum Terhadap Tersangka Pengedar Narkoba Di Filipina Ditinjau Dari Prespektif Hukum Internasional yang ditulis oleh Putu Mira Rosviyana dan Anak Agung Ketut Sukranatha.7 Pada kedua jurnal tersebut berfokus pada tindak pidana narkotika dan penegakan hukum bagi tersangka pengedar narkoba di kawasan Asia Tenggara khusus nya di Filipina. Pada
penulisan jurnal ini juga membahas perihal keluar nya Filipina dari ICC atau Pengadilan Pidana Internasional.
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik dua rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini, yaitu :
-
1. Bagaimana penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba di filipina tanpa adanya proses peradilan menurut perspektif HAM dan Hukum Internasional?
-
2. Bagaimana Yuridiksi dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC) setelah penarikan diri Filipina dari ICC?
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui perspektif HAM dan Hukum Internasional terhadap penjatuhan hukuman mati pelaku penyalahguna narkoba tanpa proses peradilan dan untuk ,menganalisis yuridiksi ICC setelah Filipina menarik diri.
Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode hukum normatif. Dimana penelitian ini melakukan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach), pendekatan fakta-fakta yang terjadi di Filipina, dan pendekatan kasus dimana mengkaji kebijakan dari Presiden Filipina yaitu Rodrigo Duterte. Bahan hukum yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah bahan hukum primer berupa sumber hukum internasional yaitu perjanjian internasional, dan sumber hukum sekunder berupa hasil penelitian, dan berita di Internet. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen serta teknik analisa bahan hukum dalam tulisan ini.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Persepektif HAM Dan Hukum Internasional Terhadap Penjatuhan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Penyalahguna Narkoba Di Filipina Tanpa Proses Peradilan
-
PBB sebagai organisasi internasional memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara perdamaian dunia serta mengatur beberapa konvensi internasional, salah satu contoh nya tercantum di dalam pasal 1 ayat 3 Piagam PBB.8 Pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh semua individu, ada yang dilakukan secara sadar ataupun dilakukan secara tidak sadar. Sekarang ini tidak jarang ditemui peristiwa - peristiwa pelanggaran HAM diseluruh belahan dunia ini, baik itu di negara berkembang ataupun di negara
maju.9Pada awal kepemimpinan sejak tertanggal 30 Juni 2016, Ronald M. Dela Rosa ditunjuk oleh Presiden Duterte sebagai kepala Kepolisian Nasional Filipina (PNP) . Tidak hanya itu Ronald M. Dela Rosa dipercaya untuk menjadi penanggung jawab dari operasi Double Barrel. Operasi ini dijalankan melalui surat komando No. 17 Tahun 2016 yang berlaku pada tanggal 1 juli 2016 dan isi dari surat komando tersebut adalah “operasi ini dilaksanakan atas perintah dari Presiden Rodrigo Duterte untuk mengapus secara tuntas peredaran narkoba di Filipuna dalam kurun waktu 6 bulan masa kepemimpinannya”.10
Tertanggal 30 Juni 2016 dikeluarkannya House Bill 01 yang berisikan tentang pemberlakuan kembali 30 pasal yang terdiri dari “Republic Act 3815, Republic Act 7080, Republic Act 9165, Republic Act 6539, dan Republic Act 9346”oleh Presiden Rodrigo Duterte.11 Dalam rangka memberantas kasus kejahatan penyalahgunaan Narkoba, Presiden Duterte mengamandemen sebagian isi Republic Act 9165 lewat suatu proposal dan disetujui oleh House of Representatives (HoR) Filipina. Mendistribusikan, memproduksi, mejual Narkoba dan diberikan denda dari 500.000 peso hingga 10.000.000 peso merupakan sanksi yang terdapat dalam 9 pasal Republic Act 9165 yang telah diamandemenkan dan juga di beberapa pasal lainnya hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati diberlakukan kembali.
Saat melakukan penangkapan kepada para tersangka penyalahguna narkoba, pihak kepolisian diberikan arahan oleh Presiden Duterte untuk menembak mati kepada para tersangka apa bila mereka melakukan perlawan kepada petugas , namun dalam kenyataannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, penyalahguna tetap ditembak mati walaupun sudah menyerahkan diri ke kepolisian dan berharap tidak ditembak mati, hal demikian terjadi dikarenakan adanya insentif yang diberikan kepada polisi yang berhasil menembak mati pelaku penyalahgunaan narkoba, adapun insentif yang diberikan adalah sebesar $300 (tiga ratus dolar) oleh atasannya.12 Sedikitnya ada sekitar kurang lebih 5000 (lima ribu) orang yang meninggal dunia dalam operasi ini. Hal ini bertentangan dengan hukuman yang seharusnya diterima oleh para pelaku kejahatan narkotika tersebut. Mereka seharusnya diberikan hukuman seperti rehabilitasi, perawatan, edukasi, sosialisasi. Tidak ada satupun hukuman yang menyebutkan hukuman mati. Seperti yang dijelaskan pada Art 3 United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psyochotropic Substances 1998.
Penembakan mati diluar proses hukum ini menjadi sorotan Amnesty Internasional dan juga Peradilan Pidana Internasional (ICC), Presiden Rodrigo Duterte dianggap telah melakukan kejahatan HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Hak Asasi Manusia menurut Thomas Jefferson merupakan kebebasan yang dimiliki setiap individuyang diberikan oleh tuhan yang melekat pada individu itu sendiri, dan pemerintah merupakan organ yang ada untuk mengawalpelaksanaan dari HAM itu sendiri.13
Sebagaimana diatur dalam pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dimana setiap orang memiliki hak untuk hidup. Maka rumusan pasal 3 DUHAM :
“ Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”
Selain itu penembakan mati tanpa proses peradilan juga mencederai HAM sesorang termasuk penyalahguna narkoba yang juga memiliki hak yang dijamin dihadapan hukum, adapun jaminan tersebut diatur dalam :
Pasal 6 DUHAM yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada”
Pasal 7 DUHAM yang berbunyi :
“semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini “
Pasal 10 DUHAM yang berbunyi :
“ Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya”
Pasal 11 DUHAM yang berbunyi:
-
(1) setiap yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.
-
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan.
Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
Berdasarkan ketentuan dapat secara jelas dan gamblang bahwa DUHAM sudah menjamin hak untuk hidup setiap individu, hak persamaan dihadapan hukum (equality before the law),14 mendapatkan hak untuk tidak dapat dipersalahkan sebelum adanya putusan peradilan (Presumption of Innocence), perlindungan hukum, dan non diskriminasi.15 Apabila dilihat berdasarkan fakta-fakta mengenai kebijakan perang terhadap narkoba (war on drugs) yang dilakukan oleh presiden Duterte yang mengakibatkan hilangnya nyawa kurang lebih 5000 (lima ribu) orang karena penembakan mati yang dilakukan oleh kepolisian tanpa melalui proses peradilan dan belum dapat dibuktikan bersalah melakukan tindak pidana narkoba berdasarkan putusan pengadilan, dapat dikatakan bahwasanya kebijakan tersebut telah mencederai HAM sesorang yaitu hak untuk hidup dan hak-hak yang berkaitan dengan proses peradilan sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal diatas.
Selain ketentuan mengenai HAM seperti yang ada di DUHAM, mengenai penjatuhan hukuman mati bagi setiap negara yang tidak menghapuskan hukuman mati ditegaskan dalam Konvensi Internasional tentang hak sipil dan hak politik yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR yang berbunyi :
Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, hukuman mati dapat dikenakan hanya untuk kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat melakukan kejahatan tersebut dan tidak bertentangan dengan ketentutan dari perjanjian ini dan konvesi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida, hukuman ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan keputusan akhir yang diputuskan oleh pengadilan yang berkompeten
Sehingga penjatuhan hukuman mati dengan ditembak mati tanpa proses peradilan sudah sangat jelas merupakan pencideraan terhadap HAM seseorang. Bahkan orang yang diputus hukuman mati masih berhak untuk memohon pengampunan dengan pengurangan hukuman, dan amnesty berdasarkan pasal 6 ayat (4) ICCPR.16 Maka dari itu kebijakan presiden Filipina Rodrigo Duterte menembak mati warga negaranya yang diduga melakukan penyalahgunaan narkoba tanpa proses peradilan dalam rangka perang terhadap narkoba (war on drugs) dapat dikatakan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusian dengan melakukan pembunuhan terhadap warga negaranya yang belum terbukti secara hukum melakukan pelanggaran hukum pidana yaitu narkoba. Maka dari itu Pengadilan Pidana Internasional memiliki Juridiksi untuk memeriksa kejahatan ini, sebagaimana tertuang dalam pasal 5 ayat (1) huruf a Statuta Roma.
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang dibentuk berdasarkan perjanjian Internasional yang tertuang dalam Statuta Roma 1998 yang dimana merupakan pengadilan pidana internasional pertama yang bersifat permanen17. ICC hanya dapat memeriksa perkara yang menjadi juridiksinya sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Statuta Roma 199818, selain itu negara tersebut harus tidak memiliki keinginan (unwilling) dan/atau tidak mampu (unable) dalam memeriksa perkara tersebut.19 Apabila melihat sikap dari Filipina sudah jelas bahwa Filipina tidak memiliki keinginan untuk mengadili presidennya Rodrigo Duterte sehingga Pengadilan Pidana Internasional dapat turun tangan dalam menangani kasus ini. Namun ketika Pengadilan Pidana Internasional melakukan penyelidikan kasus ini pada bulan Februari 2019, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) tidak mendapatkan sambutan yang baik dari Filipina dengan mengatakan tidak akan bekerjasama dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus ini, dan mengancam akan keluar dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dengan cara melakukan penarikan diri dari Statuta Roma 1998.20 Pada tanggal 19 Maret 2019 Filipina benar-benar melakukannya. Rodrigo Duterte menyatakan bahwa Pengadilan Pidana Internasional (ICC) tidak akan dapat melaksanakan yuridiksinya di Filipina terutama terhadap dirinya. Yang menjadi pertanyaan benarkah demikian? tentu tidak.
Kendati Filipina melakukan penarikan diri dari Statuta Roma tidak mengakibatkan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) tidak dapat melaksanakan pemeriksaan dalam kasus yang melibatkan presiden Filipina Rodrigo Duterte tersebut. Dalam Statuta Roma sudah diatur mengenai penarikan diri yaitu pasal 127 ayat (1) dan (2) Statuta Roma 1998:
-
(1) Suatu Negara Pihak, dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat menarik diri dari Statuta ini. Penarikan diri itu mulai berlaku satu tahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut, kecuali kalau pemberitahuan itu menetapkan suatu tanggal yang lebih kemudian
-
(2) Suatu Negara tidak akan dikeluarkan, dengan alasan penarikan dirinya, dari kewajiban yang timbul dari Statuta ini ketika Negara itu masih menjadi pihak
pada Statuta ini, termasuk setiap kewajiban keuangan yang mungkin terkumpul. Penarikan dirinya tidak mempengaruhi setiap kerja sama dengan Pengadilan dalam hubungan dengan investigasi dan penuntutan pidana yang mengenai hal itu. Negara yang menarik diri sebelumnya mempunyai kewajiban untuk bekerja sama dan yang dimulai sebelum tanggal di mana penarikan diri itu menjadi efektif, ataupun hal itu tidak akan merugikan dengan cara apa pun pertimbangan yang berkelanjutan mengenai setiap hal yang sudah dipertimbangkan oleh Pengadilan sebelum tanggal di mana penarikan diri itu menjadi efektif.
Maka dari itu berdasarkan ketentuan penarikan diri dalam statuta Roma 1998 ini Yuridiksi ICC atas kasus ini tidak semata-mata hilang dengan adanya penarikan diri Filipina, ICC tetap dapat melakukan pemeriksaan terhadap kasus ini dalam kurun waktu paling lama 1 Tahun hingga menjatuhkan putusan, namun yang menjadi masalah adalah Filipina yang tidak mau bekerja sama dengan ICC untuk menuntaskan kasu ini.
-
IV. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan analisis dapat ditari kesimpulan bahwa kebijakan perang terhadap narkoba (war on drugs) yang dilakukan presiden Filipina Rodrigo Duterte yang menewaskan lebih dari 5000 (lima ribu) orang warga negara yang diduga sebagai penyalahguna narkoba adalah merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu pembunuhan sebagaimana diatur dalam DUHAM, ICCPR, dan Statuta Roma 1998 sehingga yuridiksi Filipina tidak otomatis berhenti/ tidak memiliki yuridiksi lagi setelah Filipina keluar dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dengan menarik diri dari statuta roma 1998, dikarenakan penarikan diri hanya diakui setelah satu tahun sejak lembar pernyataan penarikan diri diserahkan ke sekretaris jendral Pengadilan Pidana Internasional, sebagaimana diatur dalam pasal 127 ayat (1) dan (2) Statuta Roma 1998. oleh karena hal tersebut, Demi kemanusiaan sebaiknya Filipina menghentikan kebijakan perang terhadap narkoba dengan cara menembak mati terduga pelaku penyalahgunaan narkoba, dan menghormati HAM warga negaranya untuk hidup, perlindungan hukum, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan kesamaan dihadapan hukum (equality before the law). Filipina dapat memikirkan cara yang lebih manusiawi dalam melaksanakan pemberantasan narkoba dan pengadilan Pidana Internasional sebaiknya menaruh perhatian khusus terhadap kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Filipina dan segera menyelesaikan kasus ini dalam kurun waktu satu tahun.
Daftar Pustaka
Buku
Riyadi, Eko. Hukum Hak Asasi Manusia Perspektif Internasional, Regional, dan Nasional.(Depok: Raja Grafindo, 2018).
Tolib, Efendi, 2014, Hukum Pidana Internasional. (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2014).
Jurnal
Ade Firmansyah, Ahkmad, 2017, “ Upaya Amnesty International dalam Menentang Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia Tahun 2014 – 2016”, Jurnal Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Arimbawa, I Komang Gede dan Diantha, I Made Pasek, “Hukuman Mati Terkait Kejahatan Narkotika Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, Jurnal Kertha Negara, Vol 4, No. 2 (2016).
Cahya Sudarsa, D, “. (2017). PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI WILAYAH YANG MENGALAMI KONFLIK BERSENJATA”, . Jurnal Kertha Negara, Vol. 5, No. 4 (2017).
Effendi, Chesa, 2019, “Penarikan Diri Negara Pihak Statu Roma 1998 untuk Menghapuskan Kewenangan ICC Terhadap Kejahatan Internasional yang Dilakukan Sebelum Penarikan Diri : Kasus Burundi dan Filipina”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Surabaya.
Krisnawati, N., & Putrawan, S. (20 “15). PENERAPAN HUKUMAN MATI SECARA MASSAL DI MESIR DITINJAU DARI HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL”,. Jurnal Kertha Negara, Vol. 3, No.3 (2015).
Olivia, Olivia, 2017, “ Kewenangan ICC (International Criminal Court ) Dalam Melakukan Penegekan Hukum Terhadap Kejahatan Kemanuasian “, Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi , Vol.5, No.8 (2017).
Rosviyana, P., & Sukranatha, A, “. (2019). PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA PENGEDAR NARKOBA DI FILIPINA DITINJAU DARI PERSEPEKTIF HAM INTERNASIONAL”. Jurnal Kertha Negara, Vol.7, No.9 (2019).
Sarlina, 2018, “ Respon Amnesty International Terhadap Pemberantasan Narkotika dan Obat-Obatan Berbahaya (NARKOBA) di Filipina Pada Masa Rodrigo Duterte”, Jurnal Universitas Mulawarman, Vol.6, No.3 (2018).
Sefriani, 2007, “Yurudiksi ICC Terhadap Negara Non Anggota Statuta Roma 1998”, Jurnal Hukum Universitas Islam Indonesia, Vol. 14, No. 2 (2017).
Sutrisna, M. Dody dan Mertha, I Ketut, ”Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba yang Dilakukan Oleh Warga Asing”, Jurnal Kertha Semaya, Vol.1, No.1 (2013).
Wilujeng , Sri Rahaju, 2013, “Hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Aspek Historis Dan Yuridis”, Jurnal Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Vol. 18, No. 2 (2013).
Peraturan Perundang-undangan
International Convenant on Civil and Political Right 1966
Rome Statue 1998
The Universal Declaration of Human Right 1948
United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psyochotropic Substances 1998
Internet
BBC NEWS, 2017, “Perang Duterte Lawan Narkoba Dipergencar dan Tewaskan 58 Orang”, (2017), URL: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-40962953.
BBC News, 2018, ”Perang lawan narkoba, Duterte: 'Pegiat pedulikan HAM, saya pedulikan nyawa manusia”,, (2018), URL: 'https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44924926.
HRW (Human Rights Watch), 2019, “Extrajudicial Killings in Filipinas”, (2019), URL : https://www.hrw.org/world-report/2019/country chapters/philippines.
Kompas.com, 2019, “Amnesty: Perang Narkoba Duertete adalah “ Usaha Pembunuhan Besar – besaran “, (2019), URL:
Lain-lain
Dharmawan, Ni Ketut Supasti, 2011, “Metodologi Penelitian Hukum”, Makalah Metode Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana (2011).
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 3 Tahun 2021, hlm.164-174
174
Discussion and feedback