DAMPAK HUKUM PEMBATALAN TRANSAKSI MERGER PERSEROAN OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Ida Ayu Chintya Andini, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

A.A.Ketut Sukranatha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Merger perseroan merupakan perbuatan hukum menggabungkan dua atau lebih perseroan yang pada dasarnya tidak ada larangan dalam pelaksanaannya. Namun metode tersebut menjadi bermasalah ketika menjalankan aktivitas usaha tersebut terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha yang tak sehat. Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi terkait status hukum perseroan yang transaksi mergernya dibatalkan oleh KPPU, dan pengaruh pembatalan merger perseroan terhadap persaingan usaha. Metode penulisan yang digunakan yakni jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan literatur terkait pokok bahasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, status perseroan yang mergernya dibatalkan oleh KPPU kembali seperti semula di mana perseroan tersebut didirikan kembali mengikuti ketentuan UU Perseroan Terbatas. Kedua, pengaruh pembatalan merger perseroan pada persaingan usaha yakni pada kepemilikan saham yang harus dikembalikan seperti semula sementara belum ada peraturan yang mengatur dan kerugian yang dialami oleh pasar atau masyarakat.

Kata kunci : Pembatalan Merger, Perseroan, Kepemilikan Saham.

ABSTRACT

Merger of liability company is part of legal action in merging two or more liability company which there is no prohibition in the implementation. But the merger would be problematic when there is monopoly practical in the business activities itself. The purpose of this research was to know the legal status of merge liability company which has annuled by KPPU, and the implication of merger annulment to business competition. The method in this recent research used normatives-legal research with statute approach. The result of this research could be described as follows: first, the annulment of company merger by KPPU will make some condition called restituo ad integrum which null and void the agreement of merger itself and it should rebuild based on Perseroan Terbatas Act. Second, the implication affected to business competition are restitutio ad integrum of share ownership which has not regulated and disadvantages to market and civils.

Keywords : Annulment of Merger, Liability Company, Share Ownership.

  • I.     Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Langkah strategis perseroan agar dapat terus berekspansi memaksimalkan keuntungan, mengembangkan, dan memperkuat usahanya adalah dengan melakukan

penggabungan. Penggabungan Perseroan Terbatas atau istilah lainnya merger berdasarkan Pasal 1 angka (2) PP Nomor 27 Tahun 1998 merupakan suatu perbuatan hukum di mana satu perseroan atau lebih bergabung menjadi satu bersama perseroan lain yang sudah ada, sementara perseroan yang telah bergabung tadi akan menjadi bubar.

Metode tersebut disebut sebagai salah satu wujud restrukturisasi perseroan dengan merombak seluruh hubungan bisnis dari perseroan itu yang tujuannya untuk mencapai kompetisi dan daya saing. Hal ini tidak semata-mata untuk mempertahankan eksistensi perseroan tersebut, namun juga untuk memenuhi tuntutan pasar.

Merger perseroan sendiri dilakukan untuk meningkatkan sinergi antar perusahaan yang disebabkan adanya beberapa keuntungan seperti: 1) Pertimbangan Pasar, 2) Penghematan Distribusi, 3) Diversifikasi, 4) Keuntungan Manufaktur, 5) Riset dan Pengembangan, 6) Pertimbangan Keuangan, 7) Optimalisasi Akses Kekayaan, 8) Pertimbangan SDM, 9) Menjadi Canggih dan Otomatis, 10) Penghematan Pajak. Dengan adanya beberapa keuntungan tersebut transaksi merger dianggap efisien dan dapat menekan biaya produksi perusahaan.

Permasalahannya adalah alasan merger yang lebih menitikberatkan pada tujuan ekonomi dibanding tujuan kepentingan umum. Pada dasarnya tidak ada larangan dalam mengupayakan merger pada dua atau lebih perseroan. Sebab restrukturisasi perseroan juga tetap diperlukan agar dapat menciptakan manfaat efisiensi. Namun apabila merger itu membuat timbulnya persaingan usaha dan monopoli yang tak sehat hingga menyebabkan kekuatan ekonomi menumpuk pada segelintir kelompok kecil pelaku usaha, maka perlu ada suatu kebijakan merger untuk mengendalikan transaksi merger dalam dunia usaha dan menanggulangi praktik-praktik monopoli tersebut. Ini biasanya terjadi karena aksi perseroan tidak terkontrol dengan baik yang menyebabkan harga produk tinggi dan kekuatan pasar pelaku usaha semakin besar hingga mengancam pebisnis kecil.1

Kebijakan merger setidak-tidaknya dapat mencegah rusaknya persaingan di dalam pasar. Seperti yang telah disebutkan juga, transaksi merger itu tidak terlarang sepanjang tidak berdampak negatif. Namun dalam hal merger perseroan telah terjadi, berlaku efektif, dan mencapai threshold tertentu, maka perlu adanya notifikasi kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tujuan notifikasi ini akan menghasilkan dua penilaian dari KPPU (post-notifikasi) yakni transaksi merger tersebut melanggar atau tidak melanggar. Dalam hal transaksi merger melanggar maka KPPU berwenang untuk melakukan pembatalan pada transaksi merger perseroan yang menyangkut perihal status hukum perseroan dan status kepemilikan saham. Hal ini sebagai bentuk upaya preventif KPPU untuk menangani kemungkinan terjadi monopoli dan persaingan tidak sehat; serta upaya pengawasan dari KPPU.2

Pembatalan transaksi merger perseroan oleh KPPU ini yang juga menjadi sedikit bermasalah karena akibatnya terjadi pengembalian perseroan ke keadaan semula sebelum terjadinya transaksi merger (restitutio ad integrum). Sementara itu, upaya pengembalian ke keadaan semula ini masih terdapat kekosongan hukum karena tidak adanya prosedur yang jelas dalam melakukan restituo ad integrum.

Pengembalian ke keadaan semula ini yang kemudian membuat status hukum perseroan perlu dikaji karena setidaknya terdapat dua kemungkinan, pertama, perseroan yang batal merger harus mendirikan ulang dengan struktur pendiri baru, akta otentik baru, dan modal baru, atau kedua, perseroan yang batal merger dapat mendirikan ulang dengan syarat yang sama sebelum perseroan merger. Namun kemungkinan kedua dikhawatirkan akan dikatakan nebis in idem. Sementara itu pembatalan merger perseroan tentu akan berpengaruh bagi persaingan usaha, antara perseroan yang akan tergerus dengan kompetitornya di pasar atau masyarakat yang akan dirugikan karena carut marutnya harga produk. Hal tersebut yang kemudian akan dibahas dalam penulisan ini.

Terkait pembatalan merger perseroan ini, penelitian lain juga menyajikan pembahasan lain yang berfokus pada salah satu pengaruh dari terjadinya pembatalan merger perseroan. Merujuk pada Jurnal Cakrawala Hukum Vol. 10 No. 1 (2019) yang disusun oleh Dian Karina Fitri, Sihabudin, dan Bambang Winarno dengan judul “Status Kepemilikan Saham Hasil Pembatalan Penggabungan Perseroan Terbatas oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha”. Pembahasan jurnal tersebut menitikberatkan pada status kepemilikan saham hasil penggabungan PT yang dibatalkan oleh KPPU belum memiliki kepastian hukum mengenai pengembaliannya. Namun hal ini tetap dinilai perlu dikembalikan seperti semula berdasarkan posisi aktiva dan pasiva. Sementara dalam penelitian penulis dikemukakan mengenai pertama, status hukum perseroan yang mergernya dibatalkan oleh KPPU dalam hal pendirian ulangnya; kedua, pengaruhnya terhadap persaingan usaha juga penulis kaji untuk melihat dampaknya baik bagi perseroan maupun masyarakat.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah status hukum perseroan yang transaksi mergernya dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha?

  • 2.    Bagaimana pengaruh pembatalan merger perseroan terhadap persaingan usaha?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan penelitian ini, yaitu untuk memberikan informasi terkait hasil analisa status hukum perseroan yang transaksi mergernya dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh pembatalan merger perseroan terhadap persaingan usaha. Sehingga penelitian ini disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna memberikan gambaran ada tidaknya jaminan kepastian hukum pada kasus pembatalan merger perseroan oleh KPPU.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yakni mengkaji beberapa undang-undang melalui studi kepustakaan dengan bahan hukum primer, berupa pertama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kedua Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas. Selain itu juga dengan bahan-bahan hukum sekunder, literatur

termasuk jurnal ilmiah dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan diatas. Berdasarkan Pasal 28 Undang Undang No. 5 Tahun 1999, dimana disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dan pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Transaksi penggabungan badan usaha, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham akan menimbulkan tercapainya potensi persaingan usaha tidak sehat dengan penguasaan sumber daya dan integrasi usaha.3 Pendekatan dalam penulisan ini menggunakan pendekatan undang-undang yakni dengan cara mendalami perundang-undangan dan regulasi yang memiliki hubungan dengan isu hukum yang ditangani.4

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Status Hukum Perseroan dengan Transaksi Merger yang Dibatalkan oleh Pengawas Komisi Persaingan Usaha

Merger sebagai wujud restrukturisasi perseroan memberikan dampak hukum yang positif dengan peningkatan kinerja perusahaan dan pembangunan persaingan usaha yang sehat. Upaya restrukturisasi tersebut secara tidak langsung turut menekan berlangsungnya praktek persaingan usaha dan monopoli yang tak sehat. Ada tujuan dan ruang lingkup yang memberikan efek positif dari restrukturisasi ini, yaitu:

  • a)    Meningkatnya nilai kerja perusahaan.

  • b)    Memberi keuntungan yaitu berupa pajak pada negara dan deviden.

  • c)    Memberikan hasil layanan dan produk berupa harga yang kompetitif pada pembeli.

  • d)    Mempermudah terlaksananya privatisasi. 5

Namun merger juga memiliki kelemahan di mana persetujuan harus diperoleh dari pemegang saham setiap perusahaan, sehingga dalam pengambilalihannya membutuhkan waktu yang lama.6 Meskipun UU No. 40 Tahun 2007 telah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, namun Komisi berpendapat bahwa merger yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1999 mencakup pengertian yang lebih luas dibanding dengan definisi dalam UU No. 40 Tahun 2007 yang hanya berlaku bagi Perseroan Terbatas.7 Pertanyaan

yang patut dikemukakan adalah apakah akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan yang terafiliasi melanggar UU No. 5/ 1999. Guna menjawab hal tersebut layak dikemukakan beberapa hal antara lain: pertama, apakah perusahaan yang melakukan pengambilalihan merupakan pemegang saham pengendali. Kedua, bagaimanakah hubungan antara induk dan anak perusahaan.8

Pada transaksi merger yang melibatkan oleh dua perseroan atau lebih maka wajib memberikan pemberitahuan/notifikasi apabila nilai aset (nilai penjualan), telah melampaui threshold tertentu. Threshold tersebut telah diatur secara rinci di dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) PP Nomor 57 Tahun 2010 jo Pasal 2 Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2019. Bagi pelaku usaha tidak melakukan notifikasi merger sejak merger berlaku secara efektif yuridis, pelaku usaha dapat dikenai hukuman administratif yaitu pembayaran sejumlah uang dengan nominal paling tinggi 25 miliar rupiah (Pasal 6 PP Nomor 57 Tahun 2010).

Selain definisi dari monopoli, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga diberikan pengertian dari praktek monopoli, yaitu suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.9 Namun demikian, disamping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, terdapat pula banyak hambatan dan kritikan dari berbagai kalangan baik akademisi, praktisi maupun komisioner Komisi Persaingan Usaha sendiri akan adanya kelemahan-kelemahan UU No. 5 tahun 1999 atau Hukum Persaingan Usaha dan peraturan pelaksananya tersebut. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya mengenai siapakah yang merupakan subjek Hukum Persaingan Usaha Indonesia dan apakah Hukum Persaingan Usaha Indonesia berlaku terhadap pelaku usaha yang berada diluar negeri, akan tetapi mempunyai pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia.10

Notifikasi merger merupakan pemberitahuan tertulis dari pengusaha untuk KPPU tentang penggabungan perusahaan (merger) yang dilakukan oleh perusahaan terkait.11 Notifikasi yang saat ini berlaku di Indonesia, yaitu pemberitahuan kepada Komisi setelah aksi korporasi selesai dilakukan, atau yang dikenali dengan post-notifikasi, sesungguhnya tidak efektif mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dikarenakan notifikasi disampaikan setelah aksi korporasi selesai dilakukan, sehingga dalam hal Komisi menilai aksi korporasi menyebabkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka pembatalan jelas mengalami kerumitan.12 Pra notifikasi adalah pemberitahuan yang bersifat sukarela oleh pelaku Usaha yang akan melakukan merger, untuk mendapatkan pendapat KPPU mengenai

dampak yang ditimbulkan dari rencana merger.13 Istilah pra notifikasi, terdapat juga dalam bagian menimbang yang menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pengendalian terhadap penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, dipandang perlu adanya kejelasan tata cara dan penilaian pra- notifikasi terkait dengan hal tersebut.14

Satu-satunya kelemahan pada sistem notifikasi merger dalam transaksi merger Indonesia adalah menggunakan post-notification system. Artinya pelaku usaha melakukan kewajiban notifikasi setelah transaksi merger dilakukan telah berjalan efektif secara yuridis pada kewenangan persaingan usaha, dalam hal ini adalah KPPU. Perlunya notifikasi merger ini sebagai bentuk penilaian dari KPPU mengenai melanggar atau tidaknya pelaku usaha terhadap transaksi merger yang sedang dijalankan, salah satunya bertujuan melihat adakah indikasi persaingan yang tak sehat dan praktek monopoli pada usaha tersebut.

Indikasi monopoli perdagangan itu juga akan terlihat melalui kepemilikan saham di mana ada larangan pelaku usaha dengan pemilik mayoritas saham dalam perusahaan dengan jenis yang sama, menjalankan usaha di sektor yang sejenis dan di pasar yang juga sejenis lalu mengakibatkan segelintir kumpulan pelaku usaha memiliki kuasa pada pasar jasa maupun barang lebih dari 50%. Pelarangan kepemilikan saham mayoritas dimaksudkan agar kekuatan ekonomi tidak sentralistik (terpusat) pada satu kelompok pelaku usaha atau lebih, atau supaya tidak terjadi pengendalian pasar oleh kelompok perusahaan tersebut.

Melihat alasan urgensi perlunya kebijakan merger di atas, untuk itu dalam melakukan kontrol transaksi merger KPPU berwenang untuk melakukan pembatalan transaksi merger yang sudah disetujui Kemenkumham apabila ditemukan pelanggaran di dalamnya. Pembatalan yang dimaksud di sini yakni batal demi hukum. Akibat hukum dari batal demi hukum yakni perjanjian yang telah dibuat sejak awal dianggap tidak sah, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.15 Pembatalan oleh KPPU di sini tentu berdasarkan penilaian adanya kemungkinan dugaan persaingan yang tak sehat dan praktek monopoli pada merger perseroan.

Kriteria merger yang dikategorikan sebagai bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah:16 a) Melaksanakan perjanjian yang dilarang, b) Melakukan kegiatan yang dilarang, c) Penyalahgunaan posisi dominan. Untuk melihat adanya praktik monopoli pada transaksi merger perlu melihat faktornya seperti:17 1) Kolusi harga, 2) Eksploitasi atas skala ekonomi, 3) Kemampuan kekuasaan untuk memonopoli, 4) Interdepedensi yang oligopolistik.

Status hukum perseroan yang transaksi mergernya telah dibatalkan oleh KPPU sebenarnya menjadi semakin tidak jelas dan timbul ketidakpastian hukum. Sebab mekanisme pengembalian ke keadaan semula (restitutio ad integrum) ini membutuhkan

banyak biaya karena pertama, perseroan yang menggabungkan diri (absorbing company) wajib mendirikan ulang perseroan sesuai ketentuan hukumnya. Kedua, perseroan yang menerima merger (absorbed company) harus melakukan pengembalian saham absorbing company yang berpindah ke absorbed company, namun tidak ada mekanisme yang jelas terkait prosedur pengembalian dan status kepemilikan saham.

Pendirian ulang perseroan untuk mengembalikan ke keadaan semula ini akan berdampak besar pada aspek legalitas. Selain itu, kerugian juga akan muncul pada perseroan tersebut jika berhasil didirikan kembali, baik itu kerugian dari aspek ekonomi ataupun public trust. Secara ekonomi, ini akan memberikan ketidakpastian pada usaha perseroan yang bersangkutan dan ke depan menghambat upaya merger yang sejalan dengan konsep persaingan yang sehat. Dalam pandangan masyarakat pun, perseroan yang telah dijatuhi sanksi pembatalan merger oleh KPPU akan sulit memperoleh kepercayaan dari masyarakat terkait produk yang diproduksinya.

Di samping itu, status kepemilikan saham atas perseroan yang telah kembali ke keadaan semula ini belum diatur di peraturan perundang-undangan manapun. Padahal ini dapat diatur dengan menempatkan aktiva serta pasiva ke posisi semula, sehingga status kepemilikan saham juga akan kembali seperti sebelum perseroan menggabungkan diri. Kekosongan hukum semacam ini jelas akan merugikan persaingan usaha atas putusan dinyatakannya persaingan yang tak sehat dan praktek monopoli dalam penggabungan perseroan. Dalam sosial juga akan membuat masyarakat kehilangan minat pada hasil produksi, bahkan bisa menimbulkan sengketa dengan konsumen jika produk telah beredar karena adanya distrust.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) sendiri bahkan tidak menjelaskan mengenai pemindahan hak atas saham yang sifatnya berlaku surut (dikembalikan seperti semula sebelum adanya perjanjian). Pasal 38 ayat (1) UUPT hanya menerangkan mengenai buy back saham hanya bisa dilaksanakan berdasarkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sementara status hukum absorbing company masih merupakan incorporated company tentu tidak dapat melakukannya. Sementara dalam Pasal 48 sampai Pasal 62 UUPT juga hanya mengatur tentang pemindahan hak atas saham yang sifatnya non retroaktif (ex nunc, ex ante factum).

  • 3.2.    Pengaruh Pembatalan Merger Perseroan Terhadap Persaingan Usaha

Transaksi merger perseroan dalam hal apabila KPPU menilai transaksi tersebut melanggar kaidah-kaidah hukum persaingan usaha, maka berdasarkan UU Anti Monopoli KPPU memiliki wewenang dalam memberikan hukuman administratif yang pada intinya berupa pembatalan merger perseroan yang telah dilakukan. Ketentuan yang diatur dalam pasal tersebut sebenarnya tidaklah salah. Namun dalam kaitannya membahas kepastian hukum, mekanisme pembatalan oleh KPPU tersebut ternyata tidak dapat menjamin itu. Konsen KPPU pada masalah akuisisi bukan tanpa alasan dan tak hanya soal masalah kepatuhan administratif saja. Dengan adanya akuisisi saham bisa berpotensi pada kondisi pasar di bisnis bersangkutan para perusahaan, termasuk risiko posisi dominan atau penguasaan pasar yang tak terkendali. Yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.18

Merger memiliki 2 macam metode untuk mengadakanya, namun dua metode tersebut sampai sekarang jika diterapkan dan merger dibatalkan oleh KPPU pun hasil akhirnya masih tetap dinilai berkendala. Hal ini pertama, karena sistem notifikasi merger yang dipakai di Indonesia adalah Post notification system.19 Ini menjadi kendala karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme prosedur pengembalian ke keadaan semula (restitutio ad integrum) yang menyangkut kepemilikan saham yang harus melalui RUPS. Dalam hal ini absorbing company bahkan tidak punya eksistensi lagi sebagai subjek hukum dan harus melakukan pendirian ulang perseroan sampai berstatus corporated. Artinya pengalihan hak atas saham ini juga sulit dilakukan.

Kedua, pembatalan merger oleh KPPU tersebut tidak diikuti dengan tindak lanjut dengan Peraturan KPPU untuk menjelaskan mekanisme prosedur pengalihan hak atas saham ke absorbing company dalam rangka restitutio ad integrum.20 Artinya terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) di sini. Ini akan menjadi kendala bagi para pelaku usaha yang merger perseroannya dibatalkan oleh KPPU dan memberikan kerugian yang cukup besar mengingat tahapan perjanjian merger perseroan ini memakan banyak biaya dan tenaga.

Sejauh ini memang KPPU belum pernah melakukan pembatalan transaksi merger perseroan yang terlarang kecuali pada kasus pembatalan akuisisi saham PT Alfa Retailindo, Tbk. (Alfa) yang dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia (Carrefour). Pada Putusan KPPU Nomor 09/KPPU-L/2009 salah satu amarnya menyebutkan “memerintahkan kepada Carrefour untuk melepas seluruh kepemilikan Alfa pada pihak yang tidak terafiliasi dengan Carrefour21, artinya KPPU di sini membatalkan transaksi tersebut dan secara tidak langsung menimbulkan akibat hukum bagi Carrefour untuk melakukan restitutio ad integrum. Hanya saja pada kasus tersebut, Carrefour mengajukan keberatan atas Putusan KPPU dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan keberatan Carrefour serta menyatakan bahwa tidak ada monopoli dalam usaha yang dilakukan.

Jika KPPU memang benar adanya membatalkan merger perseroan, hal itu juga akan menjadi tantangan tersendiri terkait eksekusinya. Sebab KPPU sebenarnya juga belum memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksekusi atas putusannya sendiri. Kewenangan KPPU tampak kuat untuk dilekatkan pada KPPU, namun pada praktiknya juga masih ada kelemahan terkait pelaksanaan eksekusi. Putusan KPPU tidak lepas dari lama waktu penyelesaian perkara lainnya di Pengadilan Negeri yang cukup banyak sehingga eksekusi ini tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelanggaran terhadap ketentuan merger akan diperiksa oleh KPPU untuk selanjutnya diberi hukuman apabila terbukti melakukan pelanggaran.22

  • IV.    Kesimpulan

Perseroan yang transaksi mergernya telah dibatalkan oleh KPPU tidak lagi memiliki eksistensi sebagai subjek hukum. Absorbing company (perseroan yang menggabungkan diri) harus melakukan pendirian ulang perseroan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan status absorbed company (perseroan yang menerima penggabungan) harus mengalihkan hak atas kepemilikan saham kepada absorbing company. Artinya status hukum kedua perseroan tersebut dalam hal ini wajib melakukan pengembalian ke keadaan semula (restitutio ad integrum). Namun prosedur pendirian ulang ini juga masih mengalami kekosongan hukum. Jika pendirian ulangnya diminta mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas maka syarat terkait pendiri, dasar berdiri, dan permodalannya perlu dibuat pembaruan. Pengaruh pembatalan merger perseroan terhadap persaingan usaha ini, yakni pertama, penerapan sistem notifikasi merger yang di Indonesia dengan Post notification system yang menimbulkan akibat pengalihan hak atas saham sulit dilakukan. Artinya status kepemilikan saham menjadi sulit ditempatkan pada posisi semula dan hal ini akan mengganggu jalannya pendirian ulang perseroan. Kondisi ini akan membuat baik absorbing company maupun absorbed company tidak mampu bersaing di pasar secara kuat. Kedua, masyarakat sebagai target pasar dirugikan dengan ketidakpastian harga produk karena adanya kendala dalam pembatalan merger perseroan. Saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini, yakni pertama, Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan merger dengan menilai efektivitas sistem notifikasi merger dan pengaturan kepemilikan saham agar pembatalan merger perseroan tidak merugikan pelaku usaha dan masyarakat. Kedua, KPPU seharusnya melakukan tindak lanjut atas ketentuan pembatalan merger perseroan oleh KPPU sendiri dengan mengatur mekanisme prosedur pengembalian perseroan ke keadaan seperti semula.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Khairandy, Ridwan. Hukum Kontrak Indonesia (Dalam Perspektif Perbandingan Bagian Pertama), (Yogyakarta, FH UII Press, 2014).

Khairandy, Ridwan. Hukum Perseroan Terbatas, (Yogyakarta, FH UII Press, 2014).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta, PT. Kencana, 2017).

Jurnal Ilmiah

Almanda, Bryan Fanani, Muhammad R. Anam, and Diego Bagas P. Sitowing. "Akibat Hukum atas Keterlambatan Pelaporan Pengambilalihan Saham Ditinjau dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 7/KPPU-R/III/2." Jurnal Hukum Positum 4, no. 2 (2019).

Ginting, Sryani. "Dampak Hukum Notifikasi Merger Menciptakan Persaingan Usaha yang Sehat." Law Pro Justitia 1, no. 1 (2015).

Gisymar, Najib A. "Tinjauan Yuridis Notification (Pemberitahuan) Kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Merger Bank Di Indonesia." PhD diss., Universitas Islam Indonesia, (2014).

Iskandar, Verry. "Akuisisi Saham oleh Perusahaan Terafiliasi dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha." Jurnal Persaingan Usaha Edisi 5 (2011).

Johan, Suwinto. "Implikasi Yuridis Post Merger Notification Oleh Pelaku Usaha Di Indonesia." Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi 12, no. 1 (2020).

Manalu, Hottua. "Notifikasi Aksi Korporasi Sebagai Instrumen Hukum Pencegah Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat." Undang: Jurnal Hukum 2, no. 1 (2019).

Pratiwie, Dinny Wirawan. "Analisis Yuridis Pengambilalihan Saham PT Prima Top Boga Oleh PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk Dari Perpektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 07/KPPU-M/2018)." Yuriska: Jurnal Ilmiah Hukum 11, no. 2 (2019).

Prayogi, Tito. "Pembatalan Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan Yang Bertentangan Dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999." PhD diss., Universitas Islam Indonesia, 2011.

Putri, Preeti Kartika, Paramita Prananingtyas, and Siti Mahmudah. "Analisa yuridis pengawasan KPPU atas tindakan merger yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan di Indonesia." Diponegoro Law Journal 8, no. 2 (2019).

Santo, Paulus Aluk Fajar Dwi. "Merger, Akusisi dan Konsolidasi dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha." Binus Business Review 2, no. 1 (2011).

Sudjana, “Merger dalam Perspektif Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Positum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung Vol. 1 No. 1 (2016).

Toha, Kurnia. "Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha di Indonesia: Problem dan Tantangan." Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 1 (2019).

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Website

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ceba3ce64e9e/putusan-kasasi-ma-kppu-carrefour/, Diakses tanggal 24 Februari 2020

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 6 Tahun 2021, hlm.466-475

475