Buletin Fisika Vol 23 No. 1 February 2022 : 19 – 25

Analisis Pola Sebaran Asap Terhadap Kondisi Meteorologi di Pulau Kalimantan Terkait Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus Kebakaran Hutan pada Bulan September 2019

Smoke Distribution Patterns Analysis on Meteorological Conditions on Kalimantan Island Related to Forest and Land Fires: A Case Study Forest Fires In September 2019

Ivan Bachtiar Pandapotan1, Komang Ngurah Suarbawa1*, I Gusti Agung Widagda1

1Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia 80361

Email: [email protected]; *[email protected]; [email protected]

Abstrak – Telah dilakukan penelitian terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di daerah Kalimantan pada September tahun 2019. Faktor meteorologi seperti curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, serta arah dan kecepatan angin merupakan parameter yang dapat mempengaruhi proses terjadinya kebakaran dan persebaran asap. Pada penelitian ini digunakan data-data meteorologi dan citra asap dari BMKG Tuban, Bali yang diolah dan dianalisis sehingga dapat digunakan untuk menginterpretasikan keadaan meteorologi dan pola asap di Pulau Kalimantan. Citra asap yang telah dikumpulkan diolah menggunakan software HYDRA pada kanal 1, 2 dan 7 serta software SATAID pada kanal 3, 4 dan 6 sehingga warna asap dan sebaran asap dari kebakaran hutan akan kelihatan dalam bentuk gambar. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor meteorologi yang menyebabkan kebakaran hutan adalah curah hujan yang cukup rendah/minim, suhu udara dengan rata-rata >30°C, kelembaban udara 70%-80 % dan pola penyebaran asap disebabkan oleh angin yang bergerak dari arah timur ke arah barat dengan kecepatan 10 km/jam sampai 37,04 km/jam.

Kata kunci: Sebaran asap, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, angin

Abstract – A research has been carried out regarding forest and land fires that occurred in the Kalimantan area in September 2019. Meteorological factors such as rainfall, humidity, air temperature, speed and wind direction are parameters that can affect the process of fire occurrence and smoke distribution. In this study, meteorological data and smoke images from BMKG Tuban, Bali were used which were processed and analyzed so that they could be used to interpret meteorological conditions and smoke patterns on the island of Kalimantan. The smoke image that has been collected is processed using HYDRA software on channels 1, 2 and 7 and SATAID software on channels 3, 4 and 6 so that the color of smoke and the distribution of smoke from forest fires will be visible in the form of images. Based on the results of the study, it can be concluded that the meteorological factors that cause forest fires are rainfall which quite low/minimal, temperature with an average of >30℃, air humidity 70%-80% and the pattern of smoke spread is caused by winds moving from east to westward at a speed of 10 km/h to 37.04 km/h.

Key words: Smoke distribution, rainfall, air temperature, humidity, wind

  • 1.    Pendahuluan

Kebakaran hutan dan lahan adalah terbakarnya suatu kawasan hutan dan lahan yang terjadi baik sengaja atau tidak sengaja. Fenomena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia biasanya terjadi pada musim kemarau atau pada masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau (transisi). Penyebab kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya cuaca ekstrim, lahan gambut yang mudah terbakar, tindakan membakar hutan untuk tujuan finansial, perluasan lahan dengan cara pembakaran, tidak optimalnya pencegahan oleh aparat ditingkat bawah serta pemadaman api yang kurang cepat dan efektif yang menyebabkan kebakaran semakin meluas [1].

Kebakaran hutan di Indonesia dipandang sebagai bencana regional global. Hal ini disebabkan oleh dampak dari kebakaran hutan yang yang sudah menjalar ke negara-negara tetangga dan gas-gas hasil pembakaran yang diemisikan ke atmosfer seperti karbon dioksida (CO2) berpotensi menimbulkan

pemanasan global [2]. Beberapa tahun terakhir sering terjadi kebakaran hutan setiap tahunnya, khususnya pada musim kemarau. Kebakaran hutan yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982-1983 dan tahun 1997-1998 yang telah menghanguskan 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 [3].

Salah satu masalah yang dapat ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan selain kerusakan lingkungan adalah kabut asap. Asap dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan menimbulkan infeksi pada saluran pernapasan (ISPA), asap juga dapat menyebabkan memburuknya jarak pandang mendatar (visibility) yang mengancam keselamatan transportasi baik darat maupun udara. Pada tahun 2019, kembali lagi terjadi kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah pulau Kalimantan yang mengakibatkan kabut asap sehingga sangat menganggu aktivitas masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian kebakaran hutan dan lahan di Pulau Kalimantan. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data meteorologi seperti curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan arah/kecepatan angin yang dapat mempengaruhi proses terjadinya kebakaran, serta mengetahui pola persebaran asap melalui data MODIS dan Himawari 8 yang diolah menggunakan software HYDRA dan SATAID. Data-data yang dipergunakan merupakan studi kasus bulan September 2019.

  • 2.    Landasan Teori

Faktor-faktor meteorologi pada kebakaran hutan dan lahan diantaranya suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, dan arah/kecepatan angin. Masing-masing faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut.

  • a.    Suhu Udara

Suhu udara adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran suatu hutan. [4]. Suhu udara secara konstan berpengaruh pada kemudahan suatu hutan untuk terbakar [5]. Peningkatan suhu yang drastis dari pagi hari yang biasanya bersuhu rendah sekitar 20℃ hingga suhu 30-35℃ pada siang hari membuat proses kebakaran semakin cepat. Selain itu, pengaruh angin membuat api yang awalnya berada pada satu titik dapat menyebar dengan cepat sehingga menyebabkan hutan semakin cepat terbakar [6].

  • b.    Curah Hujan

Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada saat musim kemarau, curah hujan di suatu daerah cenderung rendah sehingga menyebabkan kondisi udara di sekitar daerah tersebut cenderung kering sehingga hutan lebih mudah terbakar. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki jumlah titik api dan curah hujan yang berbeda. Musim kemarau yang ditandai dengan rendahnya jumlah curah hujan bulanan berpengaruh terhadap jumlah titik api. Semakin kering suatu daerah maka hotspot akan meningkat. Hal ini yang menyebabkan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat dibumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun, sehingga dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran hutan dan lahan semakin tinggi [7].

  • c.    Angin

Angin merupakan salah satu faktor penting dari yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin membantu proses pengeringan sehingga kadar air di udara mudah menguap. Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan mensuplay udara secara terus menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar [4]. Lebih lanjut Deeming [8] mengemukakan bahwa tiupan angin, akan memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api, obor, kilat dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan pembakaran, lama penjalaran dan kecepatan perkembangan api akan meningkat dengan makin besarnya tiupan angin. Sedangkan menurut Suratmo [9], angin menentukan arah dan menjalarnya api dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api, tetapi besar kecilnya api ditentukan oleh kadar air bahan bakar.

  • d.    Kelembaban

Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan air, maka terjadilah kondisi jenuh udara.

Umumnya kandungan air di udara lebih kecil dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli metereologi menggambarkan kelembaban udara sebagai Relative Humidity (kelembaban relatif) yang didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan air maksimum yang dapat dikandung pada suhu dan tekanan yang sama. kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90-95 % ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan kelembaban relatif 70-80 % dan kadar air cukup rendah (< 30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin [6].

  • 3.    Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di stasiun BMKG Tuban dari bulan Maret 2020 selama 90 hari. Data yang digunakan adalah data per bulan September 2019 diperoleh dari Kantor BMKG Tuban berupa data MODIS satelit terra dan aqua, data dari Satelit Himawari 8 milik BMKG, data hotspot pada tanggal 1-30 September 2019 yang diperoleh dari BMKG, data curah hujan yang diperoleh dari BMKG melalui situs OGIMET, data arah dan kecepatan angin yang diperoleh dari BMKG melalui situs BOM (Australian Bureau of Meterology), data suhu udara yang diperoleh dari BMKG melalui situs OGIMET, data kelembaban udara yang diperoleh dari BMKG melalui situs OGIMET. Dalam mengindentifikasi pola sebaran asap digunakan data satelit Himawari dan data satelit Terra dan Aqua. Data satelit Himawari diolah menggunakan software SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis) dan data satelit Terra dan aqua diolah menggunakan software HYDRA. Secara garis besar, pengambilan data serta metode analisis data diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan.

  • 4.    Hasil Dan Pembahasan

    • 4.1    Analisis time series hotspot

Gambar 2 memperlihatkan grafik sebaran titik api atau hospot yang diperoleh dari BMKG Tuban, Bali menunjukkan perubahan frekuensi jumlah hotspot dari tanggal 1 sampai 30 September 2019 di Pulau

Kalimantan. Data hotspot selama sebulan penuh tersebut memiliki nilai fluktuatif setiap harinya dengan nilai terendah yaitu 35 hotspot pada tanggal 1 September 2019 dan 2147 hotspot pada tanggal 14 September 2019. Gambar 2 tersebut merupakan hasil pengolahan yang difokuskan pada tingkat kepercayaan diatas 80% yaitu dikisaran 81-100%. Dapat diketahui bahwa pada tanggal 1 sampai 5, kemudian dari tanggal 8 sampai 12 September 2019 terdapat pola gradual increase, hal ini menunjukkan adanya potensi peningkatan wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan. Namun pada tanggal 14, 18, 25 September 2019 terjadi peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan jumlah hotspot periode sebelum dan sesudah tanggal tersebut.


2500

2147

Tanggal

Gambar 2. Grafik distribusi sebaran hotspot di Pulau Kalimantan tanggal 1-30 September 2019.


  • 4.2    Analisis peta hotspot

Gambar 3 menunjukkan sebaran spasial dari distribusi hotspot yang berada di Pulau Kalimantan selama satu bulan penuh yaitu pada September 2019 yang diperoleh dari BMKG melalui sumber data LAPAN. Hasil pengolahan tersebut diklasifikasikan kedalam 4 kelas berdasarkan warna yang melambangkan confidence level (tingkat kepercayaan). Warna biru merupakan tingkat kepercayaan di level 51%-60%, warna hijau dengan tingkat kepercayaan di level 61%-70%, warna oranye dengan tingkat kepercayaan di level 71%-80%, dan warna merah dengan tingkat kepercayan di level 81%-100%.

Gambar 3. Peta Sebaran hotspot di Pulau Kalimantan pada 1-30 September 2019.


Pada penelitian ini hanya berfokus pada titik titik warna merah dengan confidence level 81%-100%, karena level tersebut merupakan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi di banding warna lain. Dapat dilihat pada Gambar 3 sebelumnya menunjukkan beberapa tanggal yang mencapai 1000 titik hotspot bahkan lebih per harinya. Sehingga tanggal yang akan digunakan untuk mencari pola asap adalah tanggal 5, 11, 12, 14, 18, 19, dan 25 September 2019.

  • 4.3    Analisis citra RGB Himawari 8 dan Modis Aqua untuk pola sebaran asap

Hasil pengolahan data citra satelit Himawari 8 menggunakan perangkat lunak SATAID dan pengolahan data Modis Aqua menggunakan perangkat lunak HYDRA untuk mewakili lokasi kebakaran yang terjadi

di Pulau Kalimantan pada tanggal 5, 11, 12, 14, 18, 19, dan 25 September 2019. Hasil olah data kedua satelit dapat dijelaskan pada Gambar 4 dan 5.

a.                                        b.                                        c.


d.


e.


f.


g.


Gambar 4. Citra RGB Himawari pada tanggal (a) 5 September 2019, (b) 11 September 2019, (c) 12 September 2019, (d) 14 September 2019, (e) 18 Septmber 2019, (f) 19 September 2019, dan (g) 25 September 2019.

Pada Gambar 5 tampak bahwa daerah yang diberi lingkaran biru merupakan daerah persebaran asap yang terjadi masing-masing pada tanggal 5, 11, 12, 14, 18, 19, dan 25 September 2019, sehingga dari kedua citra tersebut dapat diketahui daerah mana yang mengalami persebaran asap.

  • 4.4    Pembahasan

Kebakaran hutan yang terjadi di Pulau Kalimantan selama September 2019 merupakan kebakaran hutan yang memberikan dampak besar baik bagi masyarakat di wilayah tersebut. Terjadinya kebakaran hutan

dan lahan di Pulau Kalimantan tidak jauh dari kondisi meteorologi yang sedang terjadi disana, musim kemarau yang sedang terjadi di Kalimantan pada bulan September 2019 juga menjadi salah satu faktor dari kejadian kebakaran hutan di wilayah tersebut. Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan seperti

a.                                        b.                                        c.

d.                                           e.                                           f.

g.

Gambar 5. Citra RGB Modis Aqua pada tanggal (a) 5 September 2019, (b) 11 September 2019, (c) 12 September 2019, (d) 14 September 2019, (e) 18 Septmber 2019, (f) 19 September 2019, dan (g) 25 September 2019.

indeks suhu, kelembaban udara, serta kecepatan angin berada di skala yang memungkinkan terjadinya proses kebakaran hutan dan lahan. Suhu di Pulau Kalimantan selama september 2019 berada di skala >30 ℃, dimana puncak suhu berada di 37 ℃ sedangkan minimumnya sebesar 31,9 ℃. Kelembaban relatif rata-rata wilayah Kalimantan selama September 2019 diskala 70%-80 (%) merupakan kategori yang kering yang akan memicu cepat terjadinya titik api di wilayah tersebut. Arah angin dibeberapa lapisan dominan dari arah barat ke arah timur dengan kecepatan yang dominan 5-25 knots. Sebaran asap yang diolah menggunakan software SATAID dan HYDRA di tanggal-tanggal 5, 11, 12, 14, 18, 19, dan 25

juga menunjukkan asap yang bergerak dari arah barat ke arah timur, tepatnya ke beberapa wilayah Indonesia dan negara-negara tetangga. Skala suhu dan kelembaban udara yang paling tinggi berada di wilayah Palangkaraya dan Banjarmasin sesuai dengan titik api yang lebih dominan di wilayah tersebut.

  • 5.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan, kejadian kebakaran hutan berdasarkan aspek meteorologi disebabkan oleh curah hujan yang minim, suhu udara yang tinggi, kelembaban udara yang berkisar 70%-80% dan arah angin yang dominan dari arah timur ke arah barat. Sedangkan, pola sebaran asap dari penelitian yang dilakukan menyebar sesuai data arah angin dan kecepatan angin. Pola persebaran asap dapat dilihat menggunakan citra satelit Himawari dan MODIS Aqua sedangkan titik api dapat dilihat menggunakan Modis Terra. Sehingga dengan diketahuinya daerah dan pola persebaran asap dapat meminimalisir dampak akibat kebakaran hutan baik secara material maupun korban jiwa.

Ucapan Terima Kasih

Terimakasih kepada pihak BMKG Tuban yang terlah memberikan ijin dan fasilitas untuk dapat melakukan penelitian dan kepada Bapak Ibu Dosen Fisika FMIPA Universitas Udayana yang telah membimbing sampai terselesaikannya penelitian ini.

Pustaka

  • [1]  S. Yulianto, Pemanfaatan Data Modis Untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar (Burned Area)

Berdasarkan Perubahan Nilai NDVI di Provinsi Kalimantan Tengan Tahun 2009, Jurnal

Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, vol.6, 2009, pp.54-64.

  • [2]  W.C.Adinugroho, I.N. N. Suryadiputra, B.H. Saharjo, dan L.Siboro, Manual for the Control of Fire

in Peatlands and Peatland Forest. Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia Project.

Wetlands Internasional- Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, Bogor, 2005.

  • [3]    R.E Soeriatmaja, Dampak kebakaran Hutan Serta Data Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Terhadapnya, Prosiding Simposium: Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumber Daya Alam dan Lingkungan, 1997, pp. 36-39.

  • [4]    C. P. Chandler, L. Cheney. Trabaud and D. Williams, Fire in Forestry Vol. I Forest Fire behavior and Effects. John Wiley and Sons, Inc. Canada, 1983.

  • [5]    R. A.Young, and R. L. Giese, Introduction to Forest Fire. John Wiley and Sons Inc. Toronto Canada.T, 1991.

  • [6]    B. H. Saharjo, Mengapa Hutan dan Lahan Terbakar, Harian Republika, 1997.

  • [7]    Solichin, Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran Hutan, Mengenal Hotspot Bagian I, South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletter Hotspot, Palembang, 2004.

  • [8]    J.E. Deeming, Pengembangan Sistem Penilaian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Timur, Deutsche Desellschaft fuer Technische Zusammenaebit (GTZ) GmbH, Postfach 51 80 65726 Wschborn, Republik Federal Jerman, 1995.

  • [9]    F.G. Suratmo, Ilmu Perlindungan Hutan, Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 1985.

  • [10]    R. H. Z. Frazer, dan L.J. Cihlar, Hotspot and NDVI Diferrencing Synergy (HANDS): A New Technique for Burned Area Mapping Over Boreal Forest, Journal Remote Sensing of Environment 72, no.74, 2000, pp. 362-376.

  • [11]    F.Rasyid, Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, Jurnal Lingkar Widyaswara, Edisi I, vol.1, no. 4, 2014, pp. 47-59.

SINTA 4 Accreditation Starting on Volume 19 No. 2, 2018

25