PRAKTIK KAWIN TANGKAP DI SUMBA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA

Alexander Theodore Duka Tagukawi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: alextagukawi@gmail.com

Komang Pradnyana Sudibya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: pradnyana@hotmail.com

ABSTRAK

Kawin adat di Sumba dianggap sebagai satu hal biasa bagi masyarakat Sumba jika kita kasi lewat perpektif kebiasaan masyarakat, namun sesungguhnya jika dipandang dari perspektif hak asasi manusia maka bisa terjadi benturan. Tujuan studi ini untuk mengkaji praktik kawin tangkap dari perspektif hak asasi manusia dan peran pemerintah dalam mengatur praktik-praktik serupa. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan komparatif. Hasil studi menunjukkan bahwa praktik kawin tangkap pada dasarnya tidak melanggar hak asasi manusia sejauh hal itu dilakukan sesuai dengan nilai-nilai adat yang semestinya dan juga peran pemerintah sangat diperlukan dalam hal menjamin hak asasi manusia tetap dilindungi dan dihormati dalam proses perwakinan adat serupa dengan kawin tangkap.

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Kawin Tangkap, Peran Pemerintah.

ABSTRACT

Traditional marriage in Sumba is considered a normal thing for the people of Sumba if we give it from the perspective of community habits, but in fact when viewed from a human rights perspective, there can be conflicts. The aim of this study is to examine the practice of kawin tangkap from a human rights perspective and the role of the government in regulating such practices. This study uses normative legal research methods with statutory and comparative approaches. The results of the study suggest that the practice of kawin tangkap does not basically violate human rights as long as it is done in accordance with customary values that should be and also the role of the government is very much needed in terms of ensuring that human rights are protected and respected in the process of customary representation similar to that of kawin tangkap.

Keywords: Human Rights, Kawin Tangkap, Government Role

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia merupakan hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai seorang individu dan hak ini harus dihormati serta dilindungi oleh sesama manusia maupun oleh negara. Hak asasi manusia ini sudah semestinya dilindungi oleh negara, baik itu melalui aturan hukum atau konstitusi maupun undang-undang1. Hak ini bertujuan untuk menghormati dan melindungi setiap individu sebagai manusia seutuhnya dan sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia itu layaknya hak untuk hidup, hak untuk

beragama, hak atas rasa aman dan bahkan hak untuk dapat membentuk suatu keluarga.

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 yang memuat mengenai Hak Asasi Manusia mengatur bahwa hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang ditetapkan dalam UU tersebut antara lain meliputi :

  • 1.      Hak melanjutkan hidup

  • 2.      Hak membentuk keluarga dan meneruskan keturunan

  • 3.      Hak pengembangan potensi diri

  • 4.      Hak mendapatkan keadilan

  • 5.    Hak memiliki kebebasan yang pribadi

  • 6.      Hak kondisi dirasa aman

  • 7.       Hak atas kesejahteraan

  • 8.      Hak terlibat dalam sistem pemerintahan

  • 9.      Hak sebagai seorang wanita

  • 10.     Hak sebagai sseorang anak

Dalam halnya kehidupan bermasyarakat, seorang pria dan seorang wanita dapat membangun hubungan sebagai satu rumah tangga yang utuh yaitu melalui ikatan perkawinan. Perkawinan selalu dilandasi oleh suatu kaidah, norma-norma hukum yang berlaku, dalam hal ini dapat berupa hukum agama, hukum yang hidup dalam masyarakat maupun hukum positif.

Perkawinan merupakan langkah menuju terlahirnya suatu keluarga inti yang dibangun dengan hak merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan baik itu lahir serta batin. Hal ini pun sudah dijamin dan termuat dalam UUD NRI 1945 yang mana tercantum pasal 28 B Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa negara melalui pemerintah memastikan hak bagi setiap orang dalam masyarakat di Indonesia dapat membentuk keluarga. Bunyi Pasal 28 B Ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, sehingga secara konstitusional negara sudah menjamin hak setiap Warga Negara Indonesia dengan tujuan membangun keluarga.

Arti “Hak” yang dimaksud juga dalam hak asasi manusia adalah hak yang tidak absolut namun dibatasi juga oleh hak-hak sesama manusia, hal ini diatur pula dalam undang-undang. Sehingga ketika menggunakan hak-hak, maka bertepatan dengan itu harus juga diperhatikan apa kewajiban dasar sebagai manusia. Hadirnya hukum untuk mengatur mengenai hak dan kewajiban dasar manusia ini agar dalam pelaksanaannya ada batasan-batasan yang mengatur. Maka, fungsi hukum dalam hal ini ialah menegakkan hak asasi manusia dan sekaligus mengatur batasan-batasan dalam pelaksanaan hak asasi tersebut.

Kasus perkawinan adat di Sumba menjadi suatu hal menarik untuk dikaji. Perkawinan adat yang disebut dengan istilah “kawin tangkap” di Sumba ini merujuk kepada proses kawin yang mana pihak laki-laki mengambil pihak perempuan dengan cara seperti menculik.2 Terlebih lagi dengan kasus yang sempat terjadi dan viral di media sosial membuat banyak yang mempersoalkan hal tersebut karena dianggap melanggar hak-hak kemanusiaan apalagi hak perempuan. Hingga saat ini masih menjadi perbincangan apakah perkawinan semacam ini, yang dibungkus oleh tradisi adat istiadat, dapat menjadi pembenaran dalam melakukan praktik kawin tangkap seperti itu. Seperti apa jika kasus ini dipandang dari perspektif hukum hak asasi

manusia, termasukkah hal itu termasuk suatu pelanggaran atas hak asasi manusia. Lalu dengan melihat peran negara, dalam hal ini pemerintah yang mempunyai kewajiban menegakkan hak asasi manusia warga negara Indonesia, sejauh mana yang dapat dilakukan pemerintah untuk bertindak dalam hal kasus-kasus seperti ini, terutama dalam hal menegakkan hak asasi manusia melalui regulasi. Maka, dari latar belakang tersebut penulis hendak menganalisis “Praktik Kawin Tangkap di Sumba Ditinjau Dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana praktik kawin tangkap yang terjadi di Sumba dalam perspektif hukum hak asasi manusia ?

  • 2.    Bagaimana peran pemerintah kabupaten di Sumba dalam menyikapi praktik “kawin tangkap” tersebut?

  • 1.3    Tujuan penelitian

Tulisan ini bertujuan mengkaji persoalan kasus kawin tangkap dengan perspektif hukum hak asasi manusia dan untuk mengetahui peran pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam hal menyikapi kasus-kasus serupa didalam masyarakat.

  • II.    Metode penelitian

Dalam penulisan ini penulis memakai metode penelitian hukum normatif yang dikaji memakai dokumen-dokumen peraturan-peraturan hukum serta bahan-bahan pustaka. Dengan memakai pendekatan kasus, tulisan ini berusaha menelaah praktik kawin tangkap yang terjadi di Sumba dan pendekatan perundang-undangan yang hal ini adalah instrument hukum nasional yang memang penulis anggap relevan dengan isu yang sedang dibahas serta menganalisis fakta yang memang berkaitan dengan latar belakang dan pengembangan praktik kawin tangkap di Sumba.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Praktik Kawin Tangkap di Sumba Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia

Penghormatan kepada manusia sebagai makhluk yang mengemban tugas dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menjaga serta memelihara alam ciptaan dengan penuh tanggungjawab demi terlaksananya manusia yang hidup sejahtera ialah diakuinya hak asasi manusia. Hak asasi manusia sendiri merupakan suatu hak dasar yang telah dibawa sejak dalam kandungan sebagai hak yang didapat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan hak ini tidak dapat dicabut ataupun diambil baik itu oleh individu maupun kelompok. Menurut Marjono Reksodiputro, hak asasi manusia adalah berbagai macam hak yang pada dasarnya memang sudah melekat pada hakekatnya sebagai manusia sehingga tanpa berbagai hak itu maka tidak dapat terwujudnya martabatnya sebagai manusia, oleh karena itu juga hak-hak tersebut tak dapat dicabut atau dilanggar.3 Maka, hak asasi manusia sungguh-sungguh adalah bentuk penghormatan tertinggi pada manusia dan hakekatnya sehingga jika dilanggar menjadi pelanggaran terhadap hakekat manusia.

Penghormatan hak asasi manusia ini diaktualisasikan pula oleh negara dalam bentuk aturan hukum, baik itu berupa konstitusi atau pun undang-undang. Di

Indonesia sendiri tercantum dalam Undang-Undang Dasar NRI Pasal 28 J ayat (1), dengan menentukan bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Hadirnya pengakuan ham dalam bentuk aturan hukum adalah agar terlindunginya martabat manusia serta dipertahankan dan ditingkatkan. Dilain sisi lain hukum juga mengatur batasan batasan dalam seseorang melaksanakan hak asasi dengan tujuan untuk menghormati hak asasi manusia lainnya juga, ini juga dapat dilihat dalam pasal 28 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Disini dapat dilihat bahwa hak bukan berarti bersifat mutlak atau absolut melainkan ketika hendak menggunakan hak tersebut, maka sejalan dengan itu pun harus dilihat kewajiban yang sudahditetapakan oleh undang-undang.

Dalam menegakkan hak asasi manusia dalam kehidupan manusia begitu sangat luas dan menyangkut banyak bidang seperti filosofis, ekonomi, sosial budaya bahkan aspek kehidupan yang menyangkut dengan perkawinan. Dalam Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 10 menjamin hak seseorang untuk membangun berkeluarga dan meneruskan keturunan, seperti disebut bahwa “ setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” ayat (1) dan dalam ayat (2) disebutkan berupa batasan dalam menggunakan hak ini yaitu “perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sehingga, setiap aspek kehidupan manusia bahkan terkait dengan perkawinan pun dijamin sebagai bagian daripada hak asasi manusia namun juga dalam melaksakan hak tersebut harus dibatasi untuk menghormati hak asasi manusia lainnya pula.

Di negara Indonesia menjamin hak dari warga negara untuk perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974 yang mengatur terkait dengan perkawinan. Perkawinan menurut pasal 1 UU ini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dalam hubungan suami istri yang bertujuan membangun keluarga yang utuh, bahagia dan bersifat kekal berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Perkawinan merupakan perwujudan dari hak warga negara untuk berkeluarga dan meneruskan keturunan. Ketika suatu perkawinan dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah agama ataupun kepercayaan dari yang terlibat dari perkawinan, maka barulah perkawinan itu dapat dikatakan sah. Sahnya perkawinan ini tercantum dalam pasal 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sehingga dalam hal ini, hukum nasional menjamin sahnya suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut kepercayaan atau hukum adat dari pihak yang melaksanakan perkawinan.

Bagian dari penjelasan UU perkawinan juga menjelaskan perihal dengan munculnya UU tersebut maka semua aturan hukum yang sebelumnya mengatur

terkait perkawinan tidak lagi berlaku sejauh memang hal itu telah termuat dalam pengaturan UU tersebut. Kalimat yang menyatakan “sejauh telah diatur” telah memberikan celah pada norma-norma adat juga tetap diberlakukan.4 Sebab juga masih terdapat banyak praktik adat yang belum dapat diatur secara tuntas oleh undang-undang perkawinan. Sebagai contoh saja terkait dengan proses teknis pelaksanaan perkawinan, teknis peminangan dan syarat-syaratnya serta berbagai praktik adat lainnya. Hal ini sulit terakomodasikan dalam hukum nasional dikarenakan beragamnya budaya di Nusantara. Maka sejauh itu diakui sebagai bagian dari praktik adat maka dapat dikatakan sah.

Praktik kawin tangkap sedang menjadi sorotan banyak pihak, apalagi jika hal ini ditinjau dari perspektif hak asasi manusia. Istilah kawin tangkap yang dalam bahasa Sumba ini ialah Yappa Mawinni (dialek Sumba Tengah) yang berarti tangkap perempuan, lalu Piti Maranggangu (dialek Sumba Timur) yang berarti ambil dalam pertemuan. Adapun juga istilah dalam dialek Sumba Timur yaitu Piti Rambangu yang berarti ambil paksa.5 Dari istilah tersebut mengacu pada pihak laki-laki yang menyusun rencana untuk melarikan calon pengantin perempuan dengan bantuan salah seorang keluarga perempuan yang mendukung perkawinan tersebut. Calon pengantin perempuan diambil di tengah jalan dan dibawa ke rumah calon suaminya. Dengan adanya hewan seperti kuda yang diikat didepan rumah atau barang berharga seperti emas yang disimpan dibawah bantal, menjadi suatu penanda adat dari pihak laki-laki bahwa proses perkawinan dalam tahap berlangsung. Dalam era saat ini, praktik ini menjadi suatu perdebatan karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

Undang-Undang yang mengatur dan membahas terkai hak asasi manusia UU No.39 tahun 1999, memberikan ketegasan terkait perkawinan yang anggap sah ialah kedua mempelai melaksanakan perkawinan sesuai kehendak masing-masing, baik itu mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Secara praktik yang terjadi jaman lampau, “kawin tangkap” yang terjadi di Sumba bisa saja laki-laki dan perempuan sudah saling berkehendak untuk saling membentuk keluarga namun pihak ayah dari perempuan tidak menyetujui. Sedangkan “kawin tangkap” dalam praktiknya di era saat ini, seringkali hanya atas dasar kehendak dari satu pihak saja yaitu pihak mempelai laki-laki. Dalam salah satu kasus yang juni 2020, terjadi bahwa salah seorang perempuan yang ditangkap sekelompok laki-laki dan dibawa paksa ke rumah pihak mempelai laki-laki dan akan menikah dengannya. Meskipun perempuan memberontak, berteriak dan menangis hal itu tetap saja dilaksanakan dengan alasan dasar yaitu perkawinan adat yang telah berlangsung secara turun temurun.6 Dari indikasi ini, tentu dalam praktiknya saat ini dapat dikatakan bahwa “kawin tangkap” tersebut melecehkan hak asasi manusia. Namun perlu juga untuk melihat apakah “kawin tangkap” tersebut yang melanggar hak asasi manusia ataukah pelaksanaan

dari “kawin tangkap” yang sesungguhnya sudah melenceng dari proses yang sudah jadi berlaku jaman lampau.

Pada jaman lampau, praktik “kawin tangkap” bukanlah proses kawin adat yang sembarang untuk dilaksanakan. Perempuan yang akan di ambil untuk dijadikan mempelai perempuan dalam proses “kawin tangkap” adalah perempuan yang merupakan klan dari pihak paman, yang dalam sistem perkawinan layak untuk berpasangan.7 Untuk melaksanakan praktik ini pun juga merupakan sesuatu yang harus dipikir panjang pada saat itu. Selain daripada harus menunggu adanya pertanda baik dari marapu (dalam kepercayaan orang Sumba ialah roh Yang Dihormati, Dimuliakan)8, praktik ini juga adalah proses perkawinan yang mahal karena membutuhkan belis yang tak bisa ditawar. Belis adalah mahar dalam proses perkawinan yang tak bisa dipisahkan dari ritual adat dan adanya belis ini bertujuan sebagai penghargaan terhadap perempuan dan perkawinan itu sendiri.9 Dalam perkawinan adat biasa, proses belis akan terjadi tawar menawar sehingga sampai pada kesepakatan besaran belis yang harus pihak laki-laki berikan kepada pihak perempuan. Namun dalam “kawin tangkap” tidak terjadi tawar menawar, berapapun yang diminta oleh pihak perempuan harus diberikan oleh pihak laki-laki. Belis selain tanda penghormatan pada perempuan, juga sebagai bukti seseorang laki-laki itu sudah mampu dan mandiri dalam hidupnya.10 Apalagi konteks perkawinan dalam orang Sumba itu sangat menyangkut, melibatkan dan sudah menjadi urusan juga dari orang tua, keluarga besar, dan para leluhur. Maka dengan melakukan praktik “kawin tangkap” ini sama saja juga dengan mempertaruhkan nama baik dari keluarga besar dan leluhur.11 Oleh karena itulah, jika ada yang hendak melaksanakan “kawin tangkap” harus berpikir panjang.

Dalam proses praktik “kawin tangkap” di era saat ini lebih sering terlihat sebagai praktik yang sangat kurang persiapan bahkan kadang sangat mengandung pemaksaan dan kekerasan. Hal ini juga yang terkadang menimbulkan ketakutan dan trauma pada perempuan yang diambil dengan cara “kawin tangkap”. Dari data terdapat dua puluh kasus tahun 2009, satu kasus pada tahun 2013, 2016, dan 2017 serta 2019 dan 2020 dengan masing-masing dua kasus.12 Praktik “kawin tangkap” yang masih beberapa kali dilakukan ini pada akhirnya memang mendapat respon dari berbagai pihak, baik itu lembaga gereja, lembaga HAM dan bahkan dari masyarakat-masyarakat adat yang ada dibeberapa kampung yang ada di Sumba.

Dari perspektif hukum hak asasi manusia, jelas mengatur bahwa tindakan apapun yang menimbulkan suatu penyiksaan dan ketakutan baik secara jasmani maupun rohani pada sesama manusia pun adalah suatu pelanggaran atas hak asasi manusia. Dalam pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, memberikan pengertian terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja mengambil atau mencabut hak asasi manusia. Tidak adanya diberikan pengecualian dalam hal tersebut untuk sesama manusia melakukan tindakan yang merampas hak asasi manusia. Begitu pula dengan praktik “kawin tangkap” menjadi tindakan yang merampas hak asasi seseorang jika itu dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Apalagi terdapat indikasi bahwa praktik adat di era saat ini sudah bergeser dari praktik adat yang murni dan tidak lagi sesuai dengan maksud dan proses pelaksanaan yang seharusnya. Ditambah dengan pernyataan sikap secara tertulis dari masyarakat adat marapu di kampung Tarung bahwa “kawin tangkap” dengan kekerasan adalah bentuk penyalahgunaan adat.13 Pernyataan ini juga dilandasi oleh pemikiran luhur orang Sumba bahwa perempuan (mawinne) dilambangkan dengan organ feminim (mamuli), yang artinya merupakan pintu masuk ke dalam rahim dan sifat kasih sayang perempuan. Apalagi, perempuan dianggap sebagai subjek yang cukup penting dalam hal pembangunan suatu daerah.14 Maka, sudah seharusnya ada dalam apapun bentuk perkawinan itu tidak diperkenankan adanya unsur kekerasan ataupun pemaksaan yang sering memang terjadi pada pihak perempuan.

  • 3.2    Peran Pemerintah Kabupaten di Sumba Dalam Menyikapi Praktik Adat Kawin Tangkap

Salah satu dari berbagai implentasi perintah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia ialah hadirnya pemerintah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerahnya sendiri sebagai bagian dari pelaksanaan sistem pemerintahan namun tetap berhubungan dengan pemerintah pusat dengan kewenagan yang sudah diatur UU. Ini dapat dilihat dalam pasal 18 UUD 1945 yang mengatur mengenai bagian dari pemerintahan negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi , Pemerintah Kabupaten dan Kota. Pada hakikatnya urusan pemerintah daerah mejalankan segala tugas kecuali terkait dengan berbagai hal yang berurusan dengan pertahanan dan keamanan, moneter dan fiscal serta ada yang berbagai hal juga yang berkaitan dengan politik luar negeri.15 Segala pengecualian ini berada dalam otoritas dari pemerintah pusat meski selain dapat dikerjakan sendiri juga memang hal tersebut bisa dilimpahkan kepada perangkat pemerintah daerah atau wakil dari pemerintah daerah. Tujuan dari ini agar pemerintah dengan lebih efektif dan efesien

dalam melaksanakan pelayanannya kepada masyarakat umum. Ini juga merupakan bentuk dari pelaksanaan otonomi daerah.

Daerah diberikan keluasan, hak, wewenang serta kewajiban dalam otonomi daerah dengan tujuan untuk mengatur dan mengurus urusan daerahnya sendiri dengan segala potensi yang dimiliki daerah.16 Otonomi daerah ini adalah bentuk perwujudan juga dari sistem desentralisasi untuk pelayanan pemerintah berjalan lebih baik lagi. Adanya otonomi daerah ini maka memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus dan mengembang setiap potensi daerah yang ada. Pada akhirnya akibat dari kebijakan otonomi daerah ini memberika keluasaan kepada daerah khususnya kota dan kabupaten untuk berkarya.17Ini juga membuat pemerintah akan lebih efektif dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Apalagi dengan diberikan hak kepada daerah mengeluarkan peraturan sendiri melalui pemerintahan daerah semakin memberikan kewenangan yang besar dan membuat tugas pemerintah dapat dilaksanakan dengan semakin baik.

UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 12 ayat (2) memuat pembatasan terkait apa saja yang hal-hal yang harus dilakukan pemerintah namun tidak bersinggungan dengan pelayanan dasar yang sudah ada, berikut ialah :

  • a.       Tenaga kerja

  • b.      Pemberdayaan potensi dari perempuan dan anak

  • c.      Lingkungan hidup

  • d.      Bidang pertanahan

  • e.    Bidang yang terkait administrasi penduduk dan juga pencatatan sipil

  • f.       Pemberdayaan potensi dari masyarakat desa

  • g.      Pengendalian jumlah dari penduduk dan juga keluarga berencana

  • h.      Bidang perhubungan

  • i.       Komunikasi dan informatika

  • j.       Koperasi, usaha kecil dan olahraga

  • k.        Statistic

  • l.       Persandian

  • m.     Kebudayaan

  • n.      Perpustakaan

  • o.      Kearsipan

Upaya dalam melindungi, menghormati, memberdayakan dan membina masyarakat hukum adat, masuk dalam tugas dan tanggungjawab dari pemerintah daerah atau secara lebih khusus adalah pemerintah kabupaten/kota yang memang melayani dalam hal memberdayakan potensi masyarakat desa serta membangun kebudayaan agar tetap berjalan sesuai dengan konteks jaman.

Dalam kasus praktik “kawin tangkap di Sumba maka pemerintah kabupaten/kota Sumba dimana praktik tersebut sering dilakukan dapat mengatasi persoalan tersebut. Perlindungan dan pernghormatan kepada masyarakat adat sekaligus tetap menghormati hak asasi setiap orang dalam masyakat adat juga dapat tercipta apabila peran pemerintah daerah yang mendorong adanya kebijakan daerah

tersebut. Apalagi pemahaman bahwa hak masyarakat adat sebagai hak asasi manusia juga membawa konsekuensi hak tersebut harus dipenuhi, bukan saja diakui, dihormati dan dilindungi.18Hal ini akan dimungkinkan ketika pemerintah daerah memunculkan kebijakan yang ada dalam bentuk produk hukum daerah seperti peraturan daerah (Perda) yang isinya terdapat pengakuan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat itu terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan perkawinan adat. Apalagi dalam menilai keabsahan tindak pemerintah dilihat dari peraturan perundang-undangan sebagai aturan hukum tertulis.19 Perda menjadi instrument bagi pemerintah daerah untuk menentukan arah dari pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sehingga menjadi penting untuk dibuat juga untuk mengatasi setiap persoalan yang ada dalam masyarakat. Kewenangan pembentukan peraturan daerah juga menjadi wujud dari kemandirian daerah dalam menjalankan tugas rumah tangga daerahnya.20

Pemerintah berkewajiban dalam hal mencegah akan adanya praktik-praktik perkawinan adat layaknya Pratik “kawin tangkap” agar tidak menyimpang dari adat istiadat yang sudah seharusnya terjadi dan juga ada landasan hukum dalam hal mengatasi persoalan-persoalan serupa seperti kasus praktik “kawin tangkap”. Dalam hal ini pemerintah daerah memegang peran yang besar dan dalam melaksanakan peran ini pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan masyarakat adat yang ada dalam hal untuk merancang peraturan daerah yang menjadi landasan hukum nyata dalam mencegah maupun mengatasi setiap adanya penyelewengan praktik “kawin tangkap”. Karna hak konstitusional merupakan hak bagi setiap rakyat seluruh Indonesia, maka sudah pastilah masyarakat hukum adat yang masih memegang nilai-nilai hukum adatnya harus mendapat kepastian hukum dari pemerintah.21

  • IV.    Penutup

    4.1    Kesimpulan

Berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan menjadi bagian dari hak asasi manusia yang dipastikan oleh negara untuk warga negara dapat menggunakannya tanpa adanya halangan ataupun larangan. Dalam praktiknya perkawinan diakui sah oleh negara ketika dilaksanakan berdasarkan setiap agama ataupun kepercayaan dari yang terlibat dalam perkawinan. Berarti itu juga berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan melalui adat istiadat. Praktik kawin adat di Sumba yaitu “kawin tangkap” memang merupakan warisan adat istiadat dari masyarakat, namun dalam praktknya di era saat ini seringkali sudah melenceng dari adat yang seharusnya dan tanpa adanya persiapan yang matang. Praktik adat yang sudah melenceng ini pun yang mengakibatkan adanya pelanggaran hak asasi manusia dikarenakan menimbulkan pemaksaan bahkan kekerasan dalam praktik tersebut. Maka, dalam konteks ini bukanlah adat istiadatnya yang perlu ditentang ataupun

ditinggalkan melainkan praktik-praktik yang sudah melenceng dari yang seharusnyalah yang harus ditindak tegas karna merampas hak asasi manusia.

Maka, peran pemerintah kabupaten di Sumba dalam mencegah maupun mengatur setiap praktik-praktik yang ada sangat penting. Pemerintah diberikan wewenang untuk merancang dan membuat peraturan daerah, sehingga sudah sepatutnyalah pemerintah melindungi dan menjamin setiap hak asasi masyarakatnya dalam dilakukan dengan baik. Dalam membuat peraturan daerah, pemerintah juga harus melibatkan masyarakat khususnya adalah tokoh-tokoh adat yang memang memahami selak-beluk dari adat istiadat yang hendak di tuangkan dalam bentuk hukum tertulis. Sehingga diharapakan adanya peraturan daerah tersebut dapat menjadi payung hukum dalam menegakkan kasus-kasus serupa dengan praktik “kawin tangkap”.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

F.D.Wellew. 2004. Injil dan Marapu. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Farid, Mifta, Rosita Indrayati Antikowati, and Rosita Indrayati. Kewenangan Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Potensi Daerah. University of Jember, 2017.

Sri Utari. 2016. Buku Ajar Hukum Hak Asasi Manusia.Denpasar: Fakultas Hukum Unud.

Tesis

Reny, Eka Kusuma, T. Yoyok Wahyu Subroto, and Ahmad Saifullah. "Konsep Ka’bani– Mawinne dalam Arsitektur Rumah Tradisional Sumba di Kampung Tarung Sumba Barat." PhD diss., Tesis. Program Studi Magister Arsitektur, 2017.

Jurnal Ilmiah

Aridhayandi, M. Rendi. "Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dibidang Pembinaan Dan Pengawasan Indikasi Geografis." Jurnal Hukum & Pembangunan 48, no. 4 (2018): 883-902.

Dagur, Anthony Bagul. "Kebudayaan manggarai sebagai salah satu khasanah kebudayaan nasional." (1997).

Habibi, Muhammad Mujtaba. "Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 28, no. 2 (2016).

Kleden, Dony. "Belis dan Harga Seorang Perempuan Sumba (Perkawinan Adat Suku Wewewa, Sumba Barat Daya, NTT)." Studi Budaya Nusantara 1, no. 1 (2017): 2434.

Mandasari, Zayanti. "Politik Hukum Pengaturan Masyarakat Hukum Adat (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi)." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 21, no. 2 (2014): 227-250.

Nadir, Sakinah. "Otonomi daerah dan desentralisasi Desa: Menuju pemberdayaan masyarakat desa." Jurnal Politik Profetik 1, no. 1 (2013).

Ndaumanu, Frichy. "Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Perlindungan Dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat Di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur." Jurnal HAM 9, no. 1 (2018): 37-49.

Soumena, M. Yasin. "Pemberlakuan Aturan Perkawinan Adat dalam Masyarakat Islam Leihetu-ambon." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum 10, no. 1 (2012): 40-51.

Steven, Christofan Dorry, and Taufik Akbar Rizqy Yunanto. "Pengaruh Belis Dalam Masyarakat Sumba." Insight: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi 15, no. 2 (2019): 204-212.

Zein, Yahya Ahmad, and Dewi Nurvianti. "Konsepsi Hak Masyarakat Hukum Adat Sebagai Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia." Veritas et Justitia 3, no. 2 (2017): 414-436.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia. Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 9 Tahun 2021, hlm.720-730

730