Meninjau Kewenangan Pihak Sekolah Dalam Melakukan Penyitaan Terhadap Telepon Genggam Siswa Pada Sekolah Menengah Pertama
on
MENINJAU KEWENANGAN PIHAK SEKOLAH DALAM MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP
TELEPON GENGGAM SISWA PADA SEKOLAH
MENENGAH PERTAMA
I Wayan Yosian Arya Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Ni Putu Niti Suari Giri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan studi dalam penelitian ini ialah untuk memberikan pemahaman terkait dasar hukum penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia dan untuk mengkaji legalitas kewenangan dari tindakan pihak sekolah dalam melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa pada SMP. Adapun studi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan permasalahan hukum pada dasar hukum penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia, ditemukan bahwasannya penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia didasarkan pada UU Sisdiknas sebagai payung hukum yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri.Kemudian terkait tindakan pihak sekolah yang melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa SMP akan memiliki legalitas sepanjang telah ditentukan terlebih dahulu suatu Peraturan Tata Tertib di sekolah tersebut yang menentukan larangan penggunaan telepon genggam disertai dengan ketentuan sanksi penyitaan. Kewenangan pihak sekolah dalam menetapkan Peraturan Tata Tertib sekolah ini secara atributif diberikan melalui Pasal 52 ayat (1) huruf g PP Standar Nasional Pendidikan j.o Lampiran kelima Permendiknas No. 19 Tahun 2007.
Kata Kunci: Kewenangan, Sekolah, Penyitaan
ABSTRACT
The purpose of the study in this research is to provide an understanding of the legal basis for the administration of formal education in Indonesia and to examine the legality of the authority of the school's actions in confiscating mobile phones of students at junior high schools. This study includes the type of normative legal research with the approach of legislation. invitation. Based on the results of studies conducted by researchers related to legal issues on the legal basis of the provision of formal education in Indonesia, it was found that the implementation of formal education in Indonesia is based on the National Education System Law as a legal umbrella which is further regulated in several government regulations or ministerial regulations. Then with regard to the actions of the school that confiscated junior high school students' cellphones, it would have legality as long as a Code of Conduct in the school had been determined which prohibited the use of cell phones accompanied by provisions for confiscation sanctions. The authority of the school in establishing the school rules and regulations is attributively given through Article 52 paragraph (1) letter g PP National Education Standards j.o Fifth attachment to Permendiknas No. 19 of 2007.
Keywords: Authority, Schools, Confiscation.
Pemberian pendidikan adalah upaya perbaikan atas hajat hidup seorang manusia. Kesadaran akan pentingnya suatu pendidikan yang mampu memberikan harapan dalam memperoleh standar hidup yang lebih baik inilah yang mendorong berbagai perhatian dan perbaikan atas kualitas pendidikan suatu negara.1 Lebih lanjut pemahaman akan letak penting pendidikan sebagai sarana pembentuk kualitas manusia ialah suatu komponen penting dalam upaya untuk mewujudkan tujuan dari didirikannya suatu negara.Secara mendasar pendidikan diartikan upaya pembinaan dan pengembangan seorang manusia baik secara rohani ataupun jasmani.2 Dalam perspektif konstitusi, merujuk Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Ketentuan tersebut menekankan terkait penjaminan atas hak untuk memperoleh pendidikan sebagai HAM dalam konstitusi negara. Pada penyelenggaraan pendidikan Indonesia dikenal adanya pendidikan formal, nonformal dan informal. Pengertian dari pendidikan formal ialah pendidikan yang didapatkan secara bertingkat, sistematis, dan teratur dengan beberapa syarat-syarat yang telah ditentukan serta dilangsungkan di sekolah sedangkan pendidikan nonformal merupakan suatu jalur pendidikan yang tidak dilaksanakan secara berjenjang dan terstruktur seperti pada pendidikan formal, kendatipun demikian hasil pendidikan nonformal tetap dapat dihargai sama seperti pendidikan formal bilamana telah dilakukan proses penyetaraan dalam penilaiannya yang dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan standar nasional pendidikan3. Selanjutnya adapun pendidikan informal dapat dipahami sebagai jalur pendidikan yang kegiatan belajarnya secara mandiri yang terhadap hasil pendidikan ini agar dapat diakui sama seperti pendidikan formal maka harus dilakukan suatu ujian untuk penyetaraan dengan standar nasional pendidikan.4
Dalam pendidikan formal, sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi wadah tempat berlangsungnya proses pendidikan. Sekolah memegang peranan penting untuk membentuk generasi selanjutnya agar menjadi SDM yang dapat unggul, mandiri serta berbudaya sehingga pengelolaan sekolah yang tepat melalui penyusunan standar kurikulum yang baik menjadi salah satu kunci dalam menyelenggarakan pendidikan formal yang berkualitas. Pada tataran realitasnya, perkembangan teknologi sudah menjadi barang tentu mempengaruhi berbagai aspek dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu aspek yang kemudian mendapatkan pengaruh begitu besar dari perkembangan teknologi.
Kebutuhan akan penggunaan telepon genggam ternyata menimbulkan implikasi buruk terhadap proses belajar-mengajar di sekolah dimana tidak sedikit siswa yang mengoperasikan telepon genggamnya ketika proses belajar-mengajar berlangsung di kelas yang berujung pada terganggunya proses transfer of knowledge kepada siswa tersebut. Menghadapi persoalan kedisiplinan siswa saat mengikuti proses pembelajaran di kelas, tidak sedikit sekolah yang menetapkan berbagai peraturan tata tertib di lingkungan sekolah dengan tegas. Secara aktual, keberadaan peraturan tata tertib siswa yang ditetapkan oleh pihak sekolah, ternyata tidak selalu disambut baik oleh pihak keluarga siswa, sebagai contoh terdapatnya berbagai keberatan yang sering dikeluhkan orang tua siswa terhadap kebijakan sekolah menengah pertama yang melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa.
Keberatan yang diajukan tersebut tentu bukan tidak beralasan, hal ini dikarenakan telepon genggam sebagai media komunikasi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menyiarkan kabar atau informasi atas kejadian maupun masalah yang terjadi pada keluarga seorang siswa sehingga penyitaan telepon genggam siswa akan menyulitkan pihak orang tua siswa untuk memberikan kabar atau informasi penting kepada sang siswa. Keberadaan peraturan tata tertib sekolah yang memuat sanksi penyitaan ini tentu menimbulkan persoalan kewenangan yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, apalagi hak untuk memanfaatkan telepon genggam sebagai sarana komunikasi merupakan hak yang dijamin melalui konstitusi pada Pasal 28 F yakni “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Miftah Faridl Abid, melakukan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Guru Yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Siswa Yang Melanggar Tata Tertib Sekolah Dalam Perspektif Fiqh Jinayah” yang mengkaji bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada guru yang melakukan penganiayaan terhadap siswa yang melanggar tata tertib perspektif dalam perspektif fiqh jinayah.5 Selanjutnya Indah Sari melalui judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengalihan Kewenangan Pengelolaan Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Kejuruan Kepada Pemerintah Provinsi” meneliti implikasi hukum dalam pengalihan kewenangan pengelolaan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi?. 6
Berdasarkan berbagai penelitian yang sebelumnya telah dibuat maka selanjutnya penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang secara khusus mengkaji permasalahan hukum yang muncul dalam perbuatan pihak sekolah yang melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa di SMP.Selanjutnya penulis memilih judul “MENINJAU KEWENANGAN PIHAK SEKOLAH DALAM MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP TELEPON GENGGAM SISWA PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA”.
-
1. Bagaimana dasar hukum dari penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia?
-
2. Apakah pihak sekolah berwenang dalam melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa pada Sekolah Menengah Pertama?
Jurnal ini mempunyai suatu tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan dasar hukum penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia.Selanjutnya penelitian ini bertujuan pula untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terkhusus peserta didik dan pihak keluarga peserta didik pada jenjang SMP agar dapat memahami bahwa pihak sekolah memang memiliki kewenangan dalam melakukan tindakan penyitaan telepon genggam siswa.
Jurnal Meninjau Kewenangan Pihak Sekolah Dalam Melakukan Penyitaan Terhadap Telepon Genggam Siswa Pada Sekolah Menengah Pertama termasuk sebagai penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian atas problema norma yang ada yakni vague of norms atau kekaburan norma pada dasar hukum yang memberikan wewenang pihak sekolah dalam melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa SMP pada lingkungan sekolah.7
Selanjutnya pada penelitian ini terdapat berbagai sumber bahan hukum yakni sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Lebih lanjut pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada bahan kepustakaan dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang bertalian dengampermasalahan hukum yang diteliti.8 Studi dokumen adalah teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini. Kemudian analisis dilakukan secara deduktif yaitu teknik analisis yang dalam pola penarikan kesimpulannya dimulai dahulu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang lebih khusus.9
Pendidikan secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yakni “padegogik” yang berarti ilmu untuk menuntun anak.10 Pemahaman atas pendidikan dalam pandangan H. Horne diartikan sebagai keseluruhan proses abadi dari upaya pengembangan intelektualitas, emosionalitas dan kemanusiaan dari seorang
manusia.11 Lebih lanjut menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan suatu daya dalam mencapai suatu kesempurnaan hidup yang mampu menyelaraskan anak dengan alam serta masyarakat.12 Menelaah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI), pendidikan mengandung pengertian upaya untuk mengubah tata laku dan sikap suatu kelompok atau seseorang agar dapat menjadi manusia yang dewasa dengan memberikan pelatihan atau pengajaran.
Dalam hukum positif Indonesia, payung hukum penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Selanjutnya disebut UU Sisdiknas). Merujuk Pasal 1 angka 3 UU Sisdiknas dapat dipahami bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional diselenggarakan dengan suatu sistem pendidikan nasional yang memuat pengertian “keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.”Dalam perspektif UU Sisdiknas, sedikitnya terdapat tiga kelompok layanan pendidikan mencakup pendidikan formal, nonformal dan informal. Berdasarkan tiga kelompok layanan pendidikan yang penting untuk ditelaah lebih dalam berkaitan dengan masalah yang diteliti ialah terkait dengan layanan pendidikan formal di Indonesia. Secara eksplisit melalui Pasal 1 angka 11 UU Sisdiknas ditentukan bahwasannya “ Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.”
Selanjutnya dalam Pasal 14 UU Sisdiknas ditentukan yang dimaksud dari jenjang pada pendidikan formal ialah pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Adapun pendidikan dasar sendiri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU Sisdiknas ialah “ jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah”. Lebih lanjut pada ayat (2) ditentukan bahwasannya bentuk daripada pendidikan dasar ialah“ Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.” Kemudian pada pendidikan menengah sebagai jenjang lanjutan dari pendidikan dasar diselenggarakan melalui suatu sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan yang lazimnya disebut sebagai SMA dan SMK. Pengaturan terkait pelaksanaan SMA dan SMK sendiri, secara terang telah diatur dalam Pasal 18 BAB IV Bagian Ketiga tentang Pendidikan Menengah yakni Pasal 18 ayat (1) “ Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.”
Kemudian yang terakhir pendidikan tinggi sebagai jenjang akhir dari pendidikan formal di Indonesia dalam penyelenggaraannya dapat diselenggarakan dengan berbentuk politeknik, sekolah tinggi institut, universitas ataupun akademi yang dimana di dalamnya mencakup beberapa program pendidikan yaitu “diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi” sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) UU Sisdiknas.
Berdasarkan statute approach, pengaturan hukum SMP sebagai salah satu jenjang pendidikan dasar, diatur melalui Permendikbud No. 6 Tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah (selanjutnya disebut Permendikbud No. 6 Tahun 2019). Merujuk dalam Pasal 1 angka 5 diatur bahwa “Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disingkat SMP, adalah salah satu bentuk Satuan Pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.” Selanjutnya berkaitan dengan tugas SMP sebagai jenjang pendidikan dasar ialah untuk melakukan pengelolaan pendidikan umum yang terdiri dari tiga tingkatan kelas yakni kelas sembilan, kelas delapan dan kelas tujuh. Dalam melakukan pengelolaan pendidikan umum tersebut, SMP memiliki struktur organisasi meliputi kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kelompok jabatan fungsional serta kelompok jabatan pelaksana.
Adapun keberadaan struktur organisasi ini pada SMP ini ialah untuk memastikan terselenggaranya fungsi SMP sebagai “pelaksanaan pendidikan, pelaksanaan hubungan kerja sama dengan orang tua peserta didik, komite sekolah, dan/atau masyarakat , pelaksanaan administrasi” sesuai yang ditentukan pada pokoknya dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbud No. 6 Tahun 2019. Menelaah lebih dalam, berdasarkan Permendikbud No. 6 Tahun 2019 terdapat pembagian tugas yang jelas dari setiap susunan pada struktur organisasi SMP sebagai berikut:
-
1. Kepala sebagai “pemimpin Satuan Pendidikan yang mempunyai tugas melaksanakan tugas manajerial, pengembangan kewirausahaan, dan supervisi kepada guru dan tenaga kependidikan.” (Pasal 1 angka 14)
-
2. Wakil Kepala sebagai “pelaksana tugas di bidang akademik, kesiswaan, hubungan masyarakat, sarana dan prasarana, dan administrasi Satuan Pendidikan.” (Pasal 12 ayat (3))
-
3. Kelompok Jabatan Fungsional adalah “kelompok yang melaksanakan fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu”. (Pasal 1 angka 17)
-
4. Kelompok Jabatan Pelaksana yakni “kelompok pegawai yang bertanggung jawab untuk Pelaksanaan Administrasi pada Satuan Pendidikan sesuai dengan bidang keahliannya.” (Pasal 1 angka 16)
-
3.2 Kewenangan Pihak Sekolah Dalam Melakukan Penyitaan Telepon Genggam Siswa pada Sekolah Menengah Pertama
Menelaah persoalan legalitas kewenangan pihak sekolah untuk melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa SMP tentu harus ditelaah dalam kerangka teoritis kewenangan terlebih dahulu. Menurut H.D Stout kewenangan berasal dari kata wewenang yakni “ Bevoegheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regel dat btrekking heft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkee, yang berarti bahwa wewenang secara pengertian berasal dari hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik.”13 Lebih lanjut Bagir Manan menyatakan bahwasannya wewenang ialah rechten en plichten atau dapat diartikan wewenang sebagai sesuatu yang berisikan hak beserta kewajiban di
dalamnya sedangkan kekuasaan hanya diartikan sebagai hak untuk memutuskan berbuat atau tidak berbuat sesuatu.14 Berkaitan dengan kewenangan sebagai sesuatu yang memuat hak dan kewajiban, secara jelas P. Nicolai berpandangan yakni hak sejatinya berisikan kebebasan dalam memutuskan tidak berbuat atau berbuat tindakan tertentu. Selanjutnya ia juga menambahkan bahwa wewenang dapat membuat seseorang menuntut pihak lain untuk melangsungkan atau tidak melangsungkan tindakan tertentu. Dalam perspektif lainnya, yang termuat dalam kewajiban ialah keharusan untuk melangsungkan atau tidak melangsungkan tindak tertentu.15 Adapun dalam kerangka teoritisnya kewenangan dapat didapatkan melalui atribusi, delegasi ataupun mandat.
Pemahaman atas perolehan kewenangan melalui atribusi ialah pemberian wewenang kepada pemerintahan dari sang pembuat undang-undang melalui ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga wewenang ini bersifat asli.16Penerima wewenang atribusi dapat memperluas wewenang yang sudah ada atau menciptakan kewenangan baru dengan tanggung jawab sepenuhnya diemban oleh atributaris baik secara intern atau ekstern. Selanjutnya delegasi ialah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan kepada organ lainnya. 17Wewenang delegasi tidak menghasilkan suatu kewenangan baru dan hanya berupa pelimpahan wewenang yang diikuti pula dengan peralihan tanggung jawab dari delegans kepada delegataris. Kemudian pemberian wewenang melalui mandat mesti dipahami sebagai wewenang yang tidak dapat menciptakan atau memperluas wewenang baru seperti dalam atribusi ataupun berupa pelimpahan wewenang layaknya dalam wewenang delegasi akan tetapi lebih mengarah pada hubungan internal antara atasan dan bawahan dimana sang mandataris bertindak atas nama sang pemberi mandat sehingga tidak terjadinya peralihan tanggung jawab dari mandans kepada mandataris.18
Berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan, merujuk dalam Pasal 52 ayat (1) huruf g Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (selanjutnya disebut PP Standar Nasional Pendidikan) j.o Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menentukan bahwa“setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang tata tertib satuan pendidikan yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Pedoman tersebut ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan setelah mempertimbangkan masukan dari rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah.”Selanjutnya menelaah Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (selanjutnya disebut Permendiknas No. 19 Tahun 2007) , dalam bagian lampiran halaman kelima diterangkan bahwa “sekolah/madrasah membuat dan memiliki pedoman yang mengatur berbagai aspek
pengelolaan secara tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait; perumusan pedoman sekolah/madrasah dengan mempertimbangkan visi, misi, dan tujuan sekolah/madrasah serta ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan salah satu pedoman pengelolaan sekolah/madrasah berupa tata tertib sekolah/madrasah.”
Keberadaan Pasal 52 ayat (1) huruf g PP Standar Nasional pendidikan dan Lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 telah secara atributif memberikan kewenangan pihak sekolah untuk menetapkan Peraturan Tata Tertib Sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan dasar di SMP. Dalam hal Peraturan Tata Tertib pada suatu SMP telah sebelumnya menentukan adanya sanksi berupa penyitaan pada jangka waktu tertentu terhadap pelanggaran penggunaan telepon genggam yang siswa lakukan selama proses pembelajaran, maka pihak sekolah berwenang untuk melakukan penyitaan terhadap telepon genggam yang dimiliki oleh siswa SMP tersebut. Hal ini dikarenakan pihak sekolah hanya menjalankan ketentuan Peraturan Tata Tertib yang telah ditetapkan sebelumnya demi kelancaran proses belajar mengajar di sekolah. Adapun contoh Peraturan Tata Tertib yang memuat larangan terhadap penggunaan telepon genggam siswa saat proses belajar mengajar dapat ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib Siswa SMP Negeri 1 Denpasar pada huruf B bagian Larangan poin 12 yakni “ Siswa dilarang mengaktifkan handphone saat pelajaran berlangsung”.19
Kemudian dalam Peraturan Tata Tertib Siswa SMP PGRI 2 Denpasar, pembenaran terkait tindakan penyitaan telepon genggam yang dilakukan oleh pihak didasarkan pada ketentuan yang secara eksplisit melarang dibawanya telepon genggam ke sekolah sesuai dengan Bagian Kelima tentang Larangan-larangan dalam Peraturan Tata Tertib Siswa SMP PGRI 2 Denpasar yakni “Siswa dilarang membawa Handphone atau telepon genggam.”20Ditetapkannya Peraturan Tata Tertib ini didasarkan pada suatu pertimbangan akan kelancaran proses transfer of knowledge dari guru kepada seluruh peserta didik agar dapat mencetak generasi penerus yang berkualitas.
UU Sisdiknas menjadi payung hukum penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Lebih lanjut dalam pendidikan formal sendiri terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. SMP termasuk sebagai sekolah dengan jenjang pendidikan dasar yang ditentukan lebih lanjut melalui Permendikbud No. 6 Tahun 2019. Kewenangan pihak sekolah untuk melakukan penyitaan terhadap telepon genggam siswa merupakan kewenangan yang diperoleh secara atributif melalui ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf g PP Standar Nasional Pendidikan j.o Lampiran kelima Permendiknas No. 19 Tahun 2007, dimana pihak sekolah berwenang untuk menentukan Peraturan Tata Tertib Sekolah dalam menyelenggarakan proses pendidikan kepada peserta didik pada lingkungan sekolah. Berdasarkan kepada hal tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang dalam Peraturan Tata Tertib sekolah telah terlebih dahulu menentukan larangan penggunaan telepon genggam oleh siswa pada
proses pelajaran berlangsung maka tindakan penyitaan yang dilakukan oleh guru sebagai Tenaga pendidik dapat dibenarkan secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ridwan, H. R. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006).
Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001).
JURNAL ILMIAH
Anggoro, Firna Novi. "Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan Oleh PTUN." Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 4 (2016).
Akib, Muhammad. "Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah." Media Hukum 19, no. 2 (2012).
Barus, Zulfadli. "Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Sosiologis." Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013).
Cahyaningrum, Eka Sapti, Sudaryanti Sudaryanti, and Nurtanio Agus Purwanto. "Pengembangan nilai-nilai karakter anak usia dini melalui pembiasaan dan keteladanan." Jurnal Pendidikan Anak 6, no. 2 (2017).
Hamdani. "Dengan Hasil Belajar Siswa Kelas Xi Pada Mata Pelajaran Fikih Di Man 2 Model Medan." Jurnal ANSIRU Nomor 1, no. 43 (2017).
Mahmudah, Siti. "Mengembangkan Kecerdasan Integratif (Catatan Bagi Upaya Pengembangan Kecerdasan Manusia)." Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam 2, no. 2 (2005).
Muhdlor, Ahmad Zuhdi. "Perkembangan Metodologi Penelitian Hukum." Jurnal Hukum dan Peradilan 1, no. 2 (2012).
Purnamasari, Iin. "Homeschooling dalam Potret Politik Pendidikan: Studi Etnografi pada Pelaku Homeschooling di Yogyakarta." Journal of Nonformal Education 3, no. 1 (2017).
Rokhim, Abdul. "Kewenangan Pemerintahan Dalam Konteks Negara Kesejahteraan (Welfare State)." Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Dinamika Hukum 136 (2013).
Sudarsana, I. Ketut. "Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia." Jurnal Penjaminan Mutu 1, no. 1 (2016).
__________________. "Pemikiran Tokoh Pendidikan Dalam Buku Lifelong Learning: Policies, Practices, And Programs (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia)." Jurnal Penjaminan Mutu 2, no. 2 (2016).
Sulaiman. "Paradigma dalam Penelitian Hukum." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 2 (2018).
Taufiqurrahman, Muhammad. "Kedudukan Diskresi Pejabat Pemerintahan." Jurnal Retentum 1, no. 01 (2019).
DISERTASI/SKRIPSI
Abid, Miftah Faridl. "Perlindungan Hukum Terhadap Guru Yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Siswa Yang Melanggar Tata Tertib Sekolah Dalam Perspektif Fiqh Jinayah." PhD diss., Universitas Islam Negeri Raden Fatah, 2019.
Sari, Indah, and Departemen Hukum Tata Negara. "Tinjauan Yuridis Terhadap Pengalihan Kewenangan Pengelolaan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan Kepada Pemerintah Provinsi." Skripsi. Universitas Hasanuddin Makassar. (2017).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah
WEBSITE
Peraturan Tata Tertib: SMPN 1 Denpasar diakses dari situs http://smpn1-dps.sch.id/page/read/25 tanggal 20 November 2020
Peraturan Tata Tertib: SMP PGRI 2 Denpasar diakses dari situs http://www.smppgri2dps.sch.id/index.php?option=com_content&view=article &id=55&Itemid=87&limitstart=1 pada tanggal 20 November 2020
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 12 Tahun 2020, hlm. 40-49.
49
Discussion and feedback