KEBIJAKAN PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA

GOLONGAN I DI INDONESIA

Putu Mutiara Kartika Wedha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

Diah Ratnasari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk memahami pengaturan pemidanaan anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia dan untuk memahami kebijakan pemidanaan anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan pemidanaan terkait anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia diatur melalui Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika dengan ancaman pidana paling banyak yaitu 4 tahun karena hanya diperuntukan untuk penelitian ilmu pengetahuan saja, dan bukan untuk dikonsumsi maupun bahan baku obat. Apabila pelakunya adalah anak, maka akan merujuk pada Pasal 81 UU SPPA yaitu hukuman maksimalnya akan dipotong ½ (setengah) dari hukuman orang dewasa. Hakim dalam memutus perkara harus mempertimbangkan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 UU Narkotika yang mengatur, apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan sebagai korban dan/atau sudah melapor dirinya sendiri kepada pihak yang berwajib maka penyalahguna tersebut dapat dilakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur pada Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3). Kebijakan pemidanaan terhadap anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I selain dipotong ½ dari hukuman orang dewasa, anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I juga dapat dilakukan Diversi, karena ancaman hukuman seorang penyalahguna Narkotika Golongan I maksimal adalah 4 tahun penjara.

Kata Kunci: Anak, Diversi, Narkotika

ABSTRACT

The purpose of writing this journal is to understand the criminal arrangements related to children as Narcotics Category I abusers in Indonesia and to understand the policy of criminalizing children as Category I Narcotics abusers in Indonesia. The research method used is normative legal research method. The results of the study show that the criminal provisions related to children as Narcotics abusers Class I in Indonesia are regulated through Article 127 paragraph (1) of the Narcotics Law with the maximum penalty of 4 years because Category I is a type of Narcotics which is only intended for scientific research, and not for consumption and medicinal raw materials. If the perpetrator is a child, it will refer to Article 81 of the SPPA Law, namely that the maximum sentence will be deducted ½ (half) of the adult sentence. Judges in deciding cases must consider Article 54, Article 55 and Article 103 of the Narcotics Law which regulates, if it can be proven that the person concerned is a victim and / or has reported himself to the authorities then the abuser can undergo medical rehabilitation and social rehabilitation as regulated in Article 127 paragraph (2) and paragraph (3). In addition to deducting ½ of the adult sentence, children who face the law as Narcotics Abusers Category I can also be subject to diversion, because the maximum penalty of a Class I Narcotics abuser is 4 years in prison.

Key Words: Child, Diversion, Narcotics

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Dewasa ini Indonesia tidak bisa benar-benar terlepas dari belenggu penjajahan. Bentuk penjajahan yang dialami Indonesia saat ini terkait dengan marak dan kompleksnya peredaran gelap narkotika di Indonesia yang menyebabkan Indonesia mengalami darurat narkotika. Pada tahun 2015 saja, pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta jiwa dengan tingkat kematian karena narkotika mencapai 30-40 jiwa per hari.1 Narkotika mengincar semua golongan tidak hanya pada orang dewasa namun juga beredar di golongan atau pada kalangan anak yang merupakan penerus bangsa. Menurut R.A Kosnan, anak adalah remaja yang sebaya, jiwa dan perjalanan hidupnya masih muda, sehingga rentan terhadap lingkungan sekitar.2

Dampak negatif dari mudahnya anak terpengaruh dengan keadaan sekitarnya adalah munculnya kenakalan-kenakalan baru yang dilakukan anak yang bahkan kenakalan tersebut dijadikan suatu kebiasaan sehari-hari di dalam pergaulan mereka. Tidak jarang kenakalan anak ini merupakan tindakan yang tergolong suatu kejahatan dan dapat dikatakan sebagai suatau tindak pidana seperti melakukan pencurian, melakukan pemerkosaan bahkan menggunakan mengkonsumsi obat-obatan yang dilarang di Indonesia yaitu narkotika.3 Salah satu kasus anak yang terlibat penyalahgunaan narkotika terjadi pada bulan Juli 2020 di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Anak berumur 14 tahun tersebut ditetapkan sebagai penyalahguna narkotika jenis sabu. Kontrol diri yang lemah serta kurangnya komunikasi antar anggota keluarga merupakan satu dari banyaknya aspek yang memungkinkan anak dapat terlibat sebagai penyalahguna narkotika.4

Anak sebagai penyalahguna narkotika khususnya Golongan I haruslah mendapatkan suatu perlindungan hukum yang pantas dan tepat sebagai penggerak masa depan bangsa ini. Sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika), Narkotika Golongan I merupakan “Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.” Kemudian bagi pelanggarnya atau setiap penyalahguna dapat dipidana 4 (empat) tahun paling maksimal pidana penjaranya.

Perlunya diberlakukan aturan khusus untuk menjaga harkat dan martabat serta termasuk perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan memunculkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). UU SPPA memberikan ruang bagi proses penanganan anak yang berperkara dengan hukum agar sebisa mungkin dialihkan ke proses di luar peradilan pidana yang diistilahkan dengan Diversi5 serta diatur pula mengenai pemidanaan yang dapat diberlakukan bagi anak. Pengaturan yang ada di dalam UU

SPPA ini menyebabkan adanya disharmoni dengan UU Narkotika. Penyalahguna Narkotika Golongan I pada UU Narkotika diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun, sedangkan UU SPPA memiliki konsep bahwa anak yang berperkara dengan hukum wajib diupayakan diversi untuk menghindari anak dari perampasan kemerdekaan. Apabila upaya diversi gagal dan berakhir dengan penjatuhan pidana terhadap anak, pengaturan pemidanaan dalam UU SPPA juga akan berbeda dengan yang diatur dalam UU Narkotika.

Kajian atau pembahasan mengenai pemidanaan anak terkait penyalahgunaan Narkotika sudah dilakukan sebelumnya oleh Nyoman Krisna Yudha dan A. A. Sri Utari dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika” menyimpulkan bahwa UU SPPA mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum wajib mengupayakan diversi terlebih dahulu. Kajian terkait juga pernah di bahas oleh Ida Bagus Gede Surya Khamajaya dan I Gusti Agung Dike Widhiyastuti dengan judul “Pemberlakuan Sistem Pemidanaan Terhadap Anak Dalam Perkara Narkotika Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” kemudian menyimpulkan terhadap Penjatuhan pidan kepada anak adalah upaya/ jalan terakhir yang akan ditempuh (last option). Perbandingan jurnal ilmiah ini dengan jurnal ilmiah yang telah ada sebelumnya ialah pada pembahasan jurnal ilmiah ini, penulis akan lebih menekankan pada penerapan diversi dan rehabilitasi teruntuk anak penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, mengingat anak adalah penerus bangsa Indonesia yang wajib untuk diselamatkan dari permasalahan yang berhubungan dengan Narkotika, maka akan sangat baik dan berguna untuk dibahas dalam jurnal ilmiah dengan judul “Kebijakan Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Telah dilakukan penjabaran permasalahan yang terjadi diatas, sehinga dapat ditampilkan inti sari permasalahan untuk dibahas, antara lain:

  • 1.    Bagaimana peraturan pemidanaan terkait anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I dalam hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana kebijakan pemidanaan terhadap anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan penelitian yang dituangkan dalam bentuk jurnal ini adalah untuk memahami pengaturan pemidanaan terkait anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia serta untuk memahami kebijakan pemidanaan terhadap anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia.

  • II.    METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif yang digunakan untuk mengkaji problematika norma dalam peraturan perundang-undangan.6 Konflik norma merupakan problematika norma yang terdapat dalam jurnal ini. Penulis dalam jurnal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Jurnal ini menggunakan bahan hukum

primer yaitu peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian ataupun buku yang dikumpulkan menggunakan teknik studi pustaka. Jurnal ini dianalisis menggunakan teknik deskriptif yakni teknik yang melukiskan, memaparkan dan mendeskripsikan tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum.7

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1    Pengaturan Pemidanaan Terkait Anak Sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I Dalam Hukum Positif di Indonesia

Segala tindak tanduk pemerintah haruslah berdasarkan hukum.8 Ini yang menyebabkan pemerintah dalam melakukan suatu cita-cita Negara Indonesia bebas dari narkotika yaitu dengan membuat seperangkat peraturan. Peraturan di Indonesia yang mengatur tentang hukum pidana atau hukum publik, kejahatan mengenai tindak pidana narkotika merupakan satu dari banyaknya perbuatan melawan hukum khusus, karena diatur diluar KUHP.9 UU Narkotika diatur dengan tujuan memperbaiki serta meningkatkan kesehatan sumber daya manusia yang menjadi tumpuan bangsa Indonesia dilakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

Pasal 1 angka 1 UU Narkotika menyatakan bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Jenis-jenis narkotika dibagi atas golongan–golongan tertentu yaitu: Golongan I, Golongan II dan Golongan III. Sebagaimana diatur pada Pasal 12 ayat (1), Golongan I merupakan jenis golongan narkotika yang peruntukanya hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan itupun dengan jumlah produksi yang sangat terbatas dan terkontrol dengan ketat dan dilarang untuk di produksi masal. Nakotika Golongn II dan Golngan III adalah bahan baku yang digunakan untuk produksi obat, baik itu bahan yang alami maupun yang sintetis, yang dalam penggunaanya harus sesuai dengan aturan yang ada sebagaimana diatur pada Pasal 37 UU Narkotika. Narkotika Golongan I memiliki 65 jenis beserta turunannya, Narkotika Golongan II memiliki 86 jenis, dan Narkotika Golongan III memiliki 14 jenis yang kesemuanya tertera pada lampiran UU Narkotika.

Secara harfiah, narkotika merupakan zat atau kandungan memiliki kemanfaatan dan daya guna yang baik karena digunakan untuk pengobatan dalam prakter kedokteran. Dewasa ini yang menjadi permasalahan adalah apabila narkotika tersebut digunakan dan disalahgunakan karena dalam penggunaanya tidak sesuai dengan standar sehingga mengakibatkan kerugian bagi seseorang serta masyarakat dengan usia muda yaitu anak–anak. Hal-hal seperti ini akan membawa kerugian yang berdampak

besar bagi nilai budaya dan kehidupan negara, sehingga melemahkan ketahanan negara. Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan sendiri, tetapi saat ini tindak pidana narkotika dilakukan, diatur, dan dilaksanakan secara bersama-sama melalui jaringan yang luas dan rapi.

Ketentuan pidana yang mengatur tentang penyalahguna pada UU Narkotika terletak pada Pasal 127 ayat (1), yakni: “Setiap Penyalah Guna:

  • a.    Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

  • b.    Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

  • c.    Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

Narkotika Golongan I menjadi golongan narkotika dengan ancaman pidana paling banyak yaitu 4 tahun karena hanya diperuntukan sebagai bahan penelitian ilmu pengetahuan saja, bukan untuk dikonsumsi maupun bahan baku obat. Apabila pelaku penyalahguna narkotika tersebut merupakan anak, maka dalam penjatuhan pidananya perlu diperhatikan pula Pasal 81 UU SPPA yang menegaskan bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.” Artinya, penyalahguna Narkotika Golongan I menurut UU Narkotika memiliki ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun, namun jika anak pelakunya maka akan dipotong setengahnya, sehingga pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak maksimal hanya 2 tahun.

Pasal 127 UU Narkotika, hakim harus memperhatikan Pasal 54, kemudian 55 dan 103 UU Narkotika dalam memutus perkara. Pasal ini pada prinsipnya mengatur, apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan sebagai korban dan/atau sudah melapor dirinya sendiri atau oleh keluarganya kepada pihak yang berwajib maka penyalahguna tersebut dapat dilakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur pada Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3). Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono pun mengungkapkan hal yang sama terkait penyalahguna narkotika yang melapor, yaitu “Buat yang menyerahkan diri atau volunteer, ya kita assesment langsung, terus kita obati.”10 Jadi, penyalahguna narkotika tidak akan perlu meneruskan proses ke pengadilan. Penerapan hukuman rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan bentuk tanggungjawab Negara melalui Lembaga Yudisialnya dalam hal ini sebagai yang membidangi yaitu Mahkamah Agung guna menyelamatkan anak sebagai generasi penerus bangsa dari kencaduan narkotika.11

Terhadap penyalahguna Narkotika Golongan I, putusan rehabilitasi tidak serta merta dapat diberikan. Terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 (selanjutnya disebut SEMA No. 4 Tahun 2010) yang pada prinsipnya SEMA ini memberikan syarat pemidanaan dengan penempatan penyalahguna narkotika kedalam lembaga rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis apabila:

  • a.    “Terdakwa tertangkap tangan saat ditangkap oleh Polri dan BNN;

  • b.    Terdakwa membawa barang bukti yang beratnya tidak melebihi apa yang diatur pada SEMA tersebut;

  • c.    Terdakwa mendapatkan hasil positif menggunakan narkotika saat dilakukan uji laboratorium;

  • d.    Terdakwa perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater; dan

  • e.    Terdakwa tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika”

Hal–hal tersebut merupakan klasifikasi seorang penyalahguna dapat diputus dan ditempatkan dilembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Segala pengaturan mengenai rehabilitasi ini tidak menghapuskan hukuman pidana yang dikenakan terhadap seseorang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, apalagi jika mengkonsumsi atau menyalahgunaakan Narkotika Golongan I yang dapat dikenakan ancaman paling tinggi yaitu 4 Tahun. Ini merupakan yang diistilahkan dengan Double Track System, yang dinamakan Double Track System ialah sanksi yang dikenakan terhadap pelaku suatu tindak pidana dapat berbentuk sanksi tindakan dan sanksi pidana secara bersamaan. Hal ini dapat ditemukan pada sanksi yang diberikan kepada Penyalahguna Narkotika, disatu sisi tetap menjalani sanksi pidana dengan ancaman penjara maksimal 4 dan juga menerima hukuman rehabilitasi medis dan sosial.12

Model Double Track System ini akan efektif jika pelakunya adalah seorang yang telah dewasa, artinya dia yang melakukan ini sudah dapat bertanggung jawab dengan apa yang dilakukanya yaitu dengan mengkonsumsi Narkoba, namun akan menjadi tidak efektif apabila pelakunya adalah anak–anak yang cenderung belum dapat mengerti akan apa yang di perbuat dan belum dapat bertanggungjawab atas apa yang diperbuat yaitu mengkonsumsi Narkotika Golongan I. Anak–anak cenderung menjadi korban dalam hal penyalahgunaan Narkotika dan anak–anak yang menjadi korban daripada Narkotika haruslah tentu diselamatkan oleh Negara. Mengingat anak adalah penerus bangsa Indonesia, maka negara harus ada dalam masyarakat untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi anak Indonesia dan masa depannya.

  • 3.2    Kebijakan Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Penyalahguna Narkotika

    Golongan I di Indonesia

Dewasa ini, banyak anak yang ditemukan sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I. Kebijakan pemidanaan terhadap anak sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I didasari atas pengaturan Pasal 127 UU Narkotika. Penyalahguna Narkotika Golongan I pada UU Narkotika diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun yang menyebabkan adanya disharmoni dengan UU SPPA yang memiliki konsep bahwa anak yang berperkara dengan hukum wajib diupayakan diversi untuk menghindari anak dari perampasan kemerdekaan. Apabila upaya diversi tidak dapat dilaksanakan atau gagal dan berakhir dengan penjatuhan pidana terhadap anak, pengaturan pemidanaan dalam UU SPPA juga akan berbeda dengan yang diatur dalam UU Narkotika.

Disharmoni tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan asas preferensi lex posteriori derogat legi priori yang bermakna aturan yang lebih baru mengesampingkan aturan yang lama. Jadi, anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I akan menggunakan UU SPPA sebagai dasar dalam menyelesaikan perkara anak tersebut.

Anak-anak membutuhkan perlindungan jangka panjang dari negara dan masyarakat.13 UU SPPA mencerminkan kinerja pemerintah dalam melaksanakan rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2007).14 UU SPPA adalah undang-undang yang dirancang untuk melindungi martabat anak serta menurut UU SPPA pemidanaan anak bukanlah tujuan utamanya, namun mengutamakan pendekataan keadilan restoratif.

Keadilan restoratif berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU SPPA merupakan: “Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Keadilan restoratif didasari oleh nilai-nilai yang beresonasi dengan berbagai faktor yang berpengaruh luas pada individu maupun kelompok yang ada diseluruh dunia sehingga memunculkan berbagai peluang untuk tercapainya suatu keadilan baik terhadap korban ataupun pelaku.15 Keadilan restoratif dapat diupayakan melalui diversi yang merupakan penyelesaian perkara anak diluar pengadilan dan diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU SPPA.

Tujuan diversi diatur pada Pasal 6 yaitu: menyelesaikan perkara diluar pengadilan, mencegah anak dirampas kebebasannya, mendorong partisipasi masyarakat, membangkitkan tanggung jawab anak. Diversi tidak serta merta dapat dilaksanakan dan diterapkan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut Pasal 7 ayat (2) UU SPPA: “Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terjadi tindak pidana: diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun; dan b. Kejahatan yang berulang”. Kedua syarat ini adalah syarat kumulatif, artinya bagi anak yang berhadapan dengan hukum, dua syarat harus dipenuhi sebelum bisa dialihkan. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka menurut hukum, anak tidak bisa di diversi.

Terkait dengan kedua syarat yang dinyatakan oleh Pasal 7 UU SPPA, anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I hanya memiliki ancaman pidana maksimal 4 tahun. Jadi, anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penyalahgunaan Narkotika Golongan I dapat dilakukan Diversi. Latar belakang diversi adalah keinginan untuk menghalangi terpaparnya perkembangan jiwa dan raga anak akan efek negatif serta menghindari stigmatisasi terhadap partisipasi anak dalam sistem peradilan pidana.16 Indonesia dalam menggunakan konsep diversi hanya untuk melakukan perbaikan struktur serta komponen peradilan pidana anak.17

Apa yang dilakukan di Indonesia tidak sama dengan apa yang diterapkan di Australia, Australia menggunakan konsep diversi yang memang ingin mengeluarkan

anak dari sistem peradilan pidana, jadi tidak hanya sebagai alternatif saja.18 Konsep diversi di Australia diterapkan dengan mempertemukan pelaku yang merupakan seorang anak dan orang tuanya dengan pihak kepolisian bersama lembaga pekerja sosial Australia sebelum kepada pengadilan formal yang hanya akan berperan pada ranah memberikan peringatan dan konseling dalam suasana informal. Pelaksanaan diversi seperti demikian di Australia dianggap sebagai Diversi yang sebenarnya atau True Divertion karena memiliki visi agar anak dapat keluar dari sistem peradilan pidana sepanjang anak tidak mengulanginya lagi perbuatan tersebut, apabila diulang maka diversi tidak berlaku lagi, dan akan diproses sebagaimana harusnya yaitu melalui peradilan.19

Menurut Angger S. Pramukti dan Fuady Primaharsya, “Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.”20 Oleh karena itu, dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan anak hendaknya memperhatikan kesejahteraan anak termasuk keputusan terhadap anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir yang dapat diberikan terhadap anak. Masih ada cara lain seperti rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis sehingga anak dapat kembali melanjutkan kehidupan bermasyarakatnya.

Pasal 56 UU Narkotika menjelaskan “rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat”. Rehabilitasi medis mengacu pada proses seorang pecandu berhenti menggunakan narkotika dengan pengawasan dokter dengan tujuan menyurutkan gejala putus obat. Pengawasan beserta pengamanan bagi tersangka/ terdakwa yang berada dalam tempat rehabilitasi, seluruh fasilitas rawat inap dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang dalm hal rehabilitasi yang mengharuskan pemenuhan standar tertentu. Pelaksanaannya dikelola dan diawasi oleh pihak kepolisian, kemudian dengan melaporkan hasil akhir rehabilitasi, pengguna narkoba dan korban narkotika yang mengikuti rehabilitasi dikembalikan kepada penyidik atau penuntut.21

Setelah rehabilitasi medis dan sosial di lokasi rehabilitasi, selanjutnya dilakukan pengembangan keperawatan tahap lanjut, yaitu rangkaian kegiatan aktif dan produktif bagi penyalahguna narkotika dan/ atau pengguna napza yang telah menjalani rehabilitasi sosial. Perkembangan lanjutan merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian rehabilitasi kecanduan narkoba dan tidak dianggap sebagai cara pengobatan mandiri. Hal ini sesuai dengan konsensus berikut: begitu seorang pecandu narkoba menjalani program rehabilitasi sosial di sebuah tempat rehabilitasi, ia tetap membutuhkan bantuan. Sehingga ia dapat berintegrasi kembali ke dalam masyarakat yang sesuai. Tujuannya agar bisa standarisasi, hidup mandiri dan efektif.22

Rehabilitasi sosial dan rehabilitas medis jauh lebih bermanfaat bagi masa depan anak bukan pemidanaan berupa pidana penjara. Seseorang yang terbukti melakukan penyalahgunaan narkotika apalagi itu adalah seorang anak penjatuhan pemidanaan

bukanlah jawaban yang sempurna, karena berdasarkan ilmu victimologi bahwa penyalahguna atau pecandu narkotika itu disebut dengan self victimizing victims. Self victimizing victims merupakan istilah yang bermakna korban itu sendiri adalah pelaku utamanya, dan viktimologi berkonsep bahwa seseorang atau anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika adalah sebagai korban, meskipun kejahatan yang diperbuat untuk dirinya sendiri dan dilakukan oleh dirinya sendiri. Orang yang sakit diberikan hukuman penjara bukanlah jawaban yang tepat dan sempurna untuk para penyalahguna narkotika apalagi itu adalah seorang anak.23

  • IV.    KESIMPULAN

Pengaturan terkait penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia, diatur pada Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika dengan ancaman pidana paling banyak yaitu 4 tahun. Apabila pelakunya adalah anak maka akan merujuk pada Pasal 81 UU SPPA yaitu, hukuman maksimalnya akan dipotong ½ (setengah) dari hukuman orang dewasa. Pada Pasal 127 ini hakim dalam memutus perkara harus mempertimbangkan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 UU Narkotika yang pada prinsipnya mengatur, apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan sebagai korban dan/ atau sudah melapor dirinya sendiri atau oleh keluarganya kepada pihak yang berwajib maka penyalahguna tersebut dapat dilakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur pada Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3). Kebijakan pemidanaan terhadap anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I selain dipotong ½ dari hukuman orang dewasa, anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I juga dapat dilakukan Diversi, karena ancaman hukuman seorang penyalahguna Narkotika Golongan I maksimal adalah 4 tahun penjara. Diversi didasari atas harapan untuk menghindari dampak negatif terhadap perkembangan psikologi anak akibat keikutsertaannya dalam sistem peradilan pidana. Pidana penjara merupakan upaya terakhir yang dapat diberikan terhadap anak. Masih ada cara lain seperti rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis sehingga anak dapat kembali melanjutkan kehidupan bermasyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adi, Koesno. Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak (Malang, Setara Press, 2015).

Koesnan, R.A. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (Bandung, Sumur, 2005).

Krisna, Liza Agnesta. Hukum Perlindungan Anak (Panduan Memahami Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Yogyakarta, Deepublish, 2018).

Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. Sistem Peradilan Pidana Anak (Yogyakarta, Medpress Digital, 2014).

Jurnal Ilmiah

Asyiah, Nur. "Eksitensi Perlindungan Hukum Warga Negara Terhadap Tindakan Pemerintah Dalam Membuat Keputusan Administrasi Negara." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 11, No. 1 (2016).

Barus, Zulfadli. "Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Sosiologis." Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013).

F.Z., R.A. Alfajriyah. "Pelaksanaan Rehabilitasi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika (Studi Pada Loka Rehabilitasi Kalianda)." Jurnal Poenale: Jurnal Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung 6, No. 06 (2017).

Khamajaya, Ida Bagus Gede Surya, and I Gusti Agung Dike Widhiyastuti. "Pemberlakuan Sistem Pemidanaan Terhadap Anak Dalam Perkara Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 2 (2020).

Prasetyo, Adhi. "Diversi Tindak Pidana Narkotika Terhadap Anak (Studi Kasus di Kabupaten Sambas)." Jurnal Nestor Magister Hukum Universitas Tanjung Pura 4, No.4 (2017).

Purnamiyanti, Ni Putu Esa Bulan, and Anak Agung Ngurah Wirasila. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Keluarga Yang Meminta Untuk Dilakukan Euthanasaia Ditinjau Dari Perspektif Kuhp Indonesia." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 9 (2020).

Putra, Putu Indra Arditya, I Made Tjatrayasa, and AA Ngurah Yusa Darmadi. "Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali Di Denpasar." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 6, No. 01 (2017).

Setiawati, Ni Ketut Arie, and AA Gde Oka Parwata. "Penerapan Vonis Rehabilitasi Bagi Pecandu Narkotika (Study Kasus Pengadilan Negeri Denpasar Nomor. 304/Pid. Sus/2016/PN. Dps, Tentang Tindak Pidana Narkotika)." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 6, No. 2 (2017).

Sugiarto, Sugiarto. "Penjatuhan Pidana oleh Hakim Terhadap Prajurit Tentara Nasional Indonesia sebagai Pelaku Penyalahguna Narkotika." Jurnal Magister Hukum Udayana 7, No. 2 (2018).

Unayah, Nunung, and Muslim Sabarisman. "Fenomena kenakalan remaja dan kriminalitas." Sosio informa 1, No. 2 (2016).

Wardhani, Ni Made Kusuma, and I Gusti Ngurah Wairocana. "Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Dengan Ancaman Pidana Penjara Tujuh Tahun Atau Lebih." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 7, No. 03 (2018).

Wiharsa, I Made. "Diversi Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Peradilan Anak." Jurnal Magister Hukum Udayana 6, No. 1 (2017).

Yudha, Nyoman Krisna, and Anak Agung Sri Utari. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 2 (2020).

Internet

Permana, Rakhmad Hidayatulloh. “Pecandu Narkoba Dipenjara atau Direhabilitasi? Ini Aturannya.” URL: https://news.detik.com/berita/d-4635500/pecandu-narkoba-dipenjara-atau-direhabilitasi-ini-aturannya (diakses 3 November, 2020).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5062)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5332

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 5 Tahun 2021, hlm.356-365

365