KONSEP DAN PENGATURAN SEWA MENYEWA

BANGUNAN DALAM UNDANG-UNDANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

Amanda Jessica Sihombing, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

R.A. Retno Murni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Bisnis yang sangat berkembang pesat di Bali salah satunya ialah sewa menyewa villa. Villa merupakan suatu tempat yang digunakan satu orang atau lebih untuk menginap semalam, seminggu, atau dijadikan tempat tinggal untuk beberapa tahun. Tak jarang ditemukan yang menyewa villa-villa ini ialah warga negara asing. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep dan pengaturan sewa menyewa bangunan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Villa bisa dikategorikan sebagai bangunan, karena berbentuk rumah. Metode yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini menggunakan metode normatif, yaitu dengan pendekatan pada peraturan perundang-undangan yang terkait. Hasil studi dari tulisan ini ialah perjanjian sewa menyewa bangunan adalah perjanjian yang mengikat kedua belah pihak untuk menyewakan suatu bangunan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Pengaturan mengenai hak sewa terdapat dalam Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Kata Kunci: Sewa, Villa, Perjanjian

ABSTRACT

One of the fastest growing businesses in Bali is villa lease. A villa is a place that is used by one or more people to stay overnight, a week, or as a residence for several years. Not infrequently it is found that the foreigners are renting out these villas. The goal of this journal is to discover how the concept and arrangement of leasing a building in Code Number 5 Of 1960 Concerning The Basic Regulations Of Agrarian Principles. A villa can be categorized as a building, because it is in the form of a house. The method used in this scientific journal uses the normative method, namely by approaching the related laws and regulations. The study result of this paper is that the building lease agreement is an agreement that binds both parties to rent out a building within a predetermined period of time. Regulations regarding lease rights are contained in Article 44 and Article 45 of Code Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations of Agrarian Principles.

Keywords: Lease, Villa, Agreement

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Permasalahan

Negara Indonesia disebut dengan negara kepulauan karena mempunyai ribuan pulau. Salah satu diantaranya ialah Pulau Bali. Tidak dapat dipungkiri, Bali terkenal akan adat, budaya, dan keindahan alamnya. Tidak hanya wisatawan domestik, wisatawan mancanegarapun datang ke Bali untuk berlibur maupun berbisnis. Wisatawan juga memerlukan penginapan sementara, baik itu di hotel, maupun villa. Salah satu tempat penginapan yang digemari banyak wisatawan adalah villa, karena dengan menginap di villa, wisatawan memiliki privasi. Hal tersebut memberikan

peluang bagi warga lokal Bali untuk membuka usaha menyewakan villa di Bali. Proses untuk dapat menginap di sebuah villa membutuhkan perjanjian antara pihak penyewa villa dengan pihak yang menyewakan villa. Proses itu dilakukan untuk menentukan batas waktu dan harga menyewa di villa.

Prof. Subekti mengemukakan pengertian perjanjian, yaitu: “suatu kejadian, dimana seseorang melakukan perjanjian kepada orang lain atau ketika dua orang itu saling berkomitmen untuk melakukan suatu hal”.1 Suatu perjanjian harus mempunyai aspek antar waktu: para pihak hari ini sepakat untuk melakukan sesuatu keesokan harinya.2 Dalam buku ketiga KUH Perdata, Perjanjian mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian, serta mengatur perikatan yang lahir dari undang-undang. Pengertian perjanjian terdapat pada Pasal 1313 KUH Perdata yang mempunyai inti yakni suatu persetujuan ialah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Sewa menyewa dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1547 sampai Pasal 1600.

Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat amanah yakni: penguasaan negara terhadap tanah untuk melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan tanah didasari oleh semangat mensejahterakan masyarakat Indonesia. Memanfaatkan SDA, termasuk tanah ialah bagi kesejahteraan rakyat. Amanah dari ketentuan tersebut mengamanahkan kepada negara bahwasanya: “segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah seperti bagian dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang berada di Indonesia harus dikelola dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat Indonesia”. Ada banyak manfaat tanah, baik dalam segi ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Dalam segi ekonomi, tanah digunakan sebagai mata pencaharian bagi masyarakat dengan cara menjual tanah atau di atas sebidang tanah dengan melakukan kegiatan jual beli barang. Dalam segi sosial, tempat untuk berteduh dengan cara mendirikan rumah atau melakukan kegiatan sosial lainnya dapat memanfaatkan tanah.3 Penguasaan negara atas tanah dapat berbentuk: “pengelolaan, kebijakan, pengaturan, dan pengawasan dan perlu diatur secara partikular dalam sebuah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanahan”. Tujuan penciptaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu: untuk melekatkan pengantar dalam mempersembahkan kepastian hukum berkenaan hak atas tanah yang berisi kejelasan tentang subjek hukum akan tanah (orang atau badan hukum; kejelasan tentang letak, batas, ukuran atau luas tanah atau kejelasan tentang obyek hak atau mengenai status hak atas tanah yang melahirkan alas hubungan antara tanah dengan orang maupun badan hukum.4 Dengan demikian, masyarakat di Indonesia boleh memanfaatkan tanah di Indonesia dengan cara sewa menyewa tanah atau bangunan. Sewa menyewa ini dapat dilakukan terhadap WNI dengan WNI maupun WNI dengan WNA.

Jika dibandingkan antara tulisan ini dengan tulisan atau studi terdahulu, terdapat konsep yang serupa, akan tetapi fokus penulisannya memiliki beberapa hal yang membedakan. Studi terlebih dahulu dilakukan oleh Urip Santoso pada tahun 2018 yang membahas “pembebanan hak sewa untuk bangunan atas tanah hak milik: perspektif asas dan pembuktian”5 sedangkan penulis membahas “konsep dan peraturan sewa menyewa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria secara umum”. Akan halnya tujuan dari penulisan ini yaitu: untuk mengenal dan menganalisis konsep dan peraturan sewa menyewa bangunan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan, maka penulis menemukan rumusan masalah untuk diangkat dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimana konsep dan pengaturan sewa menyewa bangunan dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria?

  • 2.    Apakah dapat mengganti klausula dalam perjanjian sewa menyewa?

  • 1.3    Tujuan

Dengan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari karya ilmiah ini ialah untuk mengetahui dan menganalisis konsep dan pengaturan sewa menyewa bangunan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta untuk memahami mengenai penggantian klausula dalam perjanjian.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam menulis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Karya tulis ini meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum.6

Dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan undang-undang. Melakukan kajian studi pustaka untuk pengumpulan bahan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dimaksud seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bahan hukum sekunder, yang bersumber dari pendapat ahli hukum, doktrin, maupun teori dari literatur hukum atau hasil penelitian. Pengumpulan bahan hukum dengan teknik studi pustaka kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu studi kasus.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Konsep dan pengaturan sewa menyewa bangunan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Salim memberikan definisi hukum kontrak atau perjanjian yaitu: “The entirety of legal norms that regulate the legal relationship between the parties or is based on an agreement

to give rise to legal consequences8 yang berarti keseluruhan norma-norma hukum yang mengelola hubungan hukum antara pihak-pihak atau didasarkan atas ke sepakatan yang dapat ditimbulkan oleh akibat hukum. Mengikuti ketetapan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) setiap perjanjian selalu memiliki empat syarat yang telah ditentukan bagi Undang-Undang, yaitu:

  • a.    Adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Kata sepakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan seperti: setuju; semufakat; sependapat; seia sekata. Adanya kata sepakat adalah suatu hal yang berarti dalam suatu perjanjian yang memuat unsur kehendak bebas dari para pihak. Kesepakatan artinya para pihak sama-sama mengemukakan keinginan masing-masing demi membuat sebuah perjanjian pihak yang satu dengan yang lain haruslah cocok atau sejalan.9 Salah satu syarat validitas perjanjian adalah kesepakatan yang merupakan persyaratan yang berlaku secara umum di dunia. Bisa berjalan secara tegas, dengan cara mengucapkan kata maupun tertulis; secara diam, dengan suatu sikap ataupun dengan isyarat.10 “Sepakat” tidak boleh diakibatkan atas adanya kekeliruan akan hakikat barang yang menjadi subyek kesepakatan atau kesalahan tentang diri pihak lainnya dalam perikatan yang dilakukan. Yang memicu seseorang melakukan suatu tindakan sebab takut akan intimidasi (Pasal 1324 KUH Perdata) atau adanya penipuan (Pasal 1328 KUH Perdata). Atas perjanjian yang dibuat berlandaskan kesepakatan dan beralaskan alasanalasan ini, bisa dilakukan pembatalan.11

  • b.    Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Subyek hukum dalam KUH Perdata dibatasi, yaitu siapa yang bisa memerankan pihak dalam kontrak atau perjanjian. Perlu diketahui orang yang secara hukum tidak mampu atau tidak memiliki posisi hukum untuk melakukan perjanjian. Orang-orang yang tidak kompeten cakap hukum guna melahirkan kontrak, yaitu:

  • -    “Orang yang belum dewasa atau anak yang belum berumur 21 tahun”;

  • -    “Orang-orang yang berada dibawah pengampuan, seperti: orang dengan gangguan mental”;

  • -    “Semua pihak yang menurut Undang-undang berlaku tidak cakap hukum atau dibatasi kecakapannya dalam membuat perjanjian, yaitu: istri, apabila seorang isti hendak melangsungkan perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu, wajib mendapat persetujuan dari suami”.12

  • c.    Adanya suatu pokok persoalan tertentu

Adanya suatu persoalan atau hal tertentu ialah obyek perjanjian, yaitu prestasi yang harus dilakukan debitur.13 Suatu hal yang spesifik dalam suatu perjanjian ialah suatu barang yang akan dijadikan obyek suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1333 KUH Perdata. Barang yang diperjanjikan harus tertentu, sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya, jumlahnya tidak harus ditentukan asal dapat diperhitungkan.14

  • d.    Adanya suatu sebab yang tidak terlarang

Kata causa (Latin) diterjemahkan menjadi kata kausa yang dimaksudkan dalam perjanjian menunjuk kepada isi dan tujuan perjanjian bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang melangsungkan perjanjian.15 Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, “apabila dalam suatu persetujuan tidak adanya sebab, atau dibuat berlandaskan suatu sebab yang palsu atau yang ilegal, tidaklah memiliki kekuatan di mata hukum”. Artinya ialah didalam suatu perjanjian harus beretikad baik.

Persyaratan pertama dan ke dua ialah “syarat subyektif”, sebaliknya persyaratan ke tiga dan ke empat adalah “syarat objektif”. Syarat-syarat tersebut dibedakan karena dikaitkan pada persoalan: “batal demi hukum dan dapat dibatalkannya suatu perjanjian”. Bila syarat subyektif tidak terlaksana maka suatu perjanjian atau kontrak dapat dibatalkan, bilamana kondisi obyektif dalam suatu perjanjian belum mencukupi, maka perjanjian batal demi hukum.16

Ada berbagai macam perjanjian, salah satunya ialah “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah atau Bangunan”. Dalam Buku Ketiga KUH Perdata mengatur mengenai Perjanjian sewa menyewa, mengenai sewa menyewa rumah dan tanah dimuat dalam bagian ke dua, bagian buku ke tiga memuat pasal-pasal eksklusif valid untuk sewa menyewa rumah dan perabotan rumah, lalu dalam bagian ke empat memuat pasal-pasal yang eksklusif valid untuk sewa menyewa tanah.17

Suatu kesepakatan konsensual dapat berupa sewa menyewa, yaitu perjanjian yang resmi dan mengikat para pihak sesudah mendapatkan kesepakatan akan yakni: “barang dan harga”. Karena begitu merupakan keharusan pihak yang menyewakan untuk memberikan barang, sebaliknya pihak penyewa melunasi pembayaran.18 Menurut KUH Perdata Pasal 1548, Sewa-Menyewa adalah “suatu persetujuan, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan atas suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu dan telah mencapai kesepakatan mengenai hal-hal lain sehingga dapat melanjutkan kegiatan sewa menyewa”. Orang dapat mengontrakan beraneka macam benda, yang tetap maupun yang bergerak. Memberikan benda agar

dinikmati adalah keharusan pihak yang menyewakan. Dengan begitu, seseorang yang memegang hak untuk menikmati hasil bisa secara legal menyewakan bedna yang dikuasainya dengan hak tersebut.19 Menurut Yahya Harahap, sewa menyewa adalah “persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa”.20 Jadi, sewa menyewa tanah atau bangunan ialah suatu persetujuan untuk menyewakan suatu tanah atau bangunan yang dibuat oleh kedua belah pihak dengan jangka waktu tertentu.

Apabila seseorang ingin menyewa suatu tanah atau bangunan, seseorang tersebut harus mempunyai hak sewa. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Sewa untuk bangunan secara eksklusif berada di pasal 44 dan pasal 45. Yang dimaksud dengan hak sewa bangunan, yaitu: “hak yang dipunyai seseorang atau badan hukum untuk membangun dan memiliki suatu bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan melakukan pembayaran sejumlah uang dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan untuk memanfaatkan tanah berlandaskan kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan”.21 Yang bisa menjabat pemilik hak sewa menurut Pasal 45 UUPA ialah warganegara Indonesia, orang asing yang berdomisili di Indonesia, badan hukum yang dibuat berdasarkan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia, dan badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia

Dalam Pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berisi tentang pelunasan uang sewa secara satu kali atau bertahap atau sebelum atau sesudah tanah dipakai yang artinya uang sewa dibayar sekali atau pada waktu tertentu oleh pemilik hak sewa untuk bangunan semasih bangunan terjadi atau uang sewa dibayarkan sebelum atau sesudah hak sewa untuk bangunan terjadi.22

Hak sewa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Subyek

  • -    “Warga Negara Indonesia”;

  • -    “Warga Negara Asing yang berdomisili di Indonesia”;

  • -    “Badan hukum yang dibuat berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”; dan

  • -    “Badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia”.

Jangka Waktu

Tidak diatur secara eksplisit mengenai jangka waktu Hak Sewa untuk bangunan sehingga mengenai jangka waktu sewa bangunan dapat disepakati bagi kedua belah pihak yang menciptakan perjanjian sewa menyewa.

Dasar Hukum

“Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”.

Terjadinya Hak

Adanya perjanjian yang dibuat atau tertulis antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan.

Hapusnya Hak

- “Jangka waktunya berakhir”;

19 Raharjo, H. Buku Pintar Transaksi Jual Beli dan Sewa Menyewa. (Yogyakarta, Penerbit Pustaka Yustisia, 2010), h. 24.

20 Maharani, Desak Komang Lina. Skripsi “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Tanah (Studi Kasus Pengadilan Negeri Gianyar No. 411/Pdt.G/2014/PN.GIN)”. (2020). 3.

21 Opcit, Santoso, Urip. h. 334.

22 Ibid, h. 335.

  • -    “Dihentikan sebelum jangka waktu selesai sebab pemegang hak sewa tidak melengkapi syarat selaku pemegang hak sewa untuk bangunan”;

  • -    “Dilepaskan oleh pemegang hak sewa untuk bangunan sebelum jangka waktunya selesai”;

  • -    “Hak milik atas tanahnya ditarik untuk kepentingan umum”;

  • -    “Tanahnya lenyap”.1

Hak yang dipunya seseorang atau badan hukum untuk membangun dan mempunyаi bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan melunasi sejumlah uang dan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan adalah pengertian dari Hak sewa. Pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam situasi lowong untuk sipenyewa tanah dengan tujuan penyewa bisa membangun bangunan di atas tanah sewaan. Pada hal ini, obyek sewa menyewanya berupa tanah lowong yang dalam status hak milik yang disewa oleh penyewa tanah untuk jangka waktu dan pembayaran terpilih.23

Di Indonesia, khususnya di Bali tak jarang ditemukan kegiatan sewa menyewa bangunan berupa villa dan penyewanya berwarga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing. Peminat untuk menyewa villa pun banyak, karena mempunyai atau bertempat tinggal sementara di villa dengan pemandangan yang indah menggambarkan suatu hal yang sangat diinginkan banyak orang sehingga warga lokal di Bali membuka bisnis untuk sewa menyewa villa sebagai mata pencaharian. Apabila seseorang hendak melakukan kegiatan sewa menyewa, wajib hukumnya untuk memenuhi syarat-syarat sah dalam perjanjian sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu membuat perjanjian sewa menyewa. Asalkan syarat-syarat telah terpenuhi, obyek sewa dan harga sewa telah disepakati, maka perjanjian sewa menyewa dapat dibuat. Pembuatannya pun bisa dilakukan dihadapan Notaris agar mendapatkan akta otentik yang berarti akta tersebut telah didaftarkan di Notaris dan apabila terjadinya sengketa, maka akta tersebut dapat sebagai alat bukti yang tidak dapat ditentang oleh para pihak yang membuat perjanjian.

  • 3.2    Penggantian klausula dalam perjanjian sewa menyewa.

Apabila suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut telah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak sesuai dengan asas dalam perjanjian, yaitu asas pacta sunt servanda (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata), sehingga para pihak tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan sepihak terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Begitu juga dalam perjanjian sewa menyewa, para pihak tidak dapat melakukan perubahan dalam perjanjian sewa menyewa secara sepihak apabila perjanjian sewa menyewa telah dibuat dan ditandatangani. Solusi hukum apabila para pihak sepakat untuk merubah isi perjanjian harus dibuatkan addendum.

Manusia tidak ada yang sempurna, yang tak luput dari kekeliruan. Dalam membuat perjanjianpun juga demikian. Apabila seseorang yang telah membuat perjanjian dan ingin menambahkan atau mengurangi suatu kalimat atau klausula, cara yang tepat untuk melakukannya ialah dengan membuat Addendum. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Adendum yaitu “jilid tambahan (pada buku); lampiran, ketentuan atau pasal tambahan, misalnya akta”. Addendum biasanya digunakan dalam

sebutan pergantian pada suatu perikatan atau perjanjian atau kontrak.24 Addendum dibuat untuk mengganti atau menghapus klausula dalam suatu perjanjian. Dasar hukum terjadinya Addendum terdapat dalam Pasal 87 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam pasal tersebut menerangkan: “adanya perbedaan antara situasi lapangan pada saat pengerjaan, dengan ilustrasi dan/atau spesifikasi teknis yang telah ditentukan dalam dokumen kontrak, PKK beserta fasilitator barang/jasa dapat melangsungkan pergantian kontrak yang melingkupi: menambah atau mengurangi kapasitas pekerjaan yang terkandung dalam kontrak; menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; memperbaiki spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan keperluan lapangan; atau mengganti jadwal pelaksanaan”.

Addendum dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditandatangani terpisah dan dilampirkan pada perjanjian atau kontrak asli, karena tujuan dari addendum pada umumnya adalah klarifikasi dari perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan menjadi satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Sekalipun jangka waktu perjanjian belum berkesudahan, para pihak diperbolehkan untuk menambahkan addendum sejauh kedua belah pihak menyepakatinya. Pembuatan addendum dilakukan dengan membuat pasal-pasal baru dan ditandatangani oleh para pihak yang melakukan perjanjian sewa menyewa yang memuat situasi dan kondisi perkembangan baru yang dituliskan dalam lembaran kertas tersendiri.25

  • IV.    Kesimpulan

Perjanjian sewa menyewa bangunan merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua orang atau lebih dalam hal melakukan kegiatan sewa menyewa atas suatu bangunan dan dalam jangka waktu tertentu. Pengaturan mengenai sewa menyewa dapat ditemukan pada Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebelum perjanjian dibuat, ada baiknya para pihak yang ingin melakukan kegiatan sewa menyewa memenuhi syarat-syarat dalam perjanjian demi kelangsungan kegiatan tersebut. Dan apabila dalam suatu perjanjian ingin mengganti klausula dalam perjanjian, dapat dilakukan dengan pembuatan Addendum, yang mana addendum ialah pasal yang ditambah atau pasal yang dikurangi dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, I. Md P., dan MS SH. Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. (Jakarta, Prenada Media, 2017).

Raharjo, H. Buku Pintar Transaksi Jual Beli dan Sewa Menyewa. (Yogyakarta, Penerbit

Pustaka Yustisia, 2010).

Setyosari, P. Metode Penelitian Pendidikan Dan Pengembangan. (Jakarta, Kencana, 2012).

Jurnal Ilmiah

Anom, I. G. N. "Addendum Kontrak Pemborongan Perspektif Hukum Perjanjian di Indonesia." Jurnal Advokasi 5, no. 2 (2015).

Chomsyah, Siti. "Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa Menyewa Bangunan Toko Dalam Bentuk Tidak Tertulis." Jurnal Advokasi 7, no. 2 (2017): 197-208.

Dewi, A. S. "Perjanjian Berbahasa Asing yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris." Jurnal Cita Hukum 1, no. 1 (2013).

Doly, D. "Kewenangan Negara Dalam Penguasaan Tanah: Redistribusi Tanah Untuk Rakyat (The Authority Of The State In Land Tenure: Redistribution Of Land To The People)." Negara Hukum 8, no. 2 (2017): 195-214.

Fachriza, M. D., Susilowati S. D., and Betty R. "Kekuatan SKT Sebagai Bukti Kepemilikan Sebidang Tanah Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Berdasarkan UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 3, no. 2 (2020): 321-338.

Gumanti, R. "Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata)." Jurnal Pelangi Ilmu 5, no. 01 (2012).

Handriani, A. "Keabsahan Perjanjian Jual Beli Secara Tidak Tertulis Berdasarkan Hukum Perdata." Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 (2019).

Hartana. "Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 2, no. 2 (2016).

Joni, MIS. “The Law Review of The Possibility of Civil Law Application in The Area Lease Agreement Against Land Occupation in Grand Forest Park of Bukit Soeharto at East Kalimantan Indonesia”. International Journal of Multidiscipliary Research in Social Science, 02(01), (2016).

Lestari, T. W. S., and Lukman S. "Komparasi Syarat Keabsahan (Sebab Yang Halal) Dalam Perjanjian Konvensional Dan Perjanjian Syariah." YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 8, no. 2 (2018): 281-298.

Maharani, Desak Komang Lina. Skripsi “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Tanah (Studi Kasus Pengadilan Negeri Gianyar No. 411/Pdt.G/2014/PN.GIN)”. (2020).

Prasetyo, H. "Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportentertainment Berbasis Nilai Keadilan." Jurnal Pembaharuan Hukum 4, no. 1 (2017): 66.

Pepah, Gloria. "Tinjauan Hukum Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Menurut KUHPerdata." Lex Privatum 8, no. 4 (2020).

Priyono, Ery Agus. "Berlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian ECommerce." Diponegoro Private Law Review 4, no. 1 (2019).

Putra, F. M. K. "Paksaan ekonomi dan penyalahgunaan keadaan sebagai bentuk cacat kehendak dalam perkembangan hukum kontrak." Yuridika 30, no. 2 (2015): 232253.

Santoso, Urip. "Pembebanan Hak Sewa Untuk Bangunan Atas Tanah Hak Milik: Perspektif Asas Dan Pembuktian." Yuridika 33, no. 2 (2018): 330-348.

Sari, N. R. "Komparasi Syarat Sah Nya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam." Jurnal Repertorium 4, no. 2 (2017).

Schwartz, A., and Robert E. S. "Contract theory and the limits of contract law." Yale LJ 113 (2003): 541.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Sumber Internet

Son, M. Battle. “Membuat Addendum Perjanjian Bisnis”. (2016). Diakses pada tanggal 22 Maret 2021. URL: https://business-law.binus.ac.id/2016/06/16/membuat-addendum-perjanjian-bisnis/

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1079-1088

1088