TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DELIK SANTET DALAM PERSPEKTIF

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

I Gusti Agung Gede Asmara Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

A.A. Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan adanya penelitian ini yaitu untuk mengetahui tentang konsep delik santet menurut hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui pengaturan delik santet di masa mendatang dalam RUU-KUHP. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif atau juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal yang bersumber dari bahan hukum kepustakaan. Indonesia merupakan Negara yang terkenal akan budaya yang beraneka ragam, kehidupan spiritual di Indonesia sangat kental membuat orang-orang dibeberapa daerah memiliki kepercayaan atau bahkan kemampuan untuk melihat hal-hal yang bersifat gaib atau mempelajari ilmu sihir dimana salah satunya adalah ilmu santet. Untuk meminimalisir terjadinya perbuatan santet dikalangan masyarakat, dan mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri kepada seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet, perlu adanya kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet dan kebijakan hukum pidana mempunyai peran penting karena KUHP yang kita adopsi dari kolonial Belanda tidak mengatur masalah santet. Dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, kriminalisasi terhadap perbuatan mistis datur dalam Pasal 545 KUHP sampai Pasal 547 KUHP. Dalam perkembangan pembaruan hukum pidana, kriminalisasi terhadap delik santet menjadi agenda tarik ulur dalam Rancangan KUHP. Ketentuan pidana mengenai santet telah dikonsepkan dalam Rancangan KUHP dari tahun 1993 hingga tahun 2019 dengan mengalami beberapa perubahan.

Kata Kunci: Tinjauan Yuridis, Delik Santet, Pembaharuan Hukum Pidana

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out about the concept of witchcraft offenses according to positive law in Indonesia and to find out the arrangements for witchcraft offenses in the future in the Draft Criminal Code. The research method used in this research is normative legal research method or also known as doctrinal legal research which is sourced from literature law. Indonesia is a country that is well known for its diverse cultures, spiritual life in Indonesia is very thick, making people in several regions have the belief or even the ability to see magical things or study magic, one of which is known with witchcraft. To minimize the occurrence of witchcraft in the community, and prevent the occurrence of vigilante actions against someone accused of witchcraft, it is necessary to have a criminal law policy against witchcraft. And criminal law policy has an important role because the Criminal Code we adopted from the Dutch colonialism does not regulate the problem. witchcraft. In the provisions of criminal law in Indonesia, the criminalization of mystical acts is stipulated in Article 545 of the Criminal Code to Article 547 of the Criminal Code. In the development of criminal law reform, the criminalization of witchcraft offenses has become a tug-of-war agenda in the Draft Criminal Code. Criminal provisions regarding witchcraft have been drafted in the Draft Criminal Code from 1993 to 2019 with several changes.

Keywords: Judicial Review, Offense of Santet, Criminal Law Reform

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang terkenal akan budayanya yang beraneka ragam dengan segala jenis perbedaan adat istiadat, keyakinan dan kebiasaan disetiap daerahnya. Kehidupan spiritual di Indonesia sangat kental, dan memiliki agama yang merupakan sumber moral dan spiritual yang dianggap sebagai bagian dari tradisi yang tidak pernah ditinggalkan. Kondisi nilai spiritual yang tinggi membuat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Tuhan dan roh-roh yang hidup disekitar manusia sudah tidak jarang ditemui disetiap daerah dengan ciri khas budayanya masing-masing. Kepercayaan tersebut tidak jarang orang-orang dibeberapa daerah memiliki kepercayaan atau bahkan kemampuan untuk melihat hal-hal yang bersifat gaib atau mempelajari ilmu sihir, demi kepentingannya masing.

Semua sihir merupakan hal yang bersifat negative yang biasanya digunakan untuk mencelakakan atau menyakiti orang lain Di Indonesia sihir dikenal dengan berbagai istilah yang salah satunya dikenal dengan istilah santet. Santet digunakan oleh seseorang dalam rangka untuk mencari dan menuruti kepuasan yang bersifat pribadi yang disertai dengan rasa sirik, iri, dengki. Di Indonesia, santet umumnya dipercaya sebagai salah satu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap seseorang melalui ilmu ghaib. Kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan santet dapat dilihat secara langsung dan nyata terhadap diri korban santet, namun sulit dijelaskan secara medis. Dalam berbagai kasus, lazimnya yang terjadi pada diri seseorang yang menjadi korban santet, biasanya muncul luka sakit akibat adanya benda asing yang terdapat didalam diri korban santet namun tidak dapat dijelaskan secara medis mengenai asal usul benda asing tersebut. Benda asing yang dimaksd dapat berupa paku, besi, jarum, rambut maupun banda-benda tajam lainnya. Bahkan, dalam kasus yang lebih ektstrim, perbuatan santet selain dapat membuat orang menderita berkepanjangan baik fisik maupun mental, dapat pula menyebabkan korbannya meninggal dunia.1

Namun meskipun demikian pelaku santet di Indonesia selama ini tidak dapat dikenai sanksi pidana, karena terhalang oleh sistem hukum pidana di Indonesia yang menjunjung tinggi asas legalitas. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dijelaskan mengenai asas legalitas yang dimana pada intinya menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum atau dipidana tanpa ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu, yang dalam bahasa latinnya dikenal dengan istilah nullum delictum nulla poena sin praevie lege poenali. Adanya asas legalitas tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa suatu perbuatan harus diklasifikan terlebih dahulu sebagai perbuatan pidana menurut ketentuan undang-undang yang berlaku sehingga pemidaan berpacu pada aturan yang tertulis. Proses pembuktian santet di pengadilan juga sangat sulit untuk dilakukan selain dengan adanya asas legalitas, karena santet merupakan hal mistis yang berdimensi abstrak, sangat sulit untuk mendapatkan kebenaran materiil. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ilmu hukum, khususnya hukum pidana yang bersifat mencari kebenaran materiil dari suatu perbuatan, dimana pembuktiannya harus konkrit, ada dan nyata. Demikian juga dengan bukti-bukti pada

delik santet tidak sesuai dengan kriteria alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP.

Sebelumnya telah dilakukan penulisan karya ilmiah serupa dengan judul “Eksistensi Kejahatan Magid dalam Hukum Pidana” oleh Ketut Nihan Pundari dan Ketut Cukup yang diterbitkan dalam Jurnal Kertha Negara dengan pembahasan yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan atau eksistensi kejahatan magis berupa praktik-praktik ilmu hitam dalam sudut pandang hukum pidana dan hambatan serta upaya yang dilakukan aparat penegak hukum untuk menangani masalah kejahatan magis secara umum. Namun dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis membahas dari sudut pandang yang berbeda yaitu dalam konteks yang lebih spesifik dan konsep perumusannya dimasa mendatang, sehingga lebih menarik untuk dibahas lebih dalam. 2

Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya perbuatan santet dikalangan masyarakat, dan mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri kepada seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet, perlu adanya kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet dan kebijakan hukum pidana yang mempunyai peran penting karena KUHP yang kita adopsi dari kolonial Belanda tidak mengatur mengenai masalah santet.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari pemaparan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  • 1.    Bagaimanakah konsep delik santet menurut hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah pengaturan terhadap delik santet di masa mendatang dalam RUU-KUHP?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui tentang konsep delik santet menurut hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui pengaturan delik santet di masa mendatang dalam RUU-KUHP.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal yang bersumber dari bahan hukum kepustakaan atau sering disebut bahan hukum sekunder dengan teknik studi dokumen melalui pendekatan perundang-undangan dan perbandingan mikro (microcomparative approach) yang membandingkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam satu negara dalam periode waktu tertentu.3 Bahan hukum dianalisis secara deskriptif dimana dilakukan dengan meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, kondisi, sistem pemikiran atau juga peristiwa masa sekarang.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.1    Konsep Delik Santet Menurut Hukum Positif di Indonesia

Santet diartikan dalam bahasa suku using banyuwangi yaitu mesisan kanthet (biar lengket/intim), dan mesisan benthet (biar retak/pisah). Pengertian yang pertama bersifat positif, sedangkan pengertian yang kedua bersifat negative. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia santet berarti sihir. Di Jawa Barat santet disebut teluh ganggaong atau sogra, di Bali terkenal dengan desti, leak, atau teluh terangjana, di Maluku dan Papua disebut suangi, di Sumatra Utara begu ganjang, Sumatra Barat disebut puntianak. Santet termasuk sorcery (ilmu tenung) atau witchcraft (ilmu sihir). Keduanya masuk dalam black magic atau ilmu hitam.4 Santet (yang dahulunya disebut sihir) merupakan salah satu bagian dari praktek ilmu hitam, yang dilakukan oleh dukun dengan bantuan mahluk gaib jin sebagai mediator untuk mencelakai korbannya.5

Santet dikenal sebagai ilmu sihir yang merupakan perbuatan gaib yang dilakukan dengan pesona guna- guna, mantera, jimat, dan mengikut sertakan syaitan. Santet dapat memberikan pengaruh terhadap badan yang disihir, atau hatinya, akalnya, tanpa harus menyentuhnya. Sihir juga dapat menyebabkan kematian, sakit, seorang suami tidak bisa mengauli istrinya, perceraian antara suami dan istri, menimbulkan kebencian, atau rasa cinta diantara dua insan. Perbuatan sihir yang dilakukan oleh seseorang biasanya menggunakan kesepakatan antara tukang sihir dengan syaitan. Sebagaimana pendapat Syaikh Wahid Abdussalam Bali mengenai sihir, yaitu kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan. Kesepakatan itu disertai dengan syarat bahwa tukang sihir harus melaksanakan sebagian perbuatan yang diharamkan atau bentuk-bentuk kemusyrikan sebagaimana imbalan atas bantuan syaitan kepadanya, serta ketaatan kepadanya dalam memenuhi segala permintaanya.6

Praktik santet atau yang juga dapat dikenal sebagai salah satu usaha mistik yang disebut klenik menurut Magnis Suseno, merupaan praktik-praktik jahat yang didorong oleh nafsu rendah demi benda-benda dunia dan kekuatan iblis. Klenik merupakan usaha untuk kekuatan batin, tetapi terdorong oleh motif-motif yang tidak murni, yaitu untuk memajukan kepentingan-keperitingan egoisnya sendiri sehingga harus ditolak. Hanya dukun yang sebanding dengan lawannya yang ahli ilmu hitam itu yang dapat menetralisasikan pengaruhnya. Klenik senada dengan istilah sihir. Menurut Claud Levi Strauss ada tiga faktor kemanjuran sihir. Pertama, kepercayaan tukang sihir itu sendiri terhadap efektivitasnya teknik yang dipakai. Kedua, kepercayaan penderita atau korban terhadap kekuatan tukang sihir. Ketiga, kepercayaan dan harapan kelompok yang berfungsi sebagai semacam bidang penghubung tukang sihir dan korban yang ada lansung, seolah- olah sebagai tindakan gaya tarik bumi. Ketiga elemen tersebut "perdukunan yang kompleks dan tidak

terpisahkan". Namun keduanya dikelompokkan menjadi dua kutub. satu dibentuk oleh pengalaman mendalam dari dukun dan yang lain oleh konsensus kelompok.7

Dalam masyarakat Indonesia keberadaan ilmu santet/tenung/guna-guna sangat diyakini keberadaannya. Tetapi bagi sebagian orang, hal tersebut dianggap hanya rekayasa semata, apalagi Negara Indonesia adalah negara berkembang, dimana sebagian orang masih memiliki pola pikir primitif. Ketiadaan undang-undang yang mengatur masalah santet tersebut mendorong masyarakat yang percaya adanya santet, untuk berbuat main hakim sendiri terhadap orang yang diduga mempunyai ilmu santet, dan dipercayai sering menyantet orang, sehingga sering terjadi penganiayaan sampai pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang atau bahkan oleh massa dengan dalih isu santet. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa adanya peraturan yang mengatur masalah ini sangat diperlukan untuk penegakan hukum di Indonesia, karena selama ini sudah banyak korban yang berjatuhan. Perdebatan yang selama ini berlangsung lebih banyak mengarah kepada pembuktian, sedangkan santet belum bisa dibuktikan karena masih sulit diterima secara logis.

  • 3.1.2    Santet Menurut Hukum Positif di Indonesia

Austin berpendapat bahwa hukum positif diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga-lembaga yang memiliki kedaulatan dan diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yang merdeka. Anggota tersebut mengakui kedaulatan atau suprematis yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian kebiasaan menurutnya adalah berlaku sebagai hukum hanya jika undang-undang menghendaki atau menyatakan dengan tegas.8

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya yang hidup dilingkungan masyarakatnya. Dengan berbagai keragaman budaya Indonesia yang melahirkan berbagai macam tradisi dengan kepercayaan yang masih kuat dengan adanya hal-hal yang bersifat magis. Kepercayaan masyarakat terkait hal-hal mistik masih mengakar dengan cukup kuat menjadi sebuah mitos tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap ilmu santet menjadikan santet seperti sudah membudaya dikalangan masyarakat. Memang akan terlihat sulit dijelaskan bahwa di alam pemikiran modern dimana konfigurasi kehidupan sosial masyarakat tengah diarahkan sebagai masyarakat yang mampu berpikir dan bertindak secara logis, kongkret, rasional, dan obyektif, serta mendasarkan pada konsep yang faktual, namun dipihak lain pada waktu yang bersamaan, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, baik sendiri-sendiri maupun yang berkelompok, mengakomodasi sikap percaya dan menggunakan pemikiran yang irasional, abstrak, tidak logis serta menjalankan praktik yang mampu dirunut sebagai praktik mistis sebagaimana fenomena yang sering hadir dalam masyarakat tradisional.9

Dalam perspektif hukum meninjau masalah santet berarti meninjau sebagai salah satu permasalahan hukum yang perlu adanya kajian lebih dalam tentang bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet karena santet merupakan perbuatan gaib yang sulit dalam pembuktiannya secara hukum. Sistem hukum yang formal dan rasional hanya berusaha menjaring perbuatan lahiriah yang secara empiris dapat diidentifikasikan dan dibuktikan hubungan kausalitasnya. Oleh karena itu, perbuatan yang bersifat mistis, gaib/ metafisik sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan rasional. Namun demikian, tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan masalah gaib tidak dapat diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan rasional. Sepanjang perbuatan tersebut (yang berhubungan dengan masalah gaib) dapat diidentifikasikan, perbuatan tersebut juga dapat diatur dalam hukum formal atau peraturan perundang-undangan.10

Dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, kriminalisasi terhadap perbuatan mistis dapat dilihat dalam Pasal 545 KUHP sampai dengan Pasal 547 KUHP. Dimana dalam Pasal 545 yang pada intinya menjelaskan bahwa barang siapa yang menyatakan peruntungan seseorang, meramalkan atau melakukan penafsiran impian dan menjadikannya sebagai mata pencariannya maka dikenakan pidana kurungan paling lama selama enam hari atau pidana denda dengan nominal paling banyak tiga ratus rupiah dan jika pelanggaran tersebut dilakukan kembali sebelum lewat satu tahun maka pemidanaanya dapat dilipatgandakan. Penjualan jimat-jimat atau benda-benda yang mengandung kekuatan gaib dan mengajarkan mengenai ilmu atau kesaktian untuk melakukan perbuatan pidana juga merupakan perbuatan yang dilarang sesuai dalam aturan Pasal 546 KUHP yang dapat diancam dengan pidana kurungan selama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Selanjutnya, seorang saksi yang menggunakan jimat atau benda sakti ketika memberikan keterangan dalam persidangan juga dapat dikenakan sanksi berupa pidana kurungan selama sepuluh hari atau pidana denda paling banya tujuh ratus lima puluh rupiah seperti yang tercantum dalam Pasal 547 KUHP.

Dalam peraturan lain mengenai perbuatan santet yang dilakukan oleh si pelaku santet itu sendiri, juga dikaji dalam bentuk perumusan Pasal 13 perundang-undangan Majapahit dimana yang berbuat demikian, akan dikenakan hukuman mati oleh raja yang berkuasa dan sesorang yang dapat dikatakan sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya ialah ketika:11

  • -    menulis nama orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau menanam boneka tepung yang bertuliskan nama dikuburan, menyangsangkannya di atas pohon, ditempat sangar, atau dijalan simpang.

  • -    menuliskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak dengan orang lain, darah dan trikatuka dan kemudian merendamnya di dalam air, atau menenemnya ditempat penyiksaan.

  • 3.1.3    Santet di Masa Mendatang dalam RUU-KUHP

Upaya pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dilatarbelakangi dari sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Dahulu, Belanda memberlakukan KUHP pada negara jajahannya, termasuk di Indonesia atau yang dahulu dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagai warisan dari kolonialisme yang keberlakuannya dipaksakan di Indonesia, KUHP saat ini dirasakan tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dan perlu dilakukan pembaharuan. Untuk memiliki hukum pidana yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, Muladi berpendapat bahwa pembaharuan hukum pidana material perlu memperhatikan karakteristik operasional hukum pidana material di masa mendatang. Misalnya, hukum pidana material harus disusun dalam kerangka ideologi nasional; memperhatikan aspek- aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi Indonesia, dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat beradab, memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif, dan harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas fungsinya dalam masyarakat.12

Ada tiga alasan mengapa perlu dilakukan pembaruan hukum pidana menurut Sudarto, yaitu alasan politis, sosiologis, dan praktis. Pertama, alasan politis disebabkan karena Indonesia telah merdeka dari penjajahan, maka sudah seharusnya Indonesia memiliki KUHP buatan sendiri karena apabila memakai KUHP negara lain, hal tersebut sama saja dengan simbol penjajahan dari negara yang membuat KUHP tersebut. Kedua, alasan sosiologis dimana KUHP sendiri merupakan cerminan identitas bangsa dimana hukum itu berada. Nilai-nilai sosial dan budaya bangsa sangat penting dalam membuat KUHP. Tolak ukur mengkriminalisasikan suatu perbuatan, harus sesuai dengan nilai dan pandangan kolektif dalam masyarakat terkait yang baik, benar dan bermanfaat dalam membuat KUHP. Ketiga, pada alasan praktis KUHP sekarang ini memakai bahasa Belanda tidak ada terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia, jadi kita harus memahami bahasa Belanda jika ingin mengetahui teks aslinya, namun itu tidak mungkin karena Indonesia sudah merdeka, jadi membuat KUHP buatan sendiri akan jauh lebih mudah dan praktis dalam pemahamannya.13

Dalam perkembangan pembaruan hukum pidana, kriminalisasi terhadap delik santet menjadi agenda tarik ulur dalam Rancangan KUHP. Ketentuan pidana mengenai santet diatur dalam Rancangan KUHP dari tahun-ketahun dikaji sebagai berikut:

  • a)    Konsep RKUHP 1993

Delik santet dalam konsep RKUHP tahun 1993 diatur dalam Pasal 223 yang melarang seseorang untuk mengakui dirinya memiliki kekuatan magis dan memberitahukan atau menimbulkan harapan kepada orang lain bahwa ia dapat menyebabkan kematian atau penderitaan mental dan fisik kepada seseorang, dan perbuatan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama selama lima tahun atau denda yang tergolong pada denda kategori IV

  • b)    Konsep RKUHP 1999 s/d. 2012

Dalam konsep RKUHP tahun 1999 s/d. 2012 delik santet diatur dalam Pasal 292 yang menyebutkan bahwa seseorang yang mengakui dirinya memiliki kekuatan magis dan memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa ia dapat menyebabkan kematian atau penderitaan mental dan fisik kepada seseorang, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama selama lima tahun atau denda yang tergolong pada denda kategori IV. Jika dibandingkan dengan konsep RKUHP 201, dalam konsep RKUHP 1999 s/d. 2012 telah memperjelas dan memperluas aturannya dengan menambahkan orang yang menawarkan jasa santet, maka ia dapat dipidana.

  • c)    Konsep RKUHP 2013

Pada konsep RKUHP 2013 delik santet yang diatur dalam Pasal 293 RKUHP 2013 dibagi menjadi 2 (dua) ayat, dimana pada ayat (1) Pasal 293 RKUHP 2013 melarang seseorang untuk mengakui dirinya memiliki kekuatan magis dan memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain, bahwa ia dapat menyebabkan kematian atau penderitaan mental dan fisik kepada seseorang, yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama selama lima tahun atau denda yang tergolong pada denda kategori IV. Bagi seseorang yang melakukan perbuatan santet yang digunakan untuk mencari keuntungan dan menjadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan diatur dalam Pasal 293 ayat (2) RKUHP 2013 dan akan dikenakan pidana yang dapat ditambah 1/3 (satu pertiga) sebagaimana yang disebutkan pada ayat (1).

  • d)    Konsep RKUHP 2015 s/d 2019

Pada konsep RKUHP 2015 delik santet mengalami penurunan masa pidana penjara, dari yang sebelumnya adalah selama 5 (lima) tahun, berubah menjadi 3 (tiga) tahun dan diatur dalam Pasal 295 ayat (1) dan (2) RKUHP 2015, dimana disebutkan pada ayat (1) bahwa seseorang yang mengakui dirinya memiliki kekuatan magis dan memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa ia dapat menyebabkan kematian atau penderitaan mental dan fisik kepada seseorang, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama selama 3 (tiga) tahun atau denda yang tergolong pada denda kategori IV. Dan jika seseorang yang melakukan perbuatan santet yang digunakan untuk mencari keuntungan dan menjadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan diatur dalam Pasal 295 ayat (2) RKUHP 2013 dan akan dikenakan pidana yang dapat ditambah 1/3 (satu pertiga) sebagaimana yang disebutkan pada ayat (1).

Upaya untuk memasukkan delik santet dalam hukum pidana di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Meskipun santet dipandang sebagai perbuatan jahat, namun perbuatan tersebut sulit untuk dibuktikan. Sementara pembuktian dalam hukum pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil dan dalam sidang pengadilan juga tidak mungkin jika majelis hakim mendengarkan keterangan ahli dari paranormal.14 Dalam menghadapi persoalan tentang kekuatan gaib, ilmu hitam,

maupun santet, dan lain-lain, di dalam KUHP kurang dapat mengkriminalisasikan perbuatan tersebut karena ketidaksesuaian KUHP dengan kenyataan. Perubahan dan pembaharuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai hukum pidana materiil (substantif) merupakan hal yang penting dan mendasar, karena hukum yang sekarang berlaku khususnya hukum pidana material peninggalan kolonial sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.15

  • IV.    Penutup

    Kesimpulan

Santet dikenal sebagai ilmu sihir yang merupakan perbuatan mistis atau gaib yang dilakukan dengan pesona guna- guna, mantera, jimat, dan mengikut sertakan syaitan. Santet dapat memberikan pengaruh terhadap badan yang disihir, atau hatinya, akalnya, tanpa harus menyentuhnya. Dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, kriminalisasi terhadap perbuatan mistis dapat dilihat dalam Pasal 545 KUHP sampai dengan Pasal 547 KUHP. Pasal 545 melarang seseorang melakukan perbuatan santet, sedangkan Pasal 546 melarang seseorang untuk menjualan jimat-jimat atau benda-benda yang mengandung kekuatan gaib dan mengajarkan mengenai ilmu atau kesaktian, kemudian Pasal 547 KUHP melarang saksi yang menggunakan jimat atau benda sakti ketika memberikan keterangan dalam persidangan. Dan dalam peraturan lain, perbuatan santet yang dilakukan oleh si pelaku santet itu sendiri, juga dikaji dalam bentuk perumusan Pasal 13 perundang-undangan Majapahit dimana yang berbuat demikian, akan dikenakan hukuman mati oleh raja yang berkuasa. Dalam menghadapi persoalan tentang kekuatan gaib, ilmu hitam, maupun santet, dan lain-lain, di dalam KUHP kurang dapat mengkriminalisasikan perbuatan tersebut karena ketidaksesuaian KUHP dengan kenyataan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya perbuatan santet dikalangan masyarakat, dan mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri kepada seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet, perlu adanya kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet, dan ketentuan pidana mengenai santet telah dikonsepkan dalam Rancangan KUHP dari tahun 1993 hingga tahun 2019 namun masih terus mengalami beberapa perubahan. Usaha untuk dapat mejerat pelaku santet harus sangat dimaksimalkan dengan berpacu pada pasal yang relevan serta dapat digunakan, sehingga perlu ketegasan dari pasal tersebut dan tidak ada lagi penafsiran ganda yang dapt menimbulkan kebingungan mengenai apa yang dapat menjerat perbuatan santet. Agar segera diakannya pembaharuan hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana santet, karena hukum pidana belum bias untuk menjerat pelaku santet mengingat KUHP yang kita adopsi dari warisan Kolonial Belanda saat ini, tidak mengatur masalah tindak pidana santet.

Daftar Pustaka

Buku

Arief, Barda Nawawi, 2008, Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barakatullah, 2015, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

Jurnal

Abdulah, Rahmat Hi., 2015, “Urgensi Hukum Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional”, Fiat Justitisia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9 No. 2

Arthani, Ini Luh Gede Yogi, 2015, “Praktek Paranormal dalam Kajian Hukum Pidana di

Indonesia”, Jurnal Advokasi Vol. 5 No. 1

Baharudin, Erwan, 2007, “Perlunya Pengesahan Pasal di dalam RUU KUHP Mengenai

Santet (Pro dan Kontra Seputar Isu Santet di Indonesia)”, Lex Jurnlica Vol. IV No. 2

Barus, Zulfadli, 2013, “Analisis Filosofis tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum

Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2

Pundari, Ketut Niham dan Ketut Tjukup, 2013, “Eksistensi Kejahatan Magis dalam

Hukum Pidana”, Jurnal Kertha Wicara Vol. I No. 4

Imaniar, Dimas dan Wisnu Ardyatia, 2019, “Politik Santet:Konflik Sosial dan Peran

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi”, Jurnal Universitas Jember, Seminar Nasional 4

Jamhuri, Zuhaini Nopitasari, 2018, “Penyelesaian Pelaku Santet dengan Hukum Adat ditinjau melalui Hukum Islam di Kecamatan Gajah Putih”, Jurnal Legitimasi Vol.VII No. 1

Leonard, Tommy, 2016, ”Pembaharuan Sanksi Pidana Berdasarkan Falsafah Pancasila dalam

Sistem Hukum Pidana di Indonesia”, Yustisia Jurnal Hukum Vol.5 No. 2

Mujib, M. Misbahul, 2012, “Eksistensi Delik Adat dalam Konstestasi Hukum Pidana

Indonesia”, Jurnal Supremasi Hukum Vol. 2 No. 2

Safitrf, Ikha, 2013, ”Kepercayaan Gaib dan Kejawen (Studi Kasus pada Masyarakat Pesisir

Kabupaten Rembang)”, Jurnal Kajian Kebudayaan Sabda Vol. 8 No. 1

Thabrani, Abdul Mukti, 2014, “Korban Santet dalam Perspektif Antropologi Kesehatan dan

Hukum Islam”, Jurnal STAIN Pamekasan Vol. 9 No.1

Harianja, Frans Capri Yogi dkk, “Kajian Yuridis Sosiologis Kebijakan Formulasi Hukum Pidana “Tindak Pidana Santet” dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Dipengoro Law Journal VIII No. 4 (2019): 2870

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 2 Tahun 2020, hlm. 73-82

82