STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR 245/PID.SUS-ANAK/2019/PN.DPS TENTANG PEMBUNUHAN OLEH ANAK

Ni Putu Ayu Wahyu Wijayanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan jurnal ini dibuat adalah untuk membahas mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan dengan maksud dan tujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai kepastian hukum bagi seorang anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pembuatan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang dimana penelitian tersebut dilakukan dengan menelusuri dan meneliti bahan pustaka, serta dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bilamana seorang anak dapat dijadikan sebagai terdakwa dalam peradilan anak dan bagaimana pertanggungjawaban seorang anak bilamana sebagai pelaku dalam sebuah tindak pidana pembunuhan.

Kata Kunci : Anak, Pembunuhan, Pidana

ABSTRACT

The purpose of this journal was to discuss how criminal liability for a child who commits a crime of murder with the intention and purpose to examine more about legal certainty for a child facing the law. In the creation of this journal using normative legal research methods, where the research is carried out by tracing and researching library materials, and by using a statutory and comparative approach. The results of this study showed when a child can be used as a defendant in the juvenile court and how accountability of a child when as a perpetrator in a crime of murder.

Keywords: Child, Murder, Criminal

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pembunuhan merupakan sebuah tindakan atau perilaku kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang dimana tindakan yang dilakukan adalah perampasan atau dapat dikatakan dengan kata lain melakukan penghilangan nyawa seseorang yang berakibat hilangnya fungsi seluruh fungsi dan kinerja organ vital dan anggota badan karena telah terpisahnya roh dari jasad korban.1 Tindak pidana pembunuhan merupakan sebuah tindakan yang berakibat atas hilangnya nyawa seseorang yang dilakukan dengan cara melanggar norma dan hukum dan tentunya melanggar asas kemanusiaan yang sangat erat hidup di masyarakat dan tindakan tersebut dapat dilakukan baik dengan sengaja atau tidak disengaja. Pertanggungjawaban pidana yang diberikan tentu diberikan atas dasar perbedaan dari bagaimana cara seseorang melakukan perbuatan melanggar

hukum tersebut. Apabila seseorang melakukan pembunuhan dengan disengaja atau dapat dikatakan telah direncanakan terlebih dahulu maka pertanggungjawaban hukum yang akan dikenakan yakni akan dikenakan sanksi pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pertanggungjawaban atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu. Pembunuhan dapat disebabkan atau dilatarbelakangi oleh berbagai macam tujuan ataupun motif yang beraneka ragam, seperti adanya politik yang terselubung, adanya kecemburuan, dendam yang terpendam, dilatarbelakangi untuk keperluan membela diri, dan sebagainya. Secara umum tindak pidana pembunuhan dapat dilakukan dengan menggunakan sarana seperti alat yang berpotensi dapat menimbulkan luka seperti senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan pun dapat juga dilakukan dengan menggunakan sarana bahan peledak bom. Pembunuhan pun dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak terpaku pada hubungan saudara, pertemanan, bahkan pihak yang tidak dikenal.2

Keterlibatan seorang anak dalam sebuah kasus pidana di Indonesia pada saat ini tentu menunjukkan bahwa kondisi anak saat ini sangat pantas untuk dikhawatirkan. Semakin bertambahnya jumlah anak yang bersentuhan dan bersinggungan dengan hukum tentu harus dijadikan pertimbangan untuk pengaturan pemidanaan bagi seorang anak yang telah bersinggungan dengan ranah hukum, karena seperi yang kita ketahui, anak yang melakukan suatu tindak pidana dapat dilator belakangi atau dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu contoh kasus tindak pidana anak yang sempat ramai diperbincangkan adalah kasus pembunuhan yang terjadi di salah satu tempat makan di daerah Kabupaten Badung. Dimana dalam kasus tersebut, dua anak, secara sadar melakukan sebuah tindak pidana pembunuhan terhadap orang yang tidak ia kenal yang dilatarbelakangi karena adanya cekcok dan saling senggol. Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh ketidak stabilan emosi yang dimiliki oleh seorang anak yang tentunya berpengaruh terhadap kondisi psikis seorang anak. Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang sedang dalam status narapidana tentu menerima konsekuensi akan hilangnya kemerdekaan yang ia miliki sebagai anak yang sedang menikmati masa tumbuh dan berkembang yang tentunya hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan tumbuh anak tersebut. Dengan memasukkan anak tersebut ke dalam penjara tentu harus kita perhatikan dengan seksama, apakah hal tersebut memberikan efek jera atau dapat membuat kepribadian anak tersebut menjadi lebih baik atau tidak.

Seorang anak memiiki hak untuk mendapatkan perlindungan atas hidupnya, hak untuk hidup di lingkungan yang sehat tanpa adanya unsur membahayakan dan/atau menghambat proses pertumbuhan dan proses perkembangannya dengan baik dan wajar, dan saat seorang anak masuk ke dalam keadaan yang membahayakan, maka anaklah yang tentunya diutamakan dan yang pertama untuk mendapatkan pertolongan, bantuan, dan perlindungan, maka oleh karena itu haruslah mempertimbangkan beberapa keadaan yang dimana harus melihat bagaimana proyeksi pengaruh putusan terhadap kondisi anak tersebut di kehidupan selanjutnya, maka oleh karena itu, keputusan tersebut haruslah diambil secara adil dan tepat.3 Karena keterlibatan seorang anak dalam alur peradilan sangat berpotensi melahirkan berbagai

stigma dan dampak negatif yang sangat kompleks. Jika kita pahami secara doktrinal terdapat sebuah pandangan, bahwa bagian yang terpenting dalam KUHP sebuah bangsa adalah pengaturan sanksinya, sebab oleh karena itu dari stelsel sanksi inilah yang akan mencerminkan nilai-nilai penegakan keadilan dan kemanusiaan serta nilai sosial budaya masyarakat bangsa tersebut.4 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin represif pengaturan atau formulasi pemidanaan dalam KUHP memberikan makna bahwa semakin represif masyarakat suatu bangsa dalam menegakkan pemidanaan dan pemberian sanksi sebagai reaksi terhadap pelaku tindak pidana. Namun dikarenakan sistem perumusan ancaman pidananya, yang dimana tidak membuka ruang untuk adanya alternatif, serta tidak memberikan kesempatan atau kemungkinan adanya perbaikan pada diri pelaku tindak pidana, maka hal tersebut dapat dikatakan represif.

Secara teoritis dan jika ditinjau dari aspek yuridis diterapkannya sanksi tetap dimungkinkan, meskipun telah ditentukan persyaratan-persyaratan yang sangat rumit dan ketat. Hal tersebut memiliki arti bahwa setiap penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang dikatakan sebagai tersangka haruslah sangat selektif, dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi psikis dari si anak, hal inilah yang harus dimengerti dan dipahami, oleh karena itu, penelitian ini dirasa sangat penting untuk dilakukan agar dapat memberikan dan meluruskan pemahaman tersebut, karena penerapan sanksi pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana tidaklah dapat disamakan dengan penerapan sanksi pidana bagi seseorang yang telah dewasa atau dapat dikatakan lain bagi pemidanaan yang berdasarkan KUHP.

Sebelumnya telah dilakukan penulisan karya ilmiah serupa dengan judul “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor:850/PID.B/2011/PN.BKS.)” oleh Elton Mayo yang diterbitkan dalam Diponegoro Lar Review yang dalam pembahasannya hanya menekankan mengenai penerapan hukum terhadap tindak pidana pembunuhan oleh anak. Namun dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menjabarkan bilamana seorang anak dikatakan sebagai terdakwa dan dapat diproses ke peradilan anak, serta bagaimana bentuk pertanggungjawaban seorang anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan oleh anak. Oleh karena itu, penelitian ini dinilai sangat perlu untuk dilakukan, mengingat kasus yang dibahas dalam penelitian ini adalah kasus yang tidak biasa, dan secara tidak langsung dapat mengedukasi masyarakat untuk lebih memperhatikan perkembangan anak dan lingkungannya agar terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari pemaparan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  • 1.    Bilamana seorang anak dapat dijadikan terdakwa?

  • 2.    Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mencari pencerahan dan pemahaman mengenai rumusan masalah yang telah dirumuskan, sehingga dapat dijabarkan tujuan dari penulisan jurnal ini antara lain untuk mengetahui bilamana

seorang anak dapat dijadikan terdakwa dan untuk mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini didasari oleh suatu upaya pencarian dalam hal memastikan bahwa penegak hukum telah menegakkan keadilan sesuai norma-norma dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi anak yakni Undang-Undang Sistem Peradilan Anak. Metode penelitian yang digunakan dalam proses penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang dilaksanakan melalui cara menelaah suatu peraturan perundang-undangan serta prosedur hukum yang berlaku dan bagaimana praktiknya menemukan kebenaran secara logika hukum. Dalam penulisan jurnal ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen, yang dimana penulis mengambil data dengan mengamati dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berkaitan dengan permasalahan. Dalam penelitian ini, adapun teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif, yang dimana peneliti memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, materi hukum primer yang terdapat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dan adanya bahan hukum sekunder yang berupa seluruh bentuk publikasi hukum yang berupa buku-buku kelimuan hukum, kamus hukum, serta berbagai jurnal mengenai permasalahan hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Anak Sebagai Terdakwa

Anak adalah makhluk hidup yang merupakan subyek hukum dan aset energy untuk bangsa karena merupakan generasi penerus dan pelurus bangsa. Sebagai bagian dari agen yang dipersiapkan untuk memberikan pembaharuan kepada bangsa dan negara ke arah lebih baik, tentu tidak hanya cerdas dalam hal intelektual melainkan perlu adanya karakter, budi pekerti yang baik nan adiluhung yang tentunya harus ditanam dan dirawat demi penjaminan mutu kualitas sumber daya manusia kedepannya. Periode masa kecil anak-anak merupakan masa-masa penanaman nilai, moral, etika, karakter, bagaikan penaburan benih, yang disemai di tanah dan dirawat dengan kasih sayang untuk memastikan pertumbuhannya akan lurus ke atas dan berbunga atau berbuah yang bermanfaat bagi seluruh lapisan makhluk. Merawat anak bagaikan pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi yang kuat sedari awal sangatlah diperlukan masa-masa seperti ini agar kelak anak tersebut memiliki karakter yang kuat serta kemampuan berdiri tegar dalam meniti kehidupan di atas kaki sendiri.

Menurut Johannnes Chrisos Tomus Simorangkir, “Terdakwa adalah seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.” Darwan Prinst mengemukakan bahwa “Unsur-unsur yang terpenuhi untuk dapat disebut terdakwa antara lain adanya dugaan sebagai pelaku suatu tindak pidana, serta adanya alasan yang cukup untuk melakukan persidangan atas dirinya di sidang pengadilan, ataupun merupakan orang yang sedang dituntut, atau sedang berada dalam proses penegakan hukum di sidang pengadilan.” Namun jika kita bawa pengertian terdakwa dalam peradilan anak, maka bagi seorang anak yang telah disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), maka anak tersebut memang telah melakukan sebuah tindak pidana.

Kenakalan anak yang berkonflik dengan hukum tentu tidak dapat dipandang sebelah mata lagi sebagai kenakalan biasa yang wajar diterima, perkembangan anak-anak pada jaman sekarang tentu sangat mengkhawatirkan smelakukan perbuatan yang tergolong suatu tindak pidana mulai dari tindak pidana mengambil barang di luar kepemilikannya, membawa dan menyalahgunakan senjata tajam, terlibat perkelahian, menggunakan narkoba, bahkan pembunuhan.5 Namun terlepas dari tindak pidana apa yang dilaksanakan, anak tersebut harus dilihat dan ditafsirkan sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan akal atau pikiran, fisik atau badan, moral, mentalitas yang ada pada diri anak yang ditentukan oleh nilai yang telah ia bawa sejak lahir.6 Mengapa dapat dikatakan demikian, karena seorang anak memiliki pemahaman atau daya nalar yang belum sempurna untuk cukup baik membedakan manakah hal-hal yang baik atau manakah yang merupakan hal-hal buruk. Sistem peradilan pidana di Indonesia menempatkan seorang anak dalam status sebagai narapidana tentunya akan membawa konsekuensi tersendiri yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Hal ini tentu memunculkan sebuah pertanyaan, apakah dengan diberikannya hukuman penjara dan hukuman lainnya dapat memberikan efek jera kepada anak serta menjamin tumbuh berkembangnya anak dengan baik. Karena penjara seringkali menjadikan anak sebagai seseorang yang lebih professional dalam melakukan tindak kejahatan.

Pengimplementasian dan pengejawantahan tujuan negara yang berkaitan erat dengan usaha untuk menjamin kesejahteraan umum dan melindungan segenap tumpah darah Indonesia melalui adanya perlindungan terhadap anak di bidang hukum yang tentunya dapat diketahui dari telah dibuatnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengadopsi ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional antara lain dengan adanya “Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak” yang menjelaskan bahwa, “Pada hakikatnya seorang anak tentu tidak dapat memilih situasi mana yang akan ia ingin hadapi dan sebagai makhluk hidup yang memiliki keterbatasan dalam mengampu segala bentuk ilmu, dan penalaran seorang anak yang mungkin dapat ditemuinya baik dalam bentuk gangguan psikis, kerugian mental, benturan fisik, masalah sosial, dan masalah-masalah lainnya dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan serta anak perlu mendapat haknya untuk dilindungi dan pendampingan dari setiap kesalahan yang ia perbuat serta Anak berhak mendapatkan perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap diri seorang anak tersebut, yang dalam hal ini menimbulkan gangguang psikis maupun fisik, kerugian mental, dan adanya gesekan dalam ranah sosial anak tersebut. Perlindungan anak dalam hal ini dapat disebut sebagai perlindungan hukum/yuridis (legal protection).”7

Anak berhak meminta dan/atau mendapatkan perlindungan khusus, pendampingan selama menghadapi proses hukum.8 Berdasarkan “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana”, dijelaskan bahwa, “Anak

dibagi menjadi 4 (empat) definisi dalam kaitannya dengan tindak pidana, yang dimana 4 definisi tersebut antara lain :

  • 1.    “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, atau merupakan anak yang telah menjadi korban dari suatu tindak pidana, serta dapat diartikan sebagai anak yang menjadi saksi dalam suatu proses penegakan keadilan.”

  • 2.    “Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau dapat dikatakan dengan Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga telah melakukan sebuah tindak pidana.”

  • 3.    “Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah seorang anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

  • 4.    “Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat ikut berpartisipasi dalam penegakan keadilan dalam hal memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, kepentingan penuntutan, dan kepentingan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, ia lihat, ia alami sendiri.”

Menggarisbawahi segala penjelasan yang telah dijelaskan di atas, dan mengamati segala perkembangan perundang-undangan yang terdapat di Indonesia. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Tahun 2011, yang menjelaskan bahwa, “Anak yang dapat diajukan ke Pengadilan Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun sampai dengan atau belum mencapai 18 tahun.”9 Berdasarkan ketentuan tersebut jika dikaitkan dengan identitas dua orang anak yang dinyatakan sebagai terdakwa sesuai yang tercantum dalam “Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. PDM:348/BADUNG.OHD.09/2019”, dan dengan melihat saat tindak pidana pembunuhan tersebut dilakukan, terdakwa berumur 15 tahun, maka sudah jelas bahwa tidak adanya alasan yang dapat mendukung penghapusan pidana terhadap anak tersebut. Hal itu dikarenakan umur dari terdakwa sudah dianggap cukup untuk dapat bertanggungjawab dan dapat diajukan ke dalam pengadilan anak.

  • 3.2    Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Hukum mengatur segala bentuk aktifitas, pergerakan, dan perkembangan kehidupan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hubungan di masyarakat, dan dengan segala keanekaragaman peran dan fungsi dari setiap elemen yang tentunya akan ikut berubah mengikuti perubahan sosial yang ikut masuk melingkarinya dan melingkupinya. Maka oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hukum akan berubah secara lambat atau cepat, ikut mengalir mengikuti segala arus perubahan dan perkembangan kehidupan sosial dalam suatu masyarakat.10 Perlu diingat dan dipahami secara seksama, bahwa dalam berbagai perkembangan hukum pada masa yang sudah dewasa ini , terdapat berbaga macam kecenderungan internasional, yang dimana memiliki arti bahwa masyarakat dalam bangsa-bangsa yang beradab menjunjung tinggi

hak asasi manusia semakin tidak menjadikan sanksi fisik sebagai tolak ukur upaya untuk merubah perilaku, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bangsa-bangsa beradab tidak menyukai penerapan sanksi yang tidak manusiawi, seperti halnya yang diatur dalam sistem perumusan ancaman pidana yang sangat berat yang menutup kemungkinan adanya peluang untuk seorang tersangka melakukan perbaikan terhadap dirinya. Beberapa negara telah melakukan pembaharuan hukum pidana dengan menetapkan stelsel sanksi yang manusiawi khususnya dalam merumuskan acara pidana. Seperti di Norwegia dengan memberlakukan KUHP 1905 yang merupakan KUHP yang cukup modern di Eropa. Di dalam KUHP Norwegia telah diakomodasikan adanya ide-ide pembaharuan yang dikemukakan oleh IKV (Internationale Kriminalistische Vereinigung), dimana dalam perumusan ancaman pidana telah menganut double track system, yaitu memberikan alternative adanya sanksi pidana/hukuman (punishment) dan tindakan-tindakan khusus yang dalam hal ini merupakan bentuk sanksi pidana lainnya (Special Measures). 11

Konstruksi pemikiran di atas pun berlaku bagi proses penjalanan sanksi pidana bagi anak. Oleh karenanya, semakin represif atau kerasnya ancaman pidana yang dirumuskan dan diterapkan bagi seorang anak yang berkonflik dengan hukum, maka mencerminkan semakin kerasnya reaksi masyarakat bangsa itu dalam menanggapi sebuah kejahatan atau bentuk tindak pidana yang dilakukan atas dasar kenakalan anak. Secara hipotesis-teoritis dapat dikatakan, bahwa semakin represif suatu masyarakat di dalam merespon kenakalan anak, maka berarti semakin besar kemungkinan bagi anak tidak memperoleh perlindungan atas hak-haknya. Dengan demikian berarti semakin kecil hak yang diterima oleh seorang anak untuk memperoleh perlindungan terbaiknya (the best interest for child).12

Tanpa bermaksud memberikan pengecualian terhadap berbagai perundang-undangan yang berlaku bagi anak yang memformulasikan adanya sanksi pidana dan munculnya sanksi pidana bagi seorang anak yang bersinggungan dan bersentuhan dengan hukum atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa seorang anak memang terbukti melakukan kejahatan yang melanggar hukum secara yuridis haruslah dapat dipahami, mengingat di dalam KUHP sendiri sebagai induk peraturan perundang-undangan pidana hanya secara eksplisit merumuskan adanya sanksi pidana bagi anak. Meskipun, legalisasi penggunaan sanksi pidana bagi anak dalam KUHP tidak dimaknai, bahwa setiap kenakalan anak diberikan sanksi pidana.

Pemidanaan haruslah mencerminkan penyembuhan, terhadap orang yang telah dirugikan haknya, memberikan pencegahan terhadap adanya tindak pidana yang lain dan mungkin akan terjadi lagi, untuk menyadarkan pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya sebagai alat pengontrol terhadap masyarakat atau penguasa yang melanggar hukum. Pengaturan mekanisme pertanggungjawaban yang tertuang dalam konsep pertanggungjawaban pidana baik dalam KUHP maupun dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang saling berkaitan yang tentunya menyangkut bagaimana hukum dapat memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan, dan memperbaiki perilaku dari tersangka. Hal ini tentu bukanlah hanya sebagai ancaman hukuman saja, melainkan ada nilai-nilai kepribadian, moral, dan kesusilaan yang harus ditanamkan lagi agar menjadi pondasi yang tidak

kalah oleh nafsu dan pikiran jahat dalam diri seorang anak. Nilai-nilai yang luhur yang melekat pada setiap lini masyarakat menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sangat cepat, bahkan keras dalam merespon segala bentuk disharmonisasi kehidupan. Hal ini tentu yang akan mendorong penegakan keadilan yang lebih kompherensif.

Roeslan Saleh menjelaskan bahwa, “Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.” Dapat disebut dengan celaan objektif merujuk kepada perbuatan yang dilarang, dicekal, dan bertentangan dengan hukum. Sedangkan penilaian yang mengacu pada pelaku tindak pidana atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai celaan subjektif mengarah kepada pelaku dari perbuatan yang terlarang, tercela, dan memang bertentangan dengan hukum.13 Seorang anak yang memiliki sebuah kewajiban sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana atas apa yang telah ia lakukan olehnya yang bersifat melawan hukum, seorang anak tersebut dapat tidak memiliki sifat bertanggungjawabnya apabila memang benar adanya unsur yang menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seorang anak tersebut14. Dengan kata lain, segala bentuk pertanggungjawaban pidana sebagai akibat dari adanya pelanggaran terhadap segala bentuk norma dan hukum adalah suatu bentuk struktur dan mekanisme yang telah disusun dan dikembangkan atas segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana lainnya.

Pendekatan yuridis terhadap anak adalah upaya hukum terakhir. Darwis menjelaskan bahwa, “Upaya hukum ini terpaksa harus ditempuh jika ternyata tidak ada upaya hukum lain yang lebih menguntungkan bagi anak kecauli harus dijatuhi pidana (ultitum remedium). Anak sebagai input penduduk, ahli waris, dan pemegang nasib bangsa, juga ikut menentukan lajunya proses pembangunan nasional di segala bidang. Dalam pembangunan hukum, anak harus dikondisikan secara awal untuk memahami akan hak dan kewajibannya masing-masing baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Dalam hal pertanggungjawaban pidana terdapat dua istilah yang dapat menjelaskan bentuk pertanggungjawaban untuk dapat lebih dimengerti antara lain liability dan responsibility. Jika diartikan secara umum, liability mengarah kepada pertanggungjawaban hukum akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum yang dimana dalam hal ini adalah seorang anak, sedangkan responsibility mengarah kepada bentuk pertanggungjawaban politik. Salah satu adagium atau asas hukum pidana yang tentu sering kita dengar adalah “asas hukum nullum delictum nulla poena sine pravia lege” atau yang sangat familiar kita dengan dengan “asas legalitas”, asas ini merupakan landasan dasar dan menjadi dasar pokok yang meskipun tidak tertulis namun tetap dijadikan pertimbangan dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan sebuah tinda pidana atau dapat dikatakan dengan kata lain sebagai “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau dengan kata lain seseorang dapat diminta pertanggungjawaban apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan”.

Mekanisme pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh negara-negara common law system dikaitkan dengan “mens rea” dalam proses pemidanaan (punishment). Fungsi pertanggungjawaban disini memiliki daya penjatuhan pidana sehingga pertanggungjawaban disini memiliki fungsi social control dalam masyarakat.15 Dalam Kita Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) tidak menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan pertanggungjawaban. Namun dalam mengenakan sanksi pidana, selain telah dibuktikannya benar melakukan suatu tindak pidana, maka mengenai unsur kesalahan yang disengaja ataupun kealpaan juga harus dibuktikan. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana tidak terlepas dari peranan majelis hakim dalam menentukan keputusan berdasarkan proses pembuktian unsur-unsur pertanggungjawaban pidana itu sendiri sebab apabila unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya maka seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.16

Menurut Barda Nawawi, “Pertanggungjawaban adalah Bentuk untuk menentukan apakah seseorang akan dilepas atau dipidana atas tindak pidana yang telah terjadi dan oleh karena itu terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa seseorang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban antara lain adanya suatu tindak pidana, adanya asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia yang menghendaki perbuatan yang konkret atau perbuatan yang tampak, karena tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya saja.”

Dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh dua anak tersebut di atas menjelaskan bahwa keadaan seperti itu tidak akan pernah diinginkan untuk terjadi dimanapun. Akibat yang dirasakan setelah adanya peristiwa tersebut tentu sangat berdampak bagi kondisi psikis masyarakat yang cenderung akan lebih meningkatkan kewaspadaan dan lebih menggiatkan upaya-upaya pencegahan agar tindak pidana yang sama tidak terjadi atau terulang kembali. Menurut Bunadi Hidayat, “Aparat penegak hukum hendaknya tidak hanya berpikir normatif yang zakelijk atau yang hanya memandang tindakan itu dari titik akhir atau dampaknya saja, tanpa mau berpikir yang arif dan dewasa baik secara sosiologis, psikologis, dan pedagogis maupun filosofis, terlebih jika pelakunya masih anak-anak.” Dalam hal ini Muladi dan Barda Nawawi Arief memberi peringatan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menangani perkara anak, antara lain:17

  • 1.    “Anak yang melakukan tindak pidana/kejahatan (Juvenile Offender) jangan dipandang sebagai seorang penjahat (Criminal), tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.”

  • 2.    “Pendekatan yuridis terhadap anak dengan lebih mengutamakan pendekatan persuasive-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis) yang berarti menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.”

Menurut Barda Nawawi, “Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang tentunya bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana, dan dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.” Made Sadhi Astuti berpendapat bahwa, “Tujuan pidana sebaiknya didasarkan atas kebijaksanaan karena fisik, mental dan spiritual anak sangat mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan anak.”

Kasus di atas merupakan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh 2 (dua) anak terhadap dua orang korban yakni RA dan NP dilatarbelakangi kejadian adu cekcok akibat senggol-senggolan antara korban dengan tersangka saat berada di TKP yang berlanjut hingga kejar-kejaran menggunakan sepeda motor, ditendangnya motor korban sehingga korban terjatuh dan berakhir pada penebasan menggunakan senjata tajam yang sempat diambil oleh tersangka saat mengejar motor korban yang mengakibatkan satu orang kehilangan nyawa, dan satu orang mengalami luka berat.

Berdasarkan peristiwa tersebut di atas dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, adapun pasal yang disangkakan antara lain: “Pasal 340 KUHP jo Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 170 ayat (1) jo ayat (2) ke-2e dan ke-3e KUHP” dengan menjatuhkan pidana kepada masing-masing terdakwa selama 7 (tujuh) tahun dikurangi selama para pelaku anak tersebut berada dalam tahanan sementara dan dengan perintah tetap ditahan. Berdasarkan surat dakwaan tersebut, adapun unsur-unsur yang dipersangkakan antara lain “barang siapa; dengan sengaja merampas nyawa orang lain; dengan rencana terlebih dahulu; mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan; dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan; terhadap orang atau barang; jika kekerasan mengakibatkan luka berat; jika kekerasan mengakibatkan maut.”

Anak merupakan bagian dari masyarakat, apabila melakukan tindak pidana harus diteliti tentang latar belakang dan akibat perbuatan terpidana yang semuanya dituangkan dalam laporan penelitian masyarakat. Pertanggungjawaban pidana di Indonesia mensyaratkan bahwa, “Pelaku yang dapat diminta pertanggungjawaban adalah seseorang yang mampu bertanggungjawab karena seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.”18 Pada kasus pembunuhan yang telah dijabarkan di atas, tindak pidana yang dilakukan oleh dua pelaku anak dengan inisial BW dan DE tersebut adalah murni tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah seorang anak, maka tentu sudah tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya ataupun pendampingan dari lembaga yang berwenang.19 Anak yang telah melakukan tindak pidana memiliki pengertian bahwa anak tersebut dapat bertanggung jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan diadili di pengadilan sebagaimana mestinya, namun yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah seorang anak tidak dapat diproses sama halnya dengan bagaimana cara memproses orang dewasa. Asas legalitas yang berarti bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, sebagaimana yang ditegaskan dalam “Pasal 1 ayat (1) KUHP”, dalam konteks ini, J.E. Jonkers menulis bahwa, “Undang-undang merupakan sumber langsung dari hukum pidana, apa yang

dapat dipidana disebut dalam undang-undang pidana, meskipun itu adalah perbuatan yang dapat dihukum, namun itu tidak dapat dapat dihukum jika tidak terkena peraturan-peraturan itu, tidak dapat dipidana.” Pengadilan Negeri Denpasar dalam putusannya Nomor : 25/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Dps, tanggal 04 Oktober 2019 menyatakan antara lain:

  • 1.1.    “bahwa pelaku Anak I BW dan pelaku anak II DE tidak terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana “Anak Yang Melakukan Pembunuhan Berencana secara Bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana dalam Dakwaan Kesatu Primair tersebut;”

  • 1.2.    “Membebaskan para pelaku anak tersebut dari Dakwaan Kesatu Primair tersebut;”

  • 1.3.    “Menyatakan bahwa pelaku Anak I BW dan pelaku anak II DE telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Anak Yang Melakukan Pembunuhan Secara Bersama-sama”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dalam Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Dakwaan Kesatu Subsidiair:”

  • 1.4.    “Menjatuhkan Pidana oleh karena itu terhadap pelaku Anak I. BW dengan Pidana Penjara selama 6 (enam) tahun sedangkan pelaku anak II. DE dengan pidana penjara selama 4 (empat) Tahun dan 6 (enam) Bulan;”

Pertanggungjawaban pidana yang berbentuk “ultimum remedium”, yang memiliki arti “Penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya hukum yang terakhir, setelah tidak ada lagi upaya hukum lain yang menguntungkan bagi anak.” Hal ini merupakan upaya untuk menyadarkan terpidana agar dapat kembali ke jalan hidup yang benar sehingga tercapainya tujuan penertiban masyarakat.20 Hukum positif Indonesia mengatur pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana yang menurut undang-undang yang berkaitan dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan KUHP (Lex Spesicalis Derogat Legi Generali) masih dibenarkan.21 Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dengan pengaturan hukuman yang diberikan adalah ½ (satu per dua) dari hukuman orang dewasa. Jika dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar di atas, tentu hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap 2 (dua) terdakwa tentu sudah benar, dan telah diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena hukuman pidana penjara yang telah diberikan adalah 1/2 (satu per dua) dari hukuman yang ditentukan dalam KUHP.

IV.Kesimpulan

Anak yang dapat dijadikan terdakwa dan diajukan ke Pengadilan Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun sampai dengan atau belum mencapai 18 tahun. Hal tersebut sesuai dengan konsep pertanggungjawaban pidana di Indonesia yang

mensyaratkan bahwa, pelaku yang dapat diminta pertanggungjawaban adalah seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dalam hal ini anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) dapat dikategorikan sebagai Anak yang berhadapan dengan hukum dan dapat diproses di Pengadilan Anak. Mengenai pertanggungjawaban pidana anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan disesuaikan dengan ketentuan yang sudah diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menjelaskan bahwa pengaturan hukuman yang diberikan adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Banyaknya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak diharapkan dapat menyadarkan seluruh elemen baik pemerintah, instansi pendidikan, maupun keluarga untuk dapat memberikan perhatian yang lebih kepada anak untuk memastikan perkembangan anak ke arah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hidayat, Bunadi. Pemidanaan anak di bawah umur. Alumni, 2010.

Muladi. “Kapita selekta sistem peradilan pidana”. Badan Penerbit Universitas Diponegoro (1995)

Muladi, and Barda Nawawi Arief. “Bunga Rampai Hukum Pidana”. Alumni, (1992)

Saebani, Mustofa Hasan Dan Beni Ahmad, and Mustofa Hasan. "Hukum Pidana Islam

Fiqh Jinayah." (2013)

Tunggal, Hadi Setia. “UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”. Harvarindo, (2013)

Jurnal

Amin, M. Arma, and Akhdiari Harpa Dj. "Analisis Sosiologis Yuridis Terhadap Pemidanaan Anak Di Kota Palu." Jurnal Hukum Unsulbar 3, no. 1 (2020)

Annisa, Febrina. "Penegakkan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Dalam Konsep Restorative Justice." ADIL: Jurnal Hukum 7, No. 2 (2016)

Bismantara, I Putu Gede Titan. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana.” Jurnal Kertha Wicara 9, No.5 (2020)

Elda, Tresia. "Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas IA Padang." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 3, No. 2 (2016)

Hafid, Azhar. "Kajian Hukum Tentang Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340 KUHP." Lex Crimen 4, no. 4 (2015)

Hutahaean, Bilher. "Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak." Jurnal

Yudisial 6, No. 1 (2013)

Mayo, Elton Mayo Elton. "Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak." Diponegoro Law Journal 3, No. 2 (2014)

Maknun, Lu’luil. "Kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua (child abuse)." Muallimuna 3, No. 1 (2017)

Nofitasari, Solehati. "Sistem Pemidanaan Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana." Fairness and Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 14, No. 2 (2016)

Nugroho, Michael Last Yuliar Syamriyadi. "Ketika Anak Berkonflik Dengan Hukum (Studi Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Di Pengadilan Negeri Magetan)." Jurnal Jurisprudence 5, no. 2 (2017)

Purnomo, Bambang, and Gunarto Gunarto. "Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Polres Tegal)." Jurnal Hukum Khaira Ummah 13, No. 1 (2018)

Susanti, Dewi Elvi. "Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Studi Kasus Perkara Pidana No. 07/pid-sus-anak/2017/pn. pdg." JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 4, no. 2 (2019)

Susilawati, Ika Yuliana. "Analisis Yuridis terhadap Pemidanaan Pengguna Jasa Prostitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-XIV/2016." JURNAL UNIZAR LAW REVIEW 2, no. 1 (2019)

Santoso, Meilanny Budiarti, and Rudi Saprudin Darwis. "Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum oleh Balai Pemasyarakatan." Share: Social Work Journal 7, No. 1 (2017)

Walahe, Safrizal. "Pertanggungjawaban Pidana dari Anak Dibawah Umur yang Melakukan Pembunuhan." Lex Crimen 2, no. 7 (2013)

Widodo, Guntarto. "Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak." Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 6, No. 1 (2016)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara No.153, Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara No. No. 5332).

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 5 Tahun 2021, hlm.387-399

399