Urgensi Pengaturan Perampasan Aset Korporasi Hasil Tindak Pidana Illegal Fishing Di Indonesia
on
URGENSI PENGATURAN PERAMPASAN ASET KORPORASI HASIL TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI INDONESIA
I Kadek Andi Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing di Indonesia serta urgensi pengaturan perampasan aset korporasi dalam mencegah terjadinya kerugian negara akibat dari dilakukannya illegal fishing. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia tidak mengatur mekanisme perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing di Indonesia. Pengaturan perampasan aset korporasi ini sangat penting mengingat kerugian yang ditimbulkan baik secara ekonomi maupun lingkungan dari tindak pidana illegal fishing sangat besar. Pemerintah perlu segera membentuk produk hukum terkait mekanisme perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishingguna memberika kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat dan Negara.
Kata Kunci : Illegal Fishing, Perampasan Aset, Korporasi
ABSTRACT
This research aim to investigate the regulation of confiscation of corporate asets resulting from illegal fishingin Indonesia and urgency of regulating asset forfeiture of corporate to prevent state losses due to illegal fishing. In this study, the researcher uses normative research method with conceptual approach. The result of this study indicate that law system in Indonesia do not set confiscation asets of result criminal act of illegal fishingin Indonesia. The adjustment of confiscation of corporates asets is essential due to the disadvantage and damaging economic and the environment in Indonesia. The government need to create law products due to confiscation of corporate asets resulting from illegal fishingin order to provide conviction, advantages, and legal justice to every community and state.
Keywords : Illegal Fishing, Asset Forfeiture, Corporation
United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) atau yang lebih dikenal dengan Konvensi PBB tentang hukum laut pada Tahun 1982 menyatakan secara eksplisit bahwa Indonesia berdaulat atas 3,2 juta luas wilayah perairan dengan rincian sejumlah 2,9 juta km2 perairan kepulauan dan 0,3 juta km2 laut teritorial.1 Lebih dari itu, dengan garis pantai yang membentang sepanjang 81.000 km2 menandakan bahwa laut berserta wilayah pesisir Indonesia dapat dikatakan sebagai aset negara yang cukup menjanjikan, karena mengandung kekayaan sumber daya
bahari yang begitu berlimpah seperti ikan, terumbu karang, mangrove, dan lainnya dengan taksiran nilai kekayaan laut mencapai Rp 1.772 triliun. Kementrian Kelautan dan Perikanan mencatat bahwa sepanjang wilayah perairan di Indonesia dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, diperkirakan potensi lestari bahari Indonesia sebanyak 12,54 juta ton per tahun. Dari keseluruhan potensi tersebut, sekitar 80% atau sebanyak 10,03 juta ton per tahun diperbolehkan untuk ditangkap (JTB).2
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber daya bahari Indonesia memiliki prospek dan potensi pasar yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam berbagai sektor, terutamanya kepentingan konservasi hingga ekonomi produktif dengan berorientasi pada perwujudan kesejahteraan seluruh raykat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Namun nyatanya potensi tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Kekayaan laut yang berlimpah tidak serta merta dapat membebaskan rakyat seperti nelayan dan petambak tradisional dari kemiskinan. Berdasarkan data KKP 2017, mayoritas dari jumlah nelayan sebanyak 2,7 juta justru menjadi penyumbang 25 persen angka kemiskinan nasional.3
Besarnya angka ini salah satunya dipengaruhi oleh masih maraknya kasus penangkapan ikan atau illegal fishing di Indonesia. Illegal fishing dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 37/PERMEN-KP/2017 pada intinya adalah kegiatan perikanan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. The Food and Agriculture Organization (FAO) atau yang juga biasa disebut dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia menyatakan Indonesia merugi hingga 30 triliun pertahunnya akibat penangkapan ikan secara illegal. Sedangkan Susi Pudjiastuti menyebutkan kerugian Indonesia bahkan mencapai Rp 240 triliun per tahunnya.4 Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan upaya represif terhadap kejahatan illegal fishing baik yang dilakukan oleh perseorangan ataupun korporasi.
Keterlibatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana illegal fishing saat ini wajib untuk ditanggulangi mengingat bahwa tindak pidana ini menimbulkan kerugian yang signifikan bagi negara dan masyarakat. Selain itu, tidak jarang ditemukan korporasi yang bersifat transnasional serta didukung oleh kemajuan teknologi yang dimilikisehingga menyulitkan pemerintah dalam menjerat korporasi yang melakukan illegal fishing. Sebagai contoh, pada tahun 2018 Satgas 115 menangani 134 kasus yang berkaitan dengan illegal fishing dengan jumlah 48 kasus diselesaikan menggunakan pendekatan multi-doors. Namun, yang mampu mempertanggungjawabkan korporasi sebagai pelakunya hanya kurang dari lima kasus.5 Padahal semestinya Korporasi sebagai subjek hukum tentunya dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Berkaitan dengan instrumen hukum terhadap tindak pidana illegal fishing dengan korporasi sebagai pelakunya, pemerintah sejatinya bukan tanpa upaya.
Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur problematika yuridis di bidang perikanan mulai dari Undang-Undang hingga peraturan di bawahnya. Namun nyatanya, upaya tersebut belum mampu menekan angka kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini dikarenakan produk hukum yang dikeluarkan belum secara komperehensif menyentuh korporasi sebagai pelaku yang sesungguhnya. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (selanjutnya disebut UU Perikanan) yang merupakan payung hukum terkait tindakan illegal fishing kepada korporasi.
Setelah 10 tahun regulasi ini diberlakukan, penanggulangan tindak pidana illegal fishing oleh korporasi masih sangat tidak efektif. Hal tersebut salah satunya dikarenakan substansi yang diatur dalam UU Perikanan masih membebankan kepada pengurus korporasi saja dan tidak mengatur mekanisme pengembalian keuntungan korporasi hasil tindak pidana illegal fishing seperti perampasan aset korporasi yang dapat melemahkan pergerakan dari korporasi bersangkutan. Ketentuan seperti ini tentunya tidak relevan dengan kerugian yang dialami oleh negara dan masyarakat. Selain itu tidak adanya pengaturan mengenai perampasan aset korporasi yang melakukan illegal fishing membawa dampak tidak adanya jaminan korporasi yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana lain menggunakan asetnya yang diperoleh secara illegal.
Berdasarkan penelurusuran penulis, terdapat beberapa tulisan lain dengan konteks pembahasan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal fishing khususnya korporasi yang secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pemberantasan tindak pidana illegal fishing di Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satunya adalah tulisan dari Rionaldo Kristayuda dan I Ketut Rai Setiabudhi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan (Illegal Fishing)”. Tulisan tersebut pada pokoknya menguraikan perihal landasan teori yang dapat digunakan guna mengenakan pertangungjawaban pidana korporasi pelaku tindak pidana di bidang perikanan serta bentuk pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam UU Perikanan. Tulisan tersebut semakin menggugah keinginan penulis untuk melakukan kajian perihal pertanggungjawaban korporasi pelaku tindak pidana illegal fishing dengan aspek yang berdeda, yakni menitikberatkan pada perampasan aset korporasi berserta dengan penyelesaiannya kasusnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengangkat sebuah judul tulisan ilmiah, yaitu “Urgensi Pengaturan Perampasan Aset Korporasi Hasil Tindak Pidana Ilegal Fishing Di Indonesia” yang akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana sistem hukum di Indonesia mengatur perampasan aset korporasi yang melakukan tindak pidana illegal fishingdi Indonesia berserta dengan penyelesaian kasusnya.
1 Bagaimanakah pengaturan perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing menurut peraturan-perundang-undangan di Indonesia?
2 Sejauhmana urgensi pengaturan perampasan aset korporasi dapat mencegah terjadinya kerugian negara akibat dari dilakukannya illegal fishing?
-
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi tentang pengaturan perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishingmenurut peraturan-perundang-undangan di Indonesia serta guna mengkaji urgensi pengaturan perampasan asset korporasi dapat mencegah terjadinya kerugian negara akibat dari dilakukannya illegal fishing.
Dalam penulisan artikel ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif sebagai sebuah metode penelitian yang dilakukan melalui penelitian hukum kepustakaan yang berdasarkan pada peraturan perundang- undangan, teori hukum, serta doktrin dari para ahli terkemuka. Metode ini digunakan dikarenakan sebuah permasalahan norma berupa kekosongan norma yang penulis temukan terkait perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing menurut peraturan-perundang-undangan di Indonesia. Pendekatan penelitian yang penulis gunakan menitikberatkan pada pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan berkaitan dengan legislasi dan regulasi. Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), penulis mengkaji pembaharuan hukum dengan mengkaitkan visi dan misi Kementrian Kelautan dan Perikanan (selanjutnya disebut KKP) dengan doktrin ahli hukum serta urgensi penerapannya.
Analisis dalam penulisan jurnal ilmiah ini, penulis kemudian menggunakan bahan hukum yang terdiri sebagai berikut:
-
1. Bahan hukum primer diantaranya adalah peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (selanjutnya disebut UU Perikanan) , dan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/Permen-Kp/2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2020-2024.
-
2. Bahan hukum sekunder yang dalam penulisan jurnal ini dugunakan sebagai bahan penujang yangrelevan dengan dengan bahan hukum primer. Bahan hukum ini terdiri dari hasil karya ilmiah dan penelitian para sarjana berupa jurnal ilmiah atau doktrin yang dapat digunakan untuk memudahkan analisis serta pengolohan bahan hukum primer.
-
3. Bahan hukum tensier, yaitu berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) dan Black’s law Dictionar yang merupakan informasi tambahan guna melengkapi bahan hukum primer maupun sekunder.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Perampasan Aset Korporasi Hasil Tindak Pidana Illegal Fishing di Indonesia
-
KUHP yang merupakan induk hukum pidana di Indonesia menggolongkan perampasan aset ke dalam pidana tambahan.6 Perampasan tersebut dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan yang ada didalam KUHP, yaitu barang-
barang yang dimiliki diperoleh terpidana melalui kejahatan atau dipergunakan secara sengaja untuk melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan hakim.7 Berenda Grantland menyatakan perampasan aset (aset forfeiture) sebagai suatu bentuk sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilikberupa suatu proses perampasan properti pemilik oleh pemerintah dengan tanpa kompensasi yang adil.8 Aset hasil kejahatan sebagai bentuk keuntungan hasil tindak pidana pada umumnya diartikan sebagai setiap harta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud. Dapat juga dinyatakan sebagai benda bergerak maupun tidak bergerak.
Perampasan harta kekayaan itu tidak hanya terbatas pada kekayaan atau keuntungan yang diperoleh dari suatu tindak pidana melainkan juga seperti harta kekayaan yang digunakan sebagai modal melakukan tindak pidana, atau alat baik sarana maupun prasarana, hingga sebagian atau seluruh kekayaan milik pelaku dapat juga dirampas apabila memang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.9 Sehingga dengan mekanisme perampasan aset ini, pada umumnya pelaku yang terlibat pada suatu kejahatan baik yang dilakukan perseorangan maupun organisasi akan menyadari bahwa kejahatan yang dilakukan selain kemungkinan keuntungan yang diperoleh, juga akan berhadapan dengan besarnya kemungkinan kehilangan harta kekayaan mereka.
Hingga saat ini, terdapat tiga model perampasan aset. Pertama, perampasan aset in rem forfeiture yang dikenal pula sebagai perampasan aset menggunakan mekanisme hukum perdata sehingga tidak dibarengi dengan sanksi pidana; Kedua,perampasan aset dengan mekanisme hukum pidana sehingga berkaitan dengan pemidanaan; Ketiga, perampasan aset dengan mekanisme administratif yang dilakukan oleh badan berwenang tanpa adanya keikutsertaan pengadilan.10 Sejatinya ketiga jenis perampasan aset tersebut memiliki tujuan yang sama. Pertama, atas pelanggaran hukum yang dilakukannya pelaku sama sekali tidak berhak memperoleh keuntungan. Korban baik negara maupun subjek hukum merupakan pihak yang berhak untuk memperoleh hasil dan istrumen dari suatu tindak pidana. Kedua, perampasan keuntungan ekonomi dari kejahatan merupakan pencegahan terhadap pelanggara hukum lainnya yang dapat dilakukan oleh pelaku.
KUHP yang berlaku saat ini masih menganut pandangan adagium societas delinquere non potest, yang berdampak pada tidak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana. Sehingga pidana tambahan perampasan barang tertentu sebagaimana yang dimuat dalam pasal 10 KUHP tidakberlaku bagi korporasi.11 Namun, dengan secara Lex specialis, dalam perkembangan sistem pemidanaan di Indonesia akhirnya korporasi yang melakukan suatu tindak pidana dapat dikenakan pertanggungjawaban bahkan sampai sanksi perampasan aset korporasi hasil tindak pidana yang bersangkutan. Salah satu Undang-Undang yang memakai model ini adalah Undang-
Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang(selanjutnya disebut UU TPPU).
Namun pengaturan mekanisme perampasan aset korporasi seperti dalam UU TPPU tidak termuat dalam peraturan perundang-undangan perikanan. Salah satunya adalah UU Perikanan yang menjadi instrumen hukum terkait tindak pidana illegal fishing. Pasal 101 UU Perikanan pada pokoknya hanya mengatur bahwa ketika korporasi melakukan pelanggaran terhadap Pasal 84 ayat (1) dan/atau Pasal 85 sampai dengan Pasal 96, maka tuntutan dan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan adalah terhadap pengurusnya dengan pidana penjara dan pidana denda yang ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Sementara itu, UU Perikanan juga tidak mengatur secara jelas mengenai ketentuan formil dalam persidangan di pengadilan. Implikasinya adalah KUHAP akan digunakan sebagai acuan formil dalam menindaklanjuti pelanggaran pidana dalam UU Perikanan. Padahal KUHAP sebagaimana juga KUHP masih belum mengatur formulasi pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana baik sebagai tersangka maupun terdakwa. Oleh karenanya tidak terdapat pengaturan secara khusus mengenai tata cara penangan perkara tindak pidana yang menempatkan korporasi subjeknya terlebih mengenai tata cara perampasan aset hasil tindak pidana milik korporasi.
Sejatinya Pasal 76A UU Perikanan telah mengakomodir ketentuan bahwa berdasarkan persetujuan ketua pengadilan negeri, benda dan/atau alat yang berhubungan dengan tindak pidana perikanan untuk dirampas guna kepentingan Negara atau dimusnahkan. Namun orientasi daripada upaya tersebut masih ditekankan pada pengumpulan barang bukti saja. Sedangkan dalam menguak aset korporasi lebih dalam yang sejatinya merupakan pekerjaan yang sangat kompleks membutuhkan pendekatan hukum yang jauh lebih sistematis dan memberikan akses yang lebih dalam bagi penegak hukum untuk melakukan penulusuran aet korporasi. Sehingga wajar apabila kekayaan Negara yang dapat dikembalikan jauh lebih rendah dibandingkan kerugian negara akibat illegal fishing.
-
3.2 Urgensi Pengaturan Perampasan Asset Korporasi Dapat Mencegah Terjadinya
Kerugian Negara Akibat dari Dilakukannya Illegal Fishing
Pengaturan tindak pidana illegal fishing yang melibatkan korporasi sebagaimana disebut di atas mengakibatkan pada umumnya, pihak-pihak yang memegang kendali atas korporasi tidak dapat diseret ke pengadilan karena yang dituntut di muka pengadilan hanyalah nahkoda, anak buah kapal atau kepala kamar mesin yang notabenya adalah pelaku yang terlihat di lapangan. Salah satu kasus illegal fishing terbesar di Indonesia adalah kasus Kapal MV Hai Fa yang terjadi di Pelabuhan Wanam Merauke pada tahun 2014. Kapal tersebut ditemukan melakukan beberapa kejahatan sekaligus seperti mencuri kekayaan laut Indonesia seperti udang dan ikan campuran dengan total sebanyak 900.702 kg. Lebih dari itu, kapal tersebut juga mencuri sekitar 15 ton ikan Hiu Martil yang berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/Permen-KP/2014 merupakan hewan yang dilindungi.
Terhadap pelaku yang dalam hal ini nahkoda kapal, Pengadilan Perikanan Negeri Ambon melalui amar putusannya nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB secara tidak terduga justru hanya menjatuhkan vonis denda sebesar Rp 200 juta
dengan subsider enam bulan penjara.12 Hal ini sangat mengherankan karena diketahui bahwa Kapal M.V. Hai Fa merupakan sebuah kapal milik korporasi bernama Hai Yi Shipping Limited yang dicarter oleh PT. Dwikarya Reksa Abadi. Tercatat dalam Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) diketahui lebih lanjut bahwa kapal tersebut merupakan kapal pengangkut ikan yang memuat ikan milik beberapa perusahaan seperti PT.Dwikarya Reksa Abadi dan PT.Avona Mina Lestari.13
Kasus ini hanya merupakan satu dari sedikit kasus kejahatan Illegal fishing yang berhasil diusut di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan apabila diperkirakan terdapat sebesar Rp.3.000 (tiga ribu) triliun kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana perikanan dan beberapa tindak pidana di sektor kelautan lainnya. Hal ini memperlihatkan secara jelas mengenai ketidakmampuan hukum di Indonesia untuk secara responsif memberikan hukum yang setimpal bagi korporasi. Dapat dibayangkan apabila UU Perikanan telah mengatur secara jelas mengenai pertanggungjawaban korporasi berserta dengan perampasan aset hasil tindak pidananya, maka tentunya negara dapat mengurangi kerugian negara akibat kejahatan illegal fishing korporasi tersebut.
Sistem hukum di Indonesia sudah semestinya mengakomodir ketentuan perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing melihat kerugian yang harus ditanggung negara dan masyarakat akibat dari kejahatan ini tergolong sangat besar. Ketidakjelasan pengenaan sanksi terhadap korporasi selama ini mengakibatkan tidak efektifnya penegakan hukum terhadap perbuatan illegal fishing yang melibatkan korporasi. Konsekuensinya adalah sulitnya ditemukan kasus illegal fishing yang mempertangungjawabkan korporasi sebagai pelakunya. Meskipun pelaku dapat ditemukan, namun sering dalam proses pembayaran pidana denda, banyak ditemukan pelaku yang tidak mampu atau bahkan tidak bersedia untuk membayar denda tersebut sehingga diganti dengan pidana kurungan yang secara logika sangat tidak adil dan tidak menimbulkan efek jera. Belum lagi kesulitan penegak hukum dalam menuntut tindak pidana illegal fishing oleh korporasi yang acapkali bersifat transnasional.
KUHAP sejatinya sudah mengakomodir ketentuan penyitaan yaitu suatu perampasan sementara selama proses penegakan hukum terhadap barang tertentu yang berkaitan langsung dengan tindak pidana.14 Barang tersebut dapat dirampas untuk negara baik dengan cara dimusnahkan atau dirusak agar tidak dipergunakan kembali atau digunakan bagi kepentingan kas negara. Namun, jika peristiwa yang dimaksud dinyatakan tidak memiliki bukti yang cukup dan bukan merupakan suatu tindak pidana, maka barang sitaan tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Berdasarkan pengertian penyitaan dalam KUHAP dengan pengertian perampasan aset oleh Berenda Grantland, maka terdapat perbedaan makna antara perampasan aset sebagaimana yang dikemukakan oleh Berenda Grantland dengan penyitaan. Perampasan aset lebih kepada perbuatan yang permanen dibandingkan dengan
penyitaan yang hanya bersifat sementara. Hal ini dikarenakan barang yang dikenakan penyitaan dapat dikembalikan kepada pihak yang berhak. 15
Penggunaan mekanisme penyitaan ini tidak dapat secara efektif menelusuri aset korporasi hasil tindak pidana mengingat bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap benda yang memang memiliki keterkaitan langsung terhadap tindak pidana. Sementara itu, penegak hukum dituntut cepat dalam memilih barang yang berhubungan dengan tindak pidana untuk mencegah perpindahan aset yang memang sangat dilindungi oleh korporasi. Terlebih lagi pada umumnya sebuah perkara memerlukan waktu yang cukup lama untuk memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga dalam rentang waktu yang cukup lama ini, korporasi dapat dengan mudah memindahkan aset yang dimilikinya.16
Dewan Perwakilan Rakyat sebenarnya telah memiliki Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan (RUU Perikanan) yang dikeluarkan pada tanggal 2 April 2018. RUU ini secara lebih komperehensif mengatur pemidanaan terhadap korporasi dan/atau personil korporasi hingga pada perampasan aset korporasi yang diatur dalam pasal 154 ayat (2) huruf e dan Pasal 158. Namun dikarenakan ketentuan khusus dalam sebuah Undang-undang memang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, maka tidak terdapat pengaturan lebih lanjut perihal mekanisme perampasan aset korporasi pelaku tindak pidana illegal fishing dalam RUU Perikanan. Sehingga hal ini tentunya akan menimbulkan kekaburan norma perihal perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing. Sementara itu, untuk menunggu RUU ini disahkan serta diterbitkannya peraturan pemerintah perihal perampasan aset korporasi tentunya akan membutuhkan waktu yang lama.
Mengatasi permasalahan ini, pemerintah dapat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) yang merupakan langkah lanjutan dari pemerintah Indonesia setelah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Hal tersebut dapat disimpulkan apabila melihat mekanisme in Rem (NCB) yang diatur dalam RUU perampasan sebagaimana yang dimuat dalam UNCAC selaku konvensi internasional. 17 Dalam mekanisme ini, negara ditempatkan sebagai penggugat aset yang disinyalir terkait dengan tindak pidana. Sementara itu, terdapat pihak intervensi (claimants) yang merupakan pihak yang berhubungan dengan proses perampasan aset. Dalam proses pembuktiannya, hakim akan memerintahkan pihak ketiga yang keberatan atas permohonan perampasan aset. Mekanisme ini adalah perdata khusus, yaitu kekhususannya karena negara akan diwakilkan oleh jaksa pengacara negara untuk melakukan gugatan perampasan tersebut di pengadilan dan waktu untuk menggugat dipengadilan terbatas sehingga berbeda dengan mekanisme peradilan perdata yang membutuhkan waktu panjang.18
Dengan mekanisme ini, pembuktian terhadap kesalahan terdakwa bukan merupakan faktor penentu hakim dalam memutus gugatan. Sehingga pengajuan
terhadap perampasan aset tidak dibatasi oleh waktu dari proses peradilan pidana yang bahkan dalam hal perkara tidak dapat diproses dalam peradilan pidana perampasan aset korporasi masih dapat diajukan. Selain itu, terhadap pelaku tindak pidana, perampasan aset tersebut tidak menjadikan dirinya terbebas dari penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya. Justru pembuktian terhadap kesalahan pelaku tindak pidana, dapat mempergunakan aset yang telah dirampas dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Mekanisme ini telah cukup lama diterapkan di beberapa negara seperti Australia, Amerika serika, dan Filipina.
Kemudian mengingat bahwa illegal fishing oleh koperasi dapat bersifat transnasional, maka perlu pengaturan yang ditujukan terhadap aspek aset yang tidak hanya berada dalam yuridiksi Indonesia saja, tetapi juga terhadap aset yang berada di luar dari yuridiksi Indonesia. Konsekuensinya adalah dalam penerapannya Indonesia perlu melakukan kerjasama internasional dengan menggunakan prinsip Mutual Legal Assistance (MLA) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Bantuan Timbal Balik. Pada intinya MLA adalah perjanjian bilateral atau multilateral yang digunakan sebagai wadah permohonan kepada negara lain guna melakukan penyidikan, pemeriksaan, dan penuntutan terhadap suatu perkara. Objek MLA dapat berupa pengambilan dan pemberian barang bukti.19 Hingga kini, beberapa negara yang telah menandatangan kerjasama MLA dengan Indonesia secara bilateral adalah Korea, China, Hong Kong, India, dan Austrlia. Selain secara bilateral, Indonesia juga secara multilateral telah menandatangani kerjasama MLA denga beberapa negara yang tergabung dalam ASEAN yaitu diantaranya Laos, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Singapura.20
Perlu disadari bahwa terdapat dua factor yang menyebakan di masa depan sektor perikanan sangat mempunyai posisi yang penting dalam ketahanan pangan di Indonesia. Pertama, jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia yang meningkat tajam pertahunnya. Hasil penelitian Badan Pusat Statistik menunjukkan perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2035 berjumah 305,6 jiwa atau meningkat 78% dari tahun 2010.21 Dengan jumlah penduduk yang semakin besar, membawa konsekuensi pada kebutuhan nutrisi yang harus dipenuhi yang salah satunya bisa diperoleh melalui ikan. Kedua, semakin meningkatnya alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman atau wilayah perindustrian sangat berpengaruh kepada menurunnya sumber-sumber pangan daratan. Hal tersebut menyebabkan perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing merupakan hal yang sangat penting dilakukan.
Perampasan aset korporasi dapat mengunci harta kekayaan korporasi agar tidak dipindahtangankan sampai dengan putusan inkracht. Selain pada waktu yang bersamaan dapat memberikan dampak preventif terhadap kejahatan korporasi sejenis. Pertama, perampasan aset korporasi dapat menghilangkan modal korporasi untuk melakukan berbagai kejahatan baik illegal fishing maupun kejahatan lainnya. Kedua, perampasan aset dapat menghilangkan atau memperkecil kesempatan pelaku untuk menikmati aset hasil tindak pidana illegal fishing. Ketiadaan kesempatan tersebut
dapat menyebabkan menurunnya keinginan korporasi untuk melakukan kejahatan illegal fishing kembali. Ketiga, perampasan aset akan menjadi suatu pemberitahuan tidak langsung bagi para pelaku kejahatan illegal fishing baik perseorangan maupun korporasi bahwa pemerintah telah tegas dalam memerangi kejahatan illegal fishing di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia belum mengatur perampasan aset korporasi hasil tindak pidana illegal fishing sehingga terjadi suatu kekosongan norma yang dapat menjadi landasan dalam merampas aset korporasi pelaku tindak pidana illegal fishing secara lebih dalam. Padahal sejatinya perampasan aset korporasi merupakan pekerjaan yang sangat kompleks karena membutuhkan pendekatan hukum yang jauh lebih sistematis dan membutuhkan penguasaan teknologi yang lebih canggih. Sehingga wajar apabila selama ini, kekayaan Negara yang dapat dikembalikan jauh lebih rendah dibandingkan kerugian negara akibat illegal fishing. Sementara itu, perlu disadari bahwa terdapat di masa depan sektor perikanan sangat mempunyai posisi yang penting dalam ketahanan pangan di Indonesia. Permasalahan ini sejatinya dapat ditanggulangi melalui Pengesahan terhadap RUU Perampasan Aset yang dapat menjadi solusi dalam meminimalisir kerugian negara dari tindak pidana ilegal fishing yang dilakukan oleh korporasi. Melalui penerapan perampasan aset korporasi tindak pidana illegal fishing, diharapkan mampu memberikan deterent effect secara konkret agar korporasi yang bersangkutan tidak kembali menggunakan aset hasil tindak pidana tersebut untuk melakukan tindak pidana lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mahmudah, Nunung, Illegal fishing: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah Perairan Indonesia (Jakarta, Sinar Grafika, 2015).
Yahya, Bettina, Suharianto, Budi, dan Hakim, Muh.Ridha, Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017).
Jurnal Ilmiah
Amaliyah, Resky Amalia Syafiin, dan Monica, "Peranan Kearifan Lokal Nelayan sebagai Upaya Penanggulangan Illegal Fishing", Halu Oleo Law Review 4, no. 1 (2020).
Darmawan, Oksimana, "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Illegal fishingDi Indonesia", Jurnal Yudisial 11, no. 2 (2018).
Ginting, Jamin, "Perjanjian Internasional dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi di Indonesia", Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 3 (2011).
Halif, Halif, "Model Perampasan Aset Terhadap Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang", Jurnal Rechtens 5, No.2 (2016).
Haswandi, Haswandi, "Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pelaku Dan Ahli Warisnya Menurut Sistem Hukum Indonesia", Jurnal Hukum dan Peradilan 6, no. 1 (2017).
Latifah, Marfuatul, "Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia (The Urgency Of Assets Recovery Act In
Indonesia)", Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 6, no. 1 (2016).
Saputra, Refki, "Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (NonConviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia", Jurnal Antikorupsi Integritas 3, no. 1 (2017).
Suhariyanto, Budi, "Urgensi Pemidanaan terhadap Pengendali Korporasi yang Tidak Tercantum dalam Kepengurusan", Jurnal Yudisial 10, no. 3 (2017).
Susilawati, Ika Yuliana, “Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Luar Negeri Melalui Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance)”, Jurnal IUS 4, No.2 (2016).
Widyatmodjo, Ruth Sella, Pujiyono, Purwoto, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan (Ilegal Fishing) di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Ambon Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB)”, Diponogoro Law Journal 5, No.3 (2016).
Wijaya, Muhamad Soni, Ruba’I, Masruchin , dan Koeswahyono, Imam, “Inkonsistensi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Rechtidee 13, No. 1 (2018).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/Permen-Kp/2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2020-2024
Website
Ambaranie Nadia Kemala Movanita, “KKP Ancam Jerat Perusahaan Dalam Kasus Ilegal Fishing”, URL:
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/21/200200426/kkp-ancam-jerat-perusahaan-dalam-kasus-illegal-fishing , diakses pada 13 September 2020.
Selfie Miftahul Jannah, "Pemerintah Targetkan Indonesia Miliki 1 Juta Nelayan Berdaulat", URL : https://tirto.id/pemerintah-targetkan-indonesia-miliki-1-juta-nelayan-berdaulat-dlwg, diakses pada 12 September 2020.
Sumber Lain
Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana
Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan
Indonesia, Statistics. Indonesia population projection 2010-2035. Statistics Indonesia, 2013.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. Laporan tahunan 2018 Kementrian Kelautan dan Perikanan. (Jakarta, Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2019).
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm.294-304
304
Discussion and feedback