Pengaturan Digitalisasi Peta Terkait Transportasi Online dalam Perspektif Hak Cipta
on

Pengaturan Digitalisasi Peta Terkait Transportasi Online dalam Perspektif Hak Cipta
Putu Eka Wiranjaya Putra1, I Wayan Wiryawan2
1Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 29 Agustus 2020
Diterima: 27 Desember 2020
Terbit: 9 April 2021
Keywords:
Map Digitalization; Online Transportation; Copyright
Kata kunci:
Digitalisasi Peta; Transportasi
Online; Hak Cipta
Corresponding Author:
Putu Eka Wiranjaya Putra, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2021.v10.i01. p05
Abstract
The purpose of writing this article is to examine the map digitization arrangement from a copyright perspective and to examine legal sanctions for parties who violate the map digitization arrangement. The research method used in this article is the normative legal research method, in which this research aims to study and provide information about all new things that are not yet known by the general public. The results of this study indicate that the regulations regarding map digitization are basically strictly regulated in Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. In addition, the arrangement for digitizing maps can also refer to Article 1 paragraph 1 and paragraph 4 of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions and its amendments, as well as adopting the Singapore Copyright Act. Legal sanctions for parties who violate the map digitization arrangement are civil sanctions based on Article 1365 of the Civil Code and criminal sanctions as regulated in Article 113 paragraph (3) in the form of imprisonment for 4 (four) years and a fine of Rp. 1,000,000,000.00.
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji pengaturan digitalisasi peta dalam perspektif hak cipta dan mengkaji sanksi hukum bagi pihak yang melanggar pengaturan digitalisasi peta. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian hukum normatif, di mana penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memberikan informasi mengenai segala sesuatu hal baru yang belum diketahui oleh khalayak umum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai digitalisasi peta pada dasarnya telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Disamping itu, pengaturan digitalisasi peta dapat pula merujuk pada Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya, maupun mengadopsi Undang-Undang Hak Cipta Singapura. Sanksi hukum bagi pihak yang melanggar pengaturan digitalisasi peta yaitu sanksi
perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dam sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 113 ayat (3) berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00.
-
1. Pendahuluan
Pada era society 5.0 seperti saat ini, berbagai macam teknologi berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan tersebut memberikan stimulasi kepada teknologi untuk memiliki kemapuan yang lebih daripada sebelumnya, atau dengan kata lain teknologi dapat digunakan lebih maksimal. Melalui perkembangannya teknologi memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menyebabkan masyarakat sangat membutuhkan keberadaan dari teknologi tersebut yang dijadikan sebagai sarana penunjang dalam menjalankan segala aktivitas sehari-hari. Salah satu contoh konkrit dari timbulnya dampak perkembangan teknologi yaitu mengenai bentuk peta. Peta pada mulanya dibuat dalam bentuk non-digital atau peta dibuat di atas secarik kertas, apabila peta tersebut dibuat di atas secarik kertas, maka peta harus dibawa untuk mencari tujuan perjalanan yang ingin dicapai. Akan tetapi, dengan timbulnya akibat dari berkembangnya teknologi dengan sangat pesat tersebut, menjadikan bentuk peta yang semulanya di atas secarik kertas dapat berevolusi bentuk menjadi peta digital melalui proses digitalisasi peta. Pemanfaatan terhadap peta digital tersebut pada dasarnya lebih memudahkan seseorang untuk mencari tempat tujuan yang ingin dicapai. Peta digital dapat diakses melalui alat komunikasi salah satunya yaitu handphone. Melalui handphone seseorang dapat lebih mudah untuk menemukan letak tujuan yang ingin dicapai tanpa perlu bersusah payah untuk membawa secarik kertas yang di dalamnya memuat mengenai peta lokasi tujuan yang ingin dicapai.
Pada dewasa ini, peta digital sangat banyak dipergunakan baik digunakan oleh kalangan masyarakat pada umumnya maupun digunakan oleh kalangan pengusaha yang dalam kegiatan sehari-harinya memerlukan kehadiran peta digital dalam menunjang pelaksanaan kegiatan perusahaannya. Seperti halnya di dalam dunia bisnis, khususnyan bisnis di bidang transportasi online, peta digital ini merupakan alat yang sangat diperlukan oleh para pengusaha transportasi untuk menunjang pelaksanaan kegiatan perusahaan. Pengusaha transportasi online memerlukan peta digital sebagai sarana untuk dapat menunjuk lokasi yang ingin dituju yang hendak dimaksudkan untuk mengantar maupun menjemput konsumen yang telah
menyewanya ke tempat tujuan yang diinginkannya. Melalui peta digital tersebut para driver (supir yang bekerja di bawah pemilik perusahaan transportasi online) lebih mudah untuk menemukan alamat yang akan dituju oleh konsumen.
Bentuk peta digital melalui digitalisasi peta ini merupakan lingkup dari jenis-jenis ciptaan yang dilindungi melalui Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Cipta. Hal tersebut pada dasarnya dapat merujuk pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta, di mana pada pasal tersebut ditentukan bahwa “peta adalah suatu jenis ciptaan yang dilindungi berdasarkan pada perspektif Hak Cipta.”1 Hal ini demikian membuat peta merupakan salah satu jenis di antara jenis ciptaan yang diperhitungkan berhak untuk memperoleh perlindungan terhadap keberadaannya di masyarakat. Perlu diketahui bahwa, yang dimaksud dengan peta dalam ketentuan di atas dapat ditemukan pada penjelasan ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf i Undang-Undang Hak Cipta yang menentukan bahwa: “Yang dimaksud dengan ‘peta’ adalah suatu gambaran dari unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu, baik melalui media digital maupun non digital.” Sehingga, berdasarkan pada ketentuan tersebut di atas maka peta digital yang merupakan hasil dari digitalisasi peta adalah suatu jenis ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Sehubungan dengan itu, maka peta digital sebagai hasil dari proses digitalisasi pada era modernisasi seperti saat ini adalah suatu jenis ciptaan di antara jenis ciptaan lainnya memiliki potensi untuk dilindungi.
Pencipta dan pemegang hak peta digital melalui digitalisasi peta pada dasarnya memiliki 2 (dua) hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral berhubungan dengan hak yang memiliki keterkaitan dengan diri pencipta yang menyebabkan dari segala bentuk ciptaannya wajib dicantumkan nama pencipta. Kemudian, untuk hak ekonomi berkaitan dengan keuntungan yang diperoleh melalui status sebagai pencipta maupun pemegang Hak Cipta terhadap karya ciptaannya. Disamping itu, melalui hak ekomomi tersebut, baik berkedudukan sebagai pihak pencipta maupun sebagai pihak pemegang Hak Cipta memiliki kewenangan dalam hal mengizinkan maupun melarang pihak selain pihak pencipta maupun pihak pemegang Hak Cipta untuk mempublikasikan maupun memperbanyak ciptaannya dengan melalui lisensi. 2 Berdasarkan pada hak ekonomi tersebut, kepada pihak pencipta peta digital melalui digitalisasi peta berhak melarang pihak lainnya baik untuk mengumumkan maupun memperbanyak dengan membuat peta digital yang sama dengan peta digital yang sebelumnya telah dibuat. Begitu pula sebaliknya, dengan adanya hak eksklusif tersebut, pihak pencipta maupun pihak pemegang Hak Cipta dapat memberi dispensasi kepada pihak yang berkepentingan dalam rangka mengumumkan, atau memperbanyak tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku terkait dengan penciptaan terhadap peta digital.
Perkembangan terhadap peta digital melalui digitalisasi peta memberikan dampak positif dalam meningkatkan perekonomian di masyarakat, akan tetapi dengan kemudahan yang telah ditawarkan oleh peta digital tersebut pada dasarnya tidak
menutup kemungkinan menimbulkan terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat. Timbulnya suatu konflik terkait dengan keberlakukan peta digital dalam kehidupan masyarakat, di mana keadaan tersebut tidak menutup kemungkinan dapat terjadi antara perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi online. Seperti halnya dengan kasus yang terjadi antara perusahaan transportasi online Grab dengan Go-Jek yang terjadi di Singapura. Grab menduga bahwa Go-Jek telah meniru titik-titik penjemputan bagi penumpangnya yang telah dibuat sedemikian rupa oleh Grab melalui peta digital miliknya.
Kasus ini pada mulanya terjadi akibat dari adanya dugaan pelanggaran hak cipta peta digital milik Grab yang dilakukan oleh Go-Jek. Keadaan demikian terjadi karena pada tanggal 29 Nopember 2018 Go-Jek resmi merilis aplikasi beta di Singapura. Terdapat beberapa pihak menyebutkan bahwa tampilan peta digital di aplikasi Go-Jek mirip dengan Grab. Seorang pengacara komersial di Singapura, Wayne Ong mengatakan bahwa dugaan Go-Jek meniru tampilan peta digital milik Grab kemungkinan bukan perbuatan kriminal, akan tetapi Grab dapat mengajukan klaim atas pelanggaran, apabila Hak atas Kekayaan Intelektual itu disalin. Pengacara lainnya dari Consigclear di Singapura yakni Adrian Kwong menyatakan bahwa penyalinan tersebut sangat memungkinan untuk Grab mengajukan klaim Hak Atas Kekayaan Intelektual. Adapun opsi yang diduga telah dilanggar oleh Go-Jek adalah terkait titik penjemputan yang mirip dengan titik penjemputan yang telah dimiliki oleh Grab pada peta digitalnya. Sehubungan dengan kasus tersebut, sampai saat ini kasus dugaan pelanggaran Hak Cipta tersebut masih pada tahap dugaan telah terjadi pelanggaran Hak Cipta, sebagaimana ditelusuri melalui media internet, kasus ini masih berada pada tahap dugaan adanya pelanggaran Hak Cipta, pihak Grab yang merasa dirugikan atas kasus ini belum melalukan proses lebih lanjut terkait penyelesaian kasus tersebut.3 Apabila kasus ini diproses lebih lanjut oleh pihak Grab, maka berdasarkan pada letak di mana kasus ini terjadi maka hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi adalah hukum yang berlaku di Singapura. Secara spesifik instrument hukum yang digunakan dalam kasus tersebut adalah Copyrights Act Singapore 1987 (Undang-Undang Hak Cipta Singapura tahun 1987. Berdasarkan pada Undang-Undang Hak Cipta Singapura peta diklasifikasikan sebagai karya sastra sebagaimana ditentukan dalam Bagian 11 penjelasan Pasal 205 ayat (2) yang menetukan bahwa “karya sastra meliputi peta, bagan, rencana, tabel, dan kompilasi”. Karya sastra tersebut keseluruhannya berbentuk digital. Merujuk pada pasal tersebut, maka terkait dengan pengaturan Hak Cipta peta di Singapura, pasal demikian dapat dijadikan sebagai landasan yuridis dalam pengaturan hukum peta digital di Indonesia.
Peta digital merupakan salah lingkup cakupan dari jenis ciptaan pada dasarnya telah dilindungi oleh undang-undang. Peta digital dapat dipandang sebagai Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System). 4 Hak ekonomi terikat kepada pencipta maupun pada pemegang hak cipta terhadap peta digital, pada dasarnya memiliki hak untuk tidak mengizinkan maupun melakukan pelarangan kepada pihak lainnya untuk memperbanyak ciptaannya melalui pembuatan bentuk peta digital yang sama dengan peta digital yang telah dibuat lebih dahulu oleh pihak pertama. Melalui
hak ekonomi tersebut secara otomatis dapat membatasi pergerakan pihak lainnya untuk meniru bentuk dari peta digital yang telah diciptakannya.
Sehubungan dengan perkembangan peta melalui digitalisasi peta yang semula peta berbentuk non-digital menjadi peta digital yang merupakan suatu penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan di masyarakat, di mana pengaturan mengenai perkembangan peta digital melalui digitalisasi peta tersebut belum banyak diketahui oleh akademisi maupun masyarakat pada umumnya tentang hal tersebut. Disamping itu, jika dalam perkembangan peta digital melalui digitalisasi peta tersebut ditemukannya suatu tindakan pelanggaran oleh pihak lain, sehubungan belum diaturnya secara tegas mengenai pengaturan digitalisasi peta, dapat pula menyebabkan timbulnya kekosongan norma dalam menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Adapun tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji mengenai adanya kekosongan norma dalam pengaturan digitalisasi peta dan pengaturan sanksi hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap digitalisasi peta.
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang di atas, maka permasalahan hukum yang dikaji dan dianalisis dalam penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji mengenai timbulnya kekosongan norma terkait dengan pengaturan digitalisasi peta dalam Undang-Undang Hak Cipta, beserta dengan sanksi hukum yang dapat diberikan kepada para pelanggar terhadap timbulnya pelanggaran dalam digitalisasi peta.
-
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam rangka penulisan artikel adalah penelitan hukum normatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji mengenai adanya kekosongan norma dalam pengaturan digitalisasi peta dan pengaturan sanksi hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap digitalisasi peta. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach)5 dan pendekatan analisis konseptual (the analytical & conceptual) 6. Adapun teknik penelusuran bahan hukum yang digunakan dalam penulisan artikel ini yakni menggunakan teknik studi dokumen yang dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan maupun literatur-literatur hukum yang berhubungan dengan digitalisasi peta. Sedangkan terkait dengan metode analisis bahan hukum yang diaplikasikan dalam penulisan artikel ini adalah menggunakan teknik deskripsi dan teknik sistematisasi dengan menggunakan analisis kualitatif. Teknik analisis data adalah teknik analisis kualitatif. Analisis ini dilakukan dengan mendeskripsikan permasalahan normatif yang diajukan dan dianalisis dengan bantuan beberapa interpretasi dan pendekatan yang dipilih.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Hukum Mengenai Digitalisasi Peta Ditinjau dari Perspektif Hak
-
Cipta
-
3.1.1 Ruang Lingkup Ciptaan yang Dilindungi
Perlu diketahui bahwa, Undang-Undang Hak Cipta menentukan secara tegas mengenai ruang lingkup dari Hak Cipta yang dapat memperoleh perlindungan. Ruang lingkup yang dimaksud tersebut hanya sebatas pada bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hal ini mengartikan bahwa ciptaan yang berada di luar dari ketiga ruang lingkup tersebut secara otomatis tidak akan mendapatkan perlindungan terhadap hak cipta.
Berdasarkan pada ketiga ruang lingkup tersebut, maka dapat ditentukan mengenai jenis ciptaan yang termasuk dalam cakupan dari ciptaan yang dilindungi. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta ditentukan mengenai jenis-jenis ciptaan yang dilindungi. Adapaun bentuk-bentuk ciptaan dilindungi sebagaimana dimaksud di atas, antara lain7 “a). Buku, pamphlet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; b). Ceramah, kuliah, pidato, ciptaan sejenis lainnya; c). Alat peraga yang dibuat kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d). Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; e). Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim; f). Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; g). Karya seni terapan; h). Karya arsitektur; i). Peta; j). Karya seni batik atau seni motif lain; k). Karya fotografi; l). Potret; m). Karya sinematografi; n). Terjemahan, tafsir, sanduran, bunga rampai, basis data adaptasi aransemen, modikiasi dan karya lain dari hasil transformasi; o). Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; p). Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainya; q). Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; r). Permainan video; dan s). Program Komputer.”
Selain lingkup cakupan bentuk ciptaan yang memperoleh perlindungan sebagaimana diatur pada Undang-Undang Hak Cipta, secara singkat berdasarkan pada Pasal 1 The Universal Copyright Convention (Konvensi Internasional Hak Cipta) menentukan bahwa “ciptaan yang dilindungi adalah bidang kesusteraan, ilmu pengetahuan, dan pekerjaan seni yang di dalamnya termasuk karya tulis, musik, drama, sinematografi, lukisan, pahatan, serta patung. “8
Berdasarkan pada penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf i Undang-Undang Hak Cipta menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan “peta” adalah suatu gambaran dari unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu, baik melalui media digital maupun non digital.” Sehubungan dengan peta merupakan salah satu cakupan dari ciptaan yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta, begitu pula definisi peta yang disajikan dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta yang menentukan peta digambarkan baik melalui media digital maupun non digital, maka dapat disimpulkan
bahwa peta yang berbentuk non digital maupun peta yang berbentuk digital dapat dilindungi melalui Hak Cipta.
Digitalisasi merupakan suatu proses melakukan perubahan terhadap berbagai bentuk informasi, seperti: angka, kata, gambar, suara, data, dan gerak yang dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit) yang selanjutnya dimungkinkan untuk dapat melakukan manipulasi dan transformasi terhadap data (bitstreaming), sekaligus melakukan penggandaan, pengurangan, maupun penambahan. Sehubungan dengan pengaturan hukum terhadap digitalisasi peta, pada dasarnya di dalam peraturan perundang-undang di Indonesia belum ditemukan secara tegas mengenai hal tersebut. Salah satu tujuan hukum menurut ajaran Gustav Radbruh memberikan kepastian, namun terkait dengan digitalisasi peta yang belum diatur secara tegas, dapat diartikan telah terjadi ketidakpastian hukum dalam pengaturan digitalisasi peta, dengan kata lain timbul adanya kekosongan norma dalam pengaturan digitalisasi peta. Sehingga, perlu dilakukannya penemuan hukum untuk mengisi kekosongan norma yang sedang terjadi.
Perlu diketahui bahwa, dalam hal menghadapi terjadinya suatu kekosongan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu, maka pada umumnya digunkan metode penemuan hukum. Adapun metode penemuan hukum yang dimaksud yakni metode interpretasi dan metode konstruksi hukum. Terkait dengan adanya kekosongan norma dalam pengaturan digitalisasi peta, maka metode interpretasi yang digunakan adalah metode interpretasi sistematis (logis) yang diartikan sebagai penafsiran dilakukan dengan mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya.9 Seperti hal nya dengan merujuk pada salah satu peraturan yang mengatur mengenai Hak Cipta, maka peraturan tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan terhadap pengaturan hukum digitalisasi peta. Pengaturan hukum tersebut pada dasarnya dapat ditemukan pada penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf i Undang-Undang Hak Cipta pada intinya memberi penjelasan mengenai definisi dari peta itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) huruf i Undang-Undang Hak Cipta menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘peta’ adalah sistem gambaran dari unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu, baik melalui media digital maupun non digital.” Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut, di mana peta yang dimaksud memiliki 2 (dua) bentuk perwujudan, di mana sebagaimana ditentukan pada pasal tersebut peta dapat digolongkan sebagai peta yang berbentuk peta non digital dan digital. Sehubungan dengan digitalisasi peta, maka peta yang dimaksud merujuk pada pasal tersebut adalah peta berbentuk digital. Perlu diketahui bahwa, yang dimaksud dengan peta digital merupakan wujud dari fenomena
geografik yang disimpan, kemudian ditampilkan serta dianalisis oleh komputer digital.10
Ditinjau dari perspektif Hak Cipta, pada dasarnya terkait dengan pengaturan terhadap digitalisasi peta, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika merujuk pada pasal yang dimaksud di atas, maka peta digital dikualifikasikan sebagai peta dan dapat dilindungi melalui hak cipta. Ketentuan tersebut pada dasarnya sudah cukup untuk dapat dikatakan sebagai landasan yuridis terkait dengan pengaturan peta. Hal ini dikarenakan peta digital sendiri merupakan peta yang berbentuk digital, seperti yang telah ditentukan pada penjelasan pasal yang mengatur mengenai definisi dari peta itu sendiri. Pasal tersebut dapat dijadikan sebagai landasan yuridis terhadap pengaturan digitalisasi peta, sebab di dalam penjelasan pasal yang dimaksud memuat mengenai peta berbentuk digital maupun non digital, di mana peta berbentuk digital itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil dari adanya proses digitalisasi peta.
Perlu diketahui bahwa, lebih lanjut peta didefinisikan sebagai suatu bentuk dari informasi elektronik dan dokumen elektronik berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menentukan bahwa “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Peta khususnya peta digital tidak hanya merupakan suatu informasi elektronik, akan tetapi peta digital dikategorikan sebagai dokumen elektronik. Hal tersebut dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menentukan bahwa “Dokumen Elektronik adalah setiap informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar atau melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Merujuk pada kedua pasal tersebut, di mana peta digital sendiri dapat digambarkan berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik.
Selain menggunakan metode interpretasi, dapat pula digunakan metode konstruksi hukum yakni salah satunya analogi. Metode analogi didefinisikan sebagai metode penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya dalam bentuk hukum lain.11 Terkait dengan
kekosongan norma dalam pengaturan digitalisasi peta, dapat menggunakan metode analogi dengan mengkaitkan Pasal 25 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menentukan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Merujuk pada pasal di atas, dengan menggunakan metode analogi peta sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, peta adalah suatu bentuk dari Informasi Elektronik dan Dokumen Eletronik, di mana dalam perspektif Hak Cipta, peta dikategorikan sebagai suatu bentuk ciptaan dilindungi. Sehingga, peta tidak hanya dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta itu sendiri, melainkan peta pula dapat dikatakan memperoleh pengakuan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi.
Kehadiran dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik turut andil dalam memberikan perlindungan terhadap peta. Peraturan tersebut memandang bahwa peta merupakan perwujudan dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Hal tersebut diperkuat pula dengan merujuk pada penjelasan Pasal 25 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menentukan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun dan didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi oleh Undang-Undang ini dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.”
Apabila merujuk pada Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di atas, jika diambil dari kata elektronik dari kedua pasal di atas, maka dapat diformulasikan bahwa peta yang dimaksud dalam pasal tersebut pada dasarnya merupakan peta yang berbentuk digital. Peta yang menjadi salah satu bentuk dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elekrtonik tersebut, merupakan peta yang diperoleh melalui proses digitalisasi peta. Sehingga, kedua pasal tersebut dapat dikatakan pula sebagai regulasi dalam pengaturan terhadap digitalisasi peta yang sebelumnya telah ditemukan pula dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf a Undang-Undang Hak Cipta.
Meskipun demikian, di antara kedua peraturan perundang-perundangan di atas secara tidak langsung menggambarkan mengenai pengaturan digitalisasi peta, akan tetapi dapat dikatakan belum mencerminkan kepastian hukum terhadap pengaturan digitalisasi peta. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan tersebut belum mengatur secara mendasar mengenai digitalisasi peta, sehingga kepastian hukum belum dapat dikatakan terwujud. Merujuk pada konsep “Ajaran Prioritas Baku” yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yakni salah satunya adalah kepastian hukum, menurut konsep tersebut kepastian hukum dipandang memiliki fungsi utama sebagai peraturan yang hendak ditaati oleh setiap orang. Selain itu, kepastian hukum dimaknai pula sebagai kejelasan terhadap suatu norma tertentu yang dapat dijadikan pedoman oleh masyarakat sebagai pihak yang dijadikan sebagai objek dalam pemberlakukan peraturan tersebut.12
Berdasarkan pada asas kepastian hukum tersebut, terkait dengan pengaturan digitalisasi peta, dapat dikatakan bahwa belum terwujudnya kepastian hukum dalam pengaturan digitalisasi peta, dengan alasan bahwa belum dibentuknya suatu perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam hal digitalisasi peta tersebut, sehingga secara otomatis tidak ada peraturan yang harus ditaati oleh setiap orang terkait dengan digitalisasi peta. Agar terwujudnya kepastian hukum dalam pengaturan digitalisasi peta, maka pembuat undang-undang harus segera membentuk peraturan yang khusus mengatur mengenai digitalisasi peta, sehingga kepastian hukum dapat terwujud di dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula pembuat undang-undang dapat menerapkan instrument hukum dari negara lain dalam hal terjadinya kekosongan norma dalam pengaturan digitalisasi peta, salah satunya mengadopsi Undang-Undang Hak Cipta Singapura 1987 khususnya pada Bagian 11 penjelasan Pasal 205 ayat (2) yang mengatur karya sastra meliputi peta, bagan, rencana, tabel, dan kompilasi. Keseluruhan karya sastra yang dimaksud tersebut berupa karya sastra berbentuk digital.
Merujuk pada pemaparan penjelasan di atas, maka dapat ditentukan bahwa dengan menerapkan metode interpretasi dan metode analogi mengenai pengaturan terhadap digitalisasi peta ditinjau dari perspektif Hak Cipta, secara sementara dapat merujuk pada penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf i Undang-Undang Hak Cipta dan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sehingga, dapat dikatakan terdapat 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang dapat dipandang memberikan regulasi sementara dalam pengaturan terhadap digitalisasi peta yang ditinjau dari sudut pandang Hak Cipta. Akan tetapi, demi terwujudnya kepastian hukum dalam pengaturan digitalisasi peta, maka alangkah baiknya kedepannya para pembuat undang-undang dengan segera untuk membentuk regulasi khusus yang mengatur mengenai digitalisasi peta dengan berpedoman pada kedua peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan di atas.
-
3.2 Sanksi Hukum Bagi Pihak yang Melanggar Pengaturan Hukum Digitalisasi Peta Ditinjau dari Perspektif Hak Cipta
Berbagai macam bentuk pelanggaran yang sering terjadi dalam ruang lingkup Hak Cipta. Pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi sebagian besar memberikan dampak negatif kepada pihak yang berkepentingan. Dampak negatif tersebut muncul dari dilakukannya pelanggaran yang menimbulkan kerugian bagi pihak berkepentingan. Kerugian yang dikatakan disini memiliki makna sebagai kerugian secara materiil maupun secara imateriil. Sebagai pihak yang dirugikan atas terjadinya suatu pelanggaran, maka perlu untuk terlebih dahulu mengetahui mengenai wujud tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dimaksud di atas yakni sebagai berikut.13
-
1. Infringement
Pelanggaran Hak Cipta atau yang biasa disebut sebagai infringement. Menurut pandangan dari Henry Campbell Black mengenai Infringement of Copyright dipandang menggunakan cara melawan hukum terhadap suatu materi tertentu yang sebelumnya telah memperoleh perlindungan dari Hak Cipta. Salah satu contoh dari Infringement adalah Copying yang merupakan suatu tindakan yang disengaja untuk melakukan produksi maupun duplikasi terhadap suatu ciptaan, seperti menggunakan mesin foto kopi, maupun mengoperasikan media perekam baik audio maupun video. Infringement merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam bidang Hak Cipta yang dilakukan melalui proses produksi maupun duplikasi dengan menggunakan mesin foto kopi.
-
2. Non Literal Coppying
Selain pelanggaran terhadap Hak Cipta berupa Infringement, terdapat pula bentuk pelanggaran lainnya, yakni Non Literal Coppying merupakan tindakan yang bertujuan untuk melakukan penyusunan kembali atas suatu ciptaan baru yang didasarkan pada bahan-bahan yang berasal dari ciptaan lain. Non Literal Coppying merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam bidang Hak Cipta yang dilakukan dengan menyusun kembali bahan-bahan yang diambil dari ciptaan lain menjadi suatu ciptaan yang baru.
-
3. Plagiat (Peniruan)
Plagiat atau disebut juga sebagai peniruan merupakan suatu bentuk pelanggaran dengan ditemukannya kemiripan terhadap “ide” yang dilakukan dengan peniruan terhadap “ide” dari orang lain yang lahir terlebih dahulu, baik yang tidak didaftarkan maupun yang telah didaftarkan. Plagiat atau peniruan merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam bidang Hak Cipta yang dilakukan dengan meniru suatu ide yang terlebih dahulu dimiliki oleh orang lain.
-
4. Penggelapan Hak Cipta Terkait dengan Hak Moral
Penggelapan Hak Cipta yang berhubungan dengan Hak Moral pada dasarnya merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak yang melekat secara pribadi pada diri pencipta atas ciptaannya dengan tidak menghormati hak-hak moral yang telah diatur secara tegas pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta. Penggelapan Hak Cipta Terkait dengan Hak Moral merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi dalam bidang Hak Cipta yang dilakukan melanggar hak yang melekat secara pribadi dari seorang pencipta terhadap ciptaan yang dimilikinya dengan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak moral yang pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang memungkinkan dapat terjadi dalam ruang lingkup Hak Cipta, yaitu: Infringement, Non Literal Coppying, Plagiat (Peniruan), dan Penggelapan Hak Cipta terkait dengan Hak Moral.
Perlindungan terhadap suatu ciptaan agar dapat memperoleh perlindungan secara maksimal, maka sangat perlu melakukan suatu upaya-upaya tertentu. Adapun salah satu upaya yang dimaksud dalam perlindungan dalam pengaturan digitalisasi peta, apabila terdapat orang lain yang memiliki itikad tidak baik untuk melakukan pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta tersebut, sudah sepatutnya orang
tersebut wajib dikenakan sanksi yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannnya. Tujuan dari pemberian sanksi tersebut dalam rangka mewujudkan perlindungan terhadap suatu ciptaan yang telah diciptakan oleh seseorang sebelumnya. Menurut pandangan L.J. Taylor dari bukunya yang berjudul “Copyrights for Librarians” berpandangan bahwa “Hak Cipta hanya melindungi kandungan ekspresi yang terdapat dalam sebuah ide, sehingga bukanlah untuk melindungi ide itu sendiri.” Lebih jelas dapat dikatakan bahwa Hak Cipta memberikan perlindungan kepada suatu karya ciptaan apabila telah berbentuk nyata, bukan dalam bentuk gagasan semata.14
Pandangan dari L.J Taylor tersebut pada dasarnya sama dengan unsur dasar suatu karya dapat dikatakan sebagai ciptaan. Unsur-unsur yang dimaksud, yaitu: a. Hasil ciptaan berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun sastra; b. Diciptakan berdasarkan pada kepribadian seseorang seperti insiprasi, kemampuan, keterampilan, atau keahlian; dan c. Diekspresikan dalam bentuk nyata.15 Selain itu, terhadap pihak pencipta, agar karyanya memperoleh perlindungan dengan maksimal, maka pihak yang bersangkutan wajib memenuhi unsur substantif, yaitu: originalitas, kreativitas, dan fiksasi.16
Indikator agar suatu peta digital mendapat perlindungan, maka diharuskan terlebih dahulu berbentuk nyata. Jika ada pihak lain yang melanggarnya, dapat diberlakukannya sanksi hukum tertentu yang dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi pihak yang melakukan pelanggaran, disamping itu juga memberikan perlindungan kepada pihak yang secara sah sebagai pemilik Hak Cipta untuk mendapatkan tindakan pemulihan atas terjadinya suatu pelanggaran. Sanksi hukum sebagai bentuk perwujudan dari perlindungan terhadap Hak Cipta didasarkan atas penyimpangan yang dilakukan terhadap pembatasan Hak Cipta yang lazim dianut oleh Negara Indonesia yakni menggunakan fair use/fair dealing.17
Perlu diketahui bahwa, konsep perlindungan hukum yang dikenal dalam perspektif Hak Cipta menggunakan asas deklaratif yang mengartikan bahwa Hak Cipta memperoleh perlindungan hukum secara otomatis pada saat ciptaan telah berwujud (dilahirkan) tanpa harus melalui prosedur pendaftaran. 18 Selain itu terdapat pula konsep perlindungan hukum terhadap Hak Cipta lainnya, seperti: 1). Suatu Hak Cipta pada dasarnya timbul secara otomatis; 2). Suatu Hak Cipta tidak selamanya perlu didaftarkan dalam memperoleh perlindungan; 3). Hak Cipta terhadap suatu Ciptaan
dipandang sebagai hak yang diakui oleh hukum; serta 4). Hak Cipta pada dasanya tidak bersifat mutlak (absolut).19
Perlindungan hukum terhadap Hak Cipta tanpa melalui prosedur pendaftaran merupakan perwujudan dari diberlakukannya Reward Theory yang dicetuskan oleh Robert C. Sherwood. Teori tersebut menjelaskan bahwa pencipta atau penemu dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, maupun pada bidang teknologi baru yang diperoleh dari hasil inovasi dan dapat pula digunakan pada lingkup bidang industri, selanjutnya diserahkan suatu penghargaan, pengakuan, dan perlindungan terkait dengan keberhasilannya dalam melahirkan ciptaan yang memiliki nilai kebaruan.20 Berdasarkan teori tersebut pula pencipta mendapatkan imbalan terhadap karya intelektual sebagai pengakuan dan penghargaan atas upaya kreatifnya.21
Berdasarkan pada Reward Theory, maka bagi pihak lainnya yang telah melakukan pelanggaran Hak Cipta terhadap digitalisasi peta, di mana untuk memberikan perlindungan atas timbulnya pelanggaran tersebut, maka pihak tersebut wajib dikenakan sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya kepada pemegang peta digital melalui digitalisasi peta, baik sanksi perdata maupun sanksi pidana dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Sehingga, teori reward/penghargaan dapat berlaku secara maksimal dalam memberikan perlindungan atas kepemilikan Hak Cipta digitalisasi peta.
Apabila ditinjau dari perspektif Hak Cipta, pada dasarnya Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur secara tegas mengenai sanksi hukum yang dapat diberikan bagi pihak-pihak melakukan pelanggaran dalam ruang lingkup Hak Cipta pada umumnya, akan tetapi sanksi hukum bagi pihak yang melakukan pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta belum diatur secara tegas. Jika terjadi pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta, sementara sanksi hukum yang dapat dikenakan dalam pengaturan terhadap digitalisasi peta, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa sanksi perdata maupun pidana yang didasarkan pada sisi kerugian yang diperoleh dari pemegang peta digital.
-
a. Sanksi Perdata
Sanksi perdata pada dasarnya timbul akibat dari kerugian secara materiil yang diderita oleh pihak yang secara sah sebagai pemegang Hak Cipta dalam digitalisasi peta. Pada dasarnya Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur terkait dengan sanksi perdata dalam pelanggaran Hak Cipta. Sanksi tersebut secara tegas ditentukan pada Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta menentukan bahwa “Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.” Legal standing (kedudukan hukum) yang dapat dijadikan sebagai landasan yuridis dalam
mengajukan permohonan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga yakni dengan menggunakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut sebagai KUH Perdata menentukan bahwa “Tiap perbuatan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Merujuk pada pasal di atas, maka pihak yang dirugikan atas terjadinya pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta berhak mengajukan permohonan gugatan ganti rugi atau gugatan secara perdata dengan berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata.
-
b. Sanksi Pidana
Pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta, selain dapat dikenakan sanksi perdata dapat pula dikenakan sanksi pidana. Terkait dengan pengaturan digitalisasi peta, dalam praktiknya proses digitalisasi peta yang hasilnya berupa peta digital banyak dilakukan penggandaan atau plagiasi yang diwujudkan dengan meletakkan titik koordinat dalam suatu peta digital sama dengan peta digital yang telah memperoleh perlindungan. Hal tersebut mengakibatkan titik koordinat dari pemilik peta digital yang satu dengan titik koordinan pemilik peta digital lainnya sama, sehingga terindikasi telah terjadi penggandaan atau plagiasi terhadap titik koordinat dalam peta digital.
Apabila dihubungkan dengan sanksi pidana sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta, maka jika terjadi pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta dengan melakukan penggandaan atau plagiasi ciptaan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan pada Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta yang menentukan bahwa “Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sanksi hukum yang dapat dikenakan jika terjadi pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta ditinjau dari perspektif Hak Cipta, maka pihak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi perdata berupa ganti rugi secara materiil sebesar jumlah kerugian yang diderita dengan berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, serta dapat pula dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta yakni dikenakan “pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun disertai dengan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
-
4. Kesimpulan
Kekosongan norma mengenai pengaturan terhadap digitalisasi peta ditinjau dari perspektif Hak Cipta dapat dilandaskan pada Penjelasan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf i Undang-Undang Hak Cipta dan Pasal 1 angka 1 serta angka 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, begitu pula dapat mengadopsi Undang-Undang Hak Cipta Singapura 1987 khusus pada Bagian 11 penjelasan Pasal 205 ayat 2 yang mengatur mengenai karya sastra. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran dalam pengaturan digitalisasi peta, maka untuk sanksi hukum bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap pengaturan digitalisasi peta ditinjau dari perspektif Hak Cipta,
sehingga pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi perdata dalam bentuk ganti kerugian sebesar kerugian yang diderita oleh pihak yang secara sah sebagai pemilik Hak Cipta dalam digitalisasi peta dengan berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, maupun sanksi pidana yang berdasarkan pada Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta dengan ancaman “pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun disertai dengan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).” Rekomendasi yang dapat diberikan terkait dengan permasalahan hukum yang telah dipaparkan di atas yakni diharapkan kepada pembuat undang-undang mampu untuk memaksimalkan pengaturan terhadap digitalisasi peta maupun sanksi hukum jika terjadi pelanggaran dengan membuat regulasi yang baru atau menambahkan beberapa poin kepada regulasi yang telah ada dengan mengadopsi instrumen hukum yang berlaku di negara lain, sehingga kedepannya mampu mewujudkan kepastian hukum di masyarakat serta dapat memberikan perlindungan secara maksimal kepada pihak-pihak yang secara sah memiliki hak dalam digitalisasi peta untuk dapat melakukan proteksi secara maksimal atas peta digital yang dimilikinya.
Daftar Pustaka
Bounty, Sarah Nurainy. “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Karakter Fiksi Literatur Dan Grafis Di Indonesia.” Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 2015.
Chosyali, Achmad. “PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA BUKU PENGETAHUAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA.” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2018): 49–66.
Dharmawan, Ni Ketut Supasti;, Wayan; Wiryawan, Ngakan Ketut; Dunia, I.B. Putra; Atmadja, A. A; Sri Indrawati, Ida Ayu; Sukihana, A. A. Sagung Wiratni; Dharmadi, Nyoman; Mudana, Wayan; Darmadha, and Kurniawan. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia. Denpasar: Swasta Nulus, 2018.
Diantha, I Made Pasek, and M S SH. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2016.
Hidayah, Khoirul. “Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Malang.” Malang: Setara Press, 2018.
Jannah, Maya. “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Haki) Dalam Hak Cipta Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Advokasi 6, no. 2 (2018): 55–72.
https://doi.org/10.36987/jiad.v6i2.250.
Juanda, Enju. “Konstruksi Hukum Dan Metode Interpretasi Hukum.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 4, no. 2 (2017): 168–80. https://doi.org/10.25157/jigj.v4i2.322.
Mailangkay, Ferol. “Kajian Hukum Tentang Hak Moral Pencipta Dan Pengguna Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” Lex Privatum 5, no. 4 (2017): 138–44.
Mawar, Sitti. “Metode Penemuan Hukum (Interpretasi Dan Konstruksi) Dalam Rangka Harmonisasi Hukum.” Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-Undangan Dan Pranata Sosial 1, no. 1 (2020): 22–38.
https://doi.org/10.22373/justisia.v1i1.2558.
Nugraha, Deny Wiria. “Perancangan Sistem Informasi Geografis Menggunakan Peta Digital.” Jurnal Ilmiah Foristek 2, no. 1 (2012): 117–25.
Prayogo, Tony. “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang.” Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 2 (2018): 191–201.
Rois, Muhammad Fahmi, and Kholis Roisah. “Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Kerajinan Kuningan Tumang.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 3 (2018): 401–19.
Sari, Indah. “KEDUDUKAN HAK CIPTA DALAM MEWUJUDKAN HAK EKONOMI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS.” JURNAL ILMIAH M-PROGRESS 6, no. 2 (2016): 77–97. https://doi.org/10.35968/m-pu.v6i2.173.
Sawitri, Dewa Ayu Dian, and Ni Ketut Supasti Dharmawan. “Perlindungan Transformasi Karya Cipta Lontar Dalam Bentuk Digitalisasi.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 5, no. 2 (2020): 298–308.
Sudjana, Sudjana. “Sistem Perlindungan Atas Ciptaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Dalam Perspektif Cyber Law.” Veritas et Justitia 2, no. 2 (2016): 253–77.
Sutyowati, Desy. “Luncurkan Aplikasi Di Singapura, Gojek Contek Peta Grab? -Katadata.Co.Id.” Katadata, 2018.
Utama, Arya, Titin Titawati, and Aline Febryani Loilewen. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK CIPTA LAGU DAN MUSIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004.” GANEC SWARA 13, no. 1 (2019): 78–83.
Yanto, Oksidelfa. “Konsep Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik Dalam Bentuk VCD Dan DVD).” Yustisia Jurnal Hukum 4, no. 3 (2015): 746–60.
https://doi.org/10.20961/yustisia.v4i3.8706,.
Peraturan Perundang-undangan
Subekti, R & Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843, dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).
63
Discussion and feedback