DESA ADAT SEBAGAI SUBYEK HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KOMUNAL

I Kadek Adhi Jana Wiguna, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: adhijanawiguna@gmail.com

I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: masjayantiari@unud.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang penunjukan desa adat sebagai subyek hukum kepemilikan bersama atas tanah dan implikasi yuridis mengenai hak tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan kajian yang memfokuskan pada suatu norma dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian memberikan jawaban bahwa penunjukan tanah druwe sebagai hak milik bersama (komunal) oleh Kepmen ATR/Ka BPN No.575/2019 yang kemudian diperkuat dalam Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat dalam Pasal 10 ayat (2) memberikan legitimasi hubungan antara desa adat dan tanah druwe berupa hak milik. Penunjukan desa adat sebagai subyek hak milik bersama (hak komunal) atas tanah druwe memberikan implikasi yang kontradiktif. Sebagaimana tanah druwe dapat disertifikatkan yang memberikan kekuatan alat bukti kepemilikan dan nantinya dapat dikerjasamakan untuk perolehan manfaat ekonomi dan berpotensi pemanfaatan sertifikat tanah druwe yang merugikan.

Kata kunci: Desa Adat, Hak Komunal, Tanah Druwe.

ABSTRACT

This study aims to determine the background of the designation of desa adat as legal subjects of joint ownership of land and the juridical implications of these rights. This study uses a normative legal research method with a study that focuses on a norm with a statutory and conceptual approach. The results of the study provide an answer that the designation of tanah druwe as joint property (communal) by the Kepmen ATR/Ka BPN No.575/2019 which was later strengthened in the Bali Provincial Regulation No. 4 of 2019 concerning Traditional Villages in Article 10 paragraph (2) legitimates the relationship between desa adat and tanah druwe in the form of property rights. The designation of a desa adat as the subject of collective ownership rights (communal rights) over tanah druwe has contradictory implications. As the tanah druwe can be certified which provides the strength of proof of ownership and can later be cooperated to obtain economic benefits and has the potential to use the tanah druwe certificate which is detrimental.

Keywords: Traditional Village, Communal Rights, Druwe Land.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Berdasarkan konstitusi eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD NRI 1945. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

KMHA yang ada di Bali, terdapat KMHA yang dinamakan Desa Adat melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, selanjutnya disebut Perda Desa Adat. Desa Adat memberikan pengertian dari desa adat, yaitu KMHA yang terikat dengan Kahyangan Tiga dan Kahyangan Desa, mempunyai kedududukan, wilayah, susunan asli, harta kekayaan tersendiri, tradisi hak-hak tradisional, pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun berdasarkan tata krama, dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Ter Haar memiliki suatu pandangan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat merupakan kelompok masyarakat secara teratur bersifat tetap serta memillki kekayaan tersendiri sendiri, baik itu benda yang kelihatan dan tidak kasat mata.1 Salah satu indikator yang menunjukan bahw harta kekayaan sendiri yang dimiliki oleh desa adat sebagai salah satu unsur penentu hidup tidaknya KMHA adat yaitu berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi. Bahwasanya unsur-unsur hidupnya KMHA adat apabila mengandung unsur:

  • 1.    memiliki perasaan kelompok dalam suatu masyarakat;

  • 2.    memiliki pranata pemerintahan adat;

  • 3.    memiliki kekayaan tersendiri;

  • 4.    adanya perangkat norma hukum adat;

  • 5.    mendiami wilayah tertentu, khususnya kesatuan masyarakat hukum adat dengan sifat territorial.

Unsur di atas merupakan unsur yang menjadi parameter ada atau tidaknya suatu KMHA. Tanpa adanya harta kekayaan di dalam KMHA maka secara teoritik KMHA itu telah kehilangan eksistensinya. Demikian berarti bahwa KMHA tidak ada atau hidup.

Harta kekayaan yang dimiliki desa adat dan anggotanya yang disebut krama desa, bahwasanya harta kekayaannya tersebut tidaklah tergabung. Kekayaan yang dimiliki oleh desa adat disebut dengan druwe/padruwe desa yang yang dikualifikasikan dengan beberapa unsur desa adat yakni parhayangan, pawongan, dan palemahan. Jika dijabarkan padruwen desa dalam hal kaitannya dengan ketiga unsur tersebut diantaranya padruwen desa yang berkaitan dengan parhayangan, yakni pura dan kelengkapan lain guna menunjang aktivitas dari parhayangan; padruwe desa yang berkaitan dengan pawongan, yakni pipil krama, awig-awig, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan kelengkapan lain guna menunjang aktivitas pawongan; padruwen desa yang berkaitan dengan palemahan yakni tanah yang dimiliki desa adat dan lingkungan alam desa adat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutanya disebut UUPA), bahwasanya tanah desa di Bali eksistensinya dalam bentuk hak milik dengan sifat turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Dipertegas lagi dengan pernyataan bahwa hak atas druwe atau hak atas druwe desa sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik selama masih memenuhi syarat. Memperhatikan Pasal 21 UUPA bahwa yang dapat menjadi subyek hak milik adalah warga negara dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Lingkup subyek tersebut terdapat penambahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang menunjuk badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan status hak milik, meliputi : (a) bank-bank negara; (b) perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian; (c) badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; dan (d) badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Beberapa ada yang berasumsi bahwa desa adat badan hukum yang dapat memiliki tanah. Hingga tahun 2017 desa adat belum ditunjuk sebagai subyek hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah sehingga berdampak pada ketidakjelasan terhadap tanah-tanah desa. I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari menyatakan bahwasanya kebijakan dalam hukum pertanahan terkait Kesatuan Masyarakat Hukum Adat telah tertuang dalam Pasal 3 UUPA, namun legitimasi terhadap hak masyarakat adat tersebut berlaku limitatif bahkan adanya pengingkaran dalam peraturan peraturan sektoral.2 Kecuali, hak atas tanah bagi Pura (tempat suci agama hindu di Bali) yang telah diakui mulai tanggal 24 September 1986 berdasarkan SK Mendagri No. 556/DJA/1986. I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari juga menyatakan bahwa keberadaan tanah adat akan sangat dipengaruhi oleh berbagai peraturan dan kebijakan dari negara dan hukum adat berupa awig-awig (living law).3

Sebagaimana kemudian sampai diterbitkan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 yang menunjuk desa pakraman (istilah awal desa adat sebelum diundangkanya PERDA Desa Adat) sebagai subyek hak pemilikan bersama (komunal), yang saat ini telah diganti dengan Kepmen ATR/Ka BPN No.575/2019 (Selanjutnya disebut Kepmen Desa Adat). Keputusan tersebut kembali diperkuat dalam Pasal 10 ayat (2) PERDA Desa Adat yang menegaskan bahwasanya tanah druwe dan tanah guna kaya bersifat komunal atau individual.

Konsep hak milik berdasarkan Kepmen Desa Adat menimbulkan beberapa tafsir. Sebagaimana merujuk pada pendapat Van Vollenhoven dalam Alan Noor menyatakan bahwa tanah komunal itu bukan milik desa, tetapi dikuasai oleh desa.4 Dalam UUPA konsep hak milik lebih ke arah pemilikan secara pribadi atau perorangan. Untuk itu menarik untuk diteliti melalui karya tulis dengan judul “DESA ADAT SEBAGAI SUBYEK HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KOMUNAL”. Penelitian sejenis ditulis oleh I Wayan, I Wayan Eka Artajaya, Luh Gede Lilis Widyashanti dengan judul penelitian ”IMPLIKASI PENUNJUKAN DESA ADAT SEBAGAI SUBYEK HAK ATAS TANAH TERHADAP EKSISTENSI TANAH ADAT”. Namun, tulisan ini memiliki pembahasan yang berbeda yakni mengenai landasan yang dijadikan dasar hukum ditunjuknya desa adat sebagai subyek hak dari kepemilikan bersama atas tanah dan implikasi terhadap hak dan kewajiban dari desa adat tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pemaparan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Apa yang menjadi dasar hukum desa adat ditunjuk sebagai subyek hak kepemilikan bersama atas tanah?

  • 2.    Bagaimana implikasi yuridis terhadap hak dan kewajiban desa adat setelah ditunjuk sebagai subyek hak kepemilikkan atas tanah?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana latar belakang penunjukan desa adat sebagai subyek hukum kepemilikan bersama atas tanah dan implikasi yuridis desa adat sebagai subyek hak kepemilikkan bersama atas tanah

II.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang dimana permasalahan yang diajukan dikaji dengan merujuk pada norma yang berlaku baik itu asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Jenis pendekatan yang menunjang penelitian ini diantaranya pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Sumber bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder seperti doktrin-doktrin, buku, jurnal, dan karya tulis lainnya. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Dasar Desa Adat Sebagai Subyek atas Hak Kepemilikan Bersama atas Tanah

Pendekatan secara terminologi bahwa kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia memiliki nama tertentu. Kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali atau Jawa secara terminologi disebut dengan “desa”, perbandingan lain yaitu di Sumatera yang menyebut dirinya dengan “nagari” dan di Lombok menyebut dirinya “dasan”. Kesatuan masyarakat hukum adat di Bali awalnya disebut dengan desa adat berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Terminologi desa adat sempat mengalami perubahan menjadi desa pakraman melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, yang pada akhirnya kembali lagi menggunakan terminologi desa adat melalui Perda Desa Adat.

Desa adat secara definisi diatur dalam Pasal 1 Angka 8 Perda Desa Adat bahwa:

“Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.”

Kriteria-kriteria yang dijelaskan dalam rumusan pasal tersebut memberikan makna bahwa desa adat terikat pada kahyangan tiga atau kahyangan desa, memiliki wilayah tertentu, harta kekayaan secara tersendiri dan memiliki hak untuk mengurus rumah tangga. Deimikian menjadi semakin memperjelas keudukan desa adat sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali.

Tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada umumnya sebagai kekayaan sekaligus tempat tinggal serta tempat bermata pencaharian. Sebagaimana dari segi mistis, masyarakat hukum adat menganggap tanah sebagai tempat tinggal para leluhur sekaligus tempat kuburan atau pemakaman mereka saat meninggal.5

Kekayaan yang dimiliki oleh desa adat disebut dengan druwe/padruwen desa yang yang dikualifikasikan dengan unsur-unsur desa adat yakni parhayangan, pawongan, dan palemahan. Jika dijabarkan padruwen desa dalam hal kaitannya dengan ketiga unsur tersebut diantaranya padruwen desa yang berhubungan dengan parhayangan, yaitu: pura dan berbagai kelengkapan lain untuk menunjang aktivitas parhayangan; padruwen desa yang berhubungan dengan pawongan, yaitu awig-awig, pipil krama, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan berbagai kelengkapan lain untuk menunjang aktivitas pawongan; padruwen desa yang berhubungan dengan palemahan yaitu tanah milik desa adat atau desa pakraman dan lingkungan alam desa pakraman. Hubungan antara desa adat dengan tanahnya secara tradisional merupakan hubungan yang berkonteks hak milik, yang menjadikan tanah-tanah milik desa adat tersebut lazimnya disebut tanah druwe desa, dalam artian tanah milik desa.6 I Ketut Kaler menyatakan bahwa dengan secara nyata tanah-tanah Desa Adat dimanfaatkan untuk sarana dan prasarana seperti tempat ibadah (Pura), kuburan (Setra), lapangan, sekolah, akses jalan di desa dan fasilitas umum lainnya.7

Harta kekayaan desa adat yang berupa tanah disebut juga dengan Tanah Desa, Tanah Desa yang dikuasai oleh desa adat diantaranya:8

  • 1.    Tanah Druwe Desa diperuntukkan kepentingan bersama. Contohnya adalah tanah pasar, tanah lapangan, tanah kuburan, dan tanah pertanian.

  • 2.    Tanah Laba Pura diperuntukan membangun sarana-sarana persembahyangan seperti Pura. Seiring perkembangannya terdapat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 556/DJA/1986 yang memberikan penetapan pura sebagai subyek hukum dan dapat memiliki subyek hak milik atas tanah;

  • 3.    Tanah Pekarangan Desa diperuntukan bagi krama desa (warga desa adat) dengan memanfaatkannya sebagai tempat tinggal dengan dibebani kewajiban berupa tenaga maupun materi kepada desa adat.

  • 4.    Tanah Ayahan Desa (AYDS) wujudnya berupa tanah pertanian yang penggarapannya diserahkan kepada krama desa yang bersangkutan. dengan dibebani kewajiban berupa tenaga dan materi kepada desa adat.

Sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik selama masih memenuhi syarat. Memperhatikan Pasal 21 UUPA bahwa yang dapat menjadi subyek hak milik adalah warga negara dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Lingkup subyek tersebut terdapat penambahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang menunjuk badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan status hak milik, meliputi : (a) bank-bank negara; (b) perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian; (c) badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; dan (d) badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Aspriani dalam kajiannya mengenai ”Status Kepemilikan Tanah Druwe Desa di Bali”, berpandangan bahwa dengan tidak ditunjuknya desa adat sebagai subyek hak milik, menjadikan status kepemilikan desa adat atas tanah menjadi mengambang. Kondisi demikian berdampak merugikan eksistensi dari desa adat, sebab yang terjadi justru tanah-tanah tersebut disertifikatkan atas nama pribadi atau perseorangan.9

Ketidakadaan pengaturan mengenai eksistensi Desa Adat terhadap kepemilikan hak atas tanah yang merupakan harta bendanya bertendensi ironis, sebagaimana Anak Agung Istri Ari Atu Dewi menyatakan bahwasanya eksistensi hak otonom dari Desa Adat yang telah terlegitimasi dalan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dan Pasal 3 UUPA.10 Menelaah dampaknya dari sisi negatif. Kekosongan norma terhadap eksistensi Desa Adat di Bali dengan tanahnya sudah berjalan hampir 60 tahun sejak UUPA diundangkan menimbulkan ketidakpastian hukum.11

Ketidakjelasan status desa adat tersebut juga menyebabkan desa adat kurang berani bertindak terhadap tanah adat begitu juga terkait pengelolaan tanah adat.12 Tokoh-tokoh adat di Bali telah berusaha mengusulkan supaya desa pakraman ditunjuk sebagai subyek hak milik atas tanah. Bahwasanya bertolak belakang Pesamuhan Badan Pembina Lembaga Adat pada September 1982, memberikan usulan kepada Pemerintah agar mengeluarkan penetapan terhadap desa-desa adat dan pura dapat sebagai badan hukum yang memilik hak atas tanah. Upaya demikian pada akhirnya didukung dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dengan Nomor 556/DJA/1986 tertanggal 24 Oktober 1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik.13

Diterbitkannya KEPMEN ATR/Kepala BPN 276/KEP-19.2/X/2017 dimulai dari bersuratnya Gubernur Bali pada tahun 2007 melalui Surat Nomor 590/70/B.Tapem tertanggal 4 Januari 2007 ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) Provinsi Bali. Bersuratnya Gubernur Bali atas dasar upaya pakar Hukum Adat Bali yang mengajukan usul.14

Hasil dari bersuratnya Gubernur Bali tersebut membuahkan hasil pada sepuluh tahun kemudian pada 25 September 2017. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali mengusulkan penunjukan desa adat sebagai subyek hak milik atas tanah kepada Menteri ATR/Kepala BPN dan kurang dari sebulan setelah diterbitkanlah KEPMEN ATR/Kepala BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 yang menunjuk desa adat sebagai subyek hak pemilikan bersama (komunal) atas tanah. Penunjukan demikian telah menjawab aspirasi masyarakat Bali atas keinginan ditunjuknya desa adat sebagai subyek hak milik atas tanah. Sebagaimana saat ini telah diganti menjadi Kepmen Desa Adat yang kemudian diperkuat dalam Pasal 10 ayat (2) PERDA Desa Adat. Berdasarkan Kepmen Desa Adat, Desa Adat dapat melakukan pendaftaran tanah ke kantor Badan Pertanahan

Nasional (yang selanjutnya akan disebut dengan BPN) untuk diterbitkan sertifikat hak milik atas tanah.15

  • 3.2.    Implikasi Yuridis Terhadap Hak Dan Kewajiban Desa Adat Setelah Ditunjuk Sebagai Subyek Hak Kepemilikkan Atas Tanah

Frasa hak komunal atas tanah yang dimaksudkan dalam KEPMEN ATR/Ka. BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 menarik konsep yang termaktub dalam Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada dalam Kawasan Tertentu (selanjutnya disebut Permen Hak Komunal 2016).

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Permen Hak Komunal 2016 ditentukan bahwa: “Hak Komunal Atas Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Komunal adalah hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu”

Berkaitan dengan kawasan yang dimaksud sebagai obyek hak komunal adalah kawasan hutan atau perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Permen Hak Komunal.

Hak dan kewajiban baru yang timbul pasca penunjukan desa pakraman sebagai subyek hak milik bersama (komunal) antara lain, desa pakraman berhak atas kepastian hukum sebagai subyek hak milik bersama (komunal) atas tanah dan dapat memperoleh bukti hak berupa sertifikat hak milik setelah melakukan kewajiban untuk mendaftarkan tanah druwen desanya. Hal demikian telah termuat dalam diktum ketiga Kepmen ATR/BPN No. 276 sebagaimana menyatakan hak milik bersama (komunal) diberikan kepada desa pakraman (istiliah penyebutan desa adat sebelum diundangkannya PERDA Desa Adat) yang telah didaftarkan dapat dilakukan kerja sama dengan pihak ketiga berdasarkan kesepakatan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Ketentuan tersebut jika ditelaah bahwasanya dilakukan pendaftaran hak milik bersama (komunal) atas tanah desa adat, sehingga bukti hak yang berupa sertifikat dapat dikerjasamakan.

Dalam Kepmen ATR/BPN No. 276 tidak serta merta memberikan penafisran kerjasama dalam hal jual beli tanah desa adat. Terdapat pembatasan alokasi kerjasama yang tidak sampai dengan peristiwa jual beli, sebagaimana bahwa hak milik hanya tetap berada pada desa adat atas tanah druwe. Pengalokasian kerjasama jika ditafsirkan bisa sebagai bentuk jaminan yang memberikan manfaat ekonomi bagi desa adat.

Pendaftaran hak komunal atas tanah druwe ini dapat berimplikasi baik dan tidak. Implikasi yang baik sebagaimana bahwa pendaftaran tanah adalah diterbitkannya sertifikat tanah sebagai legalitas kepemilikan dan dijadian sebagai alat bukti.16 Demikian memberikan kepastian hak dan jaminan atas kepastian hukum terhadap hubungan antara desa adat dengan tanah druwe. Namun, dengan penerbitan sertifikat juga dapat berpotensi penyelewengan sertifikat tanah oleh oknum-oknum tertentu yang dapat merugikan kesatuan masyarakat hukum adat Bali.

  • IV.    Kesimpulan

Penunjukan tanah druwe sebagai hak milik bersama (komunal) oleh Kepmen ATR/BPN No. 276 yang saat ini diganti dengan Kepmen ATR/Ka BPN No.575/2019 kemudian diperkuat dengan PERDA Desa Adat Bali menjadi dasar hukum mengenai status kempilikan tanah oleh Desa Adat Sebagaimana bahwa kesatuan masyarakat hukum adat bercirikan memiliki harta kekayaan yang salah satunya berwujud berupa tanah. Penunjukan desa adat sebagai subyek hak milik bersama (hak komunal) atas tanah druwe memberikan implikasi yang baik maupun tidak. Tanah druwe yang disertifikatkan memberikan kekuatan alat bukti kepemilikan dan nantinya dapat dikerjasamakan untuk perolehan manfaat ekonomi. Disisi lain berpotensi penyelewengan legalitas yang disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu yang dapat merugikan kesatuan masyarakat hukum adat Bali. Sebaiknya kesatuan masyarakat hukum adat Bali terhadap penunjukan tanah druwe sebagai hak komunal diakomodir agar dapat bermanfaat bagi pembangunan desa adat. Sebaiknya stakeholders atas penunjukan hak komunal tanah druwe dapat mengelola sebaik mungkin agar tidak sampai disalahgunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan dari K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001).

Noor, Aslan, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, (Bandung, CV Mandar Maju, 2006).

Jurnal

Ardani, N. K. "Kepastian Hukum Hak Komunal Ditinjau dari Pasal 16 Ayat (1) H Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 2(1), (2017).

Aspriani, D. A. O., Budiono, A.R. & Sirtha, I.N., “Status Kepemilikan Tanah Druwe Desa di Bali”, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum,1(1). (2014).

Dewi, A. A. I. A. A., & Istri, A. A., Eksistensi Otonomi Desa Pakraman dalam Perspektif Pluralisme Hukum. Jurnal Magister Hukum Udayana. (2014).

Jayantiari, I. G. A. M. R, Eksistensi Tanah Adat di Bali dan Problematika Hukum dalam Pengembangan Investasi, Kertha Patrika, 39(2). (2017).

________, & Wijaya, I. K. K. A. Tinjauan Yuridis Pengaturan Tanah Druwe Desa di Bali (Aspek Hukum Perlindungan Masyarakat Adat Atas Tanah). WICAKSANA: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 1(1). (2017)

Kaler, I. K, Arti dan Fungsi Tanah Adat Bagi Masyarakat Bali: Studi Kasus di Desa Adat Batubulan. Sunari Penjor: Journal of Anthropology. (2018)

Mintaraningrum, Y., Raharjo, P. S., & Winarno, D. W, “Aspek Kepastian Hukum dalam Penerbitan Sertifikat Hak Tanah (Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor Putusan Ptun Nomor 24/g/tun/2000/ptun. smg)”. Repertorium, 2(2), (2015).

Purnama, D. G. A. S. Y., & Dewi, A. A. I. A. A. Desa adat Dalam Pengelolaan Tanah Adat Bali Berbasis Kebijakan Daerah. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2).

Sardana, I. N., Suwitra, I.M., & Sepud, I.M.,. “Dispute Of Customary Land Tenure And Domination And The Resolution In Buleleng Regency”, Jurnal Hukum Prasada, 5(1), (2018).

Sastrawan, I.P.D., Guntur I.G.N., & Andari, D.W.I. Urgensi Penguatan Hak Atas Tanah Druwe Desa di Bali. Jurnal Tunas Agraria, 1(1). (2018)

Sudantra, I. K. “Implikasi Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 Terhadap Kedudukan Tanah Milik Desa Pakraman”, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(4), (2018).

__________, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kertha Patrika, No. 61 Tahun XYIII Desember (1992).

Tesis:

Aiswarya, I Dewa Bagus Dhanan, “Desa Pakraman Sebagai Subyek Hak Kepemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah Paca Diterbitkannya Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276/KEP-19.2/X/2017”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Udayana, (2019).

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104);

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 568);

Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 Tentang Penunjukan Desa Pakraman Di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Kepemilikan Bersama (komunal) atas tanah diganti dengan Kepmen ATR/Ka BPN No.575/2019;

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat; Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4; Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4;

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 9 Tahun 2021, hlm.748-756

756