Problematik Normatif dan Urgensi Pengaturan Kartu Identitas Anak
on
PROBLEMATIK NORMATIF DAN URGENSI PENGATURAN KARTU IDENTITAS ANAK
Putu Teguh Rahayu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Ketut Sudiarta, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengkaji pengaturan Kartu Identitas Anak dalam Ius Constitutum Indonesia, dan mengkaji urgensi pengaturan tersebut. Untuk dapat mendukung tercapainya tujuan tersebut, penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil studi menunjukkan bahwa istilah serta pengaturan secara umum mengenai Kartu Identitas Anak tidak ditemukan pada ranah Undang-Undang, melainkan pada tataran Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri yang notabene sebagai peraturan pelaksanaan. Sehingga terdapat problematik normatif yakni norma kosong pada Undang-Undang, yang berimplikasi pada ketiadaan daya laku (validitas) pada peraturan pelaksana tersebut. Selain itu, pengaturan Kartu Identitas Anak dipandang belum urgen, mengingat bentuk identitas lainnya yakni kartu keluarga dan akta kelahiran masih dapat mengakomodir pemenuhan hak-hak anak dan sama-sama terintegrasi ke dalam sistem database nasional.
Kata Kunci: Kartu Identitas Anak, Validitas, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.
ABSTRACT
The purpose in this study is to review the arrangement of Child Identity Cards in Ius Constitutum Indonesia, and to examine the urgency of the arrangement. In order to support the achievement of these goals, the authors used normative juridical research methods with a statutory and conseptual approach. The results of the study show that the general terms and arrangements regarding Child Identity Cards are not found in the realm of Law, but rather in the state of regulation of Presidential Regulations and Ministerial Regulations which is notabene as an implementation regulation. There is a normative problematic that is empty norms in the law, which implice the absence of practice (validity) in the implementing regulations. In addition, the arrangement of Child Identity Card is considered not yet urgent, given that other forms of identity namely family card and birth certificate can still accommodate the fulfillment of children's rights and are also integrated into the national database system.
Key Words: Child Identity Card, Validity, Presidential Regulations, Ministerial Regulations.
Hak atas identitas sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia diakui secara universal dan melekat pada setiap orang, tanpa terkecuali kepada seorang anak. Anak ialah individu yang berusia kurang dari 18 tahun serta yang masih berada di dalam kandungan. Terkait dengan konteks kehidupan berbangsa, anak ialah masa depan bangsa itu sendiri serta sebagai penerus cita-cita bangsa sebagaimana tertuang pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Identitas sebagai hak
pertama yang harus didapat oleh anak sejak pertama kali keluar dari dalam kandungan, sekalipun pada faktanya bahwa anak tersebut tidak menuntut untuk mendapatkan identitas.
Di Indonesia, identitas diberikan sesaat setelah anak keluar dari dalam kandungan yang dituangkan ke dalam bentuk dokumen kependudukan Akta Kelahiran sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 35/2014 pasal 27 ayat (2). Pemenuhan hak atas identitas anak ke dalam bentuk identitas berupa Akta Kelahiran dilakukan oleh pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan melalui Instansi Pelaksana di tingkat kabupaten/kota, serendah-rendahnya pada tingkat desa/kelurahan. Melalui dokumen tersebut, negara hadir memberikan pengakuan serta bukti legitimasi hukum terkait dengan keberadaan anak. Selain sebagai bentuk pengakuan dan legitimasi sebagaimana tersebut di atas, arti penting adanya Akta Kelahiran ialah: sebagai data sekaligus alat bagi eksekutif dalam merancang dan menyusun anggaran dalam berbagai bidang strategis seperti pendidikan, kesehatan, sosial, serta perlindungan anak; sebagai bukti yang cukup kuat untuk dapat memperoleh hak atas waris dari orang tuanya; sebagai upaya untuk dapat mencegah tindakan perkawinan di bawah usia, pemalsuan usia, tindakan kekerasan pada anak, perdagangan anak, maupun eksploitasi seksual dan adopsi ilegal; serta sebagai legitimasi untuk memperoleh pendidikan, perlindungan, maupun hak-hak dasar lainnya sebagai anak maupun sebagai warga negara Indonesia.1 Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, tercatat pada tahun 2015 anak di Indonesia yang telah memiliki Akta Kelahiran sebanyak 79,92% dan pada tahun 2016 meningkat 1,76% dengan persentase 81,68%.2 Terdapat kesenjangan sekitar 16,23% anak di Indonesia yang masih berpotensi tidak tercatatkan identitasnya ke dalam Akta Kelahiran Anak, yang menjadikannya rentan dan berpotensi tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Persoalan-persoalan klasik yang menyebabkan anak belum sepenuhnya mendapatkan haknya yang menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah daerah untuk dapat dituntaskan segera seperti: rendahnya kesadaran masyarakat atas pentingnya Akta Kelahiran, kondisi geografis daerah yang beragam, hingga keterbatasan petugas pelayanan administrasi kependudukan.3 Tak luput pula, adanya dugaan praktik pungutan liar oleh sejumlah oknum petugas-petugas di lapangan semakin memperparah pelayanan publik bidang administrasi, khususnya dalam pelayanan Akta Kelahiran.4
Kendati ragam permasalahan tersebut di atas belum dapat teratasi secara komprehensif, pemerintah melalui lembaga Kementerian Dalam Negeri pada tahun
2016 justru meluncurkan model identitas baru yang secara spesifik ditujukan kepada anak yakni Kartu Identitas Anak. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak (selanjutnya disebut Permendagri No. 2/2016) merupakan payung hukum dari kebijakan tersebut. Pada tahap awal pelaksanaan program tersebut, terpilih 50 kabupaten/kota di Indonesia sebagai pelaksana penerbitan kartu.5 Sebagai kartu identitas spesifik ditujukan bagi anak, muatan kartu tersebut mempertegas bahwa anak ialah yang berusia di bawah 17 tahun dan belum menikah. Hadirnya Kartu Identitas Anak digadang-gadang sebagai upaya untuk meningkatkan perlindungan, pendataan, hingga pemenuhan hak konstitusional warga negara, sebagaimana termuat dalam konsiderans Menimbang.
Berdasarkan penelusuran penulis, terkait dengan pengaturan serta istilah secara umum mengenai Kartu Identitas Anak tidak ditemukan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU No. 23/2006) maupun pada UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU No. 24/2013). Pengaturan serta istilah tersebut justru ditemui dalam Permendagri 2/2016, sebagai pelaksana atas Perpres Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Perpres No. 96/2018). Kemudian, ditinjau dari segi materi muatannya, baik pada Permendagri No. 2/2016 maupun Perpres No. 96/2018 tidak ditemukan pasal yang secara eksplisit atau expressis verbis menentukan mengenai keharusan atau kewajiban untuk memiliki Kartu Identitas Anak. Berbeda halnya sebagaimana tertuang pada ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU No. 35/2014) bahwa “Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.”
Hal tersebut di atas kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah Kartu Identitas Anak yang hanya diatur melalui Permendagri No. 2/2016 atas perintah Perpres No. 96/2018 memiliki daya laku atau validitas, mengingat bahwa istilah serta pengaturan secara umum mengenai Kartu Identitas Anak tidak ditemukan pada tataran Undang-Undang melainkan pada tataran pelaksanaan dan teknis yakni Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Selain itu, apakah program Kartu Identitas Anak layak atau urgen untuk tetap dilaksanakan, mengingat bahwa bentuk identitas lainnya yakni Akta Kelahiran dalam penerapannya masih bermasalah dan anak rentan serta berpotensi untuk tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Untuk itu, penulis bermaksud mengkaji serta membahasnya melalui tulisan ini yang berjudul “PROBLEMATIK NORMATIF DAN URGENSI PENGATURAN KARTU IDENTITAS ANAK.”
Untuk mengkaji lebih dalam, penulis melakukan penelaahan terhadap beberapa tulisan terkait dengan Kartu Identitas Anak. Akan tetapi, penulis menemukan tulisan-tulisan dari penulis-penulis lain yang memiliki fokus pembahasan pada ranah implementasi (penerapan) dengan mempergunakan metode empiris, di antaranya: “Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak Di Kota Denpasar” yang ditulis oleh Ida
Ayu Iswariyati,6 “Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak (KIA) Di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar” yang ditulis oleh Kadek Apriliani,7 dan “Implementasi Kebijakan Program Kartu Identitas Anak (KIA) Di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung” yang ditulis oleh Windi Dwi Arista.8 Ketiga penelitian tersebut memiliki kesamaan fokus kajian penelitian yakni dalam hal pelaksanaan/penerapan program KIA, dengan pembeda hanya pada locus penelitian yakni Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian di atas yang memiliki fokus kajian pelaksanaan/penerapan program KIA, penulis mengkaji KIA dari segi analisis normatif dikarenakan penulis berpandangan bahwa telah terjadi permasalahan secara mendasar dari peraturan-peraturan yang mengatur KIA. Penelitian ini murni ide penulis dan sepengetahuan penulis, belum menemukan kajian/tulisan terkait Kartu Identitas Anak yang mengarah pada ranah normatif. Sehingga, melalui tulisan ini penulis berkeinginan untuk lebih menonjolkan sudut pandang analisis normatif mengenai Kartu Identitas Anak.
-
1.2. Rumusan Masalah
Ada pun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam tulisan ini di antaranya:
-
1.2.1 Bagaimana pengaturan mengenai Kartu Identitas Anak dalam ius constitutum Indonesia?
-
1.2.2 Apa urgensi pengaturan Kartu Identitas Anak?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini ialah untuk menelaah sekaligus menganalisis pengaturan Kartu Identitas Anak dalam ius constitutum Indonesia. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk dapat mengetahui urgensi dari pengaturan Kartu Identitas Anak.
II.Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang digunakan oleh manusia sebagai upaya untuk memperkuat, membina serta mengemban ilmu pengetahuan.9 Dalam penelitian ini, dipergunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian dengan metode yuridis normatif mengacu pada kaidah-kaidah dan norma-norma hukum, peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku, doktrin-doktrin dan teori hukum,
yurisprudensi, serta bahan-bahan pustaka lainnya yang relevan atau terkait dengan topik penelitian.10 Pendekatan dalam penelitian ini memakai pendekatan peraturan dan konseptual, yang menitikberatkan pada analisis peraturan perundang-undangan sebagai sumber utama kemudian dibantu dengan teori, konsep, serta asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat memberi sumbangsih dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.11 Sumber hukum primer yang dipergunakan di dalam penelitian ini yakni: UUD NRI 1945, UU No. 23/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24/2013, UU No. 12/2011, UU No. 35/2014, Permendagri No. 2/2016, dan Perpres No. 96/2018. Sumber hukum sekunder pada penelitian ini mencakup buku atau literatur, dan jurnal ilmiah hukum yang relevan. Dalam melakukan analisisi terhadap permasalahan pada tulisan ini, dipergunakan teknik deskriptif, komparatif, dan memperoleh simpulan yang runtut.
Istilah serta pengaturan hukum mengenai program Kartu Identitas Anak dapat ditemukan pertama kali pada Permendagri No. 2/2016. Hadirnya Kartu Identitas Anak diharapkan sebagai upaya untuk meningkatkan perlindungan, pendataan, hingga pemenuhan hak konstitusional warga negara. Kepemilikan Kartu Identitas Anak sebagai bentuk pencatatan identitas diri anak, serta sebagai bukti resmi bahwa anak juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia.12 Kartu tersebut terbagi klasifikasi usia, yaitu: kartu bagi anak yang berusia 0-5 tahun, dan bagi anak berusia 5-17 tahun kurang satu hari.13 Secara garis besar, Permendagri No. 2/2016 lebih mengatur pada hal-hal yang bersifat teknis mencakup tata cara perolehan kartu hingga spesifikasi blangko Kartu Identitas Anak.
Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia ialah sistem penjenjangan norma.14 Dalam hal ini, dapat dimaknai bahwa suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang berada di atasnya atau lebih tinggi, serta norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
lebih tinggi lagi.15 Norma pada peraturan perundang-undangan yang berjenjang semakin ke atas dirumuskan ke dalam norma yang memiliki sifat umum. Hal ini bertujuan agar daya lakunya tidak ketinggalan perkembangan di masyarakat serta tidak cepat usang. Dalam hal norma pada peraturan perundang-undangan yang berjenjang semakin ke bawah, dirumuskan bersifat lebih teknis agar tidak membuka ruang penafsiran atas pelaksanaan norma di atasnya. Sehingga, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar tertulis tertinggi atau staatsgrudgezetz, harus menjadi dasar dan sumber bagi pembentukan peraturan-peraturan di bawahnya, dan peraturan lain di bawahnya harus mendasarkan dan bersumber, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya.16 Dalam hal lain, bahwa antara satu peraturan dengan peraturan lainnya hendaknya harus saling bersinergi.
Materi muatan peraturan perundang-undangan sangat erat kaitannya dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Dalam konteks Peraturan Menteri, materi muatan dapat berupa urusan tertentu pada pemerintahan, yakni urusan dalam kementerian terkait, dan urusan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan presiden).17 Lebih rinc'inya, materi muatan Peraturan Menteri mencakup pelaksanaan amanat atau penjabaran atas ketentuan pasal pada peraturan di atasnya (PP atau Perpres), di samping juga dapat mengatur secara lanjut atas dasar kewenangan pendelegasian dari UU yang ditentukan secara tegas pada pasal suatu UU, namun hanya sebatas peraturan bersifat teknis administratif.18 Apabila suatu Peraturan Menteri tidak memenuhi unsur-unsur tersebut di atas, maka dapat dipandang bahwa peraturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Peraturan Menteri memiliki lingkup keberlakuan secara nasional yakni berlaku di seluruh wilayah NKRI.19
Dalam konteks Permendagri No. 2/2016, penulis menemukan bahwa Permendagri tersebut telah memenuhi salah satu unsur-unsur tersebut di atas yakni secara tidak langsung atau “implicit” sebagai peraturan pelaksanaan atas amanat atau penjabaran atas ketentuan pasal pada peraturan di atasnya dalam bentuk Perpres. Dikatakan implicit karena pada Permendagri No. 2/2016 konsiderans Mengingat tidak secara langsung menyantumkan Perpres 96/2018 sebagai salah satu acuan hukumnya, baik secara formil maupun materiil. Hal ini mengingat bahwa Permendagri No. 2/2016 lebih dahulu muncul dan terpaut rentang waktu 2 tahun dengan Perpres No. 96/2018. Konsiderans Mengingat mencakup peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, memuat dasar hukum formil (dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan) dan dasar hukum materiil (peraturan perundang-undangan yang secara materiil dirujuk sebagai dasar untuk membentuk peraturan perundang-undangan).20 Dalam Permendagri No. 2/2016, terdapat 4 (empat) hukum yang dimasukkan ke dalam konsiderans Mengingat, di antaranya: UU No. 23/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35/2014, UU No. 23/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24/2013, PP No. 37/2007 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 102/2012, dan Permendagri No. 43/2015 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 69/2015. Akan tetapi, dari keempat hukum tersebut di atas, penulis menelusuri dan menemukan bahwa tidak ada satu pun peraturan-peraturan tersebut yang secara formil maupun materiil serta secara eksplisit maupun implisit, menentukan maupun mengatur adanya Kartu Identitas Anak. Hal tersebut membuat penulis mulanya menduga bahwa Permendagri tersebut muncul atas dasar semata-mata inisiatif serta kewenangan dari Kementerian Dalam Negeri. Namun setelah menelusuri lebih lanjut, didapat kemudian sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya di atas bahwa Permendagri No. 2/2016 merupakan peraturan pelaksanaan atas Perpres No. 96/2018.
Kemudian, terkait dengan Peraturan Presiden yang ditinjau dari segi materi muatannya sebagaimana dirumuskan pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU No. 12/2011) memuat: (1) materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, dan materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau (2) materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah. Pada Tabel 2 Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum No. PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019 (selanjutnya disebut Pedoman PHN-01.HN.01.03/2019), Perpres
juga dapat berisikan materi muatan tindak lanjut dari Putusan MA.21 Hamid Attamimi berpendapat bahwa Perpres dapat bersumber dari peraturan yang lebih tinggi yang memberikan delegasi kepada Presiden yakni Peraturan Pemerintah, dan dapat pula bersumber pada kewenangan atributif pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945.22 Peraturan Delegasi dapat diartikan sebagai peraturan yang dibentuk atas dasar delegasi perundang-undangan. Perpres sebagai salah satu bentu peraturan delegasi, dibuat oleh Presiden sebagai akibat “diperintahkan oleh Undang-Undang”, dan “materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.” Materi muatan peraturan delegasi hanya dapat mengatur hal yang didelegasikan dan tidak diperkenankan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya.23 Hal ini menyebabkan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya (yakni UU atau PP) yang menentukan adanya pendelegasian, harus diatur secara tegas bentuk serta ruang lingkup peraturan delegasinya.24 Pada Perpres dengan kewenangan atributif/kewenangan asli sebagaimana tertuang pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945, tidak ditentukan luas serta atas lingkup mengenai materi muatannya. Jimly Asshiddiqqie berpendapat mengenai hal yang dapat diajukan sebagai pembatasan terhadap materi muatan Perpres, di antaranya: a. adanya perintah dari peraturan dengan hierarki yang lebih tinggi; b. perintah dalam arti tidak harus memiliki sifat tegas langsung menyebut bentuk hukum penuangan norma hukum yang hendak diatur sepanjang perintah pengaturan tetap ada; dan c. bilamana sama sekali tidak ada perintah, maka Perpres dapat dikeluarkan dengan maksud mengatur hal-hal bersifat teknis administratif pemerintahan dan semata-mata ditujukan untuk internal penyelenggaraan ketentuan UU dan PP.25
Dikaitkan dengan Perpres No. 96/2018, diketahui bahwa Perpres tersebut merupakan peraturan pelaksanaan atas UU No. 23/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24/2013. Hal tersebut dapat diketahui pada konsiderans Menimbang, yang mana pada konsiderans Menimbang memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perpres No. 96/2018 merupakan peraturan pengganti atas Perpres No. 25/2008 sebagai akibat telah
diundangkannya perubahan UU No.24/2013, dikarenakan dalam hal materi muatan banyak mengalami perubahan sehingga perlu diharmonisasikan. Secara garis besar, Perpres tersebut mengatur mengenai persyaratan serta hal ihwal tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan. Total sejumlah 20 (dua puluh) pasal pada UU No. 23/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24/2013 mendelegasikan pengaturan lebih lanjut melalui Perpres No. 96/2018. Penulis berpandangan bahwa Perpres tersebut telah memenuhi unsur sebagai peraturan pelaksanaan atas peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, yakni UU No. 23/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24/2013. Akan tetapi, penulis menemukan bahwa selain mengandung materi muatan pelaksanaan peraturan di atasnya sebagaimana disebutkan sebelumnya, Perpres No. 96/2018 juga memuat materi muatan mengenai Kartu Identitas Anak (sekaligus sebagai dasar acuan Permen No. 2/2016 secara implicit sebagaimana telah dibahas sebelumnya). Materi muatan mengenai Kartu Identitas Anak pada Perpres No. 96/2018 mencakup definisi atau pengertian dari Kartu Identitas Anak pada Pasal 1 angka 9, dan Penerbitan Kartu Identitas Anak pada Pasal 23. Penulis mempermasalahkan terkait dengan materi muatan Kartu Identitas Anak, yang mana pada peraturan pemberi delegasi adanya Perpres No. 96/2018 yakni UU No. 23/2006 serta perubahan UU No. 24/2013 tidak ditemukan adanya istilah serta materi muatan mengenai Kartu Identitas Anak.
Bila dikaitkan dengan teori mengenai materi muatan Peraturan Presiden serta Peraturan Menteri pada paragraf sebelumnya di atas, sebagai peraturan pelaksana delegasi maka dalam Perpres jelas bahwa materi muatannya hanya dapat berisikan atau seputar pada hal-hal yang berkaitan dengan pendelegasian. Dalam hal ini, pendelegasian yang dimaksud ialah seputar pada materi muatan sejumlah 20 (dua puluh) pasal yang terdapat pada UU No. 23/2006 serta perubahan UU No. 24/2013. Sehingga, penulis menilai bahwa materi muatan Kartu Identitas Anak pada Perpres No. 96/2018 ini semata-mata hanya “menumpang kereta” agar peraturan di bawahnya yang 2 tahun lebih dahulu muncul yaitu Permendagri No. 2/2016 seolah-olah memiliki legitimasi hukum dan memiliki daya laku atau validitas. Mengenai daya laku atau validitas, suatu norma memiliki daya laku bilamana dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, atau yang disebut sebagai landasan yuridis dari segi materiil, dalam hal ini dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu yang menunjuk pada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu.26 Dalam konteks ini, Peraturan
Presiden yang sifatnya ialah pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya dipandang tidak tepat untuk memberikan pengertian serta materi muatan baru di luar dari materi muatan terkait pendelegasian, bahkan sampai mendelegasikan kembali dengan peraturan di bawahnya.
Penulis berpandangan bahwa pengaturan secara umum mengenai Kartu Identitas Anak lebih tepat dan relevan berada serta dimasukkan pada tataran hierarki Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah (Misalnya dimasukkan ke dalam UU Administrasi Kependudukan mengingat bahwa Kartu Identitas Anak masih memiliki keterkaitan dengan identitas kependudukan, atau dibuatkan UU secara spesifik mengenai hal tersebut). Apabila hal itu tidak diwujudkan, maka penulis berpendapat bahwa sesungguhnya hingga saat ini telah terjadi kekosongan hukum mengenai Kartu Identitas Anak. Hal ini mengakibatkan pada Perpes maupun Permendagri yang mengatur dan memuat materi muatan mengenai Kartu Identitas Anak tidak memiliki daya laku atau validitas.
Ketiadaan Naskah Akademik penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan bagi peraturan selain UU, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota membuat penulis sedikit mengalami kesulitan untuk dapat menganalisis arah politik hukum, arah kebijakan, serta urgensi dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Solusi praktis untuk mengetahui hal-hal tersebut pada peraturan perundang-undangan yang tidak ditentukan untuk menyusun Naskah Akademik (PP, Perpres, dan peraturan lainnya sebagaimana ditentukan pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011) yakni dengan melihat rumusan konsiderans Menimbang pada peraturan tersebut.
Kemudian, penulis menganalisis Permendagri No. 2/2016 yang menjadi peraturan pelaksana atau teknis mengenai Kartu Identitas Anak. Pada Permendagri tersebut memuat 3 (tiga) konsiderans Menimbang yang menjadi latar belakang dari Kartu Identitas Anak, pada intinya yakni: a. bahwa ketiadaan identitas penduduk yang berlaku secara nasional dan terintegrasi bagi anak dengan usia kurang dari 17 tahun dan belum menikah, b. bahwa Pemerintah memiliki kewajiban dalam memberi identitas kependudukan yang berlaku secara nasional dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara, dan c. bahwa pemberian identitas kependudukan kepada anak diharapkan dapat meningkatkan pendataan, perlindungan, dan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan hak terbaik bagi anak. Dari konsiderans Menimbang tersebut, penulis berpandangan bahwa sejatinya hal
tersebut di atas sangat dimungkinkan diwujudkan melalui bentuk dokumen kependudukan yang sudah ada saat ini yakni kartu keluarga dan akta kelahiran. Fakta yang ada, bahwa identitas anak yang tercatat pada akta kelahiran serta kartu keluarga saat ini sama-sama tercatat dan terintegrasi ke dalam database administrasi kependudukan secara nasional.27 Kartu keluarga dan akta kelahiran tersebut tercatat dan terintegrasi ke dalam database administrasi kependudukan, yang secara formil dan materiil diatur pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 118 Tahun 2017 tentang Blanko Kartu Keluarga, Register, dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Permendagri No. 118/2017). Kemudian, mengenai kewajiban Pemerintah dalam hal pemenuhan pemberian identitas kependudukan bagi seluruh warga negara, serta dalam rangka peningkatan pendataan, perlindungan hingga pelayanan publik kepada anak, hal ini juga dapat dipenuhi melalui identitas kependudukan berupa kartu keluarga dan akta kelahiran. Tinggal bagaimana pemerintah di daerah melalui Dinas melakukan inovasi dan terobosan dalam hal pemenuhan kewajiban atas identitas kependudukan tersebut serta pendayagunaan pemanfaatan di bidang pelayanan publik. Sehingga, ditinjau dari segi pengaturan, penulis berpendapat bahwa pengaturan Kartu Identitas Anak hingga saat belum begitu penting atau urgen.
4. Kesimpulan
Sesungguhnya telah terjadi kekosongan hukum mengenai Kartu Identitas Anak. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara materi muatan dengan jenis peraturan perundang-undangan, yang mana istilah serta pengaturan secara umum justru berada pada tataran peraturan pelaksana. Peraturan pelaksana tersebut ialah Permendagri No. 2/2016, yang didelegasikan oleh Perpres No. 96/2018. Pada Perpres tersebut yang didelegasikan oleh UU No. 23/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 26/2014 untuk menjalankan sejumlah 20 (dua puluh) pasal seharusnya berisikan materi muatan seputar pada pasal-pasal delegasi tersebut, bukan menambah pengertian dan materi muatan baru (yakni mengenai Kartu Identitas Anak) bahkan sampai mendelegasikan kembali mengenai Kartu Identitas Anak kepada peraturan di bawahnya. Maka, Permendagri No. 2/2016 dan Perpres 96/2018 Pasal 23 sesungguhnya tidak memiliki daya laku atau validitas. Untuk dapat memunculkan daya laku atau validitas, diperlukan UU yang secara spesifik mengatur mengenai Kartu Identitas Anak atau melakukan perubahan kedua terhadap UU Administrasi Kependudukan untuk dapat
memasukkan materi muatan serta pengaturan umum mengenai Kartu Identitas Anak, sehingga peraturan di bawahnya seperti Perpres dan Permendagri dapat berlaku sesuai dengan hierarkinya. Mengenai urgensi pengaturan Kartu Identitas Anak ditinjau dari konsiderans Menimbang Permendagri No. 2/2016, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya identitas kependudukan lainnya yang sudah ada seperti akta kelahiran dan kartu keluarga sudah merepresentasikan hal-hal yang dicita-citakan dalam konsiderans Menimbang Permendagri tersebut. Sehingga, pengaturan Kartu Identitas Anak belum begitu penting.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum Nomor PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019.” (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2019).
Farida, Maria. “Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.” (Yogyakarta, Kansius, 2007).
Fuady, Munir. “Teori-teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum.” Prenadamedia Group, 2013).
Jurnal Ilmiah:
Apriliani, Kadek. “Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak (KIA) Di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar.” Widya Accarya, 11 No. 1 (2020): 01-09.
Arista, Windi., Suderana. “Impelemntasi Kebijakan Program Kartu Identitas Anak (KIA) Di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kabupaten Badung.” Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, 3 No. 4 (2019): 55-66.
Bram, Deni. “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Transnasional.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18 No. 2 (2011): 193-211.
Fathorrahman. “Peraturan Delegasi Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia.” Jurnal Rechtens, 7 No. 2 (2018): 193-212.
Iryadi, Irfan. “Landasan Yuridis Permenkumham Nomor 3 Tahun 2017 Ditinjau Dari Sudut Teori Daya Laku Hukum (Geltung).” Jurnal Rechtsvinding, 6, No. 3 (2017): 423-440.
Iswariyati, I. A., Parsa, I Wayan., Suardita, I Ketut. “Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak Di Kota Denpasar.” Jurnal Kertha Negara. 6 No. 03 (2018): 1-13.
Lailam, Tanto. “Konstruksi Pertentangan Norma Hukum dalam Skema Pengujian Undang-Undang.” Jurnal Konstitusi, 11, No. 1 (2014): 18-42.
Listiningrum, Prischa. “Eksistensi dan Kedudukan Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.” Arena Hukum, 12, No. 2 (2019): 337-355.
“Penataan Kelembagaan Pengujian Norma Hukum di Indonesia (The Institutional Arrangement of Legal-Norms Review in Indonesia).” Jurnal Konstitusi, 15, No. 1 (2018): 206-230.
Saraswati, Retno. “Problematika Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Jurnal Yustisia, 2 No. 3 (2013): 97-103.
Setiawan, Hari. “Akta Kelahiran Sebagai Hak Identitas Diri Kewarganegaraan Anak.” Jurnal Sosio Informa, 3 No. 01 (2017): 26-39.
Setiabudhi, I. K. R., Artha, I.G., & Putra. “Urgensi Kewaspadaan Dini dalam Rangka Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 8 No. 4 (2019): 250-266.
Sonata, Depri Lieber.“Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum.”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, 8 No. 1 (2014): 15-35.
Prabu Buana, I Nyoman. “Kedudukan Peraturan Menteri Pada Konstitusi.” Kerta Dyatmika, 12 No. 2 (2015): 1-15.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4647)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 184).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 80).
Internet:
Badan Pusat Statistik. Persentase Anak “Yang Memiliki Akta Kelahiran
Menurut Provinsi, 2015-2016.” URL:
“https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/06/28/1496/persentase-anak-yang-memiliki-akta-kelahiran-menurut-provinsi-2015---2016.html”, diakses pada 8 Juli 2020.
Tempo.co. “Kemendagri Mulai Terapkan Pembuatan Akta Kelahiran Secara Online”, URL: “https://nasional.tempo.co/read/1105697/kemendagri-mulai-terapkan-pembuatan-akta-kelahiran-secara-online/full&view=ok” diakses pada 20 Agustus 2020.
Tirto.id. “Peluncuran Kartu Identitas Anak.” URL: “https://tirto.id/peluncuran-kartu-identitas-anak-bMxr”, diakses pada 10 Juli 2020.
Suara Banten. “Warga Dipalak Rp 300 Ribu Mau Bikin KTP, KK, dan Akta Kelahiran di Banten.” URL:
“https://banten.suara.com/read/2020/07/09/121918/warga-dipalak-rp-300-ribu-mau-bikin-ktp-kk-dan-akta-kelahiran-di-banten”, diakses pada 10 Juli 2020.
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 11 Tahun 2020, hlm. 30-43
43
Discussion and feedback