STATUS KEWARGANEGARAAN WNI –EKS ISIS DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM KEWARGANEGARAAN INDONESIA

Cokorda Istri A. Indira R, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Email: [email protected]

I Nengah Suantra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Email: [email protected]

ABSTRAK

Keputusan akhir Pemerintah untuk tidak memulangkan WNI mantan simpatisan ISIS menjadi perdebatan yang menimbulkan pendapat pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia. Perdebatan ini akan mengarah pada bagaimana status kewarganegaraan simpatisan ISIS tersebut. Pengaturan mengenai kehilangan kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan). Apabila dikaji berdasarkan isi konvensi Montevideo dalam Pasal 1 yang tidak mengklasifikasikan ISIS sebagai suatu entitas negara, sehingga dengan hal tersebut mantan simpatisan ISIS masih bisa dikatakan berstatus WNI, guna menghindari dari pelabelan stateless, akan tetapi hal ini tentu berbeda apabila berdasarkan atas UU Kewarganegaraan yang seolah-olah memiliki celah untuk menghilangkan status WNI dari mantan simpatisan ISIS tersebut, berdasar pada klasifikasi Pasal 23 huruf d dan f. Berangkat dari hal tersebut, dalam penulisan artikel ilmiah ini diangkat dua rumusan masalah yang diantaranya bagaimana status kewarganegaraan WNI eks ISIS ditinjau dari perspektif Hukum Kewarganegaraan Indonesia dan Apakah WNI eks ISIS yang telah membakar passport dapat kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya. Adapun metode dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian hukum normatif. Kesimpulan dari penulisan jurnal ini, Pasal 1 Konvensi Montevideo menyatakan yaitu tidak mengklasifikasikan ISIS sebagai suatu entitas negara, sehingga dengan hal tersebut mantan simpatisan ISIS masih bisa dikatakan berstatus WNI dan terkait passport yang dibakar oleh ISIS, masalah tersebut tidak serta merta dapat menjadi indikator dari hilangnya status kewarganegaraan mereka.

Kata Kunci: status kewarganegaraan, WNI eks-ISIS, UU kewarganegaraan

ABSTRACT

The Government's final decision not to repatriate ex-ISIS sympathizers has become a debate that raises pros and cons in Indonesian society. So this debate will lead to how the citizenship status of ISIS sympathizers is. The regulation on the loss of citizenship is stipulated in Law No. 12 of 2006 concerning Citizenship of the Republic of Indonesia (hereinafter referred to as the Citizenship Law). When reviewed based on the content of the Montevideo convention in Article 1 that does not classify ISIS as a state entity, so that the former ISIS sympathizers can still be said to be indonesian citizens, in order to avoid stateless labeling, but this is certainly different if based on the Citizenship Law that seems to have a loophole to remove the status of indonesian citizens from former ISIS sympathizers, based on the classification of Article 23 letters d and f. According to the explanation above, in the writing of this scientific article raised two formulations of problems including how the citizenship status of Indonesian citizens ex ISIS is reviewed from the perspective of Indonesian Citizenship Law and whether Indonesians ex ISIS who have burned the passports can lose their Indonesian citizenship status. The method in writing this journal is normative legal research. The conclusion of the writing of this journal, Article 1 of the Montevideo Convention states that it does not classify ISIS as a state entity, so that with that former

ISIS sympathizers can still be said to be Indonesian citizens and related to passports that have been burned by ISIS, the issue cannot necessarily be an indicator of the loss of their citizenship status.

Keywords: citizenship status, WNI ex-ISIS, Citizenship Law

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Salah satu syarat berdirinya suatu negara adalah dengan memiliki rakyat ataupun warga negara.1 Tanpa adanya warga negara, maka dipastikan tidak dapat terbentuknya suatu negara. Sehingga warga Negara merupakan salah satu unsur yang hakiki dalam suatu Negara. Berdasarkan konstitusi, bahwa Indonesia merupakan Negara hukum. Terkait dengan hal tersebut, secara yuridis pengaturan mengenai kewarganegaraan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU kewarganegaraan). Kehilangan status kewarganegaraan merupakan salah satu hal yang diatur dalam UU kewarganegaraan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, beredar kabar mengenai pimpinan militan Islamic State of Iraq and Suriah atau yang lebih dikenal dengan sebutan ISIS yaitu Baghadi, dinyatakan meninggal dunia akibat melakukan bom bunuh diri. Kebenaran kabar tersebut diperkuat oleh Pasukan Amerika Serikat (AS) yang memastikan bahwa yang melakukan bom bunuh diri tersebut memang benar pimpinan ISIS.2 Sebagaimana diketahui, kelompok ISIS merupakan organisasi teroris internasional yang meresahkan dunia. Terlepas dari meninggalnya pimpinan ISIS, yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah nasib para pengikut ISIS yang merupakan warga dari negara-negara di dunia bahkan Indonesia juga termasuk di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan dari mantan anggota ISIS tersebut merupakan seorang WNI yang telah meninggalkan Indonesia demi bergabung dengan kelompok tersebut, hal ini berdasar pada informasi yang di dapat, bahwa lebih dari 600-an mantan FTF (Foreign Terrorist Fighter) memiliki passport dengan status WNI. Hal ini memicu beberapa pandangan dalam tanah air untuk memulangkan WNI yang ber-passport Indonesia ke NKRI guna menghindari status stateless. Sebagaimana dikonfirmasi oleh Mahfud Md selaku Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) berpendapat bahwa, beliau tidak ingin memulangkan WNI mantan simpatisan ISIS tersebut, karena dianggap berbahaya dan dapat mengganggu keamaanan nasional apabila dipulangkan. Wacana tersebut mendapat respon dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan menyarankan pemerintah agar tidak menganggap semua sama. Harus ada pendataan yang melibatkan BNPT untuk mengetahui secara jelas profil setiap WNI. Sebaiknya pemerintah menerapkan Pasal 26B yaitu memberi hukuman penjara antara 7 – 12 tahun.3

Hal ini menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat Indonesia mengenai bagaimana status kewarganegaraan simpatisan ISIS tersebut. Pro dan kontra terkait permasalahan tersebut, seakan membuat pendapat masyarakat Indonesia terbagi 2 (dua). Pendapat pro menegaskan bahwa mantan simpatisan ISIS tersebut masih berstatus WNI, sehinggga dapat dipulangankan namun ada syaratnya. Kemudian pendapat dari pihak yang kontra, bahwa terkait dengan rencana dipulangkannya WNI eks-ISIS merupakan perbuatan yang sia-sia. Guru Besar Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana berpendapat bahwasannya para WNI yang pernah bergabung dalam ISIS bisa saja hilang kewarganegaraannya (stateless). Hal tersebut apabila tidak diberikan jalan keluar, justru hal ini dapat menyebabkan permasalahan Internasional, dikarenakan Indonesia membiarkan warga negaranya tanpa kewarganegaraan atau stateless.

Oleh karena itu, pemberian status stateless atau pencabutann hak kewarganegaraan yang dilakukan oleh negara asal mereka kepada mantan militan ISIS beserta anggota keluarganya (anak–anak maupun perempuan), dilandasi atas keikutsertaan mantan simpatisan ISIS tersebut dalam melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) semasa bergabung dengan organisasi ISIS berdasarkan atas Article 8(3) (a)(ii) dan 8(3)(b) Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Oleh karenanya, baik militan atau keluarga dari mantan anggota ISIS sendiri didenasionalisasikan oleh negara asalnya sehingga menjadi stateless.4 Berdasarkan hal tersebut, status “WNI –eks ISIS” tidak hanya dipegang oleh militan ISIS tetapi juga terhadap keluarganya (anak dan istri) yang ber-passport Indonesia. Berdasarkan permasalahan yang penulis uraikan di atas, maka dipandang perlu untuk mengkaji lebih dalam melalui penulisan karya ilmiah ini yang dituangkan dalam judul “Status Kewarganegaraan WNI–Eks ISIS Ditinjau dari Perspektif Hukum Kewarganegaraan Indonesia”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan 2 (dua) permasalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam jurnal ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimana status kewarganegaraan WNI –eks ISIS dalam perspektif Hukum Kewarganegaraan Indonesia?

  • 2.    Apakah WNI –eks ISIS yang telah membakar passport dapat kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya?

  • 1.3    Tujuan penelitian

Berdasar pada penjabaran rumusan masalah di atas maka dapat dituliskan mengenai tujuan dari penulisan jurnal ini ialah untuk mengetahui status kewarganegaraan WNI –eks ISIS ditinjau dari perspektif Hukum Kewarganegaraan Indonesia dan untuk mengetahui apakah WNI –eks ISIS yang telah membakar passport dapat kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya.

  • II.    Metode penelitian

Metode penelitian adalah prosedur atau langkah yang tepat dan sistematis, untuk mengumpulkan informasi berupa data konkrit yang digunakan oleh peneliti,

guna mendukung penelitian yang sedang dilakukan.5 Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki sebagaimana telah mengutip pendapat dari Terry Hutchinson yang menjelaskan bahwasannya penelitian hukum normatif Ialah jenis penelitian dengen mengedepankan uraian sistematis terhadap ketentuan yang mengatur beberapa kategori hukum, yang kemudian dianalisa kaitan antara peraturan tersebut6. Sedangkan Soerjono Sukanto berpendapat bahwa penelitian hukum normatif merupakan studi kepustakaan (studi dokumen) dengan menggunakan peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum sebagai pedoman.7 Pendekatan yang digunakan dalam jurnal ini adalah Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendeketan Kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan menganalisis dan memahami peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penulisan jurnal ini. Pendekatan kasus digunakan untuk menelaah kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam jurnal ini. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan jurnal ini ialah dengan menyesuaikan secara sistematis aspek-aspek ilmu hukum yakni berupa sejarah, filosofi, peristiwa, definisi, asas, doktrin atau isu yang sedang terjadi di tengah masyarakat, berlandaskan atas aturan tertulis serta penjelasan dari butir pasal dalam aturan tersebut yang kemudian ditulis menggunakan bahasa hukum.

  • III.    Pembahasan

    • 3.1    Status kewarganegaraan WNI eks ISIS dalam perspektif Hukum Kewarganegaraan Indonesia

“Status Warga Negara Indonesia (WNI) merupakan hak kewarganegaraan yang diberikan oleh Negara Indonesia kepada rakyatnya sebagai bentuk kesatuan Hak Asasi yang diterima oleh setiap warga Negara, yang wajib dihormati oleh setiap orang dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah,” hal ini merupakan isi dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ( selanjutnya disebut UU HAM ).

Berbicara tentang Hak Kewarganegaraan dan Warga Negara Indonesia, tentu hal mendasar yang harus diketahui adalah landasan hukum yang mengatur kedua hal tersebut, yakni UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan). Dalam UU tersebut dapat dipahami mengenai siapa yang dimaksud sebagai WNI dan bagaimana mendapat status kewarganegaraan Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan bahwa “Warga Negara Indonesia ialah orang bangsa Indonesia asli dengan orang bangsa lain yang telah disahkan menurut undang-undang”, dan secara spesifik dijelaskan pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UU Kewarganegaraan. Apabila terdapat seorang Warga Negara Asing (WNA) ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia, maka WNA tersebut harus melakukan Naturalisasi. “Naturalisasi atau pewarganegaraan adalah suatu proses perubahan status kependudukan warga negara asing yang ingin menjadi warga Negara lainnya dan telah memenuhi persyaratan berdasarkan

undang-undang8 dan secara terperinci diatur pada UU Kewarganegaraan. Adapun cara mendapatkan kewarganegaraan RI menurut UU Kewarganegaraan dapat dikategorikan dalam 2 hal9 beserta persyaratannya yang juga diatur dalam undang -undang, antara lain:

  • a.    Naturalisasi Biasa (Pasal 9 UU Kewarganegaraan.)

  • b.    Naturalisasi Khusus atau Istimewa (Pasal 20 UU Kewarganegaraan.)

Selain pengaturan mengenai tata cara memperoleh status kewarganegaraan RI, dipandang perlu untuk memahami mengenai bagaimana seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya. Terdapat (3) tiga hal mengenai seseorang kehilangan kewarganegaraannya, yang pertama disebut dengan istilah Renunciation, adalah untuk menghindari kepemilikan kewarganegaraan ganda (bipatrige) maka seseorang secara sukarela melepaskan salah satu atau lebih kewarganegaraan yang ia miliki. Kedua, dengan Termination yang berdasar atas tindakan hukum berupa penghentian status kewarganegaraan seseorang karena telah mengucap sumpah setia dan telah diberikan status warga negara oleh Negara lain. Terakhir adalah deprivation merupakan penghentian secara paksa, baik itu merupakan pemecatan ataupun pencabutan status kewarganegaraan seseorang yang diakukan secara paksa atas perintah dari pejabat yang berwenang, dikarenakan yang bersangkutan telah melakukan penghianatan kepada negara dan tidak setia pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) serta Negara Kesatuan Republik Indonesia.10

Dalam UU Kewarganegaraan, kehilangan kewarganegaraan RI termaktub pada Pasal 23 yang menjelaskan sembilan hal yang dapat menghilangkan kewarganegaraan RI. Apabila dikaitkan dengan kasus mantan simpatisan ISIS yang telah meninggalkan NKRI dan mengikrarkan janji setia pada ISIS, dapat disimpulkan WNI yang sudah militan dengan organisasi ISIS tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 huruf e dan f UU Kewarganegaraan, dapat kehilangan kewarganegaraannya apabila:

“huruf e : secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; “

“huruf f : secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;”

Berdasar pada isi ketentuan tersebut, dapat ditarik satu kesimpulan bahwasannya hilangnya status kewarganegaraan seseorang disebabkan apabila telah melakukan point dari ketentuan di atas. Apabila dikaji lebih dalam, frasa negara dalam ketentuan tersebut mengacu pada negara sebagai subyuk hukum internasional yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana tertulis dalam Artikel 1 Konvensi Montevideo yakni “The state as a person of international law should possess the following qualifications: a. permanent population; b. defined territory; c. government; and d. capacity to

enter into relations with the other states”.11 “Yang secara spesifik dapat diartikan Negara sebagai subyek hukum internasional haruslah memenuhi persyaratan, antara lain: a. masyarakat atau penduduk tetap; b. wilayah yang ditetapkan; c. pemerintahan; dan d. kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Negara lain.”

Berdasar pada ketentuan konvensi Montevideo dalam Artikel 1 tersebut, dapat disimpulkan bahwas ISIS bukanlah merupakan suatu Negara, hal tersebut karena, pertama ISIS tidak memiliki wilayah, pemerintahan, penduduk yang tetap, dan tidak memiliki kemampuan dalam melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Oleh karena itu membuat ISIS tidak memenuhi unsur-unsur sebagai suatu Negara, sehingga ISIS jelas bukan merupakan suatu entitas sebuah Negara. Berangkat dari hal tersebut, menjadikan ketentuan dalam Pasal Kewarganegaraan tergolong sulit untuk diterapkan apabila dikaitkan dengan pencabutan kewarganegaraan mantan militan ISIS, sehingga hal ini menyebabkan WNI yang telah tergabung dan mengabdikan diri pada organisasi ISIS tidak dapat dicabut kewarganegaraannya.12 Hal tersebut karena, pencabutan kewarganegaraan dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan tentu harus memenuhi “unsur negara” yang disebutkan pada artikel 1 Konvensi Montevideo, salah satunya dapat melakukan hubungan diplomasi dengan Negara lain. Frasa negara dalam ketentuan Konvensi Motevideo memiliki unsur-unsur suatu organasisai dapat sebut sebagai “Negara” sehingga menurut ketentuan dari Konvensi Montevideo, dapat disimpulkan ISIS bukanlah merupakan suatu entitas Negara.

Apabila kasus hukum ini dikaitkan dengan ketentuan dalam instrument internasional tersebut, maka status kewarganegaraan RI yang dimiliki oleh mantan simpatisan ISIS cenderung sulit atau tidak dapat dicabut kewarganegaraan RI-nya, tentunya karena ISIS bukanlah suatu entitas Negara berdasar pada isi konvensi Montovideo. Namun bukan berarti tidak mampu untuk menghilangkan status WNInya sebagaimana diatur dalam UU Kewarganegaraan. Apabila dicermati serta dikaji secara seksama ketentuan mengenai kehilangan status warga Negara tersebut sudah diatur secara jelas dan tegas pada Pasal 23 UU Kewarganegaraan sebagaimana sudah di jelaskan sebelumnya di atas. Mengenai WNI dapat kehilangan status kewarganegaraan, terdapat 9 (sembilan) point yang sebagaimana isi dari ketentuan tersebut menyebutkan seseorang bisa dikatakan kehilangan kewarganegaraannya ketika “bergabung dengan tentara asing tanpa izin presiden, secara sadar dan sukarela mengucap sumpah setia kepadanya dan yang terakhir WNI tersebut akan kehilangan status kewarganegaraannya apabila tinggal diluar Indonesia secara berturut-turut dalam 5 tahun dan tidak memiliki keinginan agar tetap sebagai WNI dengan tidak mengajukan menjadi WNI lagi ke perwakilan Indonesia”. Kemudian Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 juga menegaskan hal tersebut, yang secara jelas diatur pada poin C, poin E, dan poin H.

Indonesia mengkategorikan ISIS sebagai tentara asing sejak kali pertama ISIS mendeklarasikan diri ditahun 2014,13 kemudian diikuti oleh orang-orang yang secara

sukarela tanpa paksaan termasuk juga beberapa WNI bergabung kedalam kelompok tersebut untuk menjadi anggotanya. Mereka bersedia dan rela ikut bergabung dalam organiasi ISIS tersebut dan dengan sengaja meninggalkan Indonesia. Ketika mereka bergabung dan menjadi anggota dari ISIS, maka oleh negara telah dianggap berkhianat terhadap NKRI. Sehingga mengenai permasalahan kehilangan kewarganegaraan, sebenarnya sudah menjadi sanksi bagi mereka yang dengan sengaja dan berkhianat meninggalkan NKRI demi bergabung dengan kelompok tersebut. Hal ini juga didukung dengan tidak mengajukan diri selama 5 (lima) tahun berada diluar Indonesia untuk tetap menjadi WNI. Presiden RI ke-7 bahkan menyebutnya sebagai “ISIS–eks WNI”, karena hal tersebut sesuai dengan UU Kewarganegaraan yang dalam salah satu pasalnya tertulis jika bergabung kedalam suatu “tentara asing” tanpa izin seorang kepala negara (presiden) akan hilang status WNInya dan dengan tidak menyatakan keinginan untuk menjadi WNI yang ditandai dengan mengajukan diri sebagai WNI kepada pejabat berwenang apabila selama 5 tahun tidak berada di Indonesia menyebabkan WNI eks-ISIS dapat kehilangan status kewarganengaraannya14. Mengenai WNI eks-ISIS tanpa status kewarganegaraan yang dalam artian stateless juga ditegaskan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Bapak Moeldoko. Beliau mengatakan mengenai hilangnya status kewarganegaraan WNI eks-ISIS tersebut sudah sesuai dengan UU Kewarganegaraan hal ini tentu merupakan keputusan yang diambil oleh mantan WNI tersebut dengan melakukan pembakaran paspor sebagai indikator ketidakmauan mereka untuk menjadi WNI. 15

Pencabutan kewarganegaraan seorang WNI yang terlibat organisasi teroris pada dasarnya harus memperhatikan hak-hak warga negara kendati ia telah terbukti secara sah dan meyakinkan di pengadilan atas keterlibatannya dalam organisasi teroris internasional, lebih lanjut negara harus tetap menjamin pelaksanaan atas hak-hak dasar seseorang sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau dalam bahasa Inggris Universal Declaration of Human Rights (UDHR), kovenan hak-hak Sipil dan Politik, International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, dan secara khusus melalui UU HAM. Dengan mempertimbangkan status kewarganegaraan merupakan sebuah hak yang sangat berharga (precious right) serta Indonesia yang menganut asas kewarganegaraan tunggal dan tak menganut asas kewarganegaraan ganda sehingga sanksi akan mengakibatkan terjadinya keadaan tanpa negara (stateless).16

Hal di atas tersebut juga sejalan dengan pernyataan salah satu Guru Besar UI yakni Prof Hikmahanto Juwana yang mengatakan seorang WNI apabila ikut dan mengabdikan diri pada organisasi ISIS dapat dikatakan kehilangan status kewarganegarannya, terdapat dua hal yang mendasari hilangnya status kewarganegaraan ISIS menurut beliau, yaitu Pasal 23 huruf d dan f UU Kewarganegaraan, beliau juga mengemukakan fakta mengenai Kemenlu RI telah berhenti memberikan bantuan kepada WNI yang tergabung dalam ISIS setelah

pernyataan diri mereka untuk tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia yang diindikatori dengan melakukan pembakaran paspor Negara Indonesia.17 Berdasarkan hal tersebut, beliau beranggapan bahwa pemerintah tidak perlu memikirkan lagi untuk mewarganegarakan militant ISIS tersebut yang telah hilang kewarganegaraannya sejak awal.

Seorang ahli Hukum Tata Negara dari FH UMI Makassar yakni Fahri Bachmid juga memberikan komentar terhadap hal ini, bahwa melihat ketentuan dari Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945, mengenai hilangnya status kewarganegaraan WNI –eks ISIS yang menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Sehingga berdasarkan pada isi dari aturan itu, Fahri menyimpulkan bahwasannya setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memilih kewarganegarannya termasuk juga ISIS –eks WNI tersebut. Oleh karena itu, dalam kasus ini mantan simpatisan ISIS yang berasal dari Indonesia telah memilih untuk tidak lagi berkewarganegaraan Indonesia melalui pembakaran passport sebagai suatu simbol keengganan mereka menjadi seorang WNI yang dapat dikatakan sebagai penghianatan dan salah satu penyebab dari hilangnya status kewarganegaraan mereka.

  • 3.2    Pembakaran Passport oleh WNI eks ISIS sebagai Indikator Hilangnya Status WNI

Kasus yang membahas mengenai dibakarnya paspor Indonesia yang pernah menjadi perbincangan di tanah air melalui video yang bersamaan dengan berita terkait pemulangan WNI eks ISIS sempat memicu opini publik. Masyarakat menilai bahwa pembakaran paspor yang dilakukan merupakan dasar dari hilangnya status kewarganegaraan dan menolak diri untuk mengakui menjadi kewarganegaraan tertentu. Hal tersebut didasari oleh rekaman dari video yang sudah tersebar luas, yang terdiri dari anak-anak dan orang dewasa yang dimana salah satu dari mereka mengatakan bahwa mereka telah terbebas dari suatu negara yang mereka anggap tidak sepaham dengan ideologi mereka, yang kemudian dilanjuti dengan membakar passport hijau yang dilakukan oleh anak-anak sebagai bukti bahwa mereka tidak lagi mengikatkan diri menjadi seorang warga negara dan sudah tidak terikat dengan negara tertentu serta siap memberontak atau perang bila ada yang ideologinya tidak sepaham.

Apabila dilihat dalam bingkai UU Kewerganegaraan, mengenai kasus pembakaran paspor yang dilakukan oleh simpatisan eks-ISIS, memang pembakaran passort tersebut tidak menjadikan ISIS eks WNI tersebut kehilangan status kewarganegaraannya, namun makna dalam kata “masuk dinas tentara asing” dalam Pasal 23 (d) UU Kewarganegaraan seolah menjadi dasar atas hilangnya status mereka sebagai WNI. Kemudian kalimat pernyataan mereka saat membakar passport untuk tidak terikat dengan negara tertentu juga menjadi alasan kuat untuk hilangnya status kewarganegaraan WNInya.

Seperti yang disampaikan oleh Ace Hasan Syadzily dari Komisi VIII DPR RI, waktu dimana mantan WNI tersebut mengikrarkan diri untuk tidak terikat dengan

kewarganegaraan tertentu, dengan simbolis melakukan pembakaran paspor Indonesia, sehingga dapat disimpulkan mereka tidak lagi sebagai warga negara. Willy Aditya yang juga merupakan anggota dari Komisi I DPR RI tentu memberikan pernyataan yang sama, dimana dari ke-600 ISIS yang berasal dari Indonesia yang sudah hilang status warga negaranya dan sudah meninggalkan NKRI sudah sebaiknya diperlakukan sebagai non-WNI.18 Jimly Asshiddiqie juga memberikan tanggapannya terhadap permasalahan ini dengan menyarankan pada pemerintah Indonesia agar sebaiknya mencabut passport Indonesianya, saran dari beliau tersebut merupakan bentuk dari sanksi terhadap simpatisan eks-ISIS yang berasal dari Indonesia agar lebih bisa berfikir lagi kedepannya dan tidak meninggalkan kewarganegaraan demi bergabung dengan tentara asing. Oleh karenanya, Pemerintah RI mengadakan rapat kabinet terbatas atas kasus ini, dan hasil dari rapat tersebut dapat disimpulkan untuk tidak menerima dan memulangkan WNI eks-ISIS tersebut, Karena ini merupakan tanggung jawab negara untuk mengedepankan keamanan terhadap 267 juta lebih penduduk yang berada di Indonesia. Negara menilai keamanan penduduk Indonesia lainnya lebih penting daripada harus memulangkan WNI eks-ISIS yang telah berkhianat pada NKRI dan menjadi teroris lintas batas (FTF).

Pengamat Hukum Tata Negara bapak Andi Ryza Fardiansyah, mengatakan keputusan yang dihasilkan melalui ratas ini sesuai dengan isi Pasal 28 G Ayat (1) UUD NRI 1945, yang dimana setiap warga negara Indonesia memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan rasa aman dari adanya ancaman.19 Dengan adanya Hak Konstitusional itu, tentunya juga harus mendapat jaminan dari Negara, dan negara juga harus menjamin keselamatan warganya sebagaimana tertuang pada Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI 1945. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa apabila dilihat faktanya bahwa mantan simpatisan ISIS itu secara yuridis telah kehilangan status kewarganegaraannya. Hal tersebut sebagaimana isi dari ketentuan UU Kewarganegaraan, itu sudah jelas dan pasti bahwa mantan simpatisan ISIS tersebut tidak memiliki Hak Konstitusional seperti WNI yang masih setia terhadap NKRI dan berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945. Hal tersebut karena aturan dan ketentuan yang terdapat dalam UUD NRI 1945 hanya mengikat terhadap warga negara yang setia pada negara Indonesia, dan isi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap oknum yang sengaja meninggalkan atau menghilangkan statsus kewarganegaraannya. Sehingga demikian, pemerintah dalam hal ini sudah memiliki opsi yang tepat karena dilihat dari statusnya serta untuk menjamin keamanan warga negara yang sudah setia terhadap bangsa Indonesia, sehingga dalam hal ini negara tidak memiliki tanggung jawab hukum dan bertanggung jawab terhadap mereka yang sudah dengan sengaja meninggalkan dan menghilangkan kewarganegaraannya demi bergabung dengan kelompok teroris (ISIS).

  • IV.    Penutup 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam konvensi Montevideo pada Pasal 1 tidak mengklasifikasikan ISIS sebagai suatu entitas negara, sehingga dengan hal tersebut mantan simpatisan ISIS masih bisa dikatakan berstatus WNI, untuk menghindari dari pelabelan stateless. Namun ada celah pada UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan bahwa simpatisan ISIS dari Indonesia itu berdasar pada Pasal 23 huruf d dan f, dapat kehilangan status WNInya. ISIS diklasifikasikan sebagai tentara asing, sehingga WNI yang meninggalkan Indonesia dan bergabung dalam organisasi ISIS dianggap menolak serta berkhianat pada NKRI. Terkait passport yang dibakar oleh ISIS, masalah tersebut tidak serta merta dapa dikatakan bentuk dari kehilangan status kewarganegaraannya, namun frasa “masuk dinas tentara asing” tersirat secara tegas pada Pasal 23 huruf (d) yang kemudian menjadi dasar kuat atas hilangnya kewarganegaraan WNI eks ISIS. Pernyataan untuk tidak mengikatkan diri terhadap negara tertentu yang terdapat dalam unggahan video juga merupakan dasar dari hilangnya status kewarganegaraannya. Keputusan untuk tidak memulangkan mantan simpatisan ISIS tersebut dan membiarkan mereka untuk menyandang status stateless merupakan salah satu keputusan riskan yang diambil oleh negara. Pasalnya, membiarkan seorang warga negara menyadang status stateless tentunya bertentangan dengan UU HAM. Akan tetapi, ini juga merupakan tanggung jawab negara guna memberikan rasa aman terhadap 267 juta lebih penduduk di Indonesia lainnya dibanding harus memulangkan seseorang yang telah berkhianat pada NKRI yang juga secara yuridis telah kehilangan status kewarganegaraannya, sebagaimana isi dari ketentuan UU Kewarganegaraan. Sehingga, menurut hemat penulis, pemerintah dalam hal ini sudah mengambil opsi yang sesuai untuk lebih mementingkan keselamatan 267 juta penduduk Indonesia dan menjamin keamanannya, ketimbang memulangkan oknum yang telah dengan sengaja menghilangkan status WNInya dengan bergabung bersama kelompok teroris lintas batas (FTF).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshididiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009).

Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi ke-3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005).

Johni Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-III, (Malang, Bayumedia Publishing, 2007).

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011).

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004).

Jurnal

Arafat Samu, Kifly, Status Hukum Warga Negara Indonesia Yang Terlibat Dalam Organisasi Teroris Internasional. Jurnal Lex Et Societatis Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. Vol. VI/No. 10 (2018).

Firmansyah, Idris, Slamet Suhartono, and Krisnadi Nasution. "STATUS WARGA NEGARA INDONESIA ANGGOTA TERORIS ISIS." Jurnal Akrab Juara 5, no. 3 (2020).

Hakim, Abdurrahman, Pro-Kontra Pemulangan Warga Negara Indonesia Eks Islamic State In Iraq And Syria, Jurnal IAIN Kendari Al-‘Adl Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. Vol. 13 No. 2, (2020).

Hilmy, Masdar. "Genealogi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia." Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 4, no. 2 (2014).

Kencana, I. Gusti Ngurah Surya Adhi, and Putra I. Ketut Sudiarta. "Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Pendukung Isis (Islamic State Of Iraq And Syria)." Jurnal Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana. Vol. 04, No. 05, (2016).

Lukman, N., & Parsa, I. Hak Atas Kewarganegaraan Bagi Keluarga Militan ISIS. Jurnal Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana. Vol. 7, No. 5, (2019).

Luntungan, Amey Yunita. "Naturalisasi Warganegaraan Asing Menjadi Warganegara Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan." Lex et Societatis vol. I no.5 (2013).

M. Alvi Syahrin, “Naturalisasi Dalam Hukum Kewarganegaraan: Memahami Konsep, Sejarah, Dan Isu Hukumnya”, Jurnal Thengkyang, Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang Vol. 1, No. 1 (2019).

Moh. Ramdan Rusdi, Status Kewarganegaraan Wni Yang Bergabung Dengan Isis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Dinamika Fakultas Hukum Universitas Malang. Vol. 26, No. 17, (2020).

Rusdi, Moh Ramdan. "Status Kewarganegaraan Wni Yang Bergabung Dengan Isis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 26, no. 17 (2020).

Samu, Kifly Arafat. "Status Hukum Warga Negara Indonesia Yang Terlibat Dalam Organisasi Teroris Internasional." Lex Et Societatis 6, No. 10 (2019).

Ketentuan Perundang-Undangan

Convention on the Reduction of Statelessness 1961

Montevideo Convention on the Rights and Duties of State

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4634)

Sumber Internet

Andi Ryza Fardiansyah-Kompasiana, 2020, Status Hukum WNI Eks ISIS Berdasarkan UU Kewarganegaraan,                          URL                           :

https://www.kompasiana.com/andiryzafardiansyah/5e3d6a99d541df5e3021f89 2/status-hukum-kewarganegaraan-ex-ISIS-berdasarkan-uu-kewarganegaraan?page=all#section1, diakses pada 5 Agustus 2020.

Andi Saputra-detiknews, 2020, Prof Hikmahanto Beberkan Alasan WNI yang Ikut ISIS Hilang Kewarganegaraannya, URL : https://news.detik.com/berita/d-4887915/prof-hikmahanto-beberkan-alasan-wni-yang-ikut-ISIS-hilang-kewarganegaraannya?single=1, diakses pada 3 Agustus 2020.

Anwar Hidayat, 2017, METODE PENELITIAN: Pengertian, Tujuan, Jenis, URL : www.statistikian.com/2017/02/metode-penelitian-metodologi-penelitian.html, diakses pada 30 Juli 2020.

Eko Pujianto-Indonesiainside.id, 2020, Simpatisan ISIS Bakar Paspor Indonesia, DPR: Mereka         Bukan         WNI         Lagi,         URL         :

https://indonesiainside.id/news/politik/2020/02/04/simpatisan-ISIS-bakar-paspor-indonesia-dpr-mereka-bukan-lagi-wni-lagi, diakses pada 4 Agustus 2020.

Marlinda Oktavia Erwanti - detiknews, 2020, Jokowi Pakai Istilah ISIS Eks WNI, Kenapa?, URL : https://news.detik.com/berita/d-4897514/jokowi-pakai-istilah-ISIS-eks-wni-kenapa?single=1, diakses pada 4 Juli 2020.

Taufik Ismail-tribunnews.com, 2020, Pernyataan Jokowi soal ISIS Eks WNI Konsisten dengan           UU           Kewarganegaraan,           URL           :

https://www.tribunnews.com/nasional/2020/02/13/pernyataan-jokowi-soal-ISIS-eks-wni-konsisten-dengan-uu-kewarganegaraan?page=all, diakses pada 2 Agustus 2020.

Video Pembakaran Passport dapat dilihat melalui link: https://www.youtube.com/watch?v=b1TOZYt2vVI, diakses pada 3 Juli 2020.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 8 Tahun 2021, hlm. 665-676

676