IMPLIKASI KECURANGAN PRAKTIK TRANSFER

PRICING TERHADAP ASPEK PERPAJAKAN DI INDONESIA

Hilyatul Azizah, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ni Luh Gede Astariyani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui upaya perusahaan dalam mencegah praktik transfer pricing dan implikasinya terhadap perpajakan di Indonesia. Jenis metode yang digunakan yaitu metode penelitian “yuridis normatif”. Sehubungan dengan penelitian ini maka dikaji tentang upaya perusahaan mencegah kecurangan praktik transfer pricing dan implikasinya terhadap aspek perpajakan di Indonesia. Sedangkan pendekatannya yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta hasil-hasil penelitian. Hasil studi penelitian ini yaitu upaya perusahaan mencegah kecurangan praktik transfer pricing dengan melakukan perencanaan dan pemeriksaan pajak dan mewajibkan perjanjian Advance Pricing Agreement (APA) dalam menentukan harga transaksi. Sedangkan implikasi kecurangan praktik transfer pricing terhadap aspek perpajakan di Indonesia yaitu pergeseran potensi penerimaan pajak negara akibat rekayasa harga yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk memperkecil jumlah pajak yang dibayar.

Kata Kunci : Transfer Pricing, Perjanjian APA, Perpajakan

ABSTRACT

This paper aims to determine the company's efforts to prevent transfer pricing practices and their implications for taxation in Indonesia. The type of method used is the "normative juridical" research method. In connection with this research, it is studied the company's efforts to prevent fraudulent transfer pricing practices and its implications for taxation aspects in Indonesia. While the approach is a statutory approach and an approach to the facts of research results. The results of this research study are the company's efforts to prevent fraudulent transfer pricing practices by planning and auditing taxes and requiring an Advance Pricing Agreement (APA) to determine the transaction price. Meanwhile, the implication of fraudulent transfer pricing practices on taxation aspects in Indonesia is the shift in potential state tax revenue due to price engineering by taxpayers to reduce the amount of tax paid.

Keywords: Transfer Pricing, APA Agreement, Taxation

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Pajak merupakan setoran kepada negara yang harus di penuhi dan dibayar oleh setiap wajib pajak yang meliputi orang atau pribadi, serta badan atau usaha dengan sifatnya yang wajib dan memaksa dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pajak dipergunakan dan dimanfaatkan guna kepentingan umum sehingga imbalan dan manfaat yang diterima bersifat tidak langsung. Hal tersebut telah dijelaskan dalam UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Pajak dalam hal tersebut didefinisikan sebagai kewajiban yang

harus di penuhi dalam bentuk pembayaran pendapatan dari setiap wajib pajak yang telah ditentukan kepada kas/negara guna dirasakan manfaatnya dalam setiap kebutuhan dan upaya memenuhi kepentingan negara dan kepentingan masyarakat umum sehingga sifatnya sangat memaksa. Perencanaan perpajakan adalah sebuah pembentukan struktur pajak dengan penstrukturan segala konsekuensi pada potensi pajak dengan menekan pengendalian pada tiap-tiap transkasi yang memiliki konsekuensi pajak. Tujuan dalam pengendalian yang dimaksud adalah untuk menghindari penyelundupan pajak (tax evasion) dengan menyeimbangkan efisiensi jumlah pajak yang harus di transfer kepada pemerintah melalui upaya penghindaran pajak (tax avoidance).

Didalam perpajakan terdapat beberapa problematika, salah satu diantaranya adalah kecurangan praktik transfer pricing yang disalahgunakan pada penentuan harga produk dalam berbagai kegiatan transaksi antar perusahaan multinasional. Transfer Pricing dikelompokkan menjadi dua kelompok yang berbeda dengan dilihat dari pelaku yang melakukan tindakan praktik transfer pricing diantaranya Intra Company TP dengan melibatkan antar unit bisnis perusahaan, sedangkan Intern Company TP yang melibatkan dua perusahaan yang ada dinegara yang sama atau domestik maupun di negara yang berbeda atau internasional dengan hubungan istimewa sebagai pelaku transfer pricing.1

Akibat yang timbul dari kecurangan praktik transfer pricing membuat sejumlah perusahaan hanya mampu mendapat sedikit keuntungan apabila perusahan tersebut berada dalam suatu negara yang mematok pajak cenderung tinggi, sebaliknya perusahaan yang berada pada negara yang memiliki tarif pajak rendah akan meraup keuntungan yang sangat tinggi oleh karena perusahaan-perusahaan dalam negara yang berbeda bisa merekayasa dan mengatur sebanyak mungkin sedangkan beberapa perusahaan pada suatu negara dengan patokan pajaknya yang cenderung rendah mendapat keuntungan yang sangat tinggi oleh karena perusahan-perusahaan dalam negara yang tidak sama atau berbeda dapat memanipulasi jumlah harga transfer pada setiap transaksi dengan sedemikian.2

Selain memanipulasi harga, transfer pricing juga memperhitungkan harga untuk mengendalikan manajemen terhadap transfer barang-barang dan transfer jasa pada tiap-tiap perusahaan. Sejumlah negara berkembang salah satunya Indonesia menyadari kelebihan korporasi multinasional menggunakan transfer pricing sebagai rekayasa dalam pengalihan potensi pajak dalam negeri ke luar negeri dengan bermacam dalih dan pertimbangan. Otoritas Pajak memandang transfer pricing secara subjektif karena dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pajak yang berkaitan terhadap kecocokan alokasi pendapatan, perolehan laba dan biaya jurisdiksi pajak yang tidak sama dimana perusahaan multinasional yang bersangkutan berjalan dan di operasikan.

Dalam kaitannya terhadap perpajakan, bentuk tindak pidana korporasi atas praktek transfer pricing di bidang perpajakan yaitu adanya unsur kesengajaan yang dilakukan korporasi dengan maksud dan tujuan untuk menghindari pajak yang mengakibatkan kerugian negara unsur kesengajaan dapat dilihat dari motivasi serta niat untuk

menghindari pajak yang berpotensi terhadap kerugian keuangan negara.3 Kejahatan transfer pricing guna menghindari pajak memiliki spektrum sangat luas yang meliputi beragam operandi. Praktik transfer pricing dalam kategori bisnis mampu mempengaruhi pergerakan profit dalam perusahaan. Profit tersebut digeser dari beberapa perusahaan dari suatu negara dengan jumlah pajak tergolong besar ke perusahaan suatu negara yang jumlah pajaknya sedikit, dengan demikian secara keseluruhan total profit sesudah pajak akan jauh lebih tinggi. Dampak pemindahan pendapatan tersebut berdampak pada keseluruhan pajak yang di bayar akan cenderung rendah, dan merugikan negara yang tarif pajaknya tinggi akibat kebijakan tersebut.

Untuk menjamin orisinalitas dari jurnal ini, maka dilakukan penelusuran terkait hal tersebut. Berikut dipaparkan beberapa karya ilmiah sebagai perbandingan:

No.

Judul

Penulis

Rumusan Masalah

1.

“Analisis Yuridis

Terhadap Transfer Pricing Sebagai Upaya Tax Avoidance (Penghindaran

Pajak)”

  • 1.    Ayu Ida S

  • 2.    Budi Ispriyarso

  • 3.    Henny Juliani

  • 1)    “Bagaimana terjadinya transfer pricing pada bidang perpajakan”?

  • 2)    “Apa upaya pemerintah dalam meminimalkan transfer pricing dalam perusahaan”?

2.

“Pemidanaan Korporasi Terkait Transfer Pricing di Bidang Perpajakan”

Sarief Hidayat

  • 1)    “Bagaimana merumuskan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana terkait transfer pricing di bidang perpajakan”?

  • 2)    “Bagaimana putusan Pengadilan terkait Pertanggungjawaban korporasi pelaku transfer pricing dibidang perpajakan”?

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah upaya perusahaan dalam mencegah kecurangan praktik transfer pricing?

  • 2.    Bagaimanakah implikasi kecurangan praktik transfer pricing terhadap aspek perpajakan di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 3 Sentanu, Ayu Ida, and Budi Ispriyarso Henny Juliani. “Analisis Yuridis Terhadap Transfer Pricing Sebagai Upaya Tax Avoidance (Penghindaran Pajak).” Diponegoro Law Journal

Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui upaya perusahaan dalam mencegah praktik kecurangan transfer pricing dan implikasinya terhadap aspek perpajakan khususnya perpajakan di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian “yuridis normatif”. Jenis penelitin dalam metode ini menggunakan berbagai data hukum sebagai patokan dalam memecahkan permasalah hukum.4 Penulis menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai jenis pendekatan penelitian dengan mengkaji sejumlah aturan dan norma hukum yang berkaitan dengan fokus pembahasan. Fokus terpenting dalam pendekatan penelitian ini yaitu legislasi dan regulasi yang disebut bahan hukum primer untuk menganalisis permasalahan hukum dan bahan hukum sekunder yang berupa hasil-hasil penelitian.5 Analisis penelitian ini bertumpu pada metode deduktif yang digunakan sebagai acuan utama, kemudian metode induktif yang digunakan sebagai komponen pendukung sehingga hal tersebut dijelaskan secara deskriptif dengan merumuskan pengertian dari bahan hukum terkait untuk mendapatkan penjelasan secara ilmiah terhadap fenomena yang terjadi6 dengan pendekatan analisis konsep hukum untuk menganalisis permasalahan dengan berbagai macam kualifikasi sesuai konsep-konsep hukum dan disertai dengan berbagai literatur seperti buku, refrensi publikasi jurnal, dan berbagai artikel yang relevan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Upaya Perusahaan Dalam Mencegah Kecurangan Praktik Transfer Pricing

Salah satu penerimaan negara bersumber dari setoran wajib yang disebut sebagai pajak, dalam hal ini pajak menjalankan fungsi budgetair dengan membiayai segala pengeluaran negara, seperti dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.7 Dalam sektor perpajakan salah satu peningkatan investasi dilakukan melalui perusahaan yang bergerak di bidang penanaman modal. Peningkatan perekonomian negara seperti peningkatan teknologi, peningkatan arus barang, peningkatan manajemen, peningkatan skill, dan peningkatan modal akan berkaitan secara langsung dengan peranan modal asing. Keberadaan berbagai perusahaan yang bergerak di bidang penanaman modal asing erat kaitannya dengan keberadaan perusahaan multinasional, tentunya hal ini merupakan salah satu bagian dari kebijakan bisnis. Perusahaan multinasional menjadi subjek yang melakukan praktik transfer pricing dengan memindahkan sejumlah laba pada negara berpajak tinggi ke negara yang berpajak cenderung lebih rendah. Oleh karena tidak ada sebagian aturan tentang anti penghindaran pajak dalam ketentuan perpajakan Indonesia, tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mereka. Pengalihan atas laba yang dilakukan oleh kebanyakan perusahaan multinasional dapat dicegah apabila otoritas pajak di berbagai negara membuat aturan hukum yang jelas terkait transfer pricing serta menerapkan hukuman

dan sanksi yang tepat. Selain itu dibutuhkan persyaratan dokumen yang lengkap serta pemeriksaan pajak terhadap perusahaan yang melakukan praktik transfer pricing.8

Tax Planning atau Perencanaan pajak dapat dilakukan untuk semua jenis pajak baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung.9 Perencanaan pajak menjadi salah satu upaya mencegah menambahnya beban pajak dengan meminimalisasi pajak secara baik, sehingga cara ini dapat meminimalisir beban pajak (tax sheltering). Manajemen pajak melalui tax planning melakukan upaya meminimalkan pajak agar seluruh utang pajak dapat digeser ke titik yang paling rendah, hal inipun dianggap legal oleh pemerintah.10 Dalam pelaksanaan tersebut, pemerintah membutuhkan dana pajak dengan bersumber dari penerimaan pajak guna membiayai segala operasional penyelenggaraan urusan pemerintahan. Beda halnya dengan wajib pajak yang berupaya memperkecil keseluruhan beban pajak yang seharusnya dibayar, sehingga tidak mengurangi kemampuan wajib pajak jika dilihat secara garis ekonomis.

Praktik kecurangan transfer pricing menekan jumlah pajak yang dibayar dan cenderung menghindar dari beban pajak tinggi (tax burden), sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kecurangan praktik harga transfer pricing yakni sebagai berikut;

  • a.    Perencanaan dan pemeriksaan Pajak

Pada dasarnya tujuan sebuah perencanaan perpajakan (tax planning) tidak lain ialah untuk memperkecil kewajiban atas pajak sehingga berada pada jumlah yang seminimal mungkin. Dalam hal perencanaan pajak tujuannya semata mata untuk memanipulasi dan menekan beban pajak sehingga berada pada nominal terendah dengan rekayasa memanfaatkan regulasi yang ada, beda halnya dengan tujuan pembuat undang-undang dan regulasi yang melakukan perencanaan pajak dengan menghindari pajak tanpa melanggar ketentuuan dan regulasi perpajakan yang ada (tax avoidance).

Dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) , pada Pasal 18 Ayat 3 disebutkan :

“ Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak independent, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya”.

Berikut merupakan penjelasan terkait maksud Pasal 18 Ayat (3) UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) diatas ialah: “ Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan

kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method). Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antaraa modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya. Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak”. Aparatur perpajakan atau otoritas fiskal selalu menginginkan transaksi hubungan istimewa tetap berdasar pada prinsip kewajaran dan bersifat arm’s length.11

Dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) , Dirjen pajak memiliki limpahan wewenang dalam urusan pajak dengan penerapan harga pasar sesuai prinsip, pada Pasal 19 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) inti aturan tersebut ialah : “Dirjen Pajak dengan kewenangannya akan menetapkan ulang nilai pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan koreksi nilai transaksi yang sesuai dengan kewajaran apabila dalam pemeriksaannya ditemukan adanya ketidaksesuaian harga transaksi dengan harga pasar yang wajar”.12

Dalam perbuatan pidana pajak, penjatuhan pidana kepada korporasi dapat dilakukan dengan proses pemeriksaan terhadap pelaku perbuatan pidana pajak yang dilakukan oleh pengurus atau pihak tertentu yang mengatas namakan korporasi, kemudian mengidentifikasi apakah perbuatan tersebut memberikan manfaat dan sejenis keuntungan terhadap wajib pajak dan badan korporasi yang mengetahui dan melakukan pembiaran terhadap perbuatan tersebut, setelah itu harus dilakukan penyidikan terhadap yang bersangkutan sehingga hakim dapat menjatuhkan penilaian bersalah apabila ditemukan adanya maanfaat dan keuntungan yang diperoleh atau diketahui melakukan pembiaran tersebut.13

  • b.    Advance Pricing Agreement (APA)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/Pmk.03/2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), Pada Pasal 1 Angka (5) menyebutkan:

“Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara: a. Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau b. Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/ atau menentukan harga wajar atau laba wajar dimuka”

Berdasarkan bunyi pasal diatas telah dijelaskan secara rinci penjelasan terkait pengertian Advance Pricing Agreement (APA) sesuai regulasi yang ada. Advance Pricing Agreement (APA) juga memiliki peran penting terhadap upaya pencegahan dan meminimalisir bentuk kecurangan manipulasi rekayasa harga transfer atau praktik transfer pricing yang dilakukan beberapa perusahaan-perusahaan multinasional.14 Dilaksanakannya perjanjian Advance Pricing Agreement (APA) akan mengurangi risiko pemeriksaan transfer pricing sehingga menghemat biaya dan waktu bagi kedua belah pihak.15 Ketentuan yang disepakati antara Direktur Jendral Pajak (DJP) dan Otoritas Perpajakan negara-negara lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak yang berada diwilayah yurisdiksinya merupakan salah satu kesepakatan Advance Pricing Agreement (APA) yang bersifat Unilateral.16

Hal-hal yang dapat dicakup dalam persetujuan yang sebelumnya telah disepakati Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak meliputi seluruh penentuan harga jual terhadap produk yang akan dihasiilkan beserta menentukan sejumlah penghasilan yang harus dibayar atas hak hasil produksi sesuai kesepakatan. Selain memberikan kepastian hukum, keuntungan dari Advance Pricing Agreement (APA) juga memberikan kemudahan untuk fiskus didalam masalah perhitungan pajak sehingga tidak perlu mengkoreksi setiaap harga jual dan laba penjualan produk yang dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap perusahaan dengan grup yang sama.17 Dengan demikian Advance Pricing Agreement (APA) dapat menjadi alternatif utama menyeimbangkan sistem perpajakan lokal dengan sistem pajak interlokal.

Advance Pricing Agreement (APA) tidak akan berlaku lagi dikarenakan dua alasan. Pertama, jika masa berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut. Kedua, apabila salah satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan tersebut tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak. Apabila terbukti bahwa Advance Pricing Agreement (APA) dibentuk berdasarkan data dan informasi yang menyesatkan, maka tujuan Advance Pricing Agreement (APA) dianggap tidak pernah tercapai.18

  • 3.2    Implikasi Kecurangan Praktik Transfer Pricing Terhadap Aspek Perpajakan Di Indonesia

Pendapatan pajak dan Subjek Pajak di Indonesia terdiri dari Dalam Negeri maupun Luar Negeri.19 Salah satu jenis pajak yang memiliki hubungan dengan transfer pricing ialah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Penghasilan (PPh) sangat berpengaruh signifikan terkait transfer pricing, sehingga hal ini mampu mengidentifikasikan bahwa pengaruh besarnya beban terhadap pajak mengakibatkan dorongan Manajemen Perusahaan mencoba praktik transfer pricing melalui transaksi antar divisi dengan hubungan istimewa, sehingga mengakibatkan turunnya laba yang cenderung berkurang dan pajak yang seharusnya dipenuhi akan dibayar semakin kecil.20

Perbedaan struktur perusahaan mengakibatkan kecurangan praktik transfer pricing membawa ketidak adilan terhadap aspek perpajakan. Perusahaan-perusahaan tunggal diwajibkan membayar pajak seperti apa adanya, sedangkan di lain situasi perusahaan yang dibagi menjadi satu berupaya memanfaatkan dan memanipulasi jumlah keuntungan yang mampu meminimalkan pajak.21 Apabila suatu transaksi terjadi berdasarkan harga pasaran yang bebas tanpa adanya faktor hubungan istimewa sebagai hal yang dapat melandasinya, maka transaksi tersebut tidak memiliki implikasi perpajakan dikarenakan transkasi tersebut apa adanya dan wajar (arm’s-length transaction). Implikasi pajak tertentu terjadi apabila adanya transaksi pelaku bisnis bebas menjalankan berbagai transaksi untuk mencapai berbagai keuntungan pribadi, semisal melakukan transfer pricing untuk menekan pajak yang harus dibayar menjadi seminimal mungkin.

Perspektif perpajakan di Indonesia belum sepenuhnya terlepas dari berbagai kasus tentang permasalahan perpajakan dan berbagai ketidak efektifan solusi pajak untuk setiap sengketa pajak yang terjadi pada petugas pajak maupu aparat perpajakan dan Wajib Pajak. Sehingga evaluasi tersebut menunjukkan belum adanya regulasi yang ketat terkait praktik transfer pricing dan ketidak optimalnya pelaksanaan instrumen regulasi terkait.22 Transaksi yang berkaitan dengan transfer pricing ini dapat bersifat domestik atau global. Transaksi yang bersifat domestik tidak akan membawa implikasi pajak yang signifikan atas pajak penghasilannya karena dilakukan pada yurisdiksi pemajakan yang sama. Sedangkan jika transaksi yang dilakukan bersifat global maka transfer pricing tidak akan membawa implikasi pajak tertentu selama berdasarkan harga pasaran yang bebas dan tidak ada hubungan istimewa yang melandasinya, sebaliknya jika bukan harga pasar yang menjadi dasar transfer pricing maka transaksi tersebut akan membawa implikasi pajak yaitu terjadinya pergeseran potensi pajak penerimaan negara.

Pergeseran potensi pajak akan memberikan manfaat kepada grup perusahaan dan akan menguntungkan secara keseluruhan dalam rangka:

“ [1] Pemerataan penghasilan kena pajak (base averaging) yang dilakukan dengan cara mengalokasikan laba pada beberapa subjek pajak dan mengurangi kemungkinan terkena progresivitas tarif; [2] Arbitrase kerugian (loss arbitrage) dengan menggeser setiap laba dan keuntungan kepada subjek pajak yang masih berhak atas kompensasi kerugian.”

Dalam kegiatan transaksi global akibat kecurangan praktik transfer pricing dilakukan untuk merekayasa harga transfer sedemikian rupa untuk memperoleh penghematan pajak global. Transaksi yang dilakukan antar perusahaan multinasional selalu berkaitan dan terlibat langsung dengan manipulasi penyalahgunaan praktik transfer pricing khususnya yang dimanipulasi oleh wajib pajak Penanaman Modal Asing (PMA) atau termasuk bentuk usaha tetap.23

Pada praktik kecurangan akibat transfer pricing dilakukan dengan sejumlah cara sebagai petujuk rekayasa tersebut. Beberapa petunjuk rekayasa transfer pricing yang disebutkan dalam paper yang tidak dipublikasikan yaitu :

“ petunjuk rekayasa tersebut meliputi [1] Walaupun perusahaan dalam keadaan merugi secara terus-menerus setiap tahunnya, namun tetap menjadi pembayaran royalty atau imbalan jasa teknis dan jasa lainnya dari perusahaan Indonesia yang dimaksud kepada induk atau perusahaan lainnya dalam satu grup. [2] Struktur permodalan perusahaan lebih banyak unggul terhadap pembiayaan dengan pinjaman dibanding dengan modal sendiri (thin capitalization). [3] Pembayaran deviden dalam jumlah besar tatkala perusahaan akan melaporkan laba. [4] memanfaatkan celah ketentuan perjanjian penghindaran pajak berganda (treaty shopping) dengan cara merekayasa arus dana melalui negara mitra perjanjian dengan maksud mendapatkan keringanan pajak. [5] Pemanfaatan tax-haven countries (negara tanpa beban atau dengan beban pajak yang jauh lebih rendah daripada Indonesia).”

Rekayasa transfer pricing dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindari beban memenuhi kewajiban atas beban pajak pada suatu negara dengan tujuan menghemat pajak global secara optimal dan semaksimal mungkin. Tujuan akhir pemajakan di suatu negara adalah memperoleh penghematan pajak global secara maksimal. Tingginya tarif sejumlah beban pajak akan memicu tindakan yang akan dilakukan oleh perusahaan untuk menaikkan sejumlah harga produk yang akan dibayarkan pada negara tersebut sebagai imbalan jasa yang keluar (outbound transaction).24 Dalam inbound transaction, constraint yang harus diperhatikan adalah seberapa besar transaksi tersebut diberlakukan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Semakin tinggi mark up yang dilakukan maka akan menambah jumlah bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang diwajibkan untuk dipenuhi dan dibayar. Adanya pembebasan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) akan memperlebar keleluasan perusahaan multinasional untuk menentukan jumlah harga transfer .25

  • 4.    PENUTUP

    • 4.1    Kesimpulan

Tax Planning atau perencanaan pajak menjadi salah satu upaya mencegah menambahnya beban pajak dengan meminimalisasi pajak secara baik, sehingga cara ini dapat meminimalisir beban pajak (tax sheltering). Tidak ada implikasi yang signifikan terhadap pajak penghasilan atas transfer pricing dalam transaksi yang

dilakukan secara domestik, karna yurisdiksi pemajakannya masih sama. Apabila suatu transaksi terjadi berdasarkan harga pasaran yang bebas tanpa adanya faktor hubungan istimewa sebagai hal yang dapat melandasinya, maka transaksi tersebut tidak memiliki implikasi perpajakan dikarenakan transkasi tersebut apa adanya dan wajar (arm’s-length transaction). Implikasi pajak tertentu terjadi apabila adanya transaksi pelaku bisnis bebas menjalankan berbagai transaksi untuk mencapai berbagai keuntungan pribadi.

  • 4.2    Saran

Dalam pembahasan jurnal ini penulis mencoba memberikan beberapa masukan dan saran bagi perusahaan multinasional hendaknya melakukan perencanaan pajak dan pemeriksaan pajak secara berkala untuk menghindari penyalahgunaan praktik transfer pricing, dan membuat kesepakatan harga sesuai pasar. Oleh karena kejahatan transfer pricing memiliki kaitan dengan kejahatan pencucian uang, maka keberadaan transfer pricing harus dideteksi lebih awal agar tidak disalah gunakan, sehingga perusahaan sangat dianjurkan melakukan kordinasi dengan Pusat Penelusuran Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai bentuk kerjasama mencegah penyalahgunaan praktik tersebut.

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893).

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Kententuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4953).

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/Pmk.03/2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 43 Tahun 2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Buku:

Amiruddin & Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta, Raja Grafindo

Persada, (2016).

Sutedi, Adrian. Hukum Pajak. Jakarta, Sinar Grafika, (2013).

Yani, Ahmad. Solusi Masalah Pajak Penghasilan. Jakarta, Kencana Prenada Media, (2012).

Karya Ilmiah:

Tarigan, Antonius Leonard. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang Perpajakan di Indonesia.” Master’s thesis.

Jurnal:

Hardiningsih, Pancawati, and Nila Yulianawati. "Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak." Dinamika Keuangan dan Perbankan 3, no. 1 (2011): 126-142.

Hardiyanto, Ivan. "Permasalahan Transfer Pricing dalam Undang-Undang Pajak di Indonesia." ARGUMENTUM Jurnal Magister Hukum 6, no. 1 (2019): 10821103.

Harimurti, Fadjar. “Aspek perpajakan dalam praktik transfer pricing.” Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan 7.1 (2012): 53-61.

Hidayat, Sarief. “Pemidanaan Korporasi Terkait Transfer Pricing Di Bidang Perpajakan.” Rechtidee 14, no. 1 (2019): 84-107.

Lingga, Ita Salsalina. “Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan Problematika Praktik Penghindaran Pajak ( Tax Avoidance).” Jurnal Zenit 1, no 3 (2012): 210-221.

Nurchalis, Nfn. “Efektivitas Sanksi Pidana Dalam Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan Dalam Menanggulangi Penghindaran Pajak Korporasi.” Jurnal Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 23-44.

Putri, Vidiyanna Rizal. “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Transfer Pricing Pada Perusahaan Manufaktur Di Indonesia.” Jurnal Manajemen Dayasaing 21, no.1 (2019): 1-11.

Sahilatua, Priska Febriani, and Naniek Noviari. "Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Sebagai Strategi Penghematan Pembayaran Pajak." E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 5, no. 2013 (2013): 231-250.

Saifudin, and Septiani Putri. “Determinasi Pajak, Mekanisme Bonus, Dan Tunneling Incentive Terhadap Keputusan Transfer Pricing Pada Emiten BEI.” Agregat: Jurnal Ekonomi dan Bisnis 2, no. 1 (2018): 32-43.

Santoso, Iman. "Advance pricing Agreement dan problematika transfer pricing dari perspektif perpajakan indonesia." Jurnal akuntansi dan keuangan 6, no. 2 (2004): 123-139.

Saraswati, G. A. R. S., and I. Ketut Sujana. "Pengaruh Pajak, Mekanisme Bonus, dan Tunneling Incentive Pada Indikasi Melakukan Transfer Pricing." E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 19, no. 2 (2017): 1000-1029.

Sentanu, Ayu Ida, and Budi Ispriyarso Henny Juliani. “Analisis Yuridis Terhadap Transfer Pricing Sebagai Upaya Tax Avoidance (Penghindaran Pajak).” Diponegoro Law Journal 5, no 2 (2016): 1-15.

Septarini, Nisa. “Regulasi dan Praktik Transfer Pricing di Indonesia dan Negara Maju.” Jurnal Akuntansi AKUNESA 1, no. 1 (2012).

Suryani, Putu, AA Sri Utari, and I. Gede Putra Ariana. “Penyelesaian Permasalahan Penggelapan Pajak Oleh Google di Indonesia.” Jurnal Kertha Negara 6, no. 01 (2018): 1-14.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 9 Tahun 2020, hlm. 13-24

24