MENYOAL PENERAPAN HUKUMAN RAJAM DAN MATI BAGI KAUM LESBIAN, GAY, BISEXUAL, DAN TRANSGENDER DI BRUNEI DARUSSALAM
on
MENYOAL PENERAPAN HUKUMAN RAJAM DAN MATI BAGI KAUM LESBIAN, GAY, BISEXUAL, DAN TRANSGENDER DI BRUNEI DARUSSALAM
Oleh:
I Gusti Agung Ayu Niti Savita Ranjani*
Made Maharta Yasa**
Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan orang-orang dengan perilaku dan orientasi seksual yang dianggap menyimpang adalah Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). Perilaku tersebut dapat dikatakan masih tergolong tabu bagi masyarakat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Pada April 2019, Juru Bicara Istana Negara Brunei Darussalam menyatakan bahwa negaranya akan memberlakukan hukuman rajam hingga tewas pada pelaku LGBT melalui hukum Syariah. Sultan Hassanal Bolkiah mempertegas alasan utamanya adalah untuk menjunjung lebih kuat ajaran agamanya. Berdasarkan alasan tersebut, kritik-kritik dunia terhadap Brunei mulai dilayangkan meski sempat diabaikan. Salah satunya dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa hukum yang diberlakukan Brunei bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional dan bahwa Amerika Serikat sangat menentang perbuatan diskriminasi, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap kaum rentan. Metode penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum, yaitu mengkaji permasalahan berdasarkan aturan-aturan hukum yang ada, lalu mengaitkannya dengan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hukuman rajam dan mati kepada LGBT yang diberlakukan oleh Brunei melalui Hukum Syariahnya merupakan sebuah implementasi untuk memenuhi norma agama yang berlaku dan hal tersebut merupakan sesuatu yang harus dihormati, namun hukum tersebut bertentangan dengan berbagai prinsip fundamental yang mendasari berlakunya norma dan hukum HAM Internasional seperti prinsip Kesetaraan, prinsip Diskriminasi, prinsip Keadilan atas Kesempatan, prinsip Persamaan yang Sebesar-Besarnya.
Kata Kunci: LBGT; Hukum Syariah Brunei; Perlindungan Hukum; HAM Internasional
Abstract
The general term used to describe people with sexual behavior and orientation that is considered to be deviant is (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). That behavior can be said to be still classified as taboo for people in several countries, including Indonesia. In April 2019, Spokesperson of the State Palace of Brunei Darussalam stated that the country would impose stoning to death on LGBT people through Syariah law. Sultan Hassanal Bolkiah emphasized his main reason was to uphold the teachings of his religion more strongly. Based on these reasons, the world's criticisms of Brunei Darussalam began to be posted even though they were ignored. One of them was from the United States Department of Foreign Affairs, which stated that the law imposed by Brunei was contrary to international human rights obligations. He mentioned that the United States was strongly opposed to acts of discrimination, criminalization, and violence against vulnerable people. The research method in writing this research is to use a type of research library method, namely studying the problem based on existing legal rules, then relating it to the facts that occur in society. The results that can be concluded from this study are the Stoning and Death Penalty for LGBT imposed by Brunei through its Syariah Law is an implementation to meet the prevailing religious norms and it is something that must be respected, but the law is contrary to various fundamental principles underlying the enactment international human rights norms and law such as the principle of Equality, the principle of Discrimination, the principle of Justice for Opportunity, the principle of Equal Equality.
Keywords: LBGT, Brunei Syariah Law, Legal Protection, International Human Rights
Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender atau biasa disingkat LGBT merupakan istilah yang digunakan mulai tahun 1990-an untuk mendeskripsikan sekelompok orang dengan orientasi maupun perilaku seksual yang berbeda. Istilah tersebut menggantikan frasa pendahulunya yaitu “komunitas gay”.1 LGBT sendiri singkatan dari empat jenis kelompok pengisi istilah itu sendiri, yaitu: (1) Lesbian (Lesbian), adalah sekelompok perempuan yang secara biologis dan
psikologis memiliki ketertarikan secara romantis terhadap perempuan lain. (2) Gay, yaitu sekelompok pria yang secara biologis dan psikologis memiliki ketertarikan secara romantis terhadap pria lain. (3) Biseksual (Bisexual), adalah sekelompok orang baik pria maupun wanita yang secara biologis dan psikologis merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis sekaligus sesama jenisnya. Dan yang terakhir (4) Transgender, sekelompok orang yang merasa identitas gendernya tidak sama dengan anatomi kelamin yang dibawa sejak lahir, sehingga mereka cenderung memiliki keinginan untuk mengubah jenis kelamin bawaannya dengan jenis kelamin yang ingin mereka miliki.2
LGBT bukanlah hal baru karena merupakan isu yang sudah menimbulkan banyak perbedaan pendapat di setiap bagian dunia. Permasalahan yang menjadi titik fokus utama mengenai LGBT adalah adanya perbedaan pendapat dari masyarakat dunia. Pihak-pihak terbagi menjadi pihak setuju dan tidak setuju. Pihak pro LGBT menyatakan bahwa baik negara maupun masyarakatnya harus lebih menekankan prinsip tanpa perbedaan antara para pria, perempuan, transgender, antara pecinta lawan jenis (heterosexual) dan pecinta sesama jenis (homosexual). Mereka menyerukan suatu tuntutan untuk dunia agar memenuhi fungsi dan eksistensi mereka sebagai manusia yang beradab serta memiliki Hak Asasi Manusia yang wajib dilindungi. Sedangkan pihak sebaliknya yaitu pihak kontra, menilai bahwa LGBT merupakan perilaku yang menyimpang, harus/dapat diperbaiki, dan tidak sesuai dengan konsepsi hak asasi manusia (HAM). Dalam kata lain, LGBT anggap tidak memenuhi kriteria agar dapat disebut sebagai HAM. Dalam hal ini, mereka berharap kalau negara dan masyarakatnya harus lebih gencar dalam melakukan upaya preventif terhadap gejala maupun munculnya LGBT di lingkungan masyarakat yang dianggap akan merusak generasi masa depan.
Yang didefinisikan sebagai suatu perilaku kelainan atau penyimpangan seksual secara umum adalah munculnya suatu dorongan atau kecenderungan bagi seseorang untuk memiliki rasa ketertarikan secara romantis kepada orang lain yang memiliki kesamaan gender dengan mereka. Pada kasus tertentu, beberapa orang memiliki ketertarikan pada kedua jenis kelamin. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa penyimpangan perilaku seksual merupakan hal yang tabu bagi sebagian masyarakat di beberapa negara, termasuk secara garis besar, Indonesia. Hal ini disebabkan budaya Indonesia merupakan budaya yang cenderung memegang teguh kebudayaan Timur, sehingga masih dapat terasa kentalnya ajaran etika, moral, serta agamanya.
Perbedaan pendapat, konsepsi, budaya, tradisi, serta kebiasaan suatu negara maupun masyarakat sangat dapat mempengaruhi bagaimana cara mereka menyikapi LGBT. Dalam hal ini sebagai rincian, telah kita ketahui bahwa negara-negara liberalis seperti Amerika, Brasil, dan Prancis merupakan seidkit dari banyak negara dengan masyarakat yang mayoritasnya pendukung LGBT, bahkan mengakui pernikahan sesama jenis secara sah. Sedangkan beberapa negara yang ‘kontra’ terhadap LGBT adalah Arab Saudi, Yaman, Sudan, dan Iran, yang ternyata sudah diketahui lebih dulu memberlakukan hukuman mati terhadap para LGBT meskipun tidak terdapat laporan mengenai benar-benar terjadinya hukuman mati dalam beberapa tahun terakhir.3
Brunei Darussalam sebagai salah satu negara yang memeluk erat konsep hukum Islam, tahun ini mendapat berbagai macam jenis pendapat dari seluruh dunia, mayoritas merupakan kritik pedas dari politikus-politikus negara lain. Hal ini disebabkan mulanya pada bulan April 2019, pemerintahnya berusaha menerapkan undang-undang Syariah yang mengandung poin dapat menjatuhkan hukuman rajam
serta mati pada LGBT. Dalam pidatonya, Sultan Hassanal Bolkiah menyatakan bahwa alasan dari kukuh menerapkan hukuman tersebut adalah karena ia ingin melihat ajaran Islam tumbuh di negaranya dengan lebih kuat.4
Berdasarkan alasan tersebut, kritik-kritik dunia terhadap Brunei mulai dilayangkan meski sempat diabaikan. Salah satunya dari Kementerian Luar Negeri AS, yang menyatakan bahwa hukum yang diberlakukan Brunei bertentangan dengan kewajiban HAM internasional. Ia menyinggung bahwa AS sangat menentang perbuatan diskriminasi, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap kaum rentan.5
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diangkatlah permasalahan ini oleh penulis dalam bentuk karya tulis berjudul, “Hukuman Rajam dan Mati di Brunei terhadap LGBT dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional”.
-
1. Bagaimanakah Perlindungan HAM Internasional terhadap kaum Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT)?
-
2. Bagaimanakan penerapan Hukum Syariah Brunei Darussalam yang memuat sanksi berupa Hukuman Rajam dan Mati terhadap kaum LGBT apabila ditinjau dari Perspektif Hukum HAM Internasional?
Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah:
-
1. Untuk menganalisis pengaturan mengenai perlindungan HAM internasional terhadap kaum LGBT.
-
2. Untuk menganalisis penerapan hukum Syariah Brunei Darussalam mengenai hukuman rajam dan mati terhadap kaum LGBT ditinjau dari pengaturan HAM Internasional.
Dalam berbagai kepustakaan, dapat dijumpai beberapa definisi dari metode penelitian. Salah satu sarjana dan ahli hukum Subagyo berpendapat bahwa metode penelitian adalah cara bagi seseorang untuk menemukan jawaban dalam proses penelitian suatu masalah yang ingin dipecahkan. Metode penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian yang bersifat atau bermetode studi pustaka, yaitu mengkaji permasalahan berdasarkan aturan-aturan hukum yang ada, lalu mengaitkannya dengan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
Hak Asasi Manusia pertama kali dicetuskan dalam Bahasa Perancis, “Droit L’Homme” yang biasa diartikan sebagai hak-hak manusia dan dalam Bahasa Inggris disebut “Human Rights”.6 HAM dalam taraf Internasional merupakan bagian dari sistem hukum Internasional, yang berisikan serangkaian peraturan, pernyataan, larangan, serta prinsip dan konsep yang pada pembentukannya dilakukan oleh masyarakat Internasional. Negara memiliki peranan penting dalam menentukan isi dari hukum Internasional berdasarkan kebiasaan, perjanjian, statuta, deklarasi, hingga piagam yang pada akhirnya menjadi peraturan yang mendasari
banyak peraturan lainnya seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).7
PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara-negara pihaknya, menyebutkan dasar utama tentang perlindungan HAM setiap orang, tercantum dalam Pasal 55 yang berisikan kewajiban setiap negara pihak untuk mendukung secara penuh dan mengakui universalisasi berlakunya HAM. Hal tersebut menuntun pengaturan HAM internasional secara khusus dan rinci melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional (Universal Declaration of Human Rights 1948) atau UHDR.
UHDR memberikan jaminan bagi semua manusia untuk bebas dalam hidup, bekerja, memeluk agama yang dipercaya, berpendapat, menikah, melakukan sesuatu yang meningkatkan taraf kehidupannya, dan masih banyak lagi. Memiliki titik penekanan dalam Pasal 16, yang secara singkat membahas tentang tidak diperbolehkan adanya batasan terhadap pria maupun wanita dalam umur yang telah diatur sedemikian rupa untuk menikah dan memiliki keluarganya sendiri, serta berhak secara penuh atas apapun yang terjadi selama pernikahannya maupun selama penyelesaian sengketa pernikahannya.
Selain itu, Pasal 2 UDHR juga menyatakan: “Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth, or other status…”
Fakta bahwa secara umum, UHDR 1948 tidak menyinggung maupun menyebutkan apapun yang berkaitan dengan orientasi seksual menyebabkan hak LGBT dalam mengekspresikan orientasi
seksual mereka menjadi suatu hal yang masih dijadikan perdebatan. Dalam pasal yang dikutip di atas, UHDR menyinggung soal kebebasan untuk menikah dan membuat keluarga, namun tidak secara spesifik menyebutkan tentang jenis kelamin maupun orientasi seksual tertentu.
Dalam Pasal 2 UHDR menjelaskan tentang, “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain…” dapat dijadikan dasar pembenar bahwa siapapun dapat merasakan kebebasan yang ada di dalam Deklarasi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin.
HAM kaum LGBT juga diatur secara mendasar di ICCPR atau International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 yang mengatur tentang hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan, kedudukan yang sama dihadapan hukum, dan lain-lain. Kovenan ini memiliki kekuatan mengikat kepada negara-negara anggota PBB. Perlindungan terhadap LGBT terinci dalam Pasal 1 yang menyatakan semua orang memiliki hak untuk memutuskan sendiri hak-hak yang berkaitan dengan nasibnya serta mengumumkan pada tiap-tiap negara mengenai perwujudan haknya tersebut. Hak tersebut didukung Pasal 6 kovenan yang sama, dengan isinya yang menyebutkan mereka diperbolehkan melakukan apapun yang diatur secara jelas dalam kovenan disertai hak untuk hidup dengan bebas tanpa mendapat diskriminasi dalam bentuk apapun serta penyiksaan fisik.
Pada dewasa ini, perdebatan mengenai seberapa diterimanya orang-orang dengan orientasi seksual yang dianggap menyimpang semakin genjar dibahas dalam lingkup internasional. Banyak orang yang secara terbuka berusaha memperjuangkan para LGBT untuk mendapat hak-hak mereka baik itu mendapat perilaku tanpa
diskriminasi, perlakuan sama di depan hukum, maupun hak-hak konvensional seperti menikah. Bahkan beberapa negara telah melegalkan pernikahan sesama jenis di negaranya, seperti Portugal, Spanyol, dan Selandia Baru.8 Belanda juga membuat undang-undang yang mendukung LGBT serta hak-hak mereka yang diakui secara setara dan tanpa diskriminasi apapun, hingga menjadi negara yang mempelopori hak-hak LGBT di Uni Eropa.9
Perlindungan HAM Internasional kepada para LGBT akan harus dan terus ditegakkan terutama apabila mereka sebagai golongan yang dianggap berbeda mengalami perlakukan yang tidak baik seperti diskriminasi, bullying, kekerasan, dan segala bentuk pelanggaran HAM lainnya termasuk hukuman rajam dan mati seperti yang diperbolehkan oleh Hukum Syariah Brunei dan beberapa hukuman serupa lainnya yang terjadi maupun berlaku di berbagai negara.
-
2.2.2 Hukum Syariah Brunei mengenai Hukuman Rajam dan Mati terhadap LGBT dalam Perspektif Hukum HAM Internasional
Pada awal tahun 2014, Brunei mulai memberlakukan hukum Syariahnya yang didasari oleh hukum Islam, berisi serangkaian hukuman pidana yang keras seperti dalam fase pertamanya, mereka memperbolehkan hukum potong tangan bagi para pencuri dan hukuman rajam bagi para pelaku zinah. Sultan Hassanal Bolkiah dalam pidato resminya mengenai pemberlakuan hukum tersebut mengatakan bahwa ia menekankan bahwa ada prinsip dan tujuan dari hukum Islam yang ingin ia perkuat pada negara dan masyarakatnya, dan ia menekankan bahwa ia tidak masalah apabila ia menerima berbagai komentar dari pihak internasional,
namun ia berharap pihak luar akan memaklumi keputusannya yang ia buat untuk negaranya tersebut.10
Hukum Syariah Islam yang membahas soal homoseksual menyantumkan pasal yang menyebutkan bahwa seseorang dapat dihukum apabila ia mengaku atau kedapatan berhubungan seks sesame jenis dengan kesaksian empat orang, dan akan dikenai pidana berupa hukum rajam hingga mati. Sebelum aturan ini berlaku, kaum homoseksual dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dengan ancaman hukum 10 tahun penjara.
Serangkaian aturan pidana yang mulai diberlakukan Brunei tersebut lantas menjadi suatu hal yang sangat kontroversial dan menuai banyak perdebatan, dengan klaim bahwa hukum tersebut cukup bertentangan dengan prinsip maupun komposisi dari HAM.
Dalam Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment atau CAT 1984, tertulis unsur-unsur pokok dari penyiksaan itu sendiri:
-
1. Timbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa;
-
2. Oleh atau dengan persetujuan pejabat-pejabat Negara yang berwenang;
-
3. Untuk suatu tujuan tertentu, seperti mendapatkan informasi, penghukuman, atau intimidasi.
Sedangkan pada hakikatnya, terdapat beberapa prinsip HAM yang merupakan dasar mengapa hukum Syariah Brunei mendapat kecaman dan disebut sebagai “langkah mundurnya HAM”. Beberapa prinsip yang berhubungan adalah:11
-
4. Prinsip Kesetaraan (Equality)
Merupakan prinsip yng sangat fundamental dan menjadi dasar atas segala prinsip lainnya yang mensyaratkan harus adanya perlakuan yang setara, sama bagi semua
orang tanpa membeda-bedakan, di situasi apapun, dan dimanapun.
-
5. Prinsip Diskriminasi (Discrimination)
Adalah prinsip yang melanggar adanya segala jenis maupun bentuk diskriminasi pada semua orang. Prinsip ini sebenarnya merupakan bagian dari prinsip kesetaraan dan memiliki hubungan yang jelas karena apabila seseorang melanggar prinsip kesetaraan, maka orang tersebut sudah dapat dikatakan melakukan tindak diskriminasi. Prinsip ini sendiri dikenal dalam bentuk dua jenis, yaitu diskriminasi langsung dan diskriminasi tidak langsung. Secara singkat, diskriminasi langsung terjadi ketika seseorang menerima perlakukan berbeda dari orang, golongan, maupun kelompok lain. Sedangkan diskriminasi tidak langsung biasanya diakibatkan oleh suatu peristiwa ataupun hal yang berdampak pada suatu golongan maupun kelompok masyarakat.
Yang menjadi perdebatan diantara para ilmuwan, politikus, tokoh agama, maupun pada masyarakat itu sendiri adalah bagaimana dan apakah prinsip HAM itu meliputi hak-hak para LGBT untuk secara bebas dapat mengekspresikan orientasi seksualnya yang dianggap bertentangan dengan beberapa prinsip agama maupun kebudayaan di beberapa negara. Hal tersebut menjadi fokus terbesar dan permasalahan yang tidak henti-hentinya dibicarakan dan menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat, namun tidak dapat ditentukan secara jelas solusinya oleh karena beragamnya sisi maupun kebudayaan di tiap-tiap golongan yang juga dilindungi HAM.
Para LGBT merupakan golongan manusia yang juga memiliki hak untuk hidup, hak semasa hidup, serta hak mati, dan hal tersebut melingkupi banyak hak-hak kebebasan lain yang diatur oleh HAM. Hak-haknya dilindungi secara mendasar oleh prinsip-
prinsip HAM dan pengaturan-pengaturan internasional yang sudah semakin diperbaharui untuk menjaga keseimbangan status sosial semua orang dan menjaga agar lebih mudah diaturnya hal-hal spesifik mengenai LGBT yang dapat berjalan secara kesinambungan dengan golongan-golongan yang memiliki perbedaan pendapat dengan mereka.
Berdasarkan pemaparan terhadap rumusan masalah di atas, maka dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan yaitu: Perlindungan Hak Asasi Manusia LGBT diatur dalam berbagai instrumen Internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966 dan Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Pasal 16 UDHR menyebutkan tidak diperbolehkan adanya batasan terhadap pria maupun wanita dalam umur yang telah diatur sedemikian rupa untuk menikah dan memiliki keluarganya sendiri, dan Pasal 2 menekankan bahwa hak kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tidak membeda-bedakan ras, kebangsaan, jenis kelamin, atau agama. Hukuman Rajam dan Mati kepada LGBT yang diberlakukan oleh Brunei Darussalam melalui Hukum Syariahnya di dalam perspektif Hukum Internasional bertentangan dengan berbagai prinsip fundamental yang mendasari berlakunya norma dan hukum HAM Internasional seperti prinsip Kesetaraan, prinsip Diskriminasi, prinsip Keadilan atas Kesempatan, prinsip Persamaan yang Sebesar-Besarnya, serta bertentangan dengan ketentuan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966 mengenai hak untuk hidup, dan ketentuan Universal Declaration of Human Rights mengenai setiap orang berhak menikah dan membentuk keluarga sendiri tanpa memandang ras, kebangsaan, jenis kelamin, dan agama.
Tindakan kekerasan maupun diskriminasi yang selama ini dialami kaum LGBT menunjukkan adanya kesenjangan sosial serta kemunduran laju HAM yang secara garis besar melanggar beberapa prinsip fundamental yang tertuang di dalam instrumen-instrumen HAM internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, artikel ini merekomendasikan agar Pemerintah Brunei Darussalam mempertimbangkan kembali pengaturan mengenai hukuman rajam dan mati yang dijatuhkan pada kaum LGBT. Selain itu, Komisi Hukum Internasional hendaknya menginisiasi pembahasan dan penyusunan pengaturan internasional yang memberikan perlindungan terhadap LGBT.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Maulana Abul Maududi, 2016, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta.
Rozali dan Samsyir, 2009, Perkembangan HAM dan Keberadaan Pengadilan HAM di Indonesia, Jakarta.
Mansur Efendi, 2010, Tempat Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional, Cetakan III, Bandung Alumni.
JURNAL
Meilanny Budiarti Santoso, 2012, “LGBT dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Staf Pengajar Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjajaran, Vol. 6. Email:
Roby Yansyah, Rahayu, 2018, “Globalisasi LGBT: dalam Perspektif HAM dan Agama dalam Ruang Lingkup Indonesia”, Jurnal Pembelajaran Volume 2 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Email: robyansyah12@gmail.com.
INTERNET
Kompas.com, 2019, Disorot soal Hukuman Mati bagi LGBT, Sultan Brunei Kembalikan Gelar dari Universitas Oxford URL: https://internasional.kompas.com/read/2019/05/24/1347151
1/disorot-soal-hukuman-mati-bagi-lgbt-sultan-brunei-kembalikan-gelar-
INSTRUMEN INTERNASIONAL
Piagam PBB (United Nations Charter)
Universal Declaration of Human Rights tahun 1948
ICCPR (Konvensi Internasionl tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
15
Discussion and feedback