UPAYA DEMILITERISASI DI RUANG ANGKSA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM RUANG ANGKASA INTERNASIONAL

Irvan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected] I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk memahami pengaturan prinsip maksud-maksud damai dalam Space Treaty 1967 sebagai dasar eksplorasi ruang angkasa dan untuk mengetahui upaya-upaya demiliteriasi atas pemanfaatan ruang angkasa dalam perspektif hukum ruang angkasa internasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum dengan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengaturan prinsip maksud-maksud damai dalam Space Treaty 1967 sebagai dasar eksplorasi ruang angkasa telah diatur dalam ketentuan Pasal IV paragraph 2 Space Treaty 1967, namun masih terdapat perbedaan penafsiran dari masing-masing negara terutama negara adikuasa sehingga masih ditemukan pelanggaran prinsip ini atas eksplorasi di ruang angkasa. Terkait dengan upaya-upaya demiliteriasi atas pemanfaatan ruang angkasa dalam perspektif hukum ruang angkasa internasional dapat dilakukan dengan melakukan amandemen ketentuan Pasal IV Space Treaty 1967 dan merumuskan suatu perjanjian internasional yang mengatur mengenai upaya demiliterisasi ruang angkasa agar seluruh negara-negara yang melakukan eksplorasi di ruang angkasa dapat memanfaatkannya dengan tujuan damai.

Kata Kunci: Demiliterisasi, Ruang Angkasa, Space Treaty 1967

ABSTRACT

The purpose in this study is to understand the setting of principles of peaceful intent in the Space Treaty 1967 as a basis for space exploration and to know the efforts of demiliteriation on the utilization of space in the perspective of international space law. This research uses normative legal research methods with a statutory approach and analysis of legal concepts with a qualitative and systematic descriptive data analysis technique. The results showed that setting the principle of peaceful intent in the Space Treaty 1967 as the basis of space exploration has been governed in the provisions of article IV paragraph 2 Space Treaty 1967, but there are still differences in interpretation of each country especially the superpower so that still found violations of this principle for exploration in space. Associated with the efforts of demiliteriation on the utilization of space in the perspective of International space law can be done by amendments to the provisions of article IV Space Treaty 1967 and formulating an international treaty governing the efforts of demilitarisation of the space so that all countries that do exploration in space can utilize it with a peaceful purpose.

Keywords: Demilitarization, Space, Space Treaty 1967

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Perkembangan teknologi telah merambah hampir seluruh bidang kehidupan manusia saat ini. Pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia sehari-harinya. Salah satunya yaitu adanya teknologi akhirnya mempermudah setiap pekerjaan manusia saat ini. Penggunaan teknologi yang mampu mempermudah pekerjaan manusia salah satunya teknologi di bidang komunikasi. Adanya perkembangan yang pesat dalam teknologi komunikasi telah mampu mempendek jarak antara orang ketika ingin berkomunikasi. Apabila kita melihat bagaimana dahulu ketika seseorang ingin melakukan komunikasi dengan jarak yang jauh sangatlah sulit dan memerlukan biaya yang tidak murah. Misalnya, seseorang yang berada di Negara A dan ingin berkomunikasi dengan keluarganya di Negara B sangatlah sulit. Setelah ditemukannya telepon dan akhirnya ditemukannya internet yang semakin mempermudah manusia untuk melakukan komunikasi lintas daerah bahkan lintas Negara. Hal ini menjadikan pergaulan masyarakat tidak hanya dengan orang-orang di lingkungan lokalnya saja, namun juga mampu bergaul dengan orang dari seluruh dunia. Selain itu, adanya perkembangan teknologi yang semakin canggih sangat baik karena mampu berimplikaasi positif terhadap hubungan antar Negara berkat adanya perkembangan teknologi informasi tersebut. Perkembangan yang pesat dalam dunia teknologi informasi tidak dapat dinikmati seperti sekarang ini tanpa adanya alat bantu pemancar yang disebut satelit.

Satelit dalam konteks hukum ruang angkasa diartikan sebagai suatu benda yang di orbitkan oleh usaha manusia menuju orbit bumi.1 Dalam hal ini, istilah yang digunakan untuk menyebutkan satelit sesuai dengan perngertian tersebut yaitu satelit buatan. Hal ini karena di dalam ruang angkasa terdapat satelit alami bumi yaitu bulan, sehingga satelit yang diartikan sebagai alat bantu pemancar dalam mendukung perkembangan teknologi informasi merupakan satelit buatan manusia yang di ortbitkan ke ruang angkasa. Dalam sejarah perkembangan teknologi satelit buatan mencatatkan bahwa satelit buatan pertama yang diluncurkan ke orbit bumi adalah Sputnik I milik Uni Soviet (sekarang telah terpecah menjadi beberapa Negara salah satunya Rusia). Satelit ini diluncurkan dengan tujuan untuk mengetahui ketebalan atsmosfer bumi dan hasilnya berupa pembagian lapisan-lapisan atmosfer menjadi lima lapisan. Hal ini pun menjadi titik mula riset-riset untuk menghasilkan lebih banyak lagi satelit buatan agar mampu mempermudah kehidupan manusia kedepannya. Dengan diluncurkan satelit Sputnik I milik Uni Soviet yang sangat berguna tersebut telah menginisiasi Negara-negara lainnya untuk mampu mengikuti jejak Sputnik I salah satunya Apollo I milik Amerika Serikat yang merupakan rival abadi Uni Soviet dalam era perang dingin.2

Perlombaan teknologi satelit dari kedua pihak telah menandai dimulainya era kepadatan dan kesibukan arus lalu lintas di atmosfer bumi maupun orbit bumi di luar angkasa. Bahwa rangkaian keberhasilan peluncuran satelit-satelit oleh kedua Negara maupun sekutunya bukan semata-mata bentuk dari perluasan cakrawala dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga akan membawa

implikasi pada bidang kehidupan lainnya seperti politik, ideology, hukum dan pertahanan keamanan suatu negara.3 Salah satu implikasi pada bidang pertahanan dan keamanan suatu negara adanya perkembangan jenis satelit yang digunakan sebagai senjata militer baik senjata pendukung maupun senjata utama. Tindakan seperti ini sangat mengkhawatirkan saat persaingan dan perlombaan persenjataan terus terjadi hingga kini dengan partisipasi Negara yang semakin banyak. Tentu hal ini perlu untuk mendapatkan perhatian serius dunia mengingat kondisi saat ini beberapa Negara tengah dalam situasi yang panas mengatasi permasalahan kedualuatan Negara. Misalnya Amerika Serikat dengan Iran yang bersitegang atas serangan militer Amerika Serikat ke Iran yang menewaskan Jendral Angkatan Militer Iran. Selain itu, pelanggaran kedaulatan wilayah oleh Tiongkok terhadap wilayah perairan Indonesia di Laut Natuna yang belakangan semakin memanas. Tentu hal ini dapat memicu perang yang mengancam perdamaian dan kemananan dunia internasional.

Perang yang terjadi tidak dapat dipungkiri menggunakan teknologi yang semakin canggih salah satunya dengan satelit yang mampu bertransformasi menjadi senjata militer pemusnah massal. Hal ini tentu mampu memicu terjadi perang dunia ketiga dan mengancam stabilitas perdamaian dunia yang berdampak buruk pada seluruh Negara terutama Negara-negara berkembang. Mengingat bahwa selama ini pemain di ruang angkasa hanya Negara-negara maju yang memiliki sumber daya untuk melakukan eksplorasi sekaligus eksploitasi ruang angkasa dengan satelit-satelit yang diluncurkannya termasuk satelit yan diperuntukan sebagai senjata militer. Pada sisi lain, Negara-negara berkembang yang tidak memiliki kemampuan dan sumber daya untuk membangun pertahanan diri dari ruang angkasa dengan satelit akan menjadi korban pertamanya. Padahal, aturan mengenai pemanfaatan ruang angkasa telah diatur di dalam instrument hukum ruang angkasa internasional yang tertuang di dalam Space Treaty 1967 sebagai hasil kerja komite The United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outeer Space (UNCOPOUS).4 Meskipun di dalam Space Treaty 1967 dalam Pasal I paragraf (2) yang menyatakan bahwa ruang angkasa, termasuk bulan dan benda langit lainnya bebas dimasuki, mendirikan stasiun-stasiun dan instalasi-instalasi guna melakukan berbagai percobaan juga bebas memakai benda-benda langit tersebut baik untuk sebagian maupun keseluruhannya sebagai penerapan prinsip free access sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut.

Prinsip tersebut nyatanya tidak mampu menjadi jaminan tindakan-tindakan penyalahgunaan kebebasan memanfaatkan ruang angkasa untuk kepentingan militer. Melihat perkembangan yang ada saat ini, satelit yang diluncurkan di orbit bumi tidak hanya yang berhubungan dengan kepentingan pengetahuan atau iinformasi seperti tujuan awal dari eksplorasi ruang angkasa. Kepentingan dan kehendak untuk mendominasi penggunaan ruang angkasa telah mengakibatkan diluncurkannya berbagai satelit yang memiliki fungsi yang spefisik untuk mendukung pertahanan suatu Negara, seperti satelit pengintai hingga satelit yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan satelit lainnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip utama di dalam Space Treaty 1967 yaitu non appropriation principle dan freedom exploitation principle. Adapun kedua prinsip tersebut menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk diekploitasi oleh semua Negara sepanjang untuk tujuan

damai.5 Meskipun perkembangan teknologi ini telah dikembangkan sejak tahun 1950-an, hingga saat ini belum ada instrument hukum yang memiliki kepastian hukum dibentuk untuk mengatur kegiatan tersebut. Adanya Space Treaty 1967 yang secara prinsip melarang tindakan tersebut, namun belum mampu menjadi dasar hukum internasional untuk melarang tindakan ini. Mengingat dalam instrument ini masih terjadi perdebatan mengenai intepretasi“maksud-maksud damai” dalam prinsip yang tercantum pada Pasal IV paragraf 2 Space Treaty 1967 oleh negara-negara adikuasa menyebabkan tidak adnaya tindakan tegas yang menjadi dasar hukumnya.6

Bahwa di dalam instrument hukum internasional salah satunya Space Treaty 1967 belum membahas secara spesifik tentang teknologi ini yang menggunakan ruang angkasa sebagai media pengembangannya.7 Pada dasarnya kemajuan dan kepemilikan senjata dengan teknologi canggih termasuk teknologi senjata berupa satelit adalah hak masing-masing Negara dan ini sangat bergantung pada kemampuan sumber daya tiap negaranya. Bahwa belum terdapat batasan-batasan yang melarang pengembangan senjata terkecuali penggunaan senjata nuklir, sehingga dianggap bahwa senjata berupa satelit atau memanfaatkan teknologi satelit sah berlakunya. Berdasarkan urain tersebut, maka perlu dikaji kembali dalam jurnal yang berjudul “Upaya Demiliterisasi Di Ruang Angksa Ditinjau Dari Perspektif Hukum Ruang Angkasa Internasional.

Artikel ilmiah ini dibuat dengan judul Upaya Demiliterisasi Di Ruang Angksa Ditinjau Dari Perspektif Hukum Ruang Angkasa Internasional berdasarkan keinginan untuk memahami pengaturan dalam Space Treaty 1967 sebagai landasan hukum untuk kegiatan eksplorasi ruang angkasa yang dikhususkan mengkaji prinsip maksud-maksud damai sebagai upaya demiliteriasi ruang angkasa yang belum terdapat publikasi ilmiah yang sama atau memiliki persamaan dalam permasalahan yang dikaji pada jurnal nasional maupun jurnal internasional.

  • 1.2.    Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu:

  • 1.    Bagaimana pengaturan prinsip maksud-maksud damai dalam Space Treaty 1967 sebagai dasar eksplorasi ruang angkasa?

  • 2.    Bagaimanakah upaya-upaya demiliteriasi atas pemanfaatan ruang angkasa dalam perspektif hukum ruang angkasa internasional?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk memahami pengaturan prinsip maksud-maksud damai dalam Space Treaty 1967 sebagai dasar eksplorasi ruang angkasa dan untuk mengetahui upaya-upaya demiliteriasi atas pemanfaatan ruang angkasa dalam perspektif hukum ruang angkasa internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Pada penelitian ini, digunakan jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif. Yang mengkaji permasahalan dalam tataran norma, konsep, asas hukum sebagai suatu kaidah yang metodenya yang doktrinal-nomologik 8dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.9 Dari bahan hukum yang telah diperoleh maka dianalisa dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pengaturan Prinsip Maksud-Maksud Damai dalam Space Treaty 1967

Saat ini, ruang angkasa merupakan aset yang sangat berharga bagi berbagai negara. Mengingat bahwa suatu negara mampu mengembangkan teknologi yang kemudian digunakan untuk mendukung aktivitas melalui ruang angkasa, maka negara tersebut dianggap mampu memenangkan persaingan dari negara lainnya. Hal ini menyebabkan banyak negara mulai mengembangkan teknologi baik secara mandiri maupun kerjasama untuk memanfaatkan ruang angkasa dengan optimal. Salah satunya dengan mengorbitkan satelit-satelit yang memiliki berbagai fungsi tak terkecuali fungsi yang berkaitan dengan persenjataan di bidang militer.10 Sementara itu, peran militer yang demikian besar dalam kegiatan keruangangkasaan terkait erat dan saling mempengaruhi dengan berbagai bidang kehidupan lainnya seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, hukum dan sebagainya. 11 Meskipun tujuan dan fungsi awal dari beberapa satelit tersebut bukan sebagai satelit pendukung aktivitas militer, namun seiring dengan keperluan dan kondisi negaranya satelit-satelit tersebut dapat digunakan dengan mudah untuk membantu kegiatan militer negara ketika terjadi keadaan yang mendesak.

Pada dasarnya baik aktivitas militer maupun sipil di ruang angkasa, kalau dilihat sejarah perkembangan aktivitas militer Amerika Serikat di ruang angkasa sebagai perbandingan, didasari oleh teknologi militer. Bukanlah merupakan suatu persoalan yang rumit untuk mengonversi suatu teknologi yang mulanya digunakan untuk tujuan sipil menjadi teknologi militer. Terlebih lagi saat ini, kondisi persaingan persenjataan antar negara kian memanas, sehingga masing-masing Negara menganggap perlu untuk melakukan self-defense dengan melakukan perubahan fungsi pada satelit-satelit tersebut ketika dibutuhkan.12 Ketika kondisi ini semakin memanas, tidak dapat dimungkiri akan memicu terjadinya perang satelit sebagai senjata mematikan di ruang angkasa dan berdampak terhadap kehidupan di bumi sehingga mengancam keamanan dan perdamaian dunia. Perlu diingat kembali bahwa wilayah

ruang angkasa merupakan suatu wilayah yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun.13

Terdapat dugaan kuat bahwa dari sekian ribu satelit yang diluncurkan ke orbit bumi, hampir 50% digunakan untuk kepentingan militer. Walaupun tidak ada satupun diantaranya dirumuskan mempunyai fungsi militer.14 Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran yang sangat besar akan adanya bahaya perlombaan persenjataan dan konflik bersenjata di ruang angkasa yang berdampak pada kehidupan di muka bumi. Disaat yang bersamaan, bahwa sampai saat ini belum terdapat kesepakatan mengenai dibenarkan atau tidaknya kegiatan yang bersifat militer di ruang angkasa menurut Space Treaty 1967. Hal ini karena masih adanya perbedaan interprestasi mengenai frasa “peacefull purposes” dalam Space Treaty 1967. Terlebih lagi sampai saat ini belum terdapat kesepakatan mengenai “space objects” yang seperti apa termasuk dalam klasifikasi bersifat militer dan yang tidak bersifat militer. Kenyataan ini semakin meningkatkan kekhawatiran akan terjadi suatu situasi yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan manusia yang tidak merasa aman dan mendapatan perlindungan hukum dari aspek hukum ruang angkasa internasional. Bahwa tujuan utama dari hukum internasional yaitu “the establishment of a world community of human dignity,” harus diselaraskan dalam pengaturan hukum ruang angkasa sebagai bagian dari hukum internasional itu sendiri.15

Telah dikatakan sebelumnya bahwa hukum internasional sebagaimana hukum pada umumnya, adalah bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban. Melalui hukum internasional kepentingan bersama masyarakat internasional diatur dan dijamin kemanannya sebagai upaya mencapai ketertiban minimum, dalam arti menekan sekecil mungkin penggunaan kekerasan atau paksaan secara tidak sah dan untuk mencapai ketertiban optimum.16 Dalam artian sebesar mungkin mengupayakan dan bersama-sama merasakan nilai-nilai kehidupan, seperti rasa hormat, kekuasaan, kesejahteraan, kemanusiaan da sebagainya. Tujuan umum hukum internasional tersebut tampak jelas dalam dan dipertegas dalam Piagam PBB. Pada pembukaan Piagam PBB, perdamaian dan keamanan internasional diberikan tekanan khusus dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari bencana perang. Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB yang menekankan bahwa sengketa-sengketa internasional harus diselesaikan dengan cara-cara damai sedemikian rupa, sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terancam.

Sebagai perwujudan hukum internasional kontemporer, ketentuan yang terdapat di dalam Piagam PBB berlaku juga di ruang angkasa. Hal ini bukan semata-mata karena ditentukan demikian oleh Pasal III Space Treaty 1967 melainkan karena nature dari perbuatan itu sendiri tanpa memandang dimana perbuatan itu dilakukan. Dalam hubungannnya dengan aktivitas negara-negara di ruang angkasa, Pasal III Space Treaty 1967 menyatakan bahwa:

State parties to the treaty shall carry on activities in the exploration and use of outer space, including the moon and other celestial bodies, in accordance with international law, including the Charter of the United Nations, in the maintaining of international peace and security and promoting international co-operation and understanding.17 Konsekuensinya, keabsahan setiap aktivitas Negara-negara di ruang angkasa harus dinilai bukan saja jika aktivitas tersebut dibenarkan oleh Space Treaty 1967 (dan perjanjian-perjanjian internasional lain yang bersumber padanya) melainkan juga bilamana hal itu dapat dibenarkan oleh ketentuan hukum internasional umum dan Piagam PBB.

Lebih lanjut, dalam Space Treaty 1967 yang juga memuat prinsip-prinsip dasar bagi aktivitas Negara-negara di ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya, mempunyai tujuan bahwa segala kegiatan Negara-negara dalam eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa harus dilakukan demi perdamaian dan kemanusiaan. Prinsip ini yang dianggap sebagai prinsip utama yang terdapat dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1962 yaitu a) eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa dapat dilakukan hanya untuk kesejanteraan dan kepentingan kemanusiaan; b) ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua Negara tanpa kecuali, berdasarkan persamaan derajat, tak dapat dijadikan objek pemilikan nasional; dan c) berada di bawah pengaturan hukum internasional dan Piagam PBB.18 Dalam perkembangannya bahwa pembentukan hukum ruang angkasa dengan lahirnya perjanjian internasional di samping Space Treaty 1967, dalam aktivitas eksplorasi penggunaan ruang angkasa kini telah ditentukan Sembilan prinsip dasar yaitu:19

  • 1.    Freedom of exploration and use of Outer Space and Celestial Bodies;

  • 2.    Non-appropriation of Outer Space or Celestial Bodies;

  • 3.    Exploration and use of Outer Space, Celestial Bodies in accordance with fundamental Principles of International Law, including the Charter of United Nations;

  • 4.    Partial Demilitarization of Outer Space;

  • 5.    Retention by States of Sovereign Rights over Space Objects Launched into Outer Space;

  • 6.    International Responsibility of State for National Activities in Space, Including Liability for damage caused by space objects;

  • 7.    Prevention of potentially harmful consequences of Experiment in Outer Space and on Celestial Bodies;

  • 8.    Assistance to Personnel of Spacecraft in the Event of Accident, Distress or Emergency Landing;

  • 9.    International cooperation in the Peaceful Exploration and Use of Outer Space and Celestial Bodies.

Dengan memahami prinsip-prinsip utama hukum internasional yang mengatur aktivitas keruangangkasaan seperti tersebut di atas, maka setiap aktivitas yang mengandung ancaman terhadap perdamaian dan kemanusiaan adalah bertentangan

dengan Space Treaty 1967. Atas dasar pemikiran seperti di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan ruang angkasa untuk kepentingan militer adalah tidak sesuai dengan semangat hukum internasional pada umumnya, khususnya Piagam PBB maupun Space Treaty 1967. Hal ini didasarkan pada argumentasi:

Pertama, terlepas dari belum adanya kesepakatan tentang pengertian “maksud-maksud damai” (peaceful purposes), tidak ada jaminan bahwa teknologi militer canggih yang diluncurkan ke ruang angkasa tidak menjadi agresif seperti diawal peluncurannya. Bahwa pada saat potensi agresif itu muncul, berarti pada saat itu pula muncul ancaman penggunaan kekerasan. Berarti pada saat yang sama telah terjadi ancaman terhadap keamanan dan perdamaian. Hal ini bertentangan dengan Piagam PBB yang melarang penggunaan Negara-negara. Kedua, aktivitas militerisasi ruang angkasa akan memancing ketidakstabilan internasional. Hal ini terbukti ketika dunia dikecam oleh ketegangan “perang dingin” antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (sebelum bubar) selama hampir setengah abad dan masyarakat internasional terbagi dalam blok-blok. Ketiga, dilihat dari sudut pandang pengakuan aktivitas Negara-negara di ruang angkasa harus dilakukan “demi keuntungan/kepentingan semua Negara,” sehingga tindakan militeriasi ruang angkasa juga tidak dapat diterima karena hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang sedang berpacu dalam perlombaan persenjataan. Keempat, dengan menganggap aktivitas militerisasi ruang angkasa sebagai kegaitan yang sah, secara tidak langsung hal itu berarti mengesahkan dominasi Negara-negara maju terhadap Negara-negara berkembang. Kelima, merujuk pada prinsip “non-appropriation of Outer Space, Including the Moon and other celestial bodies,” militerisasi ruang angkasa juga tidak dibenarkan.

Hal ini karena secara de facto menempatkann secara permanen perangkat militer dalam bentuk satelit di ruang angkasa tidak ada bedanya dengan perbuatan menguasai ruang angkasa dan memperlakukan ruang angkasa sebagai objek hak milik negaranya.20 Tentu tindakan seperti ini bertentangan dengan ketentuan Space Treaty 1967 yang dengan tegas menyatakan bahwa ruang angkasa berserta bulan dan benda-benda langit lainnya tidak boleh dijadikan objek kepemilikan. Mengingat bahwa semua Negara berhak untuk memperoleh manfaat dari ruang angkasa, karena selama ini hanya Negara-negara maju yang lebih banyak menikmati manfaat dari hasil eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa berkewajiban untuk membantu Negara-negara sedang berkembang, yang karena kemampuan teknologinya belum bisa melakukan sendiri perolehan manfaat tersebut.21 Oleh karena itu, perlu dilakukan perundingan kembali untuk mempertegas pengaturan pengertian prinsip maksud-maksud damai dalam dalam Space Treaty 1967 agar tidak terdapat multitafsir antar negara yang menyebabkan ancaman militer bagi keamanan dan perdamaian dunia.

  • 3.2.    Upaya-Upaya Demiliterisasi Ruang Angkasa Dalam Perspektif Hukum

    Ruang Angkasa Internasional

Dalam upaya melakukan pengaturan demiliterisasi di ruang angkasa, pertama akan menyangkut pengertian dan ruang lingkup dari demiliterisasi di ruang angkasa itu sendiri. Keinginan untuk melakukan upaya demiliteriasi di ruang angkasa dimulai dari dasar pemikiran bahwa menjadikan ruang angkasa dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan dengan maksud-maksud damai. Sampai saat ini belum terdapat suatu definisi tentang demiliterisasi di ruang angkasa, baik cakupan dan ruang lingkupnya. Hal ini dikarenakan belum adanya kesamaan pandangan terkait pengertian militerisasi di ruang angkasa antar Negara-negara.

Robert Rochon menyatakan bahwa justru kelemahan utama dari hukum internasional yang ada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan akan pentingnya suatu definisi atau pengertian yang tepat dan dapat disetujui secara multilateral mengenai pengertian “militerisasi” dan “maksud-maksud damai” serta “demiliteriasi” dalam kaitannya dengan ruang angkasa yang seharusnya di atur agar hukum ruang angkasa berlaku secara efektif.22 Oleh karena itu, sampai saat ini belum adanya perjanjian internasional tentang demiliterisasi ruang angkasa yang bersifat komprehensif. Meskipun pada Pasal IV Space Treaty 1967 menyatakan bahwa:23

States party to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth any objects carrying nuclrear weapons or any other kind of weapons of mass destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in Outer Space in any other manner.

The moon and celestial bodies shall be used by all States Party to the Treaty exclusive for peaceful purposes. The establishment of military bases, installations and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct of military manoeuvers on celestial bodies shall be forbindden. The use of military personel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited. The use of any equipment or facility for peaceful exploration shall also not be prohibited.“

Berdasarkan pada Pasal 4 paragraf pertama disebutkan bahwa Negara peserta perjanjian yang akan menggunakan ruang angkasa tidak diijinkan untuk meletakkan benda-benda di sekitar orbit bumi dengan membawa senjata nuklir ataupun senjata lain yang bersifat permusnah massal dengan tujuan dan alasan apapun. Peletakan objek di ruang angkasa yang kemudian bersifat destruktif tentunya tidak diijinkan dan tidak sesuai dengan tujuan awal penggunaan ruang angkasa. Paragraf kedua menyebutkan bahwa bulan dan benda angkasa lainnya harus digunakan oleh para Negara peserta secara eksklusif untuk kepentingan yang damai. Poin penting selanjutnya dari pasal tersebut adalah pembangunan instalasi militer atau percobaan senjata-senjata militer terhadap benda-benda yang ada di ruang angkasa tidak diperbolehkan. Akan tetapi, peletakan personel militer apabila digunakan untuk penelitian demi kepentingan perdamaian diperbolehkan. Serta pengguanaan benda-benda angkasa lainnya diperbolehkan namun terbatas pada kepentingan damai. Ketentuan ini pun masih belum mampu memberikan pengertian yang pasti apa yang dimaksud dengan militerisasi, maksud-maksud damai apalagi upaya demiliterisasi ruang angkasa.

Mengenai belum adanya kesatuan pendapat maka untuk mengetahui interpretasi yang benar dari istilah “militerisasi” ataupun “maksud-maksud damai” itu tidak cukup hanya dengan memperhatikan apa yang tertulis. Dalam hal ini, Konvensi Wina 1969 memberikan ketentuan tentang tata cara menafsirkan suatu perjanjian internasional. Menurut Pasal 31 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan bahwa dalam menginterpretasikan suatu perjanjian internasional harus diperhatikan: a) arti yang biasa dipakai dalam hubungannya dengan objek dan tujuan perjanjian internasional yang bersangkutan; b) konteks atau

hubungan kata-katanya; dan c) arti khusus atau tertentu yang diberikan terhadap suatu istilah yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian itu.24

Apabila tafsirkan berdasarkan penjelasan diatas bahwa arti yang biasa dipakai pada istilah “ maksud-maksud damai” dalam perjanjian-perjanjian internasional di luar Space Treaty 1967 diartikan sebagai non-militer, meskipun tidak seluruhnya tegas menyatakan demikian. Dapat dikatakan bahwa istilah “maksud-maksud damai” dalam Space Treaty 1967 pun adalah mengandung pengertian non-militer.25 Selanjutnya untuk pengertian isitilah “militerisasi” dapat ditafsirkan dari segi konteks dan hubungannya dengan pengertian “maksud-maksud damai” yang diartikan non-militer, yaitu setiap penggunaan ruang angkasa yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud (yang bersifat militer), tanpa memperhatikan bentuk maupun caranya, termasuk dalam pengertian militerisasi ruang angkasa. Karenanya pula, setiap benda angkasa buatan manusia yang merupakan bagian dari sistem yang lebih luas yang melaksanakan suatu tugas militer (military assignment), termasuk pula dalam pengertian militerisasi ruang angkasa. Oleh karena itu, satelit-satelit ataupun pesawat ruang angkasa lainnya yang digunakan untuk mendukung operasi-operasi militer (used in support of military operations) masuk pula dalam kategori militerisasi ruang angkasa. 26

Jika mengikuti perdebatan-perdebatan yang terjadi pada forum Confrence on Disarmament, terlihat bahwa dalam upaya melakukan langkah-langkah demiliterisasi ruang angkasa, telah berkembang dua keinginan atau pendapat. Pertama, demiliterasi dalam arti luas yaitu yang menghendaki agar ruang angkasa dibebaskan dari segala aktivitas yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud yang bersifat militer. Kedua, demiliterisasi dalam arti sempit yaitu yang mengartikan demiliterisasi ruang angkasa sebagai “space deweaponization.”27 Pendapat yang kedua ini menghendaki agar ruang angkasa dibebaskan dari segala macam persenjataan. Ini tampaknya mengacu pada kenyataan sejarah demiliterisasi. Merujuk pada perkembangan sejarahnya, yang diartikan sebagai demiliterisasi itu sendiri memang berkisar pada upaya-upaya pembatasan, pengurangan, atau penghapusan suatu jenis senjata tertentu atau pembatasan atau pengurangan kekuatan bersenjata.

Berdasarkan penjelasan di atas, adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya militerisasi di ruang angkasa, perlu melakukan perubahan atas ketentuan di dalam Space Treaty 1967 yang menjadi dasar hukum internasional di bidang hukum ruang angkasa khususnya Pasal IV sebelum terbentuknya perjanjian internasional multilateral terkait demiliterisasi ruang angkasa. Bahwa adanya kelemahan dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967 telah dilihat bahkan berselang satu tahun sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut tepatnya pada Tahun 1968. Sehingga upaya untuk melakukan amandemen atas ketentuan tersebut penting untuk segera dilakukan. Perubahan tersebut harus dilakukan terkait celah dalam Pasal IV Space Treaty 1967 terhadap:

  • a)    Tidak adanya larangan mengenai penempatan senjata nuklir atau senjata-senjata lain yang berdaya rusak massal pada orbit di sekitar bulan dan benda-benda langit lainnya karena yang dilarang hanya pada orbit bumi.

Sehingga perlu diatur larangan atas ketentuan tersebut dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967.

  • b)    Tidak adanya larangan yang berkenaan dengan senjata-senjata nuklir atau senjata berdaya rusak massal lainnya yang berada di semi-orbit, sehingga hal ini perlu diatur dan ditegaskan kembali dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967.

  • c)    Tidak adanya penjelasan yang pasti terkait “maksud-maksud damai” dan “militerisasi” di dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967, sehingga perlu dipertegas agar adanya suatu kepastiaan hukum atas tindakan-tindakan yang memiliki tujuan militer dan memiliki potensi mengancam keamanan dan perdamaian dunia baik sekarang maupun yang akan dating patut dianggap sebagai tindakan militerisasi ruang angkasa.

Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi militeriasi yaitu dengan membentuk suatu perjanjian internasional multilateral tentang upaya demiliteriasasi ruang angaksa. Akan tetapi, upaya ini tentu akan menghadapi beberapa hambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor politik yaitu bahwa peran factor politik dalam proses pembentukan hukum internasional khususnya hukum ruang angkasa sangat besar. Hal ini karena perbedaan kepentingan politik masing-masing Negara akan menghambat kesepakatan terkait substansi demiliterisasi ruang angkasa terutama dari Negara-negara maju. Kedua, factor perbedaam dalam hal kemampuan teknik dan ilmiah antara negar-negara maju dan Negara-negara berkembang yang sudah jelas bahwa dominasi perumusannya ada pada Negara-negara maju. Ketiga, faktor ketidakjelasan dalam ketentuan hukumnya bahwa ketidakjelasan perumusan suatu ketentuan hukum internasional yang sering terjadi dapat menjadi penghambat upaya demiliterisasi ruang angkasa. Adanya hal ini membuka peluang munculnya berbagai interpretasi yang belum tentu sesuai dengan jiwa atau maksud yang sesungguhnya dari ketentuan tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam Pasal IV Space Treaty 1967.28 Meskipun demikian, diperlukan usaha yang lebih nyata dari berbagai Negara angggota PBB untuk bertemu dan membahas mengenai pembentukan perjanjian multilateral demiliteriasi ruang angkasa sesegera mungkin. Hal ini tidaklah mustahil ketika perjanjian internasional mengenai pembatasan senjata nuklir berhasil dirumuskan karena masalah militerisasi ruang angkasa juga berdampak buruk terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Agar tujuan dari Piagam PBB dan khususnya tujuan dari Space Treaty 1967 tercapai yaitu menjaga keamanan dan perdamaian dunia internasional dari ancaman perang yang dapat merugikan kehidupan manusia.

IV. Penutup 4.1. Kesimpulan

Pengaturan prinsip maksud-maksud damai dalam Space Treaty 1967 sebagai dasar eksplorasi ruang angkasa telah diatur dalam ketentuan Pasal IV paragraph 2 Space Treaty 1967, namun masih terdapat perbedaan penafsiran dari masing-masing negara terutama negara adikuasa sehingga masih ditemukan pelanggaran prinsip ini atas eksplorasi di ruang angkasa. Terkait dengan upaya-upaya demiliteriasi atas pemanfaatan ruang angkasa dalam perspektif hukum ruang angkasa internasional dapat dilakukan dengan melakukan amandemen ketentuan Pasal IV Space Treaty 1967

dan merumuskan suatu perjanjian internasional yang mengatur mengenai upaya demiliterisasi ruang angkasa agar seluruh negara-negara yang melakukan eksplorasi di ruang angkasa dapat memanfaatkannya dengan tujuan damai dan memenuhi ketentuan hukum ruang angkasa internasional baik hasil amandemen Space Treaty 1967 ataupun hasil perjanjian internasional lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kusumaatmadja, Mochtar and Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional (PT. Alumni, Bandung, 2012).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Kencana Prenada, Jakarta, 2010).

Palguna, I Dewa Gede. Ancaman Perang Dari Ruang Angkasa Telaah Yuridis Perspektif Hukum Internasional (Buku Arti, Denpasar, 2015).

Skripsi

Simamora, Silwanus Uli, Mexsasai Indra, and Ledy Diana. “Tanggungjawab Negara Peluncur Benda Angkasa Terkait Masalah Sampah Luar Angkasa (Space Debris) Berdasarkan Liability Convention 1972.” Diss. Faculty of Law Riau University, 2016.

Jurnal

Habiba, Farah, Agus Pramono, and Elfia Farida. "Upaya Negara China Dalam Pembersihan Sampah Luar Angkasa Menggunakan Laser Raksasa Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional." Diponegoro Law Journal 8 No.3 (2019).

Hanafi, Irma H. "Aktifitas Penginderaan Jauh Melalui Satelit di Indonesia dan Pengaturannya dalam Hukum Ruang Angkasa." Jurnal Sasi 17, No.2 (2011).

Herdiansyah, Herdis. "Kebijakan Strategis Mitigasi Ancaman Peredaran Orbit Satelit terhadap Keamanan Nasional: Pendekatan Analytical Hierarchy Process." Jurnal Keamanan Nasional 4, No.2 (2018).

Noor, Dimitri Anggrea, and I. Ketut Sudiarta. "Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Space Treaty 1967 Terhadap Aktivitas Komersial Di Luar Angkasa." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 04, No. 01 (2016).

Pramono, Agus, and HM Kabul Supriyadhie. "Kerjasama Eksplorasi dan Pemanfaatan Antariksa untuk Maksud Damai antara Indonesia dan Ukraina Berdasarkan Space Treaty 1967." Diponegoro Law Journal 5, No.3 (2016).

Putra, Satria Diaz Pratama, Agus Pramono, and M. Kabul Supriyadhie. "Analisis Yuridis Eksistensi Yurisdiksi Satelit Ruang Angkasa Menurut Hukum Internasional." Diponegoro Law Journal 8, No.1 (2019).

Prasetyo, Dony Aditya. "Status Hukum Teknologi Anti Satellite Weapon Ditinjau Dari Hukum Ruang Angkasa." Risalah Hukum 10, No.1 (2014).

_______. "Tanggung Jawab Negara Peluncur terhadap Sampah Ruang Angkasa." Arena Hukum 9, No.1 (2016).

Subandi, Agit Yogi. "Tanggung Jawab Perusahaan Multinasional Dalam Kegiatan Keruangangkasaan Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Ruang Angkasa." Journal of Internafional Commercial Law and Technology 9, No.1 (2014).

Supriyono, Sachrizal Niqie. "Pengaturan Outer Space Treaty 1967 terhadap Penelitian yang Dilakukan oleh Amerika Serikat di Planet Mars." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, No.1 (2014).

Wicaksana, Dani Adi, Ida Bagus Wyasa Putra, and Made Maharta Yasa. "Kebijakan Internasional Pengaturan Lembaga Ganti Rugi Dalam Penyelesaian Ganti Rugi Akibat Pengoperasian Benda-Benda Angkasa Buatan." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 04, No. 02 (2016).

Jurnal Kertha Negara Vol.8 No. 7 Tahun 2020, hlm.14-26

26