LEGALITAS AKTIVITAS MILITER DI RUANG ANGKASA BERDASARKAN KETENTUAN PIAGAM PBB DAN

SPACE TREATY 1967

Edward Pardamean Purba, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk aktivitas militer saat ini dan untuk mengetahui legalitas aktivitas militer di ruang angkasa berdasarkan Piagam PBB dan Space Treaty 1967. Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum dengan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk aktivitas militer biasanya menggunakan berbagai jenis satelit yaitu satelit-satelit yang digunakan untuk kepentingan militer yaitu satelit pengintai fotografis, satelit pengintai elektronik, satelit pengamat laut dan samudera, satelit peringatan dini, satelit komunikasi, satelit navigasi dan satelit meterologi dan geodesi. Serta sistem pertahanan antisatelit atau yang disebut Anti-Satellite (ASAT) system, Ballistic Missile Defense dan Strategic Defense Initiative atau SDI. Sedangkan legalitas aktivitas militer di ruang angkasa berdasarkan Piagam PBB dan Space Treaty 1967 bahwa pada Piagam PBB maupun Space Treaty 1967 sejatinya telah mengatur ketentuan pemanfaatan ruang-ruang di bumi dan sekitarnya termasuk ruang angkasa. Bahwa pemanfataan ruang angkasa untuk tujuan kemiliteran baik untuk persenjataan dan pengintaian militer harus mengedapankan maksud-maksud damai dan tetap menjaga perdamaian, keamanan dan ketertiban dunia agar tetap memiliki dasar legalitas atas aktivitas militernya di ruang angkasa.

Kata Kunci: Legalitas, Aktivitas Militer, Ruang Angkasa, Hukum Internasional

ABSTRACT

This article aims to determine the forms of space use for current military activities and to determine the legality of military activity in space based on the UN Charter and the 1967 Space Treaty. This study uses a normative legal research method with a legislative approach and analysis of legal concepts with qualitative descriptive data analysis techniques. The results of this study indicate that forms of space use for military activities usually use various types of satellites, namely satellites used for military purposes, namely photographic surveillance satellites, electronic surveillance satellites, ocean and ocean observer satellites, early warning satellites, communication satellites, navigation satellites and meteorological and geodetic satellites. As well as the antisatellic defense system or the so-called AntiSatellite (ASAT) system, Ballistic Missile Defense and Strategic Defense Initiative or SDI. Whereas the legality of military activity in space is based on the UN Charter and the 1967 Space Treaty that the UN Charter and the 1967 Space Treaty have actually set the provisions for the use of space on earth and its surroundings including space. That the use of space for military purposes both for weapons and military surveillance must establish peaceful purposes and maintain world peace, security and order so that they continue to have a legal basis for their military activities in space.

Keywords: Legality, Military Activity, Space, International Law

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Dalam pandangan modern, unsur terbentuknya Negara terdiri atas unsur konstitusi yaitu rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat dan unsure deklaratif yaitu adanya pengakuan Negara lain (de facto). Yang dimaksud wilayah adalah suatu

tempat dimana rakyat menetap/bermata pencarian, dan pemerintahan melaksanakan pemerintahannya. Wilayah meliputi: a. wilayah daratan, b. wilayah lautan dan c. wilayah udara (air space), yaitu wilayah atau ruang udara yang ada diatas wilayah daratan dan lautan Negara itu. Jadi, wilayah Negara berbentuk tiga dimensi dan bentuk-bentuk dimensi merupakan satu kesatuan politis (one political unit) sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Saat ini, dapat dibayangkan bagaimana sesaknya arus lalu lintas pada seluruh dimensi wilayah termasuk di ruang angkasa. Dapat dibayangkan saat ini ruang angkasa yang demikian luas sesak dipenuhi oleh aktivitas bersifat rekayasa dan tidak alami. Benda-benda angkasa dan satelit-satelit buatan manusia bertebaran di sana sini.1 Benda-benda angkasa tersebu diluncurkan dari bumi dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Sepanjang untuk kepentingan damai dan kemanusiaan, tentu hal tersebut tidaklah menjadi masalah. Bahwa manusia sudah pasti akan mendapatkan manfaat dari aktvitas itu.

Di samping untuk kepentingan damai dan kemanusiaan, ternyata satelit-satelit itu juga diluncurkan dari Negara-negara tertentu untuk fungsi dan kepentingan militer. Dari sinilah logika terdapat ancaman perang yang mengancam perdamaian dunia karena terjadinya perlombaan persenjataan oleh berbagai Negara. Bahkan, kepentingan militer yang memanfaatkan ruang angkasa ditunjukkan dengan adanya satelit pengintai fotografis dan pengintaian elektronik. Semakin maraknya pemanfaatan ruang angkasa di era modern pasca perang dunia kedua, pada tanggal 20 Desember 1961 Majelis Umum PBB dengan suara bulat menyetujui sebuah resolusi yang pada prinsipsinya menyatakan bahwa hukum internasional dalam Piagam PBB diterapkan di ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya. Langkah nyata ini kemudian diikuti dengan pembentukan The United Nations Committee On The Peaceful of Outer Space (UNCOPUOS) yang kemudian berdasarkan hasil kerja komite ini lahir Space Treaty 1967 the Treaty on the Principles Governing the Activities of State in The Exploration an Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies.2

Pasal I paragraf (2) menyatakan bahwa “Outer space, including the moon and other celestialbodies shall be free for exploration and use by all states without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law, and there shall be free access to all areas of celestial bodies.”3 Ketentuan tersebut dikenal sebagai prinsip pintu terbuka (free access principles). Adapun yang dimaksud dengan prinsip tersebut ternyata bukan semata-mata atau terbatas pada bebas memasuki, melainkan berarti pula bahwa setiap Negara juga bebas untuk mendirikan stasiun-stasiun dan instalasi-instalasi guna melakukan berbagai percobaan, juga bebas memakai benda-benda langit tersebut baik untuk sebagian maupun keseluruhannya.4 Sejalan dengan kebebasan yang diberikan oleh Space Treaty, kegiatan Negara-Negara di ruang angkasa makin hari makin meningkat. Salah satunya indikasinya adalah bahwa sampai saat ini sudah hampir ribuan benda angkasa buatan manusia baik yang masih dapat difungsikan maupun tidak. Jumlah tersebut belum termasuk di dalamnya benda angkasa dengan

tujuan-tujuan tertentu yang bersifat rahasia, tidak didaftarkan dalam master register of the International Telecommunication Union (ITU).5

Kenyataan lainnya bahwa kegiatan keruangakasaan saat ini tidak lagi hanya dilakukan oleh Negara-negara adidaya seperi Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok dan Negara dengan kapasitas untuk mengeksplore ruang angkasa. Aktivitas keruangangkasaan tersebut sebagaian besar berupa peluncuran satelit-satelit. Terdapat dugaan kuat bahwa dari sekian banyak satelit yang diluncurkan tersebut, lima puluh persen diantaranya adalah untuk kepentingan militer, walaupun tidak ada satupun di antaranya dirumuskan mempunyai fungsi militer. Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran yang sangat besar akan adanya bahaya perlombaan persenjataan dan konflik bersenjata di ruang angkasa. Sementara itu pada saat yang sama belum terdaftar kesepakatan mengenai dibenarkan atau tidaknya kegiatan yang bersifat militer di ruang angkasa menurut Space Treaty 1967, karena adanya perbedaan interpretasi mengenai kata-kata “peaceful purposes” dalam Space Treaty 1967. Ada yang menafsirkan “peaceful purposes” tersebut dalam arti non-aggressive sebagaimana yang dianut oleh Amerika Serikat ada pula yang menafsirkan sebagai non-militer sebagaimana yang dianut Rusia.6

Dengan mengamati keadaan yang demikian, terlepas dari hal belum tercapainya kesatuan pandangan mengenai pengertian “peaceful purpose” dalam Space Treaty 1967 dalam rangka menjalin kerjasama internasional dan penggunaan ruang angkasa untuk maksud-maksud damai, pada Konferensi PBB tahun 1982 yaitu the Second United Nations Conference on the Exploration and Peaceful Uses of Outer Space (UNISPACE 2). Bahwa masalah aktivitas militer di ruang angkasa ini telah menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit, terutama antara-antara Negara-negara space powers dan Negara-negara berkembang. Pada UNISPACE 2 tersebut salah satu hal yang ditekankan adalah bahwa pencegahan perlombaan persenjataan utama dalam rangka mencapai kerjasama internasional dan penggunaan ruang angkasa untuk maksud-maksud damai. Kekhawatiran mengenai semakin meningkatnya pacuan senjata yang demikian bisa dimengerti meningkat kenyataan menunjukkan bahwa, jika dibiarkan, keadaan tersebut akan dapat menimbulkan situasi yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan manusia.7 Dengan demikian, maka hukum angkasa sebagai bagian dari hukum internasional juga harus sejalan dengan tujuan akhir hukum internasional sebagaimana disebutkan di atas, yaitu “the establishment of a world community of human dignity.” Berdasarkan urain tersebut, maka perlu dikaji kembali dalam jurnal yang berjudul “Legalitas Aktivitas Militer Di Ruang Angkasa Berdasarkan Ketentuan Piagam PBB Dan Space Treaty 1967.

  • 1.2.    Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan dibahasa dalam jurnal ini yaitu:

  • 1.    Apa saja bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk aktivitas militer saat ini?

  • 2.    Bagaimanakah legalitas aktivitas militer di ruang angkasa berdasarkan Piagam PBB dan Space Treaty 1967?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari kajian ini yaitu untuk mengetahui bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk aktivitas militer saat ini dan untuk mengetahui legalitas aktivitas militer di ruang angkasa berdasarkan Piagam PBB dan Space Treaty 1967.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum penting adanya sebuah metode penelitian untuk menjadi dasar penyusunan hasil suatu penelitian. Dalam hal ini, digunakan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian hukum yang membahas dan menganalisis dalam tataran norma, asas dan doktrin hukum.8 Untuk menunjang jenis penelitian tersebut digunakan jenis pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dalam bidang hukum internasinal publik dan hukum ruang angkasa internasional serta digunakan pula pendekatan analisis konsep hukum. Terkait dengan bahan hukum atau data yang telah diperoleh, kemudian seluruh data kemudian diolah dan dianalisis dengan menyusun data secara sistematis dengan pengklasifikasian, dan dihubungkan antar data sehingga menjadi padu antara satu data dengan data lainnya. Kemudian akan dilakukan analisis secara kualitatif yang kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Bentuk-bentuk Pemanfaatan Ruang Angkasa Untuk Kepentingan Pengintaian Militer Saat Ini

Dominasi aktivitas militer di ruang angkasa saat ini dikarenakan teknologi keruangangkasaan mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh seorang komandan militer. Kemajuan teknologi ruang angkasa telah menjadikan ruang angkasa seolah-olah sebagai mata, telinga, dan suara seorang komandan militer. Bahkan telah berkembang pendapat yang mengatakan bahwa operasi militer dapat dikonsentrasikan di ruang angkasa dan menyelamatkan bumi dari kehancuran karena misi-misi pendukung sistem pertahanan keamanan yang berada di ruang angkasa, dalam banyak hal, dapat mencegah terjadinya situasi di bumi yang tak terkendali atau out of control. Hasil yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi keruangangkasaan juga menyadarkan manusia bahwa keberhasilan itu harus segera diikuti dengan pembentukan hukum yang mengatur aktivitas manusia di ruang angkasa tersebut.9 Sudah tentu dalam proses pembentukan hukum angkasa ini faktor politik sangat memainkan peranan, sebab pengaturan aktivitas manusia di ruang angkasa tersebut berkaitan langsung dengan upaya penyelenggaraan pengaturan kepentingan nasional dan kepentingan bersama negara-negara.

Pengaruh yang mungkin paling dirasakan dari keberhasilan manusia untuk menjelajah ruang angkasa adalah fenomena lahirnya doktrin militer baru dikalangan Negara-negara. Doktrin yang selama bertahun-tahun dianut, yaitu “siapa yang menguasai lautan, maka merekalah penguasa dunia” mulai ditinggalkan. Kini tampaknya telah lahir doktrin baru bahwa “siapa yang menguasai ruang angkasa, dialah penguasa dunia.”10 Hal ini tampak pada ucapan Presiden Jhon F. Kennedy yang banyak dicatat bahwa jika Uni Soviet (saat ini Rusia) mampu menguasai ruang angkasa, maka berarti mampu menguasai dunia, tidak berbeda seperti masa lalu bahwa bangsa yang mampu menguasai lautan ia akan menguasai daratan.11

Membicarakan perkembangan pemanfaatan ruang angkasa untuk kepentingan militer salah satunya pengintaian dan persenjataan tidak dapat dilepaskan dari pemain lama maupun pemain baru dalam dunia ruang angkasa. Adanya peran dari Amerika Serikat dan Rusia sebagai Negara pecahan terbesar dari Uni Soviet masih memegang peranan penting di ruang angkasa tanpa mengabaikan pemain baru yang kini tengah menguasai dunia dengan jumlah militer terbesar di dunia yaitu Tiongkok. Dalam hal ini adapun bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk kepentingan militer termasuk di dalamnya sebagai alat pengintai dan senjata militer Negaranya.

Membicarakan pesatnya perkembangan aktvitas di ruang angkasa termasuk untuk kepentingan militer tidak dapat dilepaskan dari hegimoni peresaingan awal antara Amerika Serikat dengan Rusia (pasca pecahnya Uni Soviet) yang menjadi awal perlombaan benda-benda ruang angkasa buatan manusia. Hal ini dalam perkembangannya melahirkan pemain-pemain baru, meskipun masih didominasi negara-negara pemenang perang dunia kedua atau negara-negara maju seperti Jepang, Tiongkok, Inggris dan Perancis. Tentu ini bukan berarti negara-negara lain tidak memiliki potensi untuk ikut serta dalam memanfaatkan ruang angkasa untuk kepentingan negaranya salah satunya untuk tujuan aktivitas militernya. Sehingga perlu dijelaskan sejauh mana bentuk-bentuk aktivitas militer di ruang angkasa dengan adanya satelit-satelit yang diluncurkan sampai saat ini yang jumlahnya sudah sangat banyak.

Pada aspek militer maupun non militer saat in, biasanya menggunakan berbagai jenis satelit yaitu satelit-satelit yang digunakan untuk kepentingan militer yaitu satelit pengintai fotografis, satelit pengintai elektronik, satelit pengamat laut dan samudera, satelit peringatan dini, satelit komunikasi, satelit navigasi dan satelit meterologi dan geodesi.12 Pertama, satelit pengintai fotografis (photographic reconnaissance satellites) berfungsi sebagai pendeteksi, pengidentifikasi dan petunjuk paling tepat terhadap sasaran-sasaran militer musuh. Kemampuannya untuk melihat ke bawah pada sasaran-sasaran musuh secara relatif aman menjadikan satelit ini sangat diidam-idamkan oleh setiap komandan pasukan. Satelit ini juga dilengkapi dengan kamera-kamera fotografis, beberapa sensor trmasuk kamera televisi, multispectral scanners, serta radar gelombang mikro (microwave radars). Negara-negara yang telah mengembangkan ini yaitu Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Perancis dan Jepang.13 Kedua, satelit pengintai elektronik dianggap sebagai telinga yang diletakkan di ruang angkasa.

Satelit ini dilengkapi dengan peralatan untuk mendeteksi dan memonitor sinyal-sinyal radio yang ditimbulkan oleh aktivitas militer musuh.14 Misalnya sinyal-sinyal yang berasal dari komunikasi militer antarbasis, radar peringatan dini, radar pertahanan udara dan radar pertahanan peluru kembali atau radar yang berasal dari pengendali rudal. Satelit ini juga mengumpulkan data dari uji coba peluru kendali, radar-radar baru dan berbagai jenis jaringan komunikasi. Satelit ini juga mampu menentukan rencana penetrasi pertahanan dari sinyal-sinyal elektronik yang dihasilkan.15

Ketiga, satelit pengamat laut dan samudera (ocean surveillance and oceanographic satellites) mampu mendeteksi dan melacak kapal-kapal angkatan laut dan dapat memastikan keadaan laut yang dengan demikian dapat meramalkan keadaan cuaca ataupun dengan cepat dapat mendeteksi kapal-kapal selam.16 Satelit-satelit pengintai semacam ini biasanya ditempatkan di orbit yang agak tinggi sehingga memungkinkannya untuk memperoleh sudut pandangan yang lebih luas atas bumi. Keempat, satelit peringatan dini (early warning satellites) yaitu satelit yang sebagian telah menggantikan fungsi radar yang pada awalnya dikembangkan untuk memberikan peringatan akan adanya suatu serangan mendadak peluru kendali.17 Kelima, satelit komunikasi (communication satellites) yaitu sebuah satelit yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasukan akan perlunya komunikasi yang cepat dan efisien sebagai akibat dari tingginya tingkat kerumitan dan kecanggihan persenjataan. Bahwa saat ini transmisi dari data-data terutama data kemiliteran memerlukan sistem komunikasi yang handal dan aman.18 Keenam, satelit navigasi (navigation satellites) yaitu satelit yang memancarkan sinyal-sinyal bersandi sehingga pasukan dapat mengambarkan posisi mereka dengan tingkat ketepatan yang tinggi.19 Ketujuh yaitu satelit meterologi dan geodesi (meteorological and geodetic satellites) yaitu satelit yang saling mendukung satu sama lain dalam aktivitas militer khususnya dalam hal peluncuran rudal.20 Satelit meteorologi akan mengumpulkan informasi mengenai keadaan cuaca di sepanjang rute rudal yang direncanakan karena rudal tersebut dapat dikendalikan dengan tepat. Sedangkan satelit geodesi bertugas mengumpulkan data mengenai keadaan bumi atau bidang gravitasionalnya dengan tujuan untuk memperoleh hal yang sama dengan hasil yang diperoleh satelit meterologi.

Selain mengembangkan berbagai satelit dengan fungsi yang beragam termasuk sebagai alat pengintaian ataupu senjata militer, saat ini juga telah dikembangkan suatu sistem pertahanan antisatelit atau yang disebut Anti-Satellite (ASAT) system. Pemikiran ini diawali oleh Negara Amerika Serikat pasca pesatnya perkembangan satelit satelit yang memiliki fungsi kemiliteran yang tentu sewaktu-waktu dapat mengancam pertahanan Negaranya. Motivasi lainnya dari dikembangkan senjata antisatelit ini diperkuat lagi oleh adanya kenyataan bahwa satelit sistem senjata sangat sensitive terhadap kerusakan. Terdapat dua macam sistem senjata antisatelit yaitu yang pertama sebuah peluru kendali (baik dengan hulu ledak yang berisikan atau

tidak bahan peledak) yang dapat dikendalikan dari bumi, dari udara ataupun dari ruang angkasa yang diarahkan kepada suatu satelit.21 Kedua, sebuah satelit yang dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai senjata dengan cara membenturkan sasarannya atau lawannya. Dalam alat persenjataan militer, telah dikembangkan pula yaitu Ballistic Missile Defense yaitu sebuah teknologi misil balistik ini menggunakan sebuah pesawat (vehicle) yang didorong ke ruang angkasa dengan menggunakan mesin-mesin roket.22 Bagian-bagian paling esensial dari sistem pertahanan misil balistik ini adalah sistem sasaran pengenalan, pelacakan dan penghancurannya. Terakhir pemanfaatan ruang angkasa untuk kegiatan militer lainnya yaitu adanya program Strategic Defense Initiative atau SDI yang sesungguhnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem yang telah diterapkan sebelumnya, yakni yang dikenal dengan nama sistem pertahanan misil balistik (Ballistic Missile Defense System atau disingkat BDM). SDI terdiri atas empat misi potensial BMD yaitu:

  • a.    Sebuah misi pembendung (Hedge Misssion);

  • b.    Sebuah sistem pelindung luncuran aksidental/tak sengaja (Accidental Launch Protection System);

  • c.    Sebuah sistem untuk melindungi peluru kendali antara benua (ICBM) yang berpangkalan di bawah tanah (System to Protect Silo-Based ICBMs);

  • d.    Rencana administrasi (Administration Plan), yang berisikan beberapa fase, yakni Fase I, Fase II, dan Fase-fase lanjutan.

Pada akhirnya dikatakan bahwa tujuan utama dari program SDI ini adalah pengembangan suatu sistem pertahanan strategis yang mampu bekerja dimana, dalam hal nuklir, akan memungkinkan suatu perpindahan dari Mutual Assured Destruction (MAD) ke Mutual Assured Survival (MAS).

  • 3.2.    Legalitas Aktivitas Militer Di Ruang Angkasa Berdasarkan Piagam PBB Dan

    Space Treaty 1967

Merujuk pada penjelasan mengenai bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa terkhususnya untuk kepentingan militer baik persenjataan maupun alat pengintai perlu dikaji legalitasnya dalam perspektif hukum ruang angkasan yaitu berdasarkan Space Treaty dan instrument hukum internasional lainnya. Untuk itu perlu dikaji apakah pemanfaatan ruang angkasa untuk kepentingan militer termasuk pengintaian dan alat senjata militer dapat dibenarkan dilihat dari segi tujuan hakiki hukum internasional? Bahwa telah diketahui tujuan hukum internasional sebagaimana hukum pada umumnya adalah bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban. Melalui hukum internasional, kepentingan bersama masyarakat internasional diatur dan dijamin keamanannya sebagai upaya mencapai ketertiban minimum atau minimum order, dalam arti menekan sekecil mungkin penggunaan kekerasan atau paksaan secara tidak sah (unauthorized coercion), dan untuk mencapai ketertiban optimum (optimum order), dalam arti sebesar mungkin mengupayakan dan bersama-sama merasakan nilai-nilai kehidupan, seperti rasa hormat, kekuasaan, kesejahteraan, kemanusiaan, dan sebagainya.23

Tujuan hukum internasional tersebut tampak jelas dalam dan dipertegas oleh Piagam PBB. Pada Pembukaan Piagam PBB, perdamaian dan keamanan internasional diberikan tekanan khusus dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari bencana perang. Dalam pembukaan itu juga ditekankan bahwa kekuatan senjata tidak akan digunakan, kecuali untuk kepentingan bersama sebagaimana ditekankan pada Pasal 1 Piagam PBB yang menyatakan tujuan didirikannya PBB adalah untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia dengan berbagai cara yang dilakukan dengan cara damai dan mengedepankan prinsip-prinsip perdamaian. Selanjutnya, di dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB ditentukan bahwa sengketa-sengketa internasional harus diselesaikan dengan cara-cara damai sedemikian rupa, sehingga perdamaian dan keamanan serta keadilan internasional tidak terancam. Sementara itu, dalam ayat (4) dinyatakan bahwa: “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”24

Ketentuan yang terdapat di dalam Piagam PBB tersebut, sebagai perwujudan dari hukum internasional kontemporer, meletakkan kewajiban dasar yang harus ditaati oleh negara-negara untuk tidak menggunakan maupun mengancam untuk menggunakan kekerasan dalam pergaulan mereka. Ketentuan Piagam PBB tersebut juga berlaku di ruang angkasa. Kewajiban untuk tunduknya Negara-negara kepada ketentuan-ketentuan terdapat dalam Piagam PBB, dapat pula ditinjau dari sudut pandang lain, yaitu dari sudut sifat khusus (special nature) Piagam PBB itu sendiri. Menurut Macdonal, Piagam PBB mempunyai tiga sifat khusus, yaitu sebagai “konstitusi” sebagai perjanjian internasional multilateral dan sebagai perjanjian internasional khusus “sui generis.”25

Lebih lanjut, Tunkin berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Piagam PBB, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai orginasasi internasional dari kelas yang istimewa (sui generis) bukan saja mengikat anggota-anggotanya, namun juga harus dihormati oleh negara-negara yang bukan anggotanya.26 Hal ini dikarenakan sebagai salah satu perjanjian multilateral, Piagam PBB memiliki posisi atau kedudukan sebagai sebuah perjanjian yang mengandung hal-hal mendasar, meskipun tidak seluruhnya, ketentuan tersebut cukup untuk mengatur hubungan internasional bagi negara-negara saat ini. Oleh karena itu, keberadan norma dan ketentuan dalam Piagam PBB menjadi rujukan dalam menentukan ketentuan hukum yang lebih bersifat khusus termasuk hukum ruang angkasa internasional. Untuk menghindari ketidaksepahaman negara-negara yang memiliki kepentingan tertentu dalam bidang tertentu termasuk aktivitas di ruang angkasa. Sehingga perlu diatur dalam peraturan khusus mengenai hukum ruang angkasa internasional yang tertuang dalam Space Treaty 1967.

Selanjutnya, dalam hubungannya dengan aktivitas negara-negara di ruang angkasa, Pasal III Space Treaty 1967 menyatakan bahwa:

States parties to the treaty shall carry on activities in the exploration and use of outer space, including the moon and other celestial bodies, in accordance with international law, including the Charter of the United Nations, in the maintaining of international peace and security and promoting international co-operation and understanding.”27 Dengan penegasan ini berarti berlakunya ketentuan hukum internasional pada umumnya, khususnya Piagam PBB, di ruang angkasa adalah bagian dari kewajiban yang ditentukan oleh Space Treaty 1967 sebagai perjanjian internasional utama yang mengatur aktivitas keruangangkasaan. Konsekuensinya, legalitas setiap aktivitas Negara-negara di ruang angkasa harus dinilai bukan saja jika aktivitas tersebut dibenarkan oleh Space Treaty 1967 melainkan juga bilamana hal itu dapat dibenarkan oleh ketentuan hukum internasional umum dan Piagam PBB.28 Atas dasar pemikiran seperti itu, dapat dikatakan bahwa penggunaan ruang angkasa untuk kepentingan militer adalah tidak sesuai dengan semangat hukum internasional pada umumnya, khususnya Piagam PBB maupun Space Treaty 1967. Hal ini didasarkan pada argumentasi berikut:29

  • a.    Pertama, terlepas dari belum adanya kesepakatan tentang pengertian “maksud-maksud damai” (peaceful purposes), artinya pada saat potensi agresif itu muncul, berarti pada saat itu pula muncul ancaman penggunaan kekerasan. Berarti pada saat yang sama telah terjadi ancaman terhadap keamanan dan perdamaian. Hal ini bertentangan dengan Piagam PBB yang melarang penggunaan dan ancaman penggunaan kekerasan dalam pergaulan Negara-negara.

  • b.    Kedua, aktivitas militerisasi di ruang angkasa akan memancing ketidakstabilan internasional. Hal ini terbukti ketika dunia dikecam oleh ketegangan “perang dingin” antara Amerika Serikat dan Rusia selama hampir setengah abad dan masyarakat internasional terbagai dalam blok-blok.

  • c.    Ketiga, dilihat dari sudut pandangan pengakuan aktivitas Negara-negara di ruang angkasa harus dilakukan “demi keuntungan/kepentingan semua Negara” (for the benefits of all states), tindakan militerisasi ruang angkasa juga tidak dapat diterima. Bahwa tindakan militerisasi ruang angkasa itu bukanlah dilakukan untuk kepentingan semua Negara, melainkan lebih ditunjukan demi kepentingan masing-masing Negara atau masing-masing blok.

  • d.    Keempat, dengan menganggap aktivitas militerisasi ruang angkasa sebagai kegiatan yang sah, secara tidak langsung hal itu berarti mengesahkan dominasi Negara-negara maju terhadap Negara-negara berkembang.

  • e.    Kelima, dilihat dari prinsip “non-appropriation of Outer Space, including the Moon and other celestial bodies,” militerisasi ruang angkasa juga tidak dibenarkan. Dengan kata lain, secara “de facto” sama dengan memperlakukan ruang angkasa sebagai objek hak milik. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Space Treaty 1967 yang dengan tegas menyatakan bahwa ruang angkasa beserta bulan dan benda-benda langit lainnya tidak boleh dijadikan objek kepemilikan.

Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa perlu diingat kembali bahwa wilayah ruang angkasa merupakan suatu wilayah yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun. Berbeda halnya dengan wilayah darat, laut dan udara yang dapat dikuasi oleh suatu negara, maka wilayah ruang angkasa merupakan milik bersama umat

manusia sebagaimana prinsip common heritage of mankind atau warisan bersama umat manusia.30 Artinya semua pihak yaitu negara dapat memanfatkan dan mengunakan ruang angkasa selama tidak merugikan dan untuk tujuan-tujuan yang membawa kemaslatan umat manusia.31 Doktrin ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat bahwa terdapat pandangam dari the instituto hispano luso Americano de derecho international yang menganggap bahwa doktrin ini menjadi “jus cogens.”32 Maka ruang angkasa beserta bulan dan benda-benda langit lainnya harus dijaga kelestariannya sehingga tetap dapat memberikan manfaatnya kepada seluruh umat manusia tanpa adanya perbedaan kebangsaa, status ekonomi dan penguasaan teknologi. Oleh karena iu, telah diatur baik dalam Piagam PBB maupun Space Treaty 1967 bahwa pemanfataan ruang angkasa untuk tujuan kemiliteran baik untuk persenjataan dan pengintaian militer harus mengedapankan maksud-maksud damai dan tetap menjaga perdamaian, keamanan dan ketertiban dunia. Apabila tidak demikian tindakan tersebut dapat dikatakan illegal dan melanggar hukum internasional yang mengancam perdamaian dunia dan harus mendapatkan sanksi dari masyarakat internasional sebagaimana diatur dalam Piagam PBB dan Space Treaty 1967.

  • IV.    Penutup

    4.1.    Kesimpulan

Adapun bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk aktivitas militer biasanya menggunakan berbagai jenis satelit yaitu satelit-satelit yang digunakan untuk kepentingan militer yaitu satelit pengintai fotografis, satelit pengintai elektronik, satelit pengamat laut dan samudera, satelit peringatan dini, satelit komunikasi, satelit navigasi dan satelit meterologi dan geodesi. Serta sistem pertahanan antisatelit atau yang disebut Anti-Satellite (ASAT) system, Ballistic Missile Defense dan Strategic Defense Initiative atau SDI. Sedangkan legalitas aktivitas militer di ruang angkasa berdasarkan Piagam PBB dan Space Treaty 1967 bahwa pada Piagam PBB maupun Space Treaty 1967 sejatinya telah mengatur ketentuan pemanfaatan ruang-ruang di bumi dan sekitarnya termasuk ruang angkasa. Bahwa pemanfataan ruang angkasa untuk tujuan kemiliteran baik untuk persenjataan dan pengintaian militer harus mengedapankan maksud-maksud damai dan tetap menjaga perdamaian, keamanan dan ketertiban dunia agar tetap memiliki dasar legalitas atas aktivitas militernya di ruang angkasa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrasyid, Priyatna. Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan ‘Space Treaty 1967’. (Binacipta, Bandung, 2009).

Palguna, I Dewa Gede. Ancaman Perang Dari Ruang Angkasa Telaah Yuridis Perspektif Hukum Internasional (Buku Arti, Denpasar, 2015).

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. (PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014).

Skripsi

Jodie, Angelia Rully. “Aspek Legalitas Penggunaan Senjata Space Based Missile Interceptor Ditijau Dari Piagam Pbb Dan Outer Space Treaty 1967.” Diss. Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2020.

Jurnal

Akase, Roy, Nanik Trihastuti, And Agus Pramono. "Pertanggungawaban Hukum Penyelenggara Kegiatan Pariwisata Ruang Angkasa Dari Perspektif Hukum Internasional." Diponegoro Law Journal 6, No.1 (2016).

Al Syahrin, Muhammad Najeri. "Logika Dilema Keamanan Asia Timur Dan Rasionalitas Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara." Intermestic: Journal Of International Studies 2, No.2 (2018).

Aqli, Jilal, Dewa Gede Sudika Mangku, And Ni Putu Rai Yuliartini. "Pertanggungjawaban Negara Pakistan Dalam Penembakan Pesawat Udara Militer India Ditinjau Dari Perspektif Hukum Udara Internasional." Jurnal Komunitas Yustisia 3, No. 1 (2020).

Bahar, Djorghy Reo Angelo. "Penempatan Satelit Di Ruang Angkasa Menurut Hukum Internasional." Lex Et Societatis 3, No. 7 (2015).

Hajaruman, Ahmad Novam. "Penegakan Hukum Terhadap Pesawat Militer Asing Yang Diterbangkan Dari Kapal Induk Saat Melintas Alur Laut Kepulauan Indonesia (Alki)." Perspektif Hukum 15, No.1 (2015).

Havez, Muhammad, And Muhammad Insan Tarigan. "Penyelesaian Sengketa Terhadap Aktivitas Di Ruang Angkasa Oleh Pihak Non-Negara (Privat)." Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan 21, No.02 (2018).

Prasetyo, Dony Aditya. "Status Hukum Teknologi Anti Satellite Weapon Ditinjau Dari Hukum Ruang Angkasa." Risalah Hukum 3, No.5 (2014).

Sefriani, Sefriani. "Pelanggaran Ruang Udara Oleh Pesawat Asing Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 22, No.4 (2015).

Utomo, Tri Cahyo Utomo Tri Cahyo. "Pengawasan Senjata Internasional Dan Pengurangan Kekerasan." Politika: Jurnal Ilmu Politik 2, No. 1 (2015).

Wartini, Sri. "Pertanggungjawaban Negara Dalam Kegiatan Komersiil Ruang Angkasa Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Swasta." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 12, No. 28 (2015).

Yusvitasari, Devi. "State Responsibility Dari Adanya Space Debris Luar Angkasa." Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan 2, No. 1 (2020).

Instrumen Internasional

United Nations, Charter Of The United Nations, 1945.

United Nations, Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967.

Jurnal Kertha Negara Vol 8 No 6 Tahun 2020, hlm. 42-52

52