PELAKSANAAN PERATURAN DESA SANUR KAJA NOMOR 3 TAHUN 2018 TENTANG TATACARA PEMELIHARAAN DAN PENANGANAN ANJING DI WILAYAH DESA SANUR KAJA”

I Gede Adnyana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: gedeadnyana0305@gmail.com Made Gde Subha Karma Resen, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: subhakarma.skr@gmail.com

ABSTRAK

Masyarakat Bali sangat menghormati keberadaan anjing sebagai ciptaan Tuhan yang ditakdirkan menjadi hewan peliharaan, sahabat yang baik dan setia kepada tuannya serta dapat diandalkan sebagai penjaga rumah setiap keluarga. Salah satu Desa di Bali yaitu Desa Sanur Kaja telah menjadi desa ramah anjing pertama di Bali. Desa Sanur Kaja membuat peraturan desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan Dan Penanganan Anjing Di Wilayah Desa Sanur Kaja yang bertujuan menjaga kearifan dan kekhasan budaya masyarakat Bali dalam memelihara dan melestarikan anjing merupakan daya tarik wisatawan. Namun seiring zaman, anjing seolah menjadi musuh karena menjadi hewan penularan aktif rabies yang membuat anjing-anjing harus dieliminasi tanpa tanggung jawab. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memahami mengenai pelaksanaan mengenai Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2018 di Desa Sanur Kaja untuk menjaga kearifan lokal Bali yang dapat menjadi daya tarik wisatawan tanpa harus takut dengan penularan rabies oleh anjing . Metode yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan melakukan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta. Pelaksanaan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2018 berjalan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan apabila masyarakat ingin memelihara anjing harus melapor terlebih dahulu di kantor desa.

Kata Kunci : Pelaksanaan , Peraturan Desa , Anjing

ABSTRACT

The Balinese respect the existence of dogs as God's creations that are destined to become pets, good friends and loyal to their masters and can be relied upon as the guardian of every family's home. One of the villages in Bali, Sanur Kaja Village, has become the first dog-friendly village in Bali. Sanur Kaja Village made Sanur Kaja Village Regulation Number 3 of 2018 concerning Procedures for Dog Care and Handling in the Sanur Kaja Village Area which aims to preserve the wisdom and cultural distinctiveness of the Balinese people in maintaining and preserving dogs is a tourist attraction. But over time, dogs have become enemies because they have become active rabies transmission, which makes dogs have to be eliminated without responsibility. The purpose of this study is to find out and understand the implementation of Village Regulation No. 3 of 2018 in Sanur Kaja Village to maintain Balinese local wisdom that can be an attraction for tourists without having to fear the transmission of rabies by dogs. The method used is empirical legal research using a statutory approach and fact approach. The implementation of Village Regulation Number 3 of 2018 runs well, this is evidenced by the fact that if the community wants to keep dogs, they must first report it at the village office.

Keyword: Implementation, Village Regulation, Dog

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Bali adalah kepulauan seribu pura yang telah terkenal sampai ke mancanegara. Masyarakat Bali tidak dapat terlepas dari ajaran Tri Hita Karana yang merupakan landasan kehidupan beragama dan beradat. Ketiga konsep menuju kerukunan dan kebahaagiaan itu salah satunya adalah palemahan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan alam atau lingkungannya. Dengan demikian sangatlah wajar bila Umat Hindu di Bali melakukan upacara keagamaan sebagai bentuk rasa terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

Anjing Bali beberapa tahun belakangan ini mencuri perhatian publik akibat masuknya jenis anjing ras yang perlahan seolah menggusur keberadaan mereka. Bukan menjadi prioritas hewan peliharaan kesayangan lagi, lalu dipersalahkan karena tingginya kasus rabies adalah salah satu dari sekian banyak penderitaan anjing Bali. Tingkat ekonomi masyarakat Bali yang mulai meningkat rupanya berdampak juga pada hewan peliharaan. Anjing Bali yang tadinya menjadi penunggu rumah yang bisa didapat dengan mudah tanpa membeli bahkan, diganti dengan anjing ras bernilai jutaan rupiah.1

Anjing Bali termasuk jenis anjing pekerja (working dog) dengan ukuran sedang, bulu panjang berwarna putih dengan bulu di ujung telinga berwarna cokelat kemerah-merahan, mata bersinar tajam, telinga berdiri, pigmen hidung gelag dan pigmen kulit warna kecokelat-cokelatan, lidah berwarna merah, kepala, leher, badan dan kaki tampak kukuh dengan perbandingan yang harmonis, memiliki bulu suri (badong) yang panjang, ekor berdiri dan berbulu terurai seperti bajing.2

Namun akhir-akhir ini banyaknya korban manusia yang jatuh karena rasio anjing yang merupakan hewan penular rabies dengan manusia relatif tinggi, dan diperkirakan di Bali sedikitnya ada 540.000 ekor anjing, dengan kepadatan anjing sekitar 96 ekor/km2 . Padatnya populasi anjing dan disertai kejadian rabies, membuat interaksi anjing dan manusia sangat tinggi, sehingga peluang tergigit meningkat, dan kejadian rabies menjadi relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal tersebut yang membuat korban rabies pada manusia di Bali sangat tinggi, di samping kesadaran masyarakat dalam mendukung Bali bebas rabies rendah. Kesadaran tersebut mungkin belum terbangun karena rabies merupakan penyakit yang baru muncul di daerah Bali.3

Rabies adalah penyakit zoonosis dan telah dikenal sejak dulu dapat menular ke manusia melalui gigitan hewan terutama anjing.Penyakit rabies dikategorikan sebagai salah satu penyakit zoonosis yang paling menakutkan bagi masyarakat dunia. Tahun 1998, menurut WHO (2001), 55.000 orang meninggal karena penyakit rabies dan pada tahun 2011, sebanyak 11.000 orang meninggal di dunia karena rabies. Korban terbanyak dialami oleh warga Asia. Mattos dan Rupprecht, menyatakan bahwa penyakit rabies menduduki urutan ke- 12 daftar penyakit yang mematikan.4

Provinsi Bali telah dinyatakan sebagai daerah tertular rabies. Di Bali rabies pertama kali didiagnosis Kedonganan, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung pada tahun 2008. Pemerintah telah mengambil langkah–langkah untuk menanggulangi penyebaran penyakit ini, diantaranya dengan vaksinasi dan eliminasi anjing. Namun rabies tetap menyebar ke seluruh Bali, termasuk Karangasem.5

Kabupaten Jembrana dinyatakan positif terjangkit rabies sejak Juni 2010 ketika ditemukan kasus rabies pada anjing di Kecamatan Pekutatan, Desa Gumrih dan Desa Pekutatan (Disnak Prov. Bali, 2010). Kasus rabies terus dilaporkan terjadi di Kabupaten Jembrana Bali dan salah satunya korban manusia dilaporkan pada Juni 2012 di Kecamatan Melaya, Desa Tuwed (Dinkes Prov. Bali, 2015). Hingga tahun 2015, dua orang dilaporkan menjadi korban dari kegaganasan penyakit ini di Kabupaten Jembrana.6

Kasus rabies di Bali yaitu terdapat di semenanjung bukit, kabupaten Badung pada tahun 2008. Berawal dari bukit jimbaran akhirnya wabah tersebut menyebar sampai keseluruh kabupaten di Bali. “Upaya penanganan rabies telah dilakukan sesuai dengan prosedur Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia (Kiatvetindo) Rabies. Setelah program pemberantasan rabies di Bali berjalan, upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas dan siklus penularan rabies terus terjadi, sehingga faktor-faktor resiko yang berasosiasi terhadap kajian rabies pada anjing di Bali perlu dikaji.7 Keberhasilan dalam memberantas rabies tergantung pada kesadaran pemilik anjing. Diperlukannya perubahan dari masyarakat dalam memelihara anjing antara lain mengikat anjing tersebut, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memberi pakan secara rutin.8

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No.15 Tahun 2009 merupakan dasar kebijakan penanggulangan rabies yang sampai saat ini masih menjadi acuan pelaksanaan program oleh Pemda Bali, yang mengatur pencegahan rabies, pengaturan dan pengawasan HPR (Hewan Penular Rabies) (baik pemeliharaan maupun peredaran), serta pemantauan dan pengawasan implementasi program hingga nanti target bebas kasus bisa kembali disandang. Tidak hanya itu, Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No 18 Tahun 2010 pun diberlakukan sebagai aturan tata cara pemeliharaan dengan maksud agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dan lebih bertanggung jawab atas hewan peliharaan dan lingkungannya.

“Dukungan aktif dari masyarakat adalah bagian penting dalam upaya pemberantasan rabies. Hal ini dapat dicapai dengan mengadakan kampanye publik yang intensif melalui media yang dianggap efektif. Masyarakat harus diinformasikan mengenai aspek kesehatan masyarakat dari rabies, keperluan yang berkaitan dengan kampanye pengendalian, dan pemberantasan termasuk pelaporan kasus penggigitan, hasil yang dicapai dan hal-hal lain yang menarik perhatian masyarakat.9

Pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang tatacara memelihara dan menangani anjing perlu disosialisakan kepada masyarakat Bali dalam hal ini untuk masyarakat Desa Sanur Kaja yang bertujuan untuk menjaga kearifan lokal Bali yang dapat menjadi daya tarik wisatawan tanpa harus takut dengan penularan rabies oleh anjing.

  • 1.2    Permasalahan

Dari Pembahasan Latar Belakang, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah Pelaksanaan mengenai Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan Dan Penanganan Anjing di Wilayah Desa Sanur Kaja?

  • 2.    Bagaimanakah Hambatan Pelaksanaan Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan Dan Penanganan Anjing di Wilayah Desa Sanur Kaja?

  • 1.3    Tujuan penulisan

Untuk mengetahui dan memahami mengenai pelaksanaan mengenai larangan mengonsumsi anjing berdasarkan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2018 di Desa Sanur Kaja dan untuk mengetahui hambatan dalam Pelaksanaan Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 di Desa Sanur Kaja.

  • II.    Metode Penelitian

“ Penelitian ini dapat dikualifikasikan kedalam jenis penelitian hukum empiris. Hukum empiris merupakan penelitian ilmiah yang menjelaskan fenomena hukum tentang terjadinya

kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat (kesenjangan antara das Sollen dan das Sein atau antara the Ought dan the Is atau antara yang seharusnya dengan senyatanya di lapangan). Obyek penelitian hukum empiris berupa pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam penerapan hukum.10 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang undangan (The Statue Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach). Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan dengan kajian terhadap undang-undang yang dikaitkan dengan permasalahan yang ada dilapangan. Pendekatan fakta (The Fact Approach) dilakukan dengan melihat keadaan nyata di wilayah penelitian. Pendekatan fakta ini, merupakan data primer yang diperoleh dalam penelitian dilapangan, sedangkan data penelitian sekunder diperoleh melalui pendekatan perundang-undangan dengan menelaah undang-undang yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam penelitian ini terkait dengan pelaksanaan Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan dan Penanganan Anjing Di Wilayah Desa Sanur Kaja”.

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

    3.1    Pelaksanaan Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 Di Desa Sanur Kaja

Desa Sanur Kaja menjadi desa pertama di Bali yang mengawal penuh perlindungan kesejahteraan hewan secara hukum. Tak tanggung-tanggung, bentuk kepedulian itu diwujudkan dengan dengan menerapkan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2018 di Desa Sanur Kaja. Perdes Nomor 3 Tahun 2018 tersebut berisi tentang “kesejahteraan hewan itu melarang segala bentuk kegiatan eksploitatif terhadap anjing, baik tindak penganiayaan, peracunan, pencurian, perdagangan hingga”mengkonsumsi daging anjing. Perdes ini juga dibuat sebagai bentuk antisipasi pengendalian virus rabies tanpa harus menghilangkan nyawa anjing tersebut. Berdasarkan wawancara dengan I Made Sudana selaku Kepala Desa Sanur Kaja pada tanggal 9 Mei 2019, beliau menyatakan bahwa terbentuknya Perdes Nomor 3 Tahun 2018 mengenai Tatacara Pemeliharaan dan Penanganan Anjing Di Wilayah Desa Sanur Kaja yang merupakan hasil gagasan bersama BPD Sanur Kaja terdapat suata dilema di wilayah pariwisata khususnya di Desa Sanur Kaja.

Dilema yang dimaksud oleh beliau yaitu apabila kedatangan wisatawan asing ke Sanur Kaja akan dikhawatirkan terkena penyakit rabies yang disebabkan oleh anjing gila. Hal yang dikhawatirkan oleh beliau akhirnya menjadi kenyataan dengan kasus yaitu terdapat seorang wisatawan asing asal Belanda yang digigit anjing dan setelah itu wisatawan tersebut pergi ke rumah sakit internasional untuk mendapatkan penangan medis. Setelahnya dari rumah sakit, wisatawan asing tersebut membawa kwitansi pembayaran yang berjumlah kurang lebih dua belas juta rupiah. Berdasarkan atas fakta dan kwitansi itu akhirnya wisawatan asing tersebut datang ke kantor desa Sanur Kaja, dan kebetulan juga wisatawan itu tinggal di daerah Sanur Kaja. Wisatawan asing ini datang ke kantor desa untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak desa. . Dengan adanya situasi yang seperti itu, pihak desa merasa khawatir apabila kasus

ini dipublikasi oleh media internasional dan pariwisata di Bali eksistensinya akan menurun bukan saja di Bali tapi juga di seluruh Indonesia.

Berdasarkan dilema tersebut akhirnya pihak Desa Sanur Kaja mencoba untuk diajak bekerja sama dan kebetulan juga di Desa Sanur Kaja mempunyai Program Dharma yaitu kerjasama“public sector antara Universitas Udayana, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Yayasan Bali Animal Warfare (BAWA) , International Fund for Animal Welfare (IFAW) , Center for Public Health Innovation (CPHI). Program ini berfokus pada penjangkauan dan pemberdayaan masyarakat serta menerapkan prinsip One Health. Program Dharma bekerja aktif dengan 28 banjar yang terbagi dalam 2 desa dan 1 kelurahan di Desa Sanur” Kaja. Dari sana muncul keinginan pihak Desa Sanur Kaja untuk mencari narasumber untuk membuat suatu peraturan desa untuk melindungi masyarakat. Selain itu bukan saja mengenai tentang kesehatan masyarakat namun juga mengenai hewan yang salah satunya merupakan anjing, kucing, burung., dan monyet. Pembuatan perdes ini diawali dengan pembuatan rangka yang berdasarkan dari Hukum Nasional dan juga berdasarkan dari Hukum Adat. Menurut perspektif Hukum Adat anjing merupakan sarana untuk sesajen atau pecaruan namun tidak untuk dikonsumsi.

Di dalam Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan dan Penanganan Anjing di Wilayah Desa Sanur Kaja tidak terdapat sanksi atau hukuman apa-apa, namun pihak Desa Sanur Kaja melakukan mediasi yang salah satu contohnya apabila terdapat kasus rabies, maka pihak Desa Sanur Kaja akan mempertemukan orang tergigit anjing dengan si pemilik anjing, dan pihak-pihak yang terdapat dalam kasus rabies tersebut akan dipanggil ke desa. Dan didalam Perdes nomor 3 tahun 2018 terdapat batasan-batasan terhadap si pemilik anjing yang termuat dalam pasal 5. Di dalam pasal 5 menyatakan :

  • (1)    Pemeliharaan dan perlakuan terhadap anjing dilakukan dengan sebaik-baiknya agar :

  • a.    terbebas dari rasa lapar dan haus;

  • b.    terbebas dari rasa tidak nyaman;

  • c.    terbebas dari rasa sakit; luka dan penyakit;

  • d.    bebas untuk mengekspresikan perilaku normal; dan

  • e.    terbebas dari rasa takut dan stress.

  • (2)    Perlakuan yang sebaik-baiknya sebagaimana dimaksud ayat 1 meliputi antara lain memberi makan dan minum sesuai kebutuhan, melakukan perawatan dan pengobatan serta menyediakan tempat tinggal yang layak.

  • (3)    Kegiatan lain selain yang dimaksud ayat 1 meliputi antara lain memberi makan dan minum sesuai kebutuhan, melakukan perawatan dan pengobatan sertamenyediakan tempat tinggal yang layak.

“Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dalam Pasal 1 menyatakan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yaitu:

  • 1.    Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

  • 2.    Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa, yakni urusan Pemeritahan, urusan Pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.

  • 3.    Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

  • 4.    Urusan Pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan ke Kepala Desa”.

“Peraturan Desa diatur dalam Undang-Undang “Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan teori norma dari Hans Nawiasky, yang dimana norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.11 Eksistensi Peraturan Desa dalam perkembangannya tidak untuk melaksanakan otonomi, namun Peraturan Desa hanya sebagai instrumen untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di Desa. Fungsi pemerintahan tersebut berasal dari tugas-tugas pembantuan yang berasal dari tingkat pemerintahan yag lebih tinggi yaitu kabupaten/kota, sedangkan kedudukan Peraturan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dibawah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, atau Peraturan Desa juga bisa dibentuk”berdasarkan kewenangan. Berdasarkan kewenangan memiliki makna bahwa Peraturan Desa dapat dibentuk melalui delegasi atau mandat dari pemerintah yang lebih tinggi dengan kata lain urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada Desa atau tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota, selain itu dari pembentukannya, Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau kepentingan umum.

Sejak Perdes Nomor 3 Tahun 2018 ini ditetapkan di wilayah Desa Sanur Kaja, perdes tersebut sudah berjalan dengan baik dengan bukti tidak adanya anjing liar yang berkeliaran di wilayah Desa Sanur Kaja. Namun bagi pemilik anjing yang ingin memelihara anjing dan telah melaporkan ke pihak Desa Sanur Kaja, pemilik anjing wajib menggunakan tanda pengenal berupa kalung yang diletakkan di leher anjing tujuanya untuk tidak terjadi penangkapan anjing atau ditembak menggunakan bius oleh oknum-oknum. Dalam pelaksanaan menanggulangi perdagangan daging anjing di Desa Sanur Kaja, pihak Desa Sanur Kaja membentuk sebuah tim khusus untuk mengecek ke dusun rumah warga apakah terdapat penambahan anjing atau tidak, dan juga tim khusus ini juga akan mengenai ciri-ciri anjng yang terdapat di masing-masing dusun.

Data Anjing Di Sanur Kaja sampai Desember 2019

No

Banjar

Total Populasi (EKOR)

Sudah Tervaksin (Ekor)

Butuh Vaksin (sudah tervaksin lebih dari 12 bulan dan belum pernah tervaksin)

1

Langon

42

34

8

2

Wirasana

91

52

39

3

Anggarkasih

84

68

16

4

Buruwan

76

63

13

5

Tegalasah

121

93

28

6

Batanpoh

234

166

68

7

Belong

134

98

36

8

Pekandelan

237

194

43

Total

1019

768

251

Sumber: Kantor Kepala Desa Sanur Kaja Denpasar Selatan

Status Anjing Berdasarkan Kepemilikan

No

Banjar

Berpemilik

(Ekor)

Tidak Berpemilik

(Ekor)

1

Langon

42

0

2

Wirasana

91

0

3

Anggarkasih

84

0

4

Buruwan

76

0

5

Tegalasah

120

1

6

Batanpoh

204

30

7

Belong

131

3

8

Pekandelan

234

3

Total

982

37

Sumber : Kantor Kepala Desa Sanur Kaja Denpasar Selatan

  • 3.2 Hambatan Dalam Menanggulangi Adanya Anjing Di Wilayah Desa Sanur Kaja

Indonesia sebagai negara berkembang merupakan negara yang begitu giat dalam membangun sektor pariwisata. Selain memiliki potensi yang besar dalam perut bumi seperti minyak bumi, gas alam, batubara dan lain-lain, Indonesia juga memiliki potensi yang begitu besar dalam sektor pariwisatanya. Sektor pariwisata selain salah satu contoh seperti ragam budaya, keindahaan panorama alam merupakan faktor yang sangat berharga dalam pengembangan pariwisata.12

Namun demikian, dalam mengembangkan dan mempertahankan pariwisata yang terdapat di Desa Sanur Kaja, Desa Sanur Kaja sedang menghadapi masalah yaitu dan kemunculan anjing-anjing liar yang masuk ke wlayah Desa Sanur Kaja. Dalam menghadapi permasalahan seperti ini, dikhawatirkan apabila terdapat keluhan dari wisatawan asing yang terkena gigitan anjing dan wisatawan tersebut datang ke kantor desa dan memberikan keluhan kepada kepala desa, hal ini akan berdampak pada menurunnya kedatangan wisatawan asing yang ingin berkunjung ke Desa Sanur Kaja.

Dalam pembuatan Perdes Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan dan Penanganan Anjing di Wilayah Desa Sanur Kaja, terdapat alasan pembuatan perdes ini dan hambatan-hambatan didalam pembuatan Perdes tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ida Bagus Ketut Kiana sebagai tokoh masyarakat Desa Sanur Kaja dan juga sebagai anggota legislatif DPRD Kota Denpasar pada tanggal 10 September 2019 beliau menjelaskan bahwa di dalam pembuatan perdes ini awalnya sama seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Kepala Desa Sanur Kaja terdapat wisatawan asing yang terkena gigitan anjing di wilayah Sanur Kaja, kemudian terdapat himbauan dari Gubernur Bali berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemeliharaan Hewan Penular Rabies (HPR).

Kemudian Pihak Desa Sanur Kaja beserta tokoh masyarakat Desa Sanur Kaja di undang untuk membicarakan pembuatan Perdes Nomor 3 Tahun 2018 yang bertujuan pertama untuk mengantisipasi adanya kejadian wisatawan asing yang terkena gigitan anjing di wilayah Desa Sanur Kaja, kedua adanya himbauan dari Gubernur Bali, dan yang ketiga untuk menghindari terjadinya pembantaian anjing di wilayah pariwisata dan yang keempat terkait kesehatan masyarakat di karenakan anjing bukan merupakan hewan pangan yag dapat dikonsuumsi oleh masyarakat. Apabila wisatawan asing mengetahui bahwa ada kejadian pembantaian anjing di wilayah pariwisata, wisatawan akan menuntut dan akan memuat kejadian pembantaian hewan tersebut di media internasional. Hal itu akan berdampak menurunnya jumlah kedatangan wisatawan asing untuk berkunjung ke daerah pariwisata.

Kemudian dari sisi Ketuhanan, Pantai Sanur digunakan untuk kegiatan ritual oleh masyarakat seperti salah satu contoh yaitu melasti, lalu darisana timbul kepercayaan yang dianut oleh masyarat Desa Sanur Kaja bahwa anjing merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dimana dipergunakan sebagai upacara keagamaan. Selain sebagai persembahan dalam upacara keagamaan, anjing juga berperan penting dalam membantu manusia khususnya menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, dikarenakan anjing merupakan hewan yang dikatergorikan hewan yang pintar.

Dengan demikian itulah yang menjadi alasan dalam pembuatan perdes tersebut. Di dalam pembuatan perdes muncul diskusi anjing jenis apa saja yang dibatasi ke wilayah Sanur Kaja. Setelah dilakukan diskusi oleh Pihak Desa dan Tokoh Masyarakat, anjing yang dibatasi di wilayah Sanur Kaja adalah anjing jenis bangbungkem yang digunakan untuk sarana upacara keagamaan Hindu di Bali.

Kemudian apabila masyarakat ingin memelihara anjing di wilayah Sanur Kaja harus melaporkan anjing tersebut di Kantor Desa. Dengan demikian, Desa Sanur Kaja dapat mengontrol agar mengetahui siapa saja pemilik anjing yang telah terdaftar di wilayah Desa Sanur Kaja. Apabila ada salah satu anjing yang masuk ke wilayah Desa Sanur Kaja tanpa diketahui oleh pemiliknya maka anjing tersebut akan dititipkan sementara di kantor Desa. Jika ada penduduk yang ingin mengapdopsi anjing tersebut, maka bisa langsung datang ke kantor desa. Harapan kedepannya setelah diterbitkannya perdes ini, pihak Desa Sanur Kaja rencananya ingin membuat sebuah Shelter atau lahan yang digunakan untuk perawatan anjing-anjing yang masuk ke wilayah Desa Sanur Kaja.

  • IV. Penutup

    4.1    Kesimpulan

Pelaksanaan Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tatacara dan Pemeliharaan Dan Penanganan Anjing di Wilayah Desa Sanur Kaja di Desa Sanur Kaja sudah berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan setelah diterbitkannya perdes tersebut, di Desa Sanur Kaja tidak ditemukannya kasus gigitan anjing rabies. Kemudian, bagi masyarakat Desa Sanur Kaja yang ingin memelihara anjing, harus melapor dahulu di Kantor Desa yang bertujuan agar pihak desa dapat mengontrol anjing tersebut dan juga petugas akan datang kerumah-rumah warga yang memiliki anjing dan telah dilaporkan untuk diberikan vaksinasi anti rabies. Hal ini agar mencegahnya penyebaran virus rabies di Desa Sanur Kaja. Hambatan dalam pembuatan pelaksanaan Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 yaitu dalam masyarakat Bali memiliki kepercayaan bahwa anjing merupakan hewan yang digunakan dalam sarana upacara di Bali. Maka dalam pembuatan Perdes ini akhirnya dibuat kesimpulan anjing apa saja yang dibatasi di dalam Perdes ini, maka anjing yang digunakan dalam upacara keagamaan Hindu di Bali adalah jenis bang bungkem

  • 4.2    Saran

Dalam meningkatkan pencegahan mengenai penyakit rabies, diharapkan partisipasi dari seluruh Desa di Bali untuk membuat peraturan mengenai anjing liar yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit rabies dan mencegah terjadinya perdagangan anjing liar agar Bali terbebas dari penyakit rabies. Dan juga untuk menanggulangi terjadinya kasus rabies yang ada dimasyarakat alangkah baiknya dari pemilik anjing harus melapor kepada pihak desa kemudian di data agar apabila ada salah satu anjing yang terlepas di lingkungan sekitar, maka pihak desa akan memberitahu kepada pemilik anjing untuk tidak dilepas di luar rumah agar tidak terjadi pencurian anjing yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Pangan.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7)

Peraturan Desa Sanur Kaja Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tatacara Pemeliharaan Dan Penanganan Anjing Di Wilayah Desa Sanur Kaja (Lembaran Desa Sanur Kaja Nomor 28 Tahun 2018)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84)

Buku

Redi, Ahmad. "Hukum pembentukan peraturan perundang-undangan." (2018).

Hukum, Fakultas. "Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana." Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar (2013).

Jurnal

Astina, Made Arya, and Ketut Tri Budi Artani. "Dampak perkembangan pariwisata terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Sanur." Jurnal Ilmiah Hospitality Management 7, no. 2 (2017): 141-146.

Batan, I. Wayan, and I. Ketut Suatha. "Faktor-Faktor yang Mendorong Kejadian Rabies pada Anjing di Desa-Desa di Bali (FACTORS ENCOURAGING THE INCIDENCE OF RABIES IN DOGS IN VILLAGES IN BALI)." Jurnal Veteriner 17, no. 2 (2016): 274-279.

Indrawan, Hieronimus, I. Wayan Batan, and I. Made Kardena. "Persebaran Wilayah Tertular Rabies dan Hubungan Kejadiannya pada Anjing dan Manusia di Kabupaten Jembrana, Bali Tahun 2010-2015." Indonesia Medicus Veterinus 5, no. 4 (2016): 343-350.

Kepeng, I. Nengah, I. K. Puja, and N. S. Dharmawan. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepemilikan Anjing di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali." Veterinary Science and Medicine Journal 2, no. 1 (2014).

Manro, Nike Maya, and Nadia Yovani. "Menuju Indonesia bebas rabies 2020: problem institusi dalam implementasi kebijakan kesehatan publik di Bali." Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: JKKI 7, no. 4 (2018): 168-177.

Nugroho, D. K., Diarmitha IK Pudjiatmoko, S. Tum, and L. Schoonman. "Analisa Data Surveilans Rabies (2008-2011) di Propinsi Bali, Indonesia." J Outbreak, Surveillance and Investigation Reports (OSIR) 6, no. 2 (2013): 8-12.

Nugraha, Elisabeth Yulia, I. Wayan Batan, and I. Made Kardena. "Sistem pemeliharaan anjing dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap penyakit rabies di Kabupaten Bangli, Bali." J Veteriner 18, no. 2 (2017): 274-282

Pandet, P., I. K. Arba Wirawan, and N. Lia Susanthi. "Ulam Asu”: Media Pergerakan Melawan Perdagangan Daging Anjing Di Bali Dalam Film Dokumenter." Prabangkara: Jurnal Seni Rupa Dan Desain 22, no. 1 (2018).

Putra, I. Dewa Gede Angga Sitangga, I. Gede Mahendra Darmawiguna, S. Kom, Gede Aditra Pradnyana, S. Kom, and M. Kom. "Film Dokumenter Anjing Bali Tuan Rumah Sejuta Kisah." KARMAPATI (Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika) 6, no. 1 (2017): 134-141.

Parwis, Muhammad, Teuku Reza Ferasyi, Muhammad Hambal, Dasrul Dasrul, Razali Razali, and Andi Novita. "Kajian Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Masyarakat Dalam Mewaspadai Gigitan Anjing Sebagai         Hewan

Penular Rabies (HPR) Di Kota Banda Aceh (Study of Knowledge, Attitude, and Practice of the Community in Four Sub-Districts in Banda

Aceh for Their Preparedness of Dogs Attacking as Rabies Risk Animals)." Jurnal Medika Veterinaria 10, no. 1 (2016): 17-22.

Suroto, Tyas Yuniawati, and Ni Nengah Adiyaryani. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penjualan Daging Anjing Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum: 1-13.Dibia, I. Nyoman, Bambang Sumiarto, Heru Susetya, Anak Agung Gde Putra, and Helen Scott- Orr. "Faktor-Faktor Risiko Rabies pada Anjing di Bali (Risk Factors Analysis For Rabies Indogs In Bali)." Jurnal Veteriner 16, no. 3 (2015): 389-398.

Suartha, I. Nyoman, Made Suma Anthara, Ni Made Rita Krisna Dewi, I. Wayan Wirata, I. Gusti Ngurah Kade Mahardika, Anak Agung Gde Oka Dharmayudha, and Luh Made Sudimartini. "Perhatian pemilik anjing dalam mendukung Bali bebas rabies." Buletin Veteriner Udayana (2014).

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 6 Tahun 2020, hlm. 1-14

14