MATCH FIXING DI DUNIA SEPAK BOLA INDONESIA; PENDEKATAN PIDANA

I Wayan Suarsa Putra Utama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: suarsaputrau@gmail.com.

I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: novypurwanto17@gmail.com

ABSTRAK

Di era yang sudah maju ini, kompetisi di bidang sepakbola sudah berubah dikarenakan adanya oknum yang berperan sebagai penjahat terorganisir. Dalam pertandingan sering terjadi upaya manipulasi pertandingan. Ancaman global dalam bidang kompetisi sepakbola dilakukan dengan kecurangan penetapan skor dan manipulasi pertandingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latarbelakang adanya match fixing di dunia sepak bola Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana analisis hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 terhadap tindak pidana match fixing dalam dunia sepakbola di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode hukum normatif. Sumber acuan hukum tersebut didapatkan melalui tinjauan kepustakaan, yang kemudian semua sumber acuan hukum tersebut dianalisis secara kualitatif normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pertandingan di bidang persepakbolaan Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang kejahatan penyuapan dijatuhkan hukuman pidana walaupun praktek menyuap dalam lingkup swasta bukan dianggap sebagai korupsi. Ada beberapa alasan terjadinya tindak pidana pengaturan skor (match fixing) bisa terjadi, pada umumnya itu karena adanya perjudian serta keuntungan finansial yang berupa uang atau barang-barang mewah lainnya yang dapat menarik perhatian seseorang untuk bisa memanipulasi hasil pertandingan baik dari segi pemalsuan dokumen pemain maupun disogoknya para pemain intuk mengikuti intruksi. Kriminalisasi match fixing di pertandingan dalam dunia persepakbolaan Indonesia diatur dalam UU No. 11 Tahun 1980 dapat diancam dengan sanksi pidana walaupun tindakan suap tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi sesuai dengan UU Tipikor.

Kata kunci: Match fixing, sepak bola, pidana.

ABSTRACT

In this advanced era, competition in football field has changed because there were individuals who succeed as organized criminals. In matches, there were often match manipulations. The global threat in football field competition is carried out by cheating score-fixing and match manipulation. This research aimed to observe the background of the competition arrangements in the world of Indonesian football and to find out how the legal analysis according to Law No. 11 of 1980 concerning on the prevention of mounting in football world in Indonesia. The method used is a normative legal method. Sources of legal references obtained through the updating of the literature, which then all sources of this legal reference are updated qualitatively normatively. The results of the study show the fact that the competition in Indonesian football field in accordance with the Law Number 11 of 1980 regarding bribery crimes is sentenced for the practice of bribery in association with other than regarded as corruption. There were a number of reasons that can be followed up, including: the competition arrangements that can occurred, at that time, because gambling and finance consisting of money or luxury items that can attract someone's attention to be able to manipulate the results of the match properly. The players followed instructions. Criminalization of fixing matches in matches in the world of Indonesian football Preparation in Law no. 11 of 1980 can be threatened with the approval of the Maintenance of the bribery Movement can not be categorized as a preventive measure in accordance with the Corruption Act.

Keywords: Match fixing, football, criminal

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Jenis olahraga mendunia yang hingga saat sekarang adalah sepakbola. Dari jaman dahulu, sepakbola memiliki sejarah yang cukup kuat tanpa adanya kemunduran walaupun terdapat masalah yang cukup pelik yaitu pengaturan skor (match fixing).1 Rumor tentang pengaturan skor sangat diperlukan adanya tindak lanjut oleh semua stakeholder, dikarenakan semakin banyaknya pembicaraan mengenai hal tersebut.

Di era yang sudah maju ini, kompetisi di bidang sepakbola sudah berubah dikarenakan mulai disusupi oleh oknum yang memiliki peran sebagai penjahat yang terorganisir, dilakukan dengan memanipulasi pertandingan dan pengaturan skor. Hal tersebut terjadi di seluruh dunia yang terus menjalar dan tidak terdapat tempat aman untuk match fixing dan match manipulation. Seluruh wilayah memiliki ancaman yang serupa. Kegiatan yang dilakukan dibawah naungan Federation of International Football Association (FIFA), dapat dipastikan terdapat tindakan kejahatan seperti ini.2

Menurut FIFA, adanya tindakan mengatur skor dalam sepakbola yang sudah terencana secara kriminal serta masuk dalam kategori kejahatan judi, maupun tindakan korupsi perorangan maupun lembaga. Hal ini sering terjadi pada klub yang bertanding dalam liga di negara tertentu dibandingkan kegiatan besar FIFA dan menyertakan tim nasional didalamnya.3FIFA mempunyai suatu sistem yang memperingati untuk melakukan pengawasan kegiatan perjudian serta sudah melakukan kerjasama dengan Interpol, negara maupun pemangku kebijakan di tingkat nasional, tingkat regional, maupun tingkat internasional. Beberapa negara yang menjadi anggota Uni Eropa memasukkan kategori kecurangan bidang olahraga kedalam hukum pidana (contohnya Italia dan Portugal), sedangkan di negara lain dimasukkan dalam UU tentang olahraga (Yunani dan Polandia), namun untuk lalinnya yang merupakan anggota bahkan mengaktegorikan sebagai bukan tindak pidana.4 Melihat hal tersebut, semua bagian harus berperan secara komprehensif karena Uni Eropa dalam melakukannya tidak dapat sendirian. Baik pemegang saham, lembaga penegak hukum, pengatur perjudian, institusi maupun lembaga permasyarakatan harus saling bekerjasama secara komprehensif. Hal ini menjadi langkah yang tepat untuk dilakukan sehingga pengaturan skor di Eropa dapat ditanggulangi dengan baik.

FIFA juga menganggap bahwa tindakan mengatur skor adalah tindak kejahatan, sangat memerlukan respon yang positif serta cepat dari berbagai pihak

yang memiliki kepentingan untuk segera mengatasinya dikarenakan tindak kejahatan ini memiliki tingkatan yang sama dengan tindak pidana korupsi yang sudah ada dalam ketetapan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kehadiran pemerintah melalui keterlibatan apparat penegak hukum untuk menangani kasus tindakan yang mengatur skor bukanlah merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan oleh negara terhadap dunia persepakbolaan seperti yang dicemaskan oleh PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) selama ini, maka dari itu menyebabkan keraguan dalam hal penuntasan masalah ini.

Berkaitan dengan match fixing yang terjadi di Indonesia, adalah hal yang sering terjadi dalam di dalam dunia olahraga, bahkan terlihat dengan nyata dan berbagai pihak dapat merasakannya namun sangat sulit dibuktikan. Hal utama yang paling mendasari terjadi di Indonesia adalah dikarenakan faktor uang. Terdapat beberapa oknum yang melakukan perjudian dengan bermodalkan uang yang besar bahkan dengan keberaniannya mampu membuat skenario hasil pertandingan. Terdapat beberapa hal yang sangat perlu dipahami yaitu tindakan mengatur skor tidak dapat masuk dalam kategori tindak kejahatan karena tidak terpenuhinya beberapa unsur tertentu yang tercantum dalam hukum pidana, namun hal tersebut tetap saja mencoreng fairplay. Namun, terdapat pula tindakan pengaturan skor yang memiliki motif selain uang yaitu murni merupakan strategi dalam pertandingan.

Adanya motif yang jelas menjadi hal penting untuk mengusut tindakan pengaturan skor, sehingga jika ketika tindakan tidak memenuhi unsur pidana, maka sanksi akan diberikan oleh Komisi Etik PSSI, Komisi Banding (Komding) maupun Komisi Disiplin (Komdis). Terdapat hal yang menyebabkan federasi tidak dapat menjangkau yaitu adanya keterlibatan banyak pihak seperti pelatih, wasit, hakim garis, maupun mafia, dan lain-lain, sehingga harus melibatkan penegak hukum untuk mengatasinya.

Adanya sistem aturan yang buruk dan terdapat banyak aturan (hampir ada di setiap UU) yang mempunyai ketentuan pidana yang diterapkan di Indonesia, sehingga hal yang paling relevan digunakan adalah UU No. 11 Tahun 1980 mengenai tindak pidana penyuapan, namun malah menjadi aturan yang terlupakan. Begitupula dengan diperburuk oleh sedikitnya publikasi mengenai peraturan tersebut. Bahkan penegak hukum tidak banyak yang mengetahui tentang aturan ini. Sebagai contoh dengan dilepaskannya Johan Ibo merupakan salah satu bukti, dikarenakan pihak kepolisian hanya mengacu pada UU No. 20 Tahun 2001 melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1999 mengenai pemberantasan tipikor (UU Tipikor) sehingga menjadi tidak relevan dengan kasus tersebut.5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyawan, dkk (2020), faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses pengungkapan tindak pidana pengaturan skor (match fixing) yaitu pada faktor hukum karena penyidik hanya mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang tindak pidana suap, lalu pada faktor penegak hukumnya yaitu kurangnya personel dari Satuan Petugas

Anti Mafia Bola, sedangkan pada faktor sarana dan fasilitas yaitu kurangnya peralatan penunjang forensik digital 6

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Achmad Subandi, Yana Indawati (2019), tindak pidana suap yang terjadi dalam fenomena pengaturan skor (match fixing) ini memiliki bentuk dan unsur yang berbeda dengan suap sebagaimana yang telah diatur di dalam UU Tipikor. Dimana pada suap yang terkandung dalam UU Tipikor memiliki unsur-unsur yaitu suap dilakukan oleh pejabat negara atau aparatur sipil negara yang menimbulkan suatu kerugian yang langsung bagi keuangan negara. 7

Penelitian yang dilakukan oleh Alexzander Rinaldy, Dian Adriawan Daeng Tawang (2018), kriminalisasi match fixing dalam pertandingan sepakbola di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana meskipun suap di sektor swasta tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi karena tidak masuk sebagai kategori korupsi berdasarkan UU Tipikor. KPK hanya memiliki kewenangan dalam undang-undang korupsi, di luar itu bukan wewenang KPK. Jadi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, penyidikan bisa dilakukan oleh jaksa atau pihak kepolisian. kriminalisasi match fixing dalam pertandingan sepakbola di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana meskipun suap di sektor swasta tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi karena tidak masuk sebagai kategori korupsi berdasarkan UU Tipikor. 8

Dari hal tersebut penulis ingin mengkaji lebih lanjut apa latarbelakang adanya match fixing di dunia sepak bola Indonesia dan bagaimana analisis hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 terhadap tindak pidana match fixing dalam dunia sepakbola di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “MATCH FIXING DI DUNIA SEPAK BOLA INDONESIA; PENDEKATAN PIDANA”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Setelah diberikan paparan mengenai permasalahan yang diambil, maka dari itu penulis akhirnya membuat rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Apa latarbelakang adanya match fixing di dunia sepak bola Indonesia?

  • 2.    Bagaimana analisis hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 terhadap tindak pidana match fixing dalam dunia sepakbola di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan jurnal ini antara lain:

  • 1.    Untuk mengetahui latarbelakang adanya match fixing di dunia sepak bola Indonesia

  • 2.    Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 terhadap tindak pidana match fixing dalam dunia sepakbola di Indonesia

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang dipakai yaitu metode penelitian hukum normatif. Metode hukum normatif merupakan metode yang dilakukan melalui penelitian bahan kepustakaan yang merupakan data sekunder. Metode ini juga merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah guna melakukan penemuan berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif, yang dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan juga cara-cara kerja ilmu hukum normatif ataupun ilmu hukum yang objeknya merupakan hukum itu sendiri. Sumber acuan hukum tersebut didapatkan melalui tinjauan kepustakaan, yang kemudian semua sumber acuan hukum tersebut dianalisis secara kualitatif normatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1 . Latarbelakang adanya match fixing di dunia sepak bola Indonesia

Perkembangan dunia sepakbola tidak terlepas dari peran benua Eropa di wilayah barat maupun selatan yang mempromosikan olahraga sepakbola hingga seluruh dunia.9 Sepakbola dianggap seperti agama bagi mereka, hal yang mereka cintai dan klub sepakbola maupun timnas sepakbola sudah sangat menjalar di dalam alirannya.10 Sepak bola itu sendiri mewakili globalisasi dan kosmopolitanisme. Ketika Inggris membawa game ini ke seluruh koloninya dan seluruh dunia, sepak bola memulai langkah pertamanya untuk diglobalisasi, dan langkah besar kedua diambil ketika Piala Dunia disiarkan televisi dan disiarkan di banyak negara. 11

Di sisi lain, kompetisi sepakbola saat ini telah berubah karena mulai disusupi oleh pelaku kriminal secara terorganisasi, terutama dalam manipulasi pertandingan dan pengaturan skor. Pengaturan skor dan manipulasi pertandingan sebagai ancaman global, ibarat seperi virus kanker yang terus menyebar dan tidak melihat ada tempat yang aman dari match fixing dan match manipulation di dunia ini. Semua wilayah di dunia ada ancaman yang sama. Italia menjadi negara yang tidak jarang berprestasi di saat industri sepakbolanya tengah dilanda krisis, bahkan 2 kali mereka menjadi juara dunia saat terjerat kasus pengaturan pertandingan (match-fixing).12

Setiap kegiatan sepakbola di bawah Federation of International Football Association (FIFA), selalu ada upaya infiltrasi dari kejahatan yang terogranisir ini.13 Lebih dari sekedar mempertahankan legitimasinya sebagai aktor non-negara yang memiliki pemerintahan imajiner, tetapi juga dapat memaksa pemerintah yang berdaulat untuk tunduk pada perubahan nasional untuk pemerintahan yang lebih baik seperti apa yang terjadi di Kemenpora RIversus PSSI dan FIFA.14

Ada beberapa alasan terjadinya tindak pidana pengaturan skor (match fixing) bisa terjadi, pada umumnya itu karena adanya perjudian serta keuntungan finansial yang berupa uang atau barang-barang mewah lainnya yang dapat menarik perhatian seseorang untuk bisa memanipulasi hasil pertandingan baik dari segi pemalsuan dokumen pemain maupun disogoknya para pemain untuk mengikuti intruksi.

Di sepakbola ruang korupsi untuk para pemain praktis, sangat sempit. Dalam dunia politik, jika seorang mempunyai kekuasaan, kesempatan melakukan korupsi sangatlah mungkin. Semakin besar kekuasaan yang dimilkinya, kesempatan berkorupsi yang di keruk semakin besar. Tindak pidana korupsi yang paling lazim dalam olahraga sepak bola adalah: 1. Judi bola melalui pengaturan skor akhir, 2. Permainan transfer pemain dari satu klub ke klub lain, dan 3. Khusus untuk sepak bola internasional, korupsi dalam menentukan tuan rumah pertandingan akbar piala dunia dan ajang pemilihan presiden FIFA.15 Bandar-bandar judi kelas kakap tidak jarang mempunyai kemampuan mengatur skor akhir dengan cara menjinakkan wasit. Jika wasit bisa di atur, skor pertandingan pun bisa di atur, bisa di prediksi sejak awal. Jadi untuk jasanya wasit di iming-imingi imbalan yang tidak kecil.

Terdapat beberapa hal yang perlu dipahami yaitu kriminalisasi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa yang dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat atau golongan masyarakat. Namun kriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu tindakan menetapkan seseorang dikarenakan perbuatannya melanggar hukum sehingga dapat dipidana. Tahap akhirnya yaitu terbentuknya UU yang memberikan sanksi hukum pidana kepada para pelaku.

Dengan adanya kebijakan kriminalisasi maka tindakan penetapan terhadap pelaku dimana tindakan yang pada mulanya bukan kategori tindak pidana kemudian akhirnya berubah menjadi tindak pidana berdasarkan perundang-undangan. Kebijakan terkait kriminalisasi adalah bagian dari kebijakan kriminal yang mengacu pada hukum pidana sehingga dapat dikategorikan menjadi salah satu kebijakan hukum pidana. Kebijakan negara dalam penanganan tindakan kejahatan dapat dipengaruhi oleh faktor politik yang sedang berjalan saat itu, sehingga hubungan sebuah negara dapat mempengaruhi birokrasi di bawahnya dalam membuat kebijakan. 16

Beberapa kasus tindakan mengatur skor yang terjadi di Indonesia tidak berlanjut ke hukum pidana. Padahal hukuman pidana dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk memerangi tindakan mengatur skor serta perjudian di dunia olahraga, diluar sanksi yang diterapkan oleh organisasi induk olahraga. Terdapat banyak pihak yang beranggapan bahwa keterlibatan pemerintah dalam menangani kasus pelaku yang mengatur skor di dalam dunia persepakbolaan adalah sebuah intervensi yang dengan jelas tidak diperbolehkan oleh FIFA, dengan ketentuan bahwa sebuah organisasi sepakbola harus bersifat independen. Artinya dunia persepakbolaan harus bersih dari intervensi pihak manapun tak terkecuali pihak pemerintah. Namun, pada kenyataannya tindakan mengatur skor ini bukan hanya melibatkan pelaku dalam dunia persepakbolaan, melainkan terdapat elemen lain juga diluar bidang olahraga yang mempengaruhi hal tersebut.

Upaya untuk menanggulangi tindak kejahatan sangat diperlukan sarana maupun prasarana sebagai reaksi terhadap pelaku, baik sanksi pidana maupun nonpidana, sehingga terintegrasi satu dengan lainnya, terlebih sarana dan prasarana pidana dianggap relevan dalam penanggulangan kejahatan. Dengan kata lain memerlukan adanya konsepsi hukum pidana, dengan memilih guna mendapatkan hasil perundangan pidana berdasarkan situasi dan kondisi yang sesuai di masa depan.

Kewenangan dan peran pemerintah dalam pengelolaan dan penyelenggaran sepak bola di Indonesia adalah mengawal dan memberikan fasilitas penunjang untuk meningkatkan kualitas olahraga, seperti membuat stadion, membangun infrastruktur olahraga, mendukung secara finansial pengelolaan dan pembinaan usia dini untuk atlit dan lain sebagainya. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan dan kemudahan kepada induk organisasi cabang olahraga dalam menyelenggarakan sepak bola di Indonesia. Akan tetapi, Pemerintah tidak punya kewenangan untuk melakukan intervensi dan ikut campur dalam menjalakan roda organisasi PSSI. Karena kompetisi sejatinya dikelola dan dilaksanakan oleh organisasi sepak bola yang sah dan diakui oleh FIFA, dalam hal ini adalah PSSI. 17

Kompetisi adalah sarana untuk mengukur kemajuan pembinaan seluruh klub anggota PSSI. Kualitas kompetisi yang rendah menyebabkan prestasi optimal yang menjadi tujuan organisasi atau klub belum dapat terwujud. Konflik pengelolaan klub dan kompetisi yang terjadi dalam tubuh PSSI selama tahun 2010-2011 sangat mempengaruhi kualitas kompetisi di Indonesia. Prestasi tim nasional dalam berbagai kejuaraan masih belum membanggakan, kinerja pengurus PSSI dan klub anggota dalam melaksanakan kompetisi teryata belum mampu membawa pengelolaan kompetisi sepakbola Indonesia berada di standar profesional (versi AFC).18

Sebagai organisasi induk sepakbola Indonesia, PSSI membentuk peraturan yang berfungsi mengatur segala sesuatu dalam sepakbola terkait klub, pemain, ofisial tim, organisasi dan juga pertandingan yang diselanggarakan oleh PSSI dari Liga 1

hingga Liga 3 Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya adalah statute PSSI, Kode Disiplin PSSI, kode etik fair play dan lain sebagainya yang juga mengacu pada statuta FIFA.19

  • 3.2    Analisis hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 terhadap tindak pidana match fixing dalam dunia sepakbola di Indonesia

Kebijakan tentang hukum pidana yang saling terhubung dengan kriminalisasi yaitu suatu tindakan kejahatan dan juga penaliasi adalah sanksi yang diberikan terhadap pelaku. Kriminalisasi dan penaliasi dijadikan sebagai pusat permasalahan dalam penanganannya sehingga memerlukan suatu pendekatan dengan berorientasi kepada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation) terdiri dari suatu tindakan yang berlawanan dengan hukum (actus reus), mempertanggungjawabkan secara pidana (mens rea) ataupun sanksi berupa pidana atau tindakan.20 Dalam pelaksanaannya, kriminalisasi dilaksanakan sangat berhati-hati agar tidak terkesan represif sehingga terjadi pelanggaran prinsip ultimum remedium (ultima ratio principle) serta adanya ancaman bidang sosial yang dapat berbentuk adanya kriminalisasi berlebihan (over criminalisation), sehingga memiliki kesan berkurangnya wibawa suatu hukum. Langkah pragmatis pidana formil dilakukan seiring dengan kriminalisasi tindakan hukum pidana materiil yang sangat penting dalam proses penyidikan maupun penuntutan.21

Secara filosofi, tindak pidana penyuapan adalah suatu tindakan kejahatan yang disebabkan oleh tindakan itu sendiri (mala per se) maupun tindakan yang tidak sesuai dengan tata hukum positif (mala in se) serta tidak termasuk mala in prohibita. Dalam konsep mala per se menggunakan landasan pikiran natural wrongs dengan menganggap bahwa tindakan kejahatan sudah pasti tindakan yang bertentangan dengan nurani manusia serta menganggap hal tersebut buruk dikarenakan memang dengan sendirinya salah, bukan dikarenakan oleh larangan dalam perundangan.

Sedangkan dalam konsep mala ini prohibitia menggunakan titik tolak perbuatan buruk maupun perbuatan yang salah karena perundangan melarang, yang kemudian disebut sebagai regulation offenses. Dalam tindakan menyuap dimasukkan ke dalam male per se dikarenakan tindakan penyuapan memberikan isyarat dengan maksud memberikan pengaruh untuk menyuap untuk melakukan atau tidak mengenai suatu hal yang tidak sesuai dengan kewajiban. Berdasarkan penjelasan diatas, maka suap dapat diatakan sebagai mala in probhita, baik tergolong merugikan negara atau pasal 12 dalam UU Tipikor. Delik suap yang dilakukan baik oleh swasta maupun badan hukum ataupun orang yang tidak termasuk golongan Pegawai Negeri, mengacu pada aturan UU No. 11 Tahun 1980.

Penyuapan merupakan bentuk yang banyak dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Berbagai bentuk penyuapan diantaranya yaitu barang, uang, dan lain-lain. Tujuan dari penyuapan sendiri adalah demi mempengaruhi pengambilan keputusan dari orang maupun ASN. Dalam pengertian luas, penyuapan tidak hanya

dalam bentuk uang, namun dapat juga berupa barang, komisi, pinjaman tanpa adanya bunga, tiket, penginapan, wisata, pengobatan, dan juga fasilitas yang ditujukan pada ASN atau pejabat yang dianggap memiliki hubungan dengan jabatannya serta melawan kewajiban maupun tugas sebagai ASN atau pejabat negeri.22

Tindakan penyuapan yang terjadi dalam pengadilan merupakan tindakan dengan pidana berat, hal tersebut disebabkan karena bukan saja berhubungan dengan tindakan suap seperti yang tercantum dalam perundangan, namun juga berhubungan dengan asas peradilan yang jujur dan tindak pidana dengan akibat mengganggu proses peradilan.

Dalam pelaksanaannya tidak dijumpai adanya ukuran spesifik yang dijadikan sebagai titik tolak kepentingan umum, diluar kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara. Frasa kepetingan umum dapat dimaknai secara luas asalkan didalamnya terdapat kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara. Sehingga berdasarkan acuan unsur penyuapan yang tercantum di dalam UU No. 11 Tahun 1980, maka pelaku dapat dijerat dengan UU tersebut.

Ketika tindakan suap dilakukan oleh pihak swasta dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan perbuatan melawan hukum. Sehingga dapat dikatakan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak swasta masuk dalam kategori suap. Hal itu juga tertera di UU No. 11 Tahun 1980. Adapun yang membedakan tindakan penyuapan di dalam UU No. 11 Tahun 1980 penentuannya di dalam UU No. 21 Tahun 2002 bahwa tindakan penyuapan dikaitkan dengan tindakan yang disebut private briber, serta terdapat syarat dalam public official bribery, seperti halnya keterkaitan diantara kekuasaan serta jabatan seperti yang dirumuskan dalam tindakan korupsi. Kemudian, kepentingan umum (public interest) adalah persyaratan dalam delik inti di UU No. 11 Tahun 1980, ketika hal yang berkaitan dengan kepentingan umum tidak ditemui adanya tindakan korupsi.

Tindakan mengatur skor dengan keterlibatan adanya keuntungan baik berupa materi maupun nonmateri sangat berkaitan seperti yang tercantum di pasal 2 dalam UU No. 11 Tahun 1980 yang menyatakan seperti berikut:

“Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)”

Selanjutnya pasal 3 UU No. 11 Tahun 1980 menjelaskan hal berikut ini:

“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana

karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak- banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas jutarupiah)”.

Berdasarkan dua pasal tersebut, sebenarnya dapat diterapkan oleh aparat yang menegakkan hukum di Indonesia untuk menghukum pelaku yang mengatur skor ketika ditemukan adanya tindakan penyuapan. Sesuai pula dengan penjelasan pasal 1 yaitu “kewenangan dan kewajibannya” dan juga tercantum dalam aturan kode etik profesi maupun organisasi yang terlibat dalam tindak pidana tersebut. Dalam sebuah kompetisi di dunia sepakbola, kode etik profesi sangat berkorelasi terhadap posisi seorang pemain maupun pelatih sepakbola. Apabila pelaku adalah seseorang yang masuk dalam lingkup oleharaga sepakbola.

Di dalam penjelasan UU diatas, kata “organisasi” diberikan makna yaitu penemu hukum yang dalam artian pemain maupun pelatih, dalam hal tindakan mengatur skor yang memikili ikatan dengan suatu organisasi dengan adanya ketentuan dalam kode etik, maka dapat dikatakan merupakan suatu wadah tempat mereka bermain maupun berlatih, dan juga induk organisasi PSSI maupun secara internasional yaitu FIFA yang juga berpedoman pada hukum serta di dalamnya terdapat kode etik yang harus ditaati oleh para pelaku di dunia persepakbolaan.

Sehingga kesimpulannya adalah bahwa para pelaku yang melakukan tindakan mengatur skor dapat dikatakan sebagai pelanggaran dalam kode etik profesi sebagai pemain dalam sepakbola dan juga bertentangan dengan kode etik yang sudah ditetapkan dalam organisasi baik PSSI maupun FIFA. Di dalam pasal 3 tersebut diatas dijelaskan juga bahwa sesuatu atau janji bukan hanya berbentuk uang maupun barang, namun hal lainnya juga dijanjikan di dalam tindak pidana penyuapan yang mengatur skor dapat tetap dianggap sebagai pelanggaran atas pasal 3 UU No.11 Tahun 1980 tersebut.

Keberadaan UU tersebut dapat dikatakan sudah sangat tua atau sangat lama karena telah diterbitkan dari tahun 1980, untuk nominal denda hanya berkisar belasan juga dengan kurungan maksimal 15 tahun tergolong murah di jaman sekarang ini. Namun, yang paling penting adalah pelaku tindakan ini dapat dikenakan dahulu sanksi pidana, untuk masalah yang berkaitan dengan pembaharuan pasal masih perlu adanya pembaharuan yang dilakukan oleh DPR demi memenuhi tuntutan di era saat ini untuk memberikan hukuman pidana yang sesuai untuk pelaku di dunia persepabbolaan yang semakin mewabah.

Sungguh ironis, ketika sudah terdapat UU yang bertugas sebagai penjerat para pelaku kejahatan ini didalam ataupun diluar ruang lingkup sepakbola, hingga saat ini masih saja dianggap belum adanya hukum dasar yang secara khusus mengatur hal tersebut. Adanya pemikiran bahwa tindakan penyuapam dalam lingkup sepakbola tidak dapat dijerat dengan UU tentang penyuapan. Hal tersebut dikarenakan tidak memiliki kesesuaian dengan UU tipikor yang dengan jelas bahwa dalm delik ke-2 UU itu sangat berbeda dengan sangat jelas.

Otoritas hukum yang ada di Indonesia menganggap tindakan pidana penyuapan belum dapat dimasukkan ke dalam ranah hukum karena belum dapat terpenuhinya unsur yang dapat memberikan kerugian bagi negara seperti yang tercantum di pasal 1 UU No. 11 Tahun 1980 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan tindak pidana suap dalam UU ini adalah tindak pidana suap diluar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada”, adapun pasal tersebut

menjelaskan bahwa adalah tindak pidana penyuapan tertera di UU ini selain yang telah diatur di dalam Kitab UU Hukum Pidana jo UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tipikor (lembaran negara tahun 1971 No. 19, tambahan lembaran negara nomor 2958); UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 4 Tahun 1975 jo UU No. 2 Tahun 1980 tentang PEMILU Aanggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Hal tersebut sudah dengan jelas dijelaskan dalam UU No. 11 Tahun 1980 tidak dimasukkan dalam tindak pidana penyuapan perihal tindakan korupsi dengan pelibatan penyelenggara negara, namun diluar hal tersebut. Ketentuan itu juga memaparkan bahwa KPK tidak memiliki wewenang dalam menangani kasus tersebut jika tidak terpenuhinya subjek hukum serta unsur kerugian negara di pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002. Hal ini menjelaskan bahwa untuk menjawab desakan mengenai KPK agar dilibatkan dalam menyelesaikan kasus ini. Kemudian dikarenakan tindakan penyuapan dalam match fixing ini masuk dalam pidana yang umum, sehingga Kepolisian memiliki wewenang akan hal tersebut.

Maka tidak ada alasan lagi kepada yang memiliki kewenangan dalam penanganan kasus ini agara UU dapat dihidupkan kembali dengan cara menerapkannya untuk menjerat pelaku dikarenakan Indonesia adalah negara hukum. Dengan membiarkan kasus tindakan mengatur skor ini semakin lama di dunia persepakbolaan, maka dapat mematikan potensi dan prestasi generasi berikutnya untuk sepakbola.

Di dalam suatu hukum, pencegahan yang dilakukan tanpa adanya penindakan, maka dapat dikatakan suatu hal yang sia-sia, yang pada akhirnya tidak dapat menyelesaikan permasalahan apapun. Dikarenakan dengan memberikan sanksi disiplin saja hanya sebagai langkah pencegahan. Sehingga diperlukan adanya hukum untuk dijadikan sebagai pelengkap dalam menindak kasus yang sedang terjadi.

Sangat diperlukan adanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku dalm lingkup sepakbola sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia, begitupula adanya peran pihak kepolisian serta masyarakat untuk melihat sepakbola tidak hanya sebuah pertandingan namun terdapat hukum yang berlaku di dalamnya. Masuknya hukum dan peran pemerintah tersebut bukan masuk dalam sebuah intervensi dikarenakan terdapat hukum yang masuk dalam sepakbola malahan membuat kesinambungan bukan bertentangan dengan sepakbola, tanpa pengurangan kaidah aturan bermain dalam sepakbola sehingga tidak ada lagi kasus di dunia sepakbola Indonesia. 23

Selain itu upaya-upaya lain yang dapat dilakukan untuk meminimalkan tindakan penipuan dalam dunia olahraga yaitu membuat peraturan pertandingan, pengawasan terhadap wasit, pengawasan oleh supporter, peningkatan kemampuan dari seluruh pelaku olahraga, dan meningkatkan kemauan baik adanya dorongan dari luar maupun dorongan dari dalam. 24

IV.Kesimpulan 4.1 Kesimpulan

Ada beberapa alasan terjadinya tindak pidana pengaturan skor (match fixing bisa terjadi, pada umumnya itu karena adanya perjudian serta keuntungan finansial yang berupa uang atau barang-barang mewah lainnya yang dapat menarik perhatian seseorang untuk bisa memanipulasi hasil pertandingan baik dari segi pemalsuan dokumen pemain maupun disogoknya para pemain untuk mengikuti intruksi. Kriminalisasi match fixing di pertandingan dalam dunia persepakbolaan Indonesia diatur dalam UU No. 11 Tahun 1980 dapat diancam dengan sanksi pidana walaupun tindakan suap tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi sesuai dengan UU Tipikor.

4.2 Saran

Sesuai dengan simpulan diatas maka penulis memberikan beberapa saran seperti dibawah ini:

Tindakan suap dalam sektor swasta telah memberikan dampak buruk yang banyak untuk dunia perbisnisan seperti halnya di pertandingan sepakbola. Sangat diperlukan dioptimalkan satgas anti mafia bola yang dibentuk oleh Kepolsian. Pemerintah dapat melaksanakan kegiatan penegakan hukum secara konkret terhadap pelaku sehingga masyarakat Indonesia diberikan kesadaran tentang perbuatan buruk dan bukan hal yang biasa. Upaya penegakan hukum dapat dilakukan dengan dibuatnya kesepakatan bersama oleh PSSI dan Kepolisian dalam hal bekerja sama melakukan penegakan hukum pada kasus ini. Kemudian upaya penegakan hukum juga dilakukan oleh negara dalam hal ini penegakan hukum pidana karena pada tindak pidana suap pengaturan skor ini memenuhi pula unsur yang terkandung dalam UU No 11 Tahun 1980 tentang suap, sehingga apabila melihat asas personalitas dan asas teritorial negara berhak melakukan penegakan terhadap hukum positifnya.. UU ini mampu menjerat pelaku suap maupun yang menerima suap, walaupun bukan bagian dari pemerintahan negara. UU No. 11 Tahun 1980 masih tetap ada dan dapat digunakan untuk menjerat pihak swasta.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan :

Indonesia, UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 4 Tahun 1975 jo UU No. 2 Tahun 1980 tentang PEMILU Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Indonesia, UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tipikor (lembaran negara tahun 1971 No. 19, tambahan lembaran negara nomor 2958)

Indonesia, UU RI NO. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap (Lembaran Negara Ri Tahun 1980 No. 58, Temabahan Lembaran Negara No. 3178)

Indonesia, UU No. 21 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2002.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Buku :

Anderson, Connie M., dkk. Afrika Gila Bola (Politik Sepakbola tuan rumah Piala Dunia). Depok: PT. Kepik Ungu (2010), hal. 13.

Lesmana, Tjipta. Bola Politik dan Politik Bola kemana arah tendangannya?. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013, Hal.188.

Soekanto, Soerjono. Kriminologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Cetakan Pertama Ghalia Indonesia, 1981.

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1983.

Jurnal Ilmiah :

Hidayat, Muhammad Nizar. “FIFA, Global Governance and Cosmopolitanism”. Jurnal Interdependence, Vol. 3, No. 1 (2015), hal: 15-29

Ismail, Akhmad Irfan, Chepi Ali Firman. “Penegakan Hukum dalam Pertandingan Sepakbola terhadap Match Fixingg (Pengaturan Skor) dikaitkan dengan Hukum Positif dan Kode Disiplin PSSI”. Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, 32.

Jayawardhana, Irman, “Motivasi Untuk Berprestasi”. Forum Manajemen Prasetya Mulya, Vol. 3, No. 4 (2019)

Kristiyanto, Eko Noer. “Pengaturan Skor Sepak Bola Dan Ketidakmampuan Penegak Hukum”. Jurnal Rechtsvinding Online, (2015).

Kusumawardhana, Indra., Muhammad Badaruddin. “State And Global Sport Governance: Analyzing The Triangular Relationship Among The FIFA, Kemenpora RI, And The PSSI”. Jurnal Asia Pacific Studies Volume 2 Number 2 (2018)

Muliadi. “Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”. Majalah Media Hukum Vol.1 No.3 (2003).

Nugroho, Erik Cahyo., Tolib Effendi. “Korelasi Lex Sportiva Dengan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Dalam Sepak Bola Indonesia. Simposium Hukum Indonesia Volume 1 Nomor 1 (2019)

Rinaldy, Alexzander., Dian Adriawan Daeng Tawang. “Kriminalisasi Match Fixing Dalam Pertandingan Sepakbola Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap”. Jurnal Hukum Adiguna (2018).

Sajidin, Syahrul. “Pelembagaan Bentuk Badan Hukum Suporter Menuju Pengelolaan Klub Sepakbola Berbasis Peran Serta Suporter (Studi Pada Kelompok Suporter Aremania Dan Klub Arema Indonesia)”. Jurnal Hukum Online, (2014)

Setyawan, Baskara Putra, Setya Wahyudi, Dessi Perdani Yuris. “Peran Satuan Petugas Anti Mafia Bola Terhadap Pengungkapan Tindak Pidana Pengaturan Skor (Match Fixing)”. Sudirman Law Review, S.L.R.Vol.2 (No.1) (2020): 109-117

Subandi, Achmad., Yana Indawati. “Tindak Pidana Suap Pengaturan Skor (Match Fixing) Dalam Pertandingan Sepak Bola Di Indonesia”. Simposium Hukum Indonesia Volume 1 Nomor 1 (2019); 45-53.

Sunarno, Agus. “Penipuan Dalam Olahraga”. Jurnal Ilmu Keolahragaan Vol. 13 (2) (2014): 1-6

Purnayuda, Sukma Teja. “Kepentingan Indonesia Dalam Penanganan Red Notice Interpol Pho Hoch Keng”. Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 3 (2015), hal. 35-40

Veno, Andri. “Analisis Manajemen Kepemimpinan Melalui Aplikasi Swot Pada Organisasi Pssi (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia)”. Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis, Volume 1, Nomor 1 (2016): 1-9, hal 1

Zulhidayat, Muhammad. “Kewenangan Dan Peran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Komepetisi Sepak Bola Di Indonesia (The Authority And Role Of Government In The Organizing Of Football Competition In Indonesia)”. Jurnal Hukum Replik, Volume 6 No. 2 (2018) P-ISSN: 2337-9251, E-ISSN: 25979094.

Internet :

Ananda, Luthfy Avian. Match Fixing dalam Sepakbola Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana. https://www.kompasiana.com/luthfyavian/match fixing-dalam-sepakbola-indonesia-ditinjau-dari-perspektif-hukumpidana_5693d48e119773750970f220. (diakses 22 Maret 2020)

Bozkurt, Emine. Match Fixing and Fraud in Sport: Putting the Pieces Together. http://www.europarl.europa.eu/document/activities/cont/201209/20120925A TT52303/20120925ATT52303EN.pdf (diakses 16 Maret 2020)

“FIFA:     Sepakbola Telah Disusupi Kejahatan Terorganisir”.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5270ce5840661/fifa--sepakbola-telah-disusupi- kejahatan-terorganisir. (diakses 16 Maret 2020)

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 4 Tahun 2020, hlm. 1-15

15