KEDUDUKAN SBKRI (SURAT BUKTI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA) TERHADAP HAK WNI KETURUNAN TIONGHOA DITINJAU DARI HUKUM HAM INTERNASIONAL
on
KEDUDUKAN SBKRI (SURAT BUKTI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA) TERHADAP HAK WNI KETURUNAN TIONGHOA DITINJAU DARI HUKUM HAM INTERNASIONAL
Oleh
Anggun Pratiwi
Ni Made Suksma Prijandhini Devi Salain
Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
SBKRI atau Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia merupakan surat bukti bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia khususnya untuk warganegara Indonesia keturunan Tionghoa. SBKRI memiliki dasar hukum UU No. 62 tahun 1958 tentang “Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Saat ini keberadaan SBKRI sering dijadikan alasan oleh beberapa oknum pemerintahan untuk menghalangi hak-hak warganegara seorang warganegara Indonesia keturunan Tionghoa khususnya pada pengurusan birokrasi mulai dari pencatatan kelahiran sampai permohonan pembuatan paspor. Tulisan ini akan membahas kedudukan SBKRI terhadap hak warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dalam menjalankan hak serta kewajibannya secara utuh sebagai warganegara Indonesia. Dalam tulisan ini juga akan dibahas bagaimana perlindungan hak asasi manusia terkait dengan keberadaan SBKRI.
Kata kunci : warganegara, Tionghoa, hak asasi manusia
ABSTRACT
SBKRI or “Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia” is a document stating that the owner is a citizen of the Republic of Indonesia, especially for Indonesian citizens of Chinese descent. It is regulated under the Law of the Republic of Indonesia year 1985 about Citizenship in Republic of Indonesia. However, SBKRI is now often used as an excuse by some unscrupulous government officials to obstruct the rights of an Indonesian citizen of Chinese descent in particular on the management of the bureaucracy such as birth registration to apply passport. This paper will describe the SBKRI’s position against the rights of Indonesian citizens of Chinese descent in the fullfilment of rights and obligations as an Indonesian citizen of Chinese descent. This paper will also discuss how the protection of human rights associated with the presence of SBKRI.
Keywords : citizen, Chinese, human rights
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara.
Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya.1 Hubungan tersebut dapat berupa pelaksanaan kewajiban maupun pemenuhan hak. Pemenuhan atas hak warga negara seharusnya menjadi kewajiban bagi
negara tak terkecuali pemenuhan hak atas kewarganegaraan terhadap seorang warga negara Indonesia.
Dalam pelaksanaan pemenuhan hak tersebut, warga negara keturunan Tionghoa sering memperoleh kesulitan diantaranya dalam mengurus surat-surat kependudukan seperti akta kelahiran sampai permohonan paspor karena adanya desakan segelintir oknum pejabat pemerintahan yang mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia. Tujuan dari penulisan ini, di samping untuk mengetahui kedudukan SBKRI terhadap hak WNI keturunan Tionghoa, juga untuk menganalisa adanya kepastian hukum dari Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menyatakan ketidakberlakuan atas seluruh peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan SBKRI.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian hukum normatif karena dalam menyusun kerangka konsepsional mempergunakan rumusan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian.2 Sumber data dalam penulisan ini berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan pendekatan sejarah, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.
-
2.2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 membedakan pengaturan antara hak warga negara dengan hak asasi manusia. Hak warga negara diatur dalam Bab X Pasal 26 dan Pasal 27, sedangkan hak asasi manusia diatur secara tersendiri dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan hak yang yang dimiliki seseorang karena menjadi warga negara Indonesia. Lebih lanjut
dalam Pasal 26 ayat (3) dijelaskan bahwa hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
SBKRI merupakan konsekuensi dari perjanjian Dwi-Kewarganegaraan antara Indonesia dengan Republik Rakyat Cina pada tahun 1955. SBKRI pertama kali dimuat dalam ketentuan penutup UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa barangsiapa perlu membuktikan bahwa Ia warga negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan Ia mempunyai atau memperoleh atau turut memperoleh warga negara itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah Ia warga negara Republik Indonesia atau tidak menurut acara perdata biasa. SBKRI membawa konsekuensi tersendiri bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa karena dokumen ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengurus surat-surat kependudukan seperti akta kelahiran, akta perkawinan bahkan permohonan paspor. Hal ini dirasakan sebagai salah satu perbuatan diskriminatif bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa khususnya sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewaganegaraan Republik Indonesia yang menyatakan ketidakberlakuan seluruh peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan SBKRI bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Pada prinsipnya, hukum internasional tidak mencampuri urusan penyusunan Undang-Undang Kewarganegaraan dari suatu negara. Urusan seperti ini dianggap sebagai urusan dalam negeri.3 Namun berdasarkan Universal Declaration of Human Rights pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraan. Selain itu dalam International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination pada pasal 5 dijelaskan bahwa negara menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlakukan sama di depan hukum. Lebih lanjut dalam butir (d) dijelaskan bahwa hak tersebut salah satunya berupa hak sipil yaitu hak untuk memiliki kewarganegaraan. Dalam tatanan hukum
nasional pun sebenarnya hak atas kewarganegaraan juga dilindungi dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
-
2.2.2. Kepastian Hukum Keppres No. 56 tahun 1996 terhadap Keberadaan dan Penggunaan SBKRI dalam Birokrasi Pemerintahan
Kehadiran warga negara Indonesia keturunan Tionghoa memang sudah lama ada. Kehadiran mereka sejak pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai kaum minoritas. Kaum minoritas dalam julukan dan retorika di tingkat antar bangsa disebut the minorities atau minority groups.4 Kategori masyarakat ini dianggap hanya sebagian kecil dari masyarakat adat yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan masyarakat lain yang lebih dominan. Namun tidak dapat diingkari lagi saat ini keberadaan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa di Indonesia mempunyai pengaruh besar khususnya dalam perputaran perekonomian bangsa. Memang saat ini keberadaan UU No. 62 tahun 1958 telah diganti dengan UU No. 12 tahun 2006 yang lebih menjamin kepastian hukum seorang warga negara Indonesia tak terkecuali warga negara keturunan. Namun yang masih terjadi sampai saat ini adalah pelaksanaannya yang belum sepenuhnya mendapat pengawasan dari pihak terkait. Warga negara keturunan Tionghoa sampai saat ini masih sering memperoleh kesulitan dalam mengurus surat-surat kependudukan seperti akta kelahiran sampai permohonan paspor karena desakan segelintir oknum pejabat pemerintahan yang mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia. Padahal, Pasal 5 Keppres No. 56 tahun 1996 sangat jelas mengatur bahwa dengan berlakunya Keppres ini maka segala segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mensyaratkan SBKRI dinyatakan tidak berlaku.
Masuknya konsep hak warga negara dalam rupa hak atas kewarganegaraan ke dalam konsep hak asasi manusia pada dasarnya telah diakui oleh masyarakat Internasional melalui instrumen hukum internasional yang kemudian diinkorporasikan dalam instrumen hukum nasional. Sehingga dapat diindikasikan bahwa keberadaan SBKRI sebelum dikeluarkannya Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti
Kewarganegaraan Indonesia merupakan bentuk pengekangan hak asasi manusia seorang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa berkedok hak warga negara. Pensyaratan SBKRI dalam mengurus surat-surat kependudukan seperti akta kelahiran sampai permohonan paspor bagi warga negara keturunan Tionghoa dinilai tidak menguntungkan bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sampai saat ini. Sehingga hak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sampai saat ini hanya diambang wacana keadilan. Sangat disayangkan bahwa penegakan hukum materiil yang berlaku sampai saat ini mengenai SBKRI tidak didukung oleh hukum formil yang berlaku terhadap oknum-oknum tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Ammiruddin, dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Grafindo Persada, Jakarta.
Huda Ni’matul, 2010, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Karoba Sem, 2007, Hak Asasi Masyarakat Adat – United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Galangpress, Yogyakarta.
Nisar Said M., 2006, Tinjauan Asas-Asas Kewarganegaraan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Kewarganegaraan (Pemahaman dalam Konteks Sejarah, Teori dan Praktik), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Universal Declaration of Human Rights
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Persetujuan antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan
Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
5
Discussion and feedback