ACTIO PAULIANA SEBAGAI JAMINAN HUKUM KREDITUR DALAM PROSES KEPALITAN
on
ACTIO PAULIANA SEBAGAI JAMINAN HUKUM KREDITUR DALAM PROSES KEPALITAN*
Oleh
A.A. Ade Aryadi**
I Gusti Ngurah Dharma Laksana***
Program Kekhususan Hukum Bisnis, Fakultas Hukum,Universitas Udayana.
ABSTRAK
Jurnal ini diberi judul “Actio Pauliana Sebagai Jaminan Hukum Kreditur dalam Proses Kepailitan”. Majunya sektor usaha di Indonesia tentu harus diimbangi dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Tak jarang perusahaan didalam melakukan perjanjian utang-piutang sering terjadi masalah persengketaan antara para pihak. Berkaitan dengan perjanjian diatas secara hukum telah diatur berdasarkan KUHPer dan Undang Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan cara menghindari tuntutan pailit yang besar, debitor sering melakukan perbuatan hukum seperti jual beli, sewa menyewa atau hibah sebelum dibacakannya Putusan Pailit. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan mengkaji aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan actio pauliana. Actio Pauliana sebagai suatu upaya untuk membatalkan perbuatan hukum debitor yang dinilai merugikan kreditor dalam proses kepailitan. Actio Pauliana secara umum diatur dalam Pasal 1341 KUHPer dan secara
khusus diatur dalam Pasal 41-49 UU KPKPU. Akibat hukum dari actio pauliana adalah dibatalkannya kewajiban-kewajiban perbuatan hukum debitor dengan pihak siapa perbuatan hukum itu dilakukan dilandasi dengan etikad tidak baik sehingga dinilai merugikan kreditor. Jaminan hukum yang diberikan oleh kedua aturan tersebut bagai angin segar bagi kreditor sehingga mendapatkan jaminan hukum atas kepentingannya dalam proses kepailitan. Namun perlu dicermati belum ada pengaturan pertanggungjawaban debitor yang melakukan perbuatan hukum dengan etikad tidak baik tapi pihak ketiga memiliki etikad baik, sehingga perlu adanya penambahan aturan dalam hal tersebut.
Kata Kunci : Jaminan Hukum, Akibat Hukum Actio Pauliana
ABSTRACT
The journal is entitled "Actio Pauliana As Creditor's Credit Guarantee in Bankruptcy Process". The development of the business sector in Indonesia must be balanced with the laws and regulations that govern it. Not infrequently companies often make debt agreements which are risky in the presence of disputes between the parties in the agreement. Related to this matter is regulated through KUHPer and Undang Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. In order to avoid large bankruptcy demands, the debtor often performs legal acts such as sale and purchase, lease or grant lease prior to the disclosure of Bankruptcy Decision. The research method that using is normative research method by examining the legal rules related to actio pauliana. Actio Pauliana as an attempt to undo the legal actions of debtors who are considered to be detrimental to creditors in bankruptcy proceedings. Actio Pauliana is generally regulated in Article 1341 of the Criminal Code and is specifically regulated in Article 41-49 of the KPKPU Law. The legal consequence of actio pauliana is the abrogation of legal action of the debtor with whom the legal act is done based on bad ethics that is considered detrimental to the creditors. The legal guarantees provided by the two rules are like a fresh breeze for creditors so that they get legal guarantees of their interest in bankruptcy proceedings. However, it should be noted that there is no regulation of the debtor's accountability that performs legal acts with ethics is not good but the third party has good ethics, so there is need for additional rules in that regard.
Keywords : Legal Assurance, Legal Effects Actio Pauliana
Pasal 1 ayat (3) UU NRI 1945 telah mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dapat dikatakan negara hukum karena Indonesia dilandasi dengan konstitusi dan bukan berdasarkan kekuasaan dari para pejabat atau badan pemerintahannya. Berbagai ketentuan hukum telah diatur di Indonesia melalui beberapa ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Seiring dengan berkembangnya sektor usaha di Indonesia maka diikuti pula dengan perkembangan pengaturan hukumnya. Kendati demikian dalam bidang hukum perdata belum ada hukum nasional yang berlaku, sehingga hingga saat ini Indonesia masih menggunakan HIR dan RBg sebagai dasar dalam hukum perdata. Hal tersebut diperbolehkan sesuai dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI 1945 yang pada intinya mengamanatkan apabila belum terdapat pengaturan terhadap sesuatu hal di Indonesia maka pengaturan yang sebelumnya telah ada (pada masa penjajahan) dikatakan masih berlaku selagi belum bertentangan di UUD NRI 1945.
Secara khusus dalam hukum perdata pasca era reformasi telah banyak menghasilkan produk peraturan yang ada kaitannya dengan masalah keperdataan dan telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat di Indonesia.1 Majunya sektor usaha di Indonesia tentu harus diimbangi dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yang mana sektor usaha ini juga memiliki potensi sengketa yang besar antara perusahaan-perusahaan di Indonesia. Demi memajukan masing-masing usahanya tak jarang perusahaan
melakukan perbuatan untuk membuat utang-piutang. Proses utang-piutang tidak hanya dilakukan oleh perusahaan dengan bank saja melainkan dapat pula dilakukan oleh antar perusahaan. Proses utang-piutang ini tidak serta merta berjalan sesuai dengan yang diinginkan masing-masing pihak yang dalam hal ini disebut sebagai kreditur dan debitur. Kendala-kendala yang dialami pihak debitur kadangkala menyebabkan pembayaran utang kepada pihak kreditur menjadi tidak tepat waktu bahkan tidak terbayarkan dalam jangka waktu yang sangat lama meskipun pihak kreditur dalam hal ini telah menagih pembayaran utang tersebut. Tak jarang debitur yang sebenarnya masih mampu untuk membayar utangya kepada kreditur – kreditur yang utangnya belum terbayarkan setelah tempo yang dijatuhi. Sehingga sebagai upaya preventif dan represif masalah yang demikian dibuatlah suatu aturan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya.
Setidaknya UU KPKPU telah membawa angin segar terhadap perlindungan hukum bagi kreditur terhadap perbuatan debitur yang tidak membayarkan hutangnya telah jatuhi tempo. Pengaturan yang ada dalam UU KPKPU terkadang dimanfaat sebagai alat penagih hutang bagi para kreditur, sehingga para debitur yang telah terancam pailit sering melakukan hibah atau perjanjian jual beli untuk mengamankan aset-aset yang telah dimilikinya. Demi menjamin atas perbuatan sebagaimana tersebut pihak kreditur membatalkan hibah atau perjanjian jual jual beli pihak debitur dengan pihak ketiga melalui Actio Pauliana. Namun belum terdapat ketentuan yang tegas terkait
dengan Actio Pauliana dan seberapa jauh Actio Pauliana menjamin Kreditur dari segi hukum dalam proses kepailitan.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan actio pauliana di Indonesia dan bagaimana actio pauliana dapat menjadi jaminan hukum terhadap Kreditur dalam proses Kepailitan.
Proses dalam menemukan aturan hukum, doktrin hukum guna untuk menyelesaikan keberadaan isu hukum yang terjadi bisa disebut penelitian hukum.2 Tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif sebagai upaya penyelesaian masalah dari isu hukum dalam tulisan ini. Dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti kajian kajian norma , asas, dan konflik yang terjadi dengan menggunakan bahan pustaka berupa data sekunder yang dapat dibedakan menjadi tiga yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.
Penelitian ini akan mengkaji terkait dengan norma-norma atau peraturang perundang-undangan yang mengatur terkait dengan actio pauliana di Indonesia. Dan mengkaji dengan pendekatan alanisa konsep hukum.
Pailit adalah suatu usaha untuk mendapatkan pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan tertib agar semua kreditor mendapat pembayaran yang sesuai dengan besar kecilnya pituang masing-masing dengan tidak menimbulkan perebutan dalam pembayaran hutang tersebut. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUKPKPU mengamanatkan pada intinya bahwa kepailitan adalah penyitaan semua aset debitur yang bangkrut dimana pengelolaan dan pemberesan dari utang-piutang tersebut diambil alih oleh kurator dan diiawasi dengan Hakim Pengawas. Dari adanya pernyataan pailit adalah untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dari para kreditur melalui penyitaan umum atas aset atau kekayaan dari debitor. Pada prinsipnya suatu kejadian pailit adalah cara untuk penerimaan pembayaran tunai kesemua pihak yang berpiutang secara adil dan proporsional.3 Yang kemudian kepailitan menjadi sebuah warning sign sehingga menjadi solusi terakhir pada para pihak yang bersengketa.4
Dari beberapa pengertian pailit tersebut maka dapat diketahui unsur-unsur yang wajib terpenuhi saat debitur itu dapat dikatakan pailit yaitu:
-
a. Terdapat minimal dua kreditor atau lebih
-
b. Utang yang akan ditagih telah jatuh tempo atau sudah dapat ditagih oleh kreditor. Hal ini dapat diartikan bahwa kewajiban debitor untuk membayarkan utangnya telah jatuh tempo baik karena kesepakatan dalam perjanjian, adanya percepatan
waktu penagihan utang karena perjanjian, diberikan sanksi atau denda oleh instansi atau pejabat yang berwenang untuk itu, atapun karena adanya putusan pengadilan.
-
c. Kedua hal yang telah disebutkan diatas dapat dibuktikan secara sederhana oleh kreditur.
Setelah semua syarat tersebut terpenuhi oleh debitur, barulah kemudian para kreditor dapat mengajukan pailit terhadap debitur tersebut. Kedudukan para kreditor ditentukan melalui jenis dan sifat piutang masing-masing kreditur.5 Kreditur terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu kreditor konkuren, kreditor separatis, dan kreditor preferen. Meskipun syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dan telah dimohonkan pailit, beberapa debitor yang tidak memiliki etikad baik sering melakukan hibah atau perjanjian jual beli dengan pihak ketiga untuk menyelamatkan aset-asetnya dari pernyataan pailit yang nantinya akan didapatkan debitor. Pembayaran atas utang yang sudah dapat ditagih merupakan perbuatan hukum yang merupakan kewajiban dari debitur sehingga pembayaran semacam itu tidak dapat diganggu gugat oleh kreditur lainnya, bahkan jika pembayaran terhadap salah seorang kreditur merugikan kreditur- kreditur lainnya.6 Usaha yang demikian tentunya menyebabkan para kreditor merasa dirugikan karena nilai-nilai aset yang seharusnya masih ada menjadi berkurang dan kemungkinan besar utang yang dibayarkan besarannya tidak sesuai dengan sisa utang yang seharusnya dibayarkan oleh debitor. Sehingga dalam hal ini actio pauliana merupakan sarana yang diberikan undang-undang
untuk membatalkan segala perbuatan tidak wajib yang dilakukan oleh debitor yang mana perbuatan tersebut merugikan kreditor.
Sebagai usaha perlawanan atas tindakan debitor yang demikian maka para kreditor yang merasa kepentingannya dirugikan oleh debitor akan mengajukan suatu gugatan yaitu gugatan actio pauliana. Actio Pauliana mulanya berasal dari bahasa Romawi yang maksudnya menunjukan pada tindakan atau usaha membatalkan tindakan dari debitor. Pada dasarnya actio pauliana merupakan suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor untuk melakukan tuntutan yang berisikan kebatalan dari segala bentuk perjanjian yang dilakukan oleh debitur dan dengan siapa debitor tersebut mengikatkan diri dengan catatan bahwa dapat dibuktikan bahwa debitor dan pihak yang mengikatkan diri kepada debitor pada saat melakukan perbuatan telah mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan dapat memberikan kerugian kepada kreditor.
Dasar hukum yang menjadi landasan yuridis dari berlakunya actio pauliana di Indonesia yaitu ketentuan Pasal 1341 KUHPer dan ketentuan Pasal 41 hingga 47 UUKPKPU. Ketentuan Pasal 1341 KUHPer mengatur secara umum keberlakuan dari actio pauliana yang pada intinya menyebutkan bahwa tiap kredior dapat mengajukan batalnya segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor apapun namanya yang tidak diwajibkan, sehingga perbuatan tersebut merugikan tiap kreditor, dan dapat dibuktikan bahwa debitor maupun pihak yang melakukan perjanjian dan untuk siapa debitor berbuat terbukti mengetahui secara sadar bahwa perbuatan tersebut merugikan tiap kreditor. Perbuatan sebagaimana dimaksud apabila dilakukan dengan itikad baik oleh pihak ketiga maka atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu diperlindungi.
Berdasarkan ketentuan ini apabila pihak ketiga dalam proses perikatannya dengan debitor dilakukan dengan etikad baik maka pihak ketiga tersebut dilindungi oleh undang-undang. Perbuatan dengan etikad baik tidak dilindungi undang-undang apabila pihak ketiga mendapatkan haknya dengan cuma-cuma dari debitor.7 Ketentun Pasal 41 UU KPKPU pada intinya menyatakan bahwa demi kepentingan harta pailit, dapat dimohonkan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang dalam hal ini dapat merugikan kepentingan dari tiap kreditor.8
Dalam penjelasan yang merupakan balance-sheet test menurut Uniform Commercial Code (UCC) menentukan seseorang dianggap insolvent baik dalam keadaan berhenti membayar atau tidak dapat membayar utangnya yang telah jatuh waktu equity test, penjelasan insolven juga tertera dan dijelaskan dalam Amerika Federal Bankruptcy Law.9 Ketentuan Pasal 1341 KUHPer merupakan suatu pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1340 KUHPer yang di dalamnya berisi Asas Privity of Contract (asas yang menerangkan bahwa suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya). Asas Privity of Contract masih dapat dikecualikan dengan actio pauliana sehingga pihak yang semula tidak terikat dengan perjanjian menjadi ikut terikat dengan perjanjian yang dibuat. Bertolak dari ketentuan Pasal 1341 KUHPer terdapat unsur penting yang perlu digaris bawahi untuk dibuktikan dengan adanya etikad
baik atau good faith. Terbukti keberadaan etikad baik tersebut dijadikan dasar saat penentuan perbuatan, dan sifat yang dilakukan oleh debitor itu apakah suatu kegiatan yang patut dilakukan atau tidak, Ketentuan pasal 1341 KUHPer mengkategorikan perbuatan tidak diwajibkan menjadi ke dalam 2 macam perbuatan, yaitu :
-
a. Perbuatan hukum yang bersifat timbal balik, yang mana dalam perbuatan ini terdapat dua pihak yang saling mengikatkan diri untuk melakukan prestasi. Contoh dari perbuatan hukum ini adalah adanya perjanjian jual beli atau sewa menyewa.
-
b. Perbuatan hukum sepihak yang mana perbuatan hukum tersebut dilakukan oleh satu pihak saja yang mempunyai kewajiban memenuhi prestasi terhadap pihak lainnya. Contoh dari perbuatan hukum ini adalah hibah.
Ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 41 ayat (1)UU KPKPU diperkuat melalui ketentuan Pasal 41 ayat (2)UU KPKPU yang menyatakan perjanjian yang bisa dibatalkan jika pada saat itu juga bisa diperbuktikan dengan perjanjian yang diabuat debitur dengan pihak ketiga telah mengetahui dengan sepatutnya bahwa perbuatannya merugikan kreditor. Pengecualian diberikan melalui Pasal 41 ayat (3), apabila perbuatan hukum tersebut dilaksanakan akibat dari perintah undang-undang (misal pembayaran pajak oleh debitor).
Ketentuan Pasal 42 UU KPKPU mensyaratkan bahwa apabila dalam waktu satu tahun sebelum Putusan Pailit dibacakan, debitor melakukan perbuatan hukum dengan pihak lainnya yang mana debitor sepatutnya mengetahu bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kreditor maka perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan melalui actio pauliana. Ketentuan Pasal 43 dan 44 UU KPKPU
mengatur terakait hibah yang diberikan selama adanya proses kepailitan, apabila kurator dapat membuktikan hibah tersebut merugikan kreditor maka dapat dimintakan pembatalan atas hibah tersebut. Ketentuan Pasal 43 dan 44 UU KPKPU memiliki sedikit persamaan dengan ketentuan 1431 (pemberian cuma-cuma) bahwa hibah yang diberikan selama proses kepailitan dapat dimintakan pembatalan untuk hibah tersebut.
Actio Pauliana dapat dilakukan apabila telah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
-
a. Debitor melakukan perbuatan hukum.
-
b. Perbuatan hukum yang dilakukan merupakan tidak diwajibkan.
-
c. Debitor merugikan kreditor dengan adanya perbuatan hukum
-
d. Debitor mengetahui bahwa perbuatan hukum merugikan kreditor.
-
e. Pihak dengan siapa debitor melakukan perbuatan hukum mengetahui prebuatan tersebut merugikan kreditor.
Actio pauliana memberikan akibat kepada debitor yang telah melakukan perbuatan hukum yang mana perbuatan itu diketahuinya dapat menimbulkan kerugian terhadap kreditor maka segala bentuk perbuatan hukum tersebut dapat dimintakan untuk batal melalui Pengadilan Niaga. Apabila debitor melakukan perjanjian jual beli maka segala kebendaan yang telah dipindah tangankan harus kembali lagi kepada debitor pailit. Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (2) dalam hal kebendaan tersebut tidak dapat untuk dikembalikan kembali,
maka pihak pembeli wajib untuk membayar senilai dengan harga kebendaan tersebut.
Sebelum dibatalkannya kegiatan jual-beli melalui actio pauliana pembeli sudah diambil alih kebendaannya kepada pihak yang berbeda itu dapat disebut pembeli kedua, maka harus diperhatikan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut :
-
a. Apabila proses pengalihan atau pemindahan kebendaan dari pembeli ke pembeli kedua dilakukan melalui hibah maka tidak ada lagi alasan untuk melindungi kebendaan tersebut
-
b. Apabila proses pengalihan kebendaan dilakukan melalui perjanjian jual beli dengan etikad baik maka kebendaan itu dilindungi secara hukum, namun apabila dengan etikad tidak baik maka tidak dilindungi secara hukum.10
Actio pauliana memiliki tingkat pembuktian yang dinilai cukup sulit untuk mendapatkan pembuktiannya. Pembuktian yang dimaksud terutama pada pembuktian ada atau tidaknya etikad baik saat terjadinya perbuatan hukum oleh debitor saat proses kepailitan.
-
III. PENUTUP
Pengaturan terkait dengan actio pauliana di Indonesia telah diatur melalui ketentuan Pasal 1341 KUHPer dan ketentuan Pasal 41 hingga 49 UU KPKPU. Pengaturan actio pauliana dalam ketentuan 1341 KUHPer memiliki sifat yang lebih umum dan menyeluruh sedangkan pengaturan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 41 hingga 29 UU KPKPU mengatur secara lebih rinci terkait dengan actio pauliana di
Indonesia. Adanya dua undang-undang yang mengatur tentang actio pauliana memberikan kepastian hukum yang baik bagi para pihak, yang mana undang-undang tersebut sama-sama memberikan hak guna pembatalan perbuatan hukum yang membuat kreditur dirugikan. Jaminan hukum yang diberikan dengan adanya actio pauliana memberikan angin segar bagi para kreditur untuk mendapatkan haknya (piutang) dari debitor yang memiliki etikad tidak baik. Namun proses yang cukup panjang dalam menyelesaikan actio pauliana dirasa masih kurang dapat menjamin secara utuh dan menyeluruh atas perlindungan hukum terhadap kreditor.
Pengaturan actio pauliana di Indonesia yang telah diatur masih memiliki beberapa kekurangan salah satunya adalah tidak ada pengaturan terkait pertanggungjawaban debitor terhadap perbuatan hukum yang tidak dilandasi dengan etikad baik sementara pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan memiliki etikad baik. Sehingga diperlukan sedikit pembaharuan terhadap hal tersebut dalam UU KPKPU. Diperlukan pengaturan yang lebih mudah dalam hal membuktikan ada atau tidaknya etikad baik dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor. Dengan demikian mampu memudahkan penjaminan hukum terhadap kepentingan kreditor.
V. DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajafindo Persada, Jakarta.
Farida Hasyim, 2013, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta.
Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Predana Media Group, Jakarta.
Titik Triwulan Tutik, 2011, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta.
JURNAL
Gedalya Iryawan Kale, 2018, “Syarat Kepailitan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Debitor dalam Undang – Undang nomor 37 Tahun 2004”, Kertha Semaya Vol.3, No.1, Januari 2015.
Ida Ayu Kade Winda Swari, 2014, “Perlindungan Hukum Terhadap Kepentingan Para Kreditor Akibat Actio Pauliana dalam Hukum Kepailitan”, Kertha Semaya, Vol. 2, No. 01, Februari 2014.
Abd Jalil Hamzah, 2017, “Pembuktian Debitur Terhadap Actio Pauliana Dalam Kepailitan”, Jurnal De Jure Muhammadiyah Cirebon, Vol. 1, No.1, Desember 2017.
Siti Anisah, 2009, Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan, Jurnal Hukum, No Edisi Khusus Vol.16.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailtan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
15
Discussion and feedback