PEMENUHAN HAK PILIH PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI PERWUJUDAN KESETARAAN HAM POLITIK*

Oleh:

I Ketut Gede Santika Waisnawa**

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi***

Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pemilu merupakan sarana implementasi kedaulatan rakyat menentukan perwakilan dalam menjalankan pemerintahan. Hak pilih dalam pemilu bersifat universal dan tidak dapat dikurangi. Semua orang memiliki hak yang sama tanpa memandang kekurangan apapun dalam diri seseorang. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, penyandang disabilitas menjadi salah satu segmen yang kurang mendapat perhatian dan sering mengalami diskriminasi secara sistemik. Berbagai hambatan harus dihadapi penyandang disabilitas untuk keikutsertaannya dalam pemilu. Tujuan penulisan ini untuk menganalisis kinerja KPU dalam memenuhi hak asasi manusia politik penyandang disabilitas terkait hak pilihnya dalam pemilu. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian normatif yang mengedepankan studi kepustakaan yang tercakup dalam kegiatan ilmu hukum dogmatik. Masalah yang diangkat dalam penulisan ini mencakup hak pilih penyandang disabilitas diatur dalam peraturan perundang-undangan, faktor yang menghambat keikutsertaan penyandang disabilitas dalam pemilu, dan kinerja KPU memfasilitasi penyandang disabilitas dalam pemilu. Hasil dan analisis menunjukan jaminan hak pilih pengidap disabilitas telah diatur peraturan nasional namun terdapat norma yang bertentangan, penyandang disabilitas menemui hambatan teknis, teoritik, dan sosial budaya untuk ikut serta dalam pemilu, dan berdasarkan tinjauan, kinerja KPU belum maksimal dalam mewujudkan hak posisi politik bagi penyandang disabilitas karena berbagai keterbatasan akses untuk menyalurkan suara bagi penyandang disabilitas.

Kata Kunci: Pemilu, Hak Asasi Manusia, Hak Pilih, Disabilitas, KPU.

ABSTRACT

The elections are means of the citizen’s sovereign implementation to determine the representation in order to government organization. Election human rights are universal and could not be reduce. Everyone has the same rights regardless of any deficiencies of the people. But in its implementation so far, People with disabilities become one of the segments that receive less attention and often experience systemic discrimination. Various problems should be faced by people with disabilities for their participation in elections. This research purposed to analyze the work procedure of

KPU to fulfilled the political rights of disabilities people related to their rights for vote in elections. This research based on normative research methods that uses study of literatures which include dogmatic legal activities. The problem on this research such as follows: The right to vote of disabilities people regulated by legislation, the factors that inhibit the participation of disabilities people in elections, and the work procedure of the KPU which facilitate disabilities people in elections. The results and analysis of this research included: guarantee of the right to vote of people with disabilities has been regulated in national legislation but there is still supposed by conflict norm issue, disabilities people encounter technical barriers, theoretical, social and cultural to participate in the elections, and based on the reviews, the work procedure of KPU is not realizing maximum for the right politics of disabilities people due to various limitations of votes access for thepeople with disabilities.

Keywords: Election, Human Rights, Election Human Rights, Disability, KPU.

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

Pemilu adalah salah satu sarana menentukan perwakilan rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Proses pemilihan umum bertujuan untuk memilih kandidat jabatan politik sebuah negara di berbagai tingkatan. Pemilu secara konseptual diimplementasikan melalui “penyerahan” sebagian kekuasaan dan hak untuk mewakili rakyat di parlemen maupun pemerintahan. Rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah melalui mekanisme tersebut.1 Hak pilih dalam pemilu bersifat universal dan tidak dapat dikurangi (underogble of right). Hal tersebut diartikan semua orang memiliki hak pilih dalam pemilu tanpa ada diskriminasi. Namun segmen disabilitas  (diffable) kurang mendapat perhatian dan

mengalami diskriminasi secara sistemik. Sebagai bagian dari warga negara, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya maksimalisasi

penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal.2

Dalam Pasal 5 UU Pemilu menegaskan, jika memenuhi syarat penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam kegiatan politik khususnya pemilu. UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum tertinggi juga menjamin hak politik yang sama bagi semua orang. Terkandung secara tegas penjelasan tentang diskriminasi suku, ras, golongan, gender, juga termasuk disabilitas dalam politik tidak dapat ditolerir. Setiap orang memiliki kedudukan yang setara dalam politik. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah wajib memberikan fasilitas dalam pelaksanaan hak-hak politik bagi semua warga negara.

KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemilu berkewajiban melasanakan salah satu asas pemilu yakni menjunjung tinggi keadilan. Upaya memfasilitasi setiap warga negara dalam pelaksanaan hak konstitusionalnya. Penyempurnaan aspek yuridis dan teknis dalam penyelenggaraan pemilu dilakukan untuk memenuhi prinsip keadilan bagi semua warga negara. Kepentingan penyandang disabilitas senantiasa diperhatikan oleh peraturan teknis yang dibuat oleh penyelenggara pemilu. Apabila ditinjau dalam pelaksanaannya, sebagai penyelenggara pemilu kinerja KPU belumlah maksimal. Penyelenggaraan Pemilu 2019 masih ditemukan berbagai masalah dan kendala yang menyangkut pemilih disabilitas. Hal tersebut disebabkan kurangnya perhatian KPU dalam memberikan akses dan

fasilitas. Padahal penyandang disabilitas adalah kelompok pemilih rentan.

Berdasarkan uraian diatas, perwujudan kesetaraan ham politik bagi penyandang disabilitas dirasa masih belum maksimal dan menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Maka berdasarkan hal tersebut, penulis mengangkat judul “Pemenuhan Hak Pilih Penyandang Disabilitas Sebagai Perwujudan Kesetaraan HAM Politik”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana peraturan nasional mengatur hak pilih penyandang disabilitas?

  • 2.    Apa yang menjadi penghambat dalam mewujudkan kesetaraan ham politik bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti Pemilu?

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam pengerjaan penulisan ini adalah jenis yuridis normatif, metode tersebut mengedepankan studi kepustakaan. Kegiatan tersebut tercakup dalam kegiatan ilmu hukum dogmatik berupa: memaparkan relevansi asas-asas hukum yang dituangkan menjadi norma, analisis yakni memberikan dasar teoritikal terhadap keputusan penegakan hukum terkait permasalahan norma, mensistematisasi berarti mengelaborasi norma hukum ke beberapa cabang hukum dalam sistem hukum, dan

menginterpretasi adalah menafsir norma yang berlaku tidak bertentangan dengan cita-cita hukum (recht idea).3

Dalam pengumpulan bahan hukum digunakan teknik pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Pengumpulan bahan hukum primer berpatokan pada hierarki peraturan perundang-undangan terkait dengan isu sentral penelitian. Sedangkan pengumpulan untuk sekunder berpatokan pada buku hukum, penerbitan berkala, dan lain-lain yang merupakan bagian dari kepustakaan. Selanjutnya dilakukan analisis untuk memunculkan argumentasi terakhir sebagai jawaban atas masalah penelitian. Digunakan 4 (empat) macam teknik analisis: teknik deskriptif yaitu menguraikan suatu peristiwa atau kondisi hukum, komparatif melakukan membandingkan pendapat satu dengan yang lain, teknik evaluatif sebagai evaluasi terhadap suatu kondisi hukum, dan terakhir argumentatif yakni penjelasan terhadap sebuah ulasan berdasarkan nalar.4

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Peraturan Nasional terkait Hak Pilih Penyandang Disabilitas

Negara Indonesia dibangun atas dasar perikemanusiaan dan perikeadilan telah menjamin hak asasi manusia jauh sebelum memiliki peraturan khusus terkait hal itu. Sebagaimana terkandung di seluruh pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijiwai oleh ideologi Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Jaminan terhadap perlunya Pemilu inklusi atau pemilu yang mengikutsertakan semua orang telah diatur konstitusi, dalam Pasal 28 A-J UUD NRI Tahun 19455 terlihat pengaturan terkait perlindungan dan penghormatan penyandang disabilitas untuk dapat bertindak mandiri. Sedangakan, Pasal 27 (1) mengatur tentang

jaminan hak politik dan kesetaraan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Pasal tersebut menjamin kesetaraan hidup berpolitik kepada setiap warga negara. Oleh karena doktrin hak asasi yang universal berkembag positif maka hak penyandang disabilitas tidak secara langsung dipaparkan.6

Selain UUD NRI 1945, hak politik penyandang disabilitas terdapat dalam sejumlah peraturan nasional yakni:

Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak untuk memperoleh jaminan kehidupan yang layak terkait perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi lansia dan pegidap cacat fisik atau mental. Pasal 13 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan kesamaan dalam memperoleh dan menjalankan hak politik dimiliki oleh setiap penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih, penyaluran aspirasi, menjadi peserta pemilu, menjadi anggota parpol, dan memperoleh aksesibilitas dalam

pemilu serta pendidikan politik. Terakhir, ketentuan terkait pemberian aksesibilitas yang baik bagi penyandang disabilitas tuna netra dalam Pasal 142 (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun aksesibilitas menurut pasal ini tidak mengacu pada semua penyandang disabilitas karena yang disebut hanya tuna netra saja. Hal itu bertentangan dengan definisi penyandang disabilitas dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yaitu setiap orang yang mengidap keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik.7

  • 2.2.2    Hambatan dalam Mewujudkan Kesetaraan Ham Politik bagi Penyandang Disabilitas untuk Mengikuti Pemilu

Penyandang disabilitas mendapatkan berbagai hambatan yang membatasi akses mereka dalam keikutsertaannya dalam pemilihan umum, antara lain: keterbatasan akses informasi, keterbatasan pengetahuan, ketidaktersediaan sejumlah instrument teknis, dan persepsi masyarakat yang memandang rendah martabat kelompok penyandang disabilitas sebagai pemilih. Keterbatasan penyandang disabilitas menjadi penyebab masyarakat menganggap remeh hak pilih mereka.8 Sejauh ini hak politik penyandang disabilitas dalam keikut sertaannya dalam pemilihan umum masih terabaikan, antara lain: daftar guna penyampaian suara, akses TPS, rahasia pemberian

suara, dipilih menjadi anggota legislatif, informasi pemilu, dan menjadi pelaksana pemilu.9

Di luar hambatan tersebut juga terdapat hambatan teoritik tidak seragamnya kajian penyandang disabilitas diantara para teoritisi yang menyebabkan perbedaan di berbagai belahan dunia terkait pengambilan kebijakan terkait perlindungan dan penghormatan hak pilih penyandang disabilitas. Dari berbagai kajian tersebut membuat seorang penyandang disabilitas dianggap sebagai masalah dan diabaikan. Sosiolog hanya mempelajari makna disabilitas sebagai subjek yang eksotis dan tidak memperhatikan aspek didalamnya. Secara teoritis penyandang disabilitas diteliti serta dibahas dengan cara ofensif. Banyak peneliti mencitrakan penyandang disabilitas sebagi subjek yang membutuhkan bantuan.10 Dalam menanggapi hasil penelitian tersebut, penyandang disabilitas melihatnya sebagai mitos sosial negatif atas stereotip itu.

Dalam aspek sosial, terdapat konsepsi yang ditekan oleh kelompok sosial dalam palebelan serta dominasi terhadap bahasa dan terminologi istilah disabilitas sebagai kelompok masyarakat lain. Peristilahan tersebut memengaruhi perlakuan masyarakat dan pemerintah terhadap keberadaan penyandang disabilitas. Kebiasaan dalam masyarakat yang membentuk budaya memformulasikan sikap serta kepercayaan dalam kontribusi lansung terhadap bentuk penindasan keberadaan penyandang disabilitas. Budaya tersebut

menciptakan imej penyandang disabilitas identik dengan belas kasihan, ketidakmampuan dan abnormalitas.11 Hal tersebut digunakan sebagai norma sosial yang memisahkan penyandang disabilitas dalam sistem klasifikasi sosial masyarakat.

Selain hambatan yang sudah dipaparkan di atas, kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagi lembaga yang berwenang menyelenggarakan pemilu dalam perwujudan hak asasi politik rakyat khususnya pemenuhan hak pilih pada penyandang disabilitas juga dirasa belum maksimal. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya perhatian KPU. Padahal penyandang disabilitas adalah kelompok pemilih rentan.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Perhimpunan Jiwa Sehat, ada sebanyak 3000 pengidap disabilitas yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap pada penyelenggaraan Pilkada 2017 di Jakarta. Sekitar 200 jiwa di Bekasi dan Sukabumi 400 orang. Hal tersebut disebabkan karena ketidak tahuan KPU dan lembaga sosial jika pengidap disabilitas juga memiliki hak pilih dalam pemilu dan ketiadaan e-KTP yang merupakan syarat wajib seseorang terdaftar sebagai pemilih tetap.12

Hasil pantauan di 5 provinsi yang dilakukan Tim Pemantauan Pileg dan Pilpres 2019 Komnas HAM juga menunjukkan bahwa kinerja KPU belum maksimal dalam penyelenggaraan sosialisasi

kepada penyandang disabilitas. Tercatat dari kelima provinsi yakni, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten, terdapat beberapa komunitas penyandang disabilitas yang tidak mendapat sosialisasi langsung. Selain itu, diantara penyandang disabilitas ditemukan masih bingung dengan 5 jenis surat suara. Lokasi pemungutan suara juga dinilai tidak ramah bagi penyandang disabilitas.13

Dalam penyelenggaraannya, Pemilu 2019 yang diikuti sekitar 1,2 juta pemilih penyandang disabilitas. Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) RI menemukan banyak TPS sulit terjangkau penyandang disabilitas sebagai pemilih. Tercatat sekitar 2.366 TPS tidak ramah bagi penyandang disabilitas karena berundak-undak dan memiliki anak tangga yang menyulitkan pengguna kursi roda. Selain itu, ditemukan sekitar 20.834 TPS tidak memberikan alat bantu huruf braille bagi penyandang tunanetra sehingga mengurangi akses mereka untuk menggunakan hak pilih. Juga penyandang gangguan jiwa yang tidak dapat menggunakan hak pilih dan diminta pulang dengan alasan TPS tutup.14

Tantangan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas juga datang dari keluarganya sendiri. Sebagian keluarga memiliki pemahaman bahwa penyandang disabilitas tidak harus ikut serta dalam penyaluran suara hak pilih politik. Padahal dalam tataran

yang rinci, ditetapkan pemilih disabilitas netra, fisik, maupun mental dapat dibantu memberikan suara ke TPS atas permintaan pemilih. Namun karena berbagai masalah ketidaktersedaaan akses tersebut menyebabkan mereka tidak bisa menggunakan hak pilihnya dan akhirnya menambah angka golput.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1  Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil dan analisis, maka ditarik simpulan adalah sebagai berikut:

  • 1.    Negara telah mengatur perlindungan dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas dalam konstitusi yakni Pasal 27 (1) dan 28 A-J UUD NRI Tahun 1945. Selain itu terdapat pula peraturan nasionalyang memuat hal tersebut diantaranya Pasal 42 UU HAM, Pasal 13 UU Penyandang Disabilitas, dan Pasal 142 (2) UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun pasal terakhir tersebut bertentangan dengan definisi disabilitas dalam Pasal 1(1) UU Penyandang Disabilitas karena hanya mengacu pada tuna netra saja, sedangkan definisi dalam Pasal 1 (1) UU Penyandang

Disabilitas mengandung pengertian yang lebih luas.

  • 2.    Dalam mengikuti pemilu penyandang disabilitas menemui hambatan dalam berbagai hal, antara lain: daftar guna penyampaian suara, akses TPS, rahasia pemberian suara, informasi pemilu, dan menjadi pelaksana pemilu. Sedangkan hambatan teoritiknya adalah tidak seragamnya kajian tentang disabilitas diantara para teoritisi. Dalam

aspek  sosial,  hambatan berasal  dari stigma  buruk

masyarakat terhapan pemilih disabilitas. Selain hambatan-hambatan tersebut, kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam perwujudan hak asasi politik rakyat khususnya pemenuhan hak pilih pada penyandang disabilitas juga dirasa belum maksimal. Bawaslu RI menemukan masih banyak kendala yang terjadi dalam keikutsertaan penyandang disabilitas di pemilu kali ini seperti jangkauan lokasi TPS dan kurangnya Instrumen. Berbagai masalah ketidaktersedaaan    akses    tersebut    menyebabkan

penyandang disabilitas tidak bisa menggunakan hak pilihnya dan akhirnya menambah angka golput.

  • 3.2    Saran

Adapun saran penulis untuk kesimpulan dari hasil dan analisis tersebut adalah:

  • 1.    Menyangkut pertentangan definisi penyandang disabilitas antara Pasal 142 (2) UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan

DPRD dengan Pasal 1 (1) UU Penyandang Disabilitas, ada baiknya Pasal 142 (2) UU Pemilu segera direvisi dengan kata tuna netra dihilangkan agar memperluas definisi penyandang disabilitas dan tidak mengacu pada satu klasifikasi saja.

  • 2.    Pemerintah dalam pelatihan penyelenggaraan pemilu di berbagai tingkatan harus membuat materi standar yang memuat wawasan inklusi dan kesetaraan tentang pemilih disabilitas. Dalam meningkatkan kinerja KPU dalam memfasilitasi penyandang disabilitas, maka ada baiknya dibuat sebuah standar operasi prosedur dalam pelaksanaan

pemungutan suara disabilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Muatan standar operasi prosedur tersebut berisi teknik pencoblosan ramah disabilitas, alat bantu, dan aturan pendampingan penyandang disabilitas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Fajlurrahman Jurdi, 2018, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, Jilid

1, Prenadamedia Group, Jakarta.

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Norma Hukum, Pranamedia Group, Jakarta.

Jurnal

Agus Riwanto, 2018, Pemenuhan Hak Asasi Manusia Kaum

Difabilitas dalam Pelaksanaan Pemilu Daerah Melalui Peningkatan Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah Guna Penguatan Demokrasi Lokal, Jurnal Universitas Negeri Semarang Volume 4 Nomor 3, Semarang.

Anak Agung Istri Atu Dewi, 2018, Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Jurnal Pandecta Volume 13 Nomor 1, Bali.

Aseh & Fine, 1988, Disability beyond Stigma: Social Interaction, Discrimination, and Activism, Journal of Social Issues, Volume 4 Number 1.

I Gede Kusnawan, Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Penerimaan Tenaga Kerja, EJournal Hukum Kertha Negara Universitas Udayana Volume 5 Nomor 2, Denpasar

Ishak Salim, 2015, Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia, Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Jazim Hamidi, 2016, Perlindungan Hukum Terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan, Jurnal Hukum Universitas Islam Indonesia, IUS QUIA IUSTUM Volume 23 Issue 4

Stone & Priestly, 1996, Parasites, Prawn, and Partners: Disability

Research and the Role of Non-Disabled Researchers, British Journal of Sociology

Tri Desti, 2018, Hak Politik bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia, Jurnal PPKn Volume 6 Nomor 1, Yogyakarta.

Internet

Dylan Aprialdo Rahman, 2019, “Menurut Komnas HAM, Sosialisasi untuk Penyandang Disabilitas Belum Maksimal”, Kompas.com, URL:

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/04/17413491/m enurut-komnas-ham-sosialisasi-pemilu-untuk-penyandang-disabilitas-belum

Fitria Chusna Farisa, 2018, “KPU Diminta Lebih Perhatikan

Penyandang Disabilitas Mental dalam Pemilu  2019”,

Kompas.com, URL:

https://nasional.kompas.com/read/2018/08/24/18222771/k pu-diminta-lebih-perhatikan-penyandang-disabilitas-mental-dalam-pemilu-2019

Nurhadi Sucahyo, 2019, “Pemilu 2019 Belum Ramah Bagi Difabel”, voaindonesia.com, URL:

https://www.voaindonesia.com/a/pemilu-2019-belum-ramah-bagi-difabel/4885841.html

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

14