PENGATURAN PENETAPAN SUKU BUNGA DALAM PERJANJIAN PEER TO PEER LENDING*

Oleh :

I Made Dwi Rendra Hadi Pradnyana** Ida Ayu Sukihana***

Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Munculnya inovasi dalam lembaga keuangan non bank seperti fintech yang salah satu keuntungannya yaitu memudahkan masyarakat Indonesia dalam hal melakukan kegiatan pinjam meminjam uang secara online. Dalam pengaturan penetapan suku bunga masih terdapat kekaburan norma yang mengakibatkan multitafsir.Tujuan daripada penulisan ini untuk mengetahui pengaturan penetapan suku bunga dalam perjanjian Peer to Peer Lending dan pertanggung jawaban pihak penyelenggara terhadap kreditur selaku penyalur dana apabila terjadi gagal bayar dalam perjanjian peer to peer lending. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun hasil yang diperoleh adalah Kredit yang diberikan oleh perusahaan fintech dalam pinjaman Peer To Peer tidak memiliki standarisasi yang pasti hanya menggunakan kata kewajaran. Dalam hal Terjadi Gagal Bayar Dalam Perjanjian Peer To Peer Lending prinsip pertanggung jawaban pertanggung jawaban yang digunakan adalah prinsip tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab dari penyelenggara peer to peer lending diatur dalam Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016

Kata Kunci : Suku Bunga, Pinjaman, Teknologi Finansial

ABSTRACT

The innovations of financial institutions such as fintech, one of the advantages of which is to facilitate the Indonesian people in terms of lending and borrowing money online. The interest rate setting rule still has ambiguous norms. The purpose of this article is to know the arrangement of interest rates in the Peer to Peer Lending agreement and the insurer's response to the lender in the event of default in the peer to peer lending agreement. The research method used in this paper is a normative legal research method carried out by reviewing the applicable laws and regulations related to the issues discussed in this study. The results obtained are the credit given by fintech companies in the Peer To Peer loan does not have a standard that is certain to only use the word fairness. In the event of a Failure to Pay in the Peer To Peer Lending Agreement the principle of liability used is the principle of absolute responsibility. The responsibility of the provider of peer to peer lending is regulated in Article 37 of the Financial Services Authority Regulation Number 77 / POJK.01 / 2016

Keyword : Interest Rate, Loan, Financial Technology

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pada dasarnya setiap manusia selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan hidup setiap harinya. Dalam menghadapi kebutuhan ini, setiap manusia pada umumnya berharap selalu ingin terpenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kebanyakan orang tidak membeli barang secara tunai melainkan dengan cara dicicil atau kredit. Berbicara mengenai masalah utang piutang bukan hal yang asing dikalangan masyarakat umum, karena dalam waktu setiap hari selalu ada saja masalah yang satu ini

Utang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang. Uang yang dipinjamkan akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.1

Perkembangan teknologi dewasa ini menimbulkan munculnya inovasi dalam lembaga keuangan non bank seperti fintech yang salah satu keuntungannya yaitu memudahkan masyarakat Indonesia dalam hal melakukan kegiatan pinjam meminjam uang secara online. Tepatnya pada tanggal 29 Desember 2016, OJK selaku lembaga pengawas industri jasa keuangan menerbitkan Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 2

Perusahaan-perusahaan teknologi financial ini menjalankan model bisnis seperti peminjaman atau lending, pembayaran digital marketplace dan perencanaan keuangan. total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 88 perusahaan.3 Misalnya Kita bisa akses dengan mudah pada lamaan danamas.co.id, koinworks.id, amartha.co.id, investree.id.

Perusahaan teknologi yang memberikan jasa atau produk berupa kredit atau pinjaman kepada pembeli dalam pencairan dana pinjamannya antara kreditur dan debitur tidak dilakukan dengan tatap muka (face to face). Sehingga dari teknis pencairan kreditnya memiliki perbedaan dengan lembaga keuangan lainnya seperti bank, koperasi simpan pinjam dan perusahaan multifinance yang mengharuskan antara kreditur dan debitur untuk bertemu face to face agar kreditur dapat menganalisa kemampuan membayar dari debitur. Saat ini layanan keuangan digital di Indonesia semakin marak.4 Layanan ini bisa saja digolongkan sebagai lembaga keuangan bukan bank. Situs yang menyediakan layanan ini biasa disebut situs peer to peer landing. Contohnya adalah kredivo dan uang teman. Maraknya situs pinjaman yang memberikan syarat mudah dan proses cepat,

namun bunganya sangat tinggi sehingga tidak berbeda dengan rentenir online

Disamping itu, pengaturan terhadap standarisasi bunga wajib diperjelas kembali. Ini mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi pada Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional”.

Pada rumusan pasal 17 ayat (1) di atas dapat dilihat bahwa dalam hal penentuan bunga perjanjian kredit antara debitur dan kreditur hanya berdasar pada pertimbangan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. Tentunya rumusan pasal di atas khususnya kata “kewajaran” memiliki intepretasi yang sangat luas serta dapat mengakibatkan kekaburan dari norma yang ada di dalam rumusan pasal tersebut. Sehingga perlunya diperjelas tekait dengan maksud dari kata kewajaran agar menciptkan kepastian hukum di dalam masyarakat.

Dalam memberikan pinjaman kepada debitur, kreditur tidak bertemu langsung dengan calon debitur, padahal sesuai ketentuan hukum yang berlaku, terdapat prinsip kehati-hatian yang seharusnya diterapkan oleh lembaga pembiayaan tersebut. Prinsip kehati-hatian Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan non-Bank.5

Dalam sistem pembiayaan online tersebut informasi mengenai nasabah hanya hanya diperoleh melalui data yang diinput oleh nasabah itu sendiri.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan penetapan suku bunga dalam perjanjian peer to peer lending ?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggung jawaban pihak penyelenggara terhadap kreditur selaku penyalur dana apabila terjadi gagal bayar dalam perjanjian peer to peer lending ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

    1.3.1    Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan penyaluran dana melalui layanan peer to peer lending ditinjau dari perspektif hukum positif Indonesia.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mengetahui Pengaturan Penetapan Suku Bunga Dalam Perjanjian Peer to Peer Lending.

  • 2.    Untuk mengetahui pertanggung jawaban pihak penyelenggara terhadap kreditur selaku penyalur dana apabila terjadi gagal bayar dalam perjanjian peer to peer lending.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Dalam penulisan ini menggunakan metode  normatif.

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa permasalahan

yang ada kemudian dihubungkan dengan teori-teori hukum terkait serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahan hukum yang dipergunakan terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer pernyataan yang memiliki otoritas hukum yang ditetapkan oleh suatu cabang kekuasaan pemerintah yang meliputi; Undang-Undang yang dibuat parlemen, putusan-putusan pengadilan, dan peraturan eksekutif/administratif.6 Bahan hukum sekunder, bahan hukum ini sangat berguna untuk mencari pengertian suatu istilah hukum, phrase hukum, konsep hukum serta adagium hukum.

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif. Teknik ini dimaksudkan untuk memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. Sebagai kondisi hukum, misalnya suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dengan mengutip pasal-pasal terkait seperti adanya. 7

  • 2.2    Hasil Dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaturan Penetapan Suku Bunga Dalam Perjanjian Peer to Peer Lending.

Fintech merupakan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, sistem keuangan, dan efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan system pembayaran. Lembaga pembiayaan ini memfokuskan kegiatan usaha pada fungsi pembiayaan yang

membantu untuk menyediakan dana untuk kebutuhan masyarakat.8

Bertambah pentingnya peranan teknologi di zaman modern ini bagi kehidupan manusia dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya menyebabkan bahwa faktor-faktor inipun tidak dapat diabaikan.9

Proses pembentukan Undang-Undang harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan Undang-Undang, apabila perundang-undangan itu hendak merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. Efektifnya produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya.10

Bagian penjelasan dari Pasal 17 ayat (1) di atas tidak memberikan suatu kejelasan terhadap nilai kewajaran terkait penetapan suku bunga dalam pinjaman berbasis Peer To Peer. Rumusan pasal di atas juga memberikan arti norma yang sangat luas.

Rumusan pada pasal 17 POJK No. 77 Tahun 2016 terkait Kata kewajaran wajib diartikan dengan pasti, agar tidak mengakibatkan multitafsir dari pihak-pihak yang terkait sehingga dapat terciptanya rasa keadilan. Kewajaran merupakan perihal

yang wajar, sedangkan wajar adalah keadaan yang sebagaimana mestinya. Sebagaimana mestinya merupakan keadaan dimana suatu peristiwa tidak melanggar kodratnya serta norma-norma yang berlaku.

Apabila dikaitkan dengan penetapan suku bunga, yang dianggap wajar dapat diartikan mengikuti aturan-aturan sebagaimana halnya bank maupun lembaga jasa keuangan lainnya. Sehingga memberikan kepastian dan keadilan terhadap masyarakat dengan tidak adanya penetapan bunga yang sewenang-wenang dari salah satu pihak.

Dari sisi kemudahan fintech dalam layanan Peer To Peer memang menawarkan kecepatan dan kemudahan, namun jumlah pinjaman yang diberikan terbatas dan suku bunga pinjamannya cukup tinggi hingga bisa mencapai 30% dalam sebulan. Besaran suku bunga tersebut jauh diatas pinjaman yang ditawarkan Lembaga keungan lainnya. Oleh karena suku bunga yang tinggi ini bisa berakibat terhadap terjadinya resiko gagal bayar yang tinggi yang disebabkan karena debitur tidak mampu membayar kreditnya, oleh karena itu muncul pertanyaan mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur selaku penyalur dana dalam perjanjian peer to peer lending.

  • 2.2.2    Pertanggung Jawaban Pihak Penyelenggara Terhadap Kreditur Selaku Penyalur Dana Apabila Terjadi Gagal Bayar Dalam Perjanjian Peer To Peer Lending.

Dalam peer to peer lending konsumennya adalah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, karena keduanya sama–sama

menggunakan jasa platform peer to peer lending. 11Perbedaan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman disini adalah tujuannya dalam menggunakan layanan platform peer to peer lending yaitu Pemberi pinjaman menggunakan layanan platform peer to peer lending dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman, sementara penerima pinjaman menggunakan layanan platform peer to peer lending dengan tujuan mendapatkan pinjaman uang tanpa agunan, dan tanpa melalui lembaga keuangan resmi seperti bank.

Dalam hal penyelenggara peer to peer lending menggunakan perjanjian baku kepada pengguna layanan peer to peer lending, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Pasal 36 menyatakan, bahwa:

  • 1.    Dalam hal Penyelenggara menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

  • 2.    Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan oleh Penyelenggara dilarang :

  • a.    Menyatakan pengalihan tanggungjawab atau kewajiban Penyelenggara kepada Pengguna;dan

  • b.    Menyatakan bahwa Pengguna tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Penyelenggara dalam periode Pengguna memanfaatkan layanan.”

Sementara tanggung jawab dari penyelenggara peer to peer lending diatur dalam Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang berbunyi : “Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas kerugian Pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara”

Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang penting dalam masalah perlindungan konsumen, karena jika kemudian terjadi kerugian ataupun pelanggaran terhadap hak–hak konsumen, akan memunculkan konsekuensi tanggung jawab bagi mereka yang menimbulkan kerugian tersebut atau mereka yang melanggar hak–hak konsumen. Sehingga perlu diketahui siapa yang harus bertanggungjawab serta seberapa jauh tangung jawab akan dibebankan kepada pihak–pihak yang diduga bertanggung jawab.12

Prinsip` ini tanggung jawab mutlak disebut dengan strict liability dan sering juga disebut dengan tanggung jawab absolut atau absolut liability. Strict liability tidak mensyaratkan adanya perjanjian atau kontrak antara produsen dengan konsumen. Sebab, dasar gugatan strict liability dapat didasarkan atas perbuatan melawan hukum dari produsen sehingga menimbulkan kerugian. Dapat dikatakan bahwa strict liability adalah tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum dengan adanya unsur kesalahan, kerugian, serta kausalitas di antara keduanya. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip

tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Dalam perlindungan hukum konsumen, konsep pertanggungjawaban hukum pelaku usaha terdiri atas:

  • a.    Product liability

  • b.    Contractual liability

  • c.    Profesional liability Contractual Liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban kontrak.

Tanggungjawab ini merupakan pertanggungjawaban atas dasar adanya kontrak atau perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen baik berupa perjanjian barang atau jasa. Dan atas dasar perjanjian ini maka produsen barang atau jasa tersebut bertanggungjawab atas segala bentuk kerugian yang dialami konsumen karena barang yang dikonsumsinya atau jasa yang dimanfaatkannya. Pertanggungjawaban kontraktual (contractual liability) mensyaratkan adanya hubungan hukum berupa hubungan kontraktual.13

Adapun pasal–pasal mengenai tanggung jawab hukum pelaku usaha berdasarkan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

Pasal 7 Butir f dan g, Kewajiban pelaku usaha adalah :

  • a.    Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang diperdagangkan;

  • b.    Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Lewat pengaturan pasal ini pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Pemberian ganti rugi didasarkan atas dasar pertanggungjawaban produk ataupun pertanggungjawaban profesional baik bagi konsumen barang maupun konsumen jasa yang mengkonsumsi atau memakai barang atau jasa dari pelaku usaha. Pasal di atas merupakan bentuk dari tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum dengan tidak mensyaratkan ada/ tidaknya hubungan kontraktual diantara keduanya.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Simpulan

  • 1.    Pengaturan penetapan suku bunga mencerminkan norma kabur pada Pasal 17 POJK 77 Tahun 2016 terkait dengan kata kewajaran yang memiliki intepretasi yang sangat luas.

  • 2.    Pertanggung Jawaban Pihak Penyelenggara Dalam hal Terjadi Gagal Bayar Dalam Perjanjian Peer To Peer Lending menggunakan prinsip mutlak, tanggung jawab dari penyelenggara peer to peer lending diatur dalam Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016

  • 3.2    Saran

  • 1.    Diharapkan adanya aturan yang berkepastian hukum dan berkeadilan sehingga tidak adanyanya kekaburan norma yang menyebabkan multitafsir terkait dengan penetapan suku bunga dalam perjanjian Peer To Peer Lending

  • 2.    Pihak penyelenggara peer to peer lending diharapkan bertanggung jawab penuh apabila terjadi gagal bayar dalam perjanjian peer to peer lending.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Danrivanto Budhijanto, 2017, Revolusi Cyber Law Indonesia Pembaruan dan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, Refika Aditama, Bandung.

Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-Konsep Hukum Dalama Pembangunan, PT Alumni, Bandung.

Oka Setiawan, 2016, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta.

Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiarti, 2009, Argumentasi Hukum, Gajah Mada Univetsity Press, Yogyakarta.

Jurnal Ilmiah

Astuti Lila Ayu Desak, A.A Ngurah Wirasila, 2018, Perlindungan Hukum Terhadap Konnsumen Transaksi e-commerce Dalam Hal Terjadinya Kerugian, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Journal, Kerhta Semaya Vol.06, No.2, Maret 2018, ojs.unud.ac.id,URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthas emaya/search /search, diakses tanggal 12 mei 2019

Dwi Arya Dominika, I Wayan Wiryawan, 2016, Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Bank , Vol.4, No.3, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya, Fakultas Hukum, Universitas          Udayana,          Bali,          h.3.

URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article /view/40502 diakses pada tanggal 25 April 2019.

I Wayan Bagus Pramana, 2018, “Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technology Jenis Peer To Peer Lending”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6, No. 3, h. 4, URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view /40502 diakses pada tanggal 25 April 2019.

Luh Intan Permatasari, I Ketut Markeling, 2018, Upaya Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Dalam Permasalahan Kredit Macet, Vol.6, No.9,Kertha Semaya,URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view /43547 diakses pada tanggal 7 Mei 2019.

Ni Kadek Ariati, I Wayan suarbha , 2016, Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Online, Kertha

Semaya,Vol.04,No.02,URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/ kerthasemaya/article/view/19113, diakses  tanggal 2 juli

2019.

Ni Nengah Nuri Sasmita, I Made Dedy Priyanto, 2019, Pengaturan Sanksi Terhadap Penyelenggara Layanan Financial Technology Jenis Peer To Peer Lending Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Journal, Kerhta Semaya Vol.06,No.2,URL:https://Ojs.Unud.Ac.Id/Index.Php/Kerthase maya/Search /Search, Diakses Tanggal 12 Mei 2019

Putu Gandiyasa Wijartama, 2018, “Cara-Cara Penagihan Utang Dalam Perspektif Hukum Perdata”, Jurnal Kertha Semaya,Vol.6No.5,URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/ker thasemaya/article/view/43547 diakses pada tanggal 7 Mei 2019.

Putu Lingga Prabhawati dan I Nengah  Suantra,  2018,

Pemberlakuan Perjanjian Baku (Standard Contract) Dalam Praktik Usaha Transportasi Online Terkait Tanggung Jawab Pelaku  Usaha,  Vol. 06 No. 02, Kertha Semaya,

URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/ view/38416, diakses pada tanggal 7 April 2019

Internet

www.ojk.go.id, Penyelenggara Fintech Terdaftar di OJK per Desember 2018, URL : https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-Desember-2018.aspx, diakses pada tanggal 25

Januari 2019.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /Pojk.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324)