REUNIFIKASI NEGARA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM STUDI KASUS RENCANA REUNIFIKASI KOREA SELATAN DAN KOREA UTARA

Oleh:

Bridgete Christanti Irawan∗∗

I Gde Putra Ariana ∗∗∗

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Reunifikasi merupakan tindakan atau proses penyatuan kembali atas suatu negara yang pernah dipisahkan. Tahun 2018, Moon Jae In dan Kim Jong Un yang merupakan presiden dari kedua negara Korea berupaya untuk melakukan reunifikasi. Reunifikasi diwujudkan secara perlahan dengan dibuka kembali Zona Demiliterisasi yang menjadi perbatasan diantara kedua negara Korea. Hukum internasional yang mengatur tentang reunifikasi memang belum ada, namun kedua negara Korea dapat menggunakan Konvensi dari suksesi negara untuk menjadi dasar dari perjanjian reunifikasi diantara kedua negara Korea. Konvensi-konvensi tersebut yakni Konvensi Wina tahun 1969, Konvensi Wina 1978, dan Konvensi Wina 1983.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan penggabungan dua negara dalam hukum internasional dan mengetahui akibat hukum penggabungan dua negara dalam studi kasus rencana reunifikasi Korea Selatan dan Korea Utara. Metode penelitian ini menggunakan penelitian secara normative dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan bahan kepustakaan.

Kedua pemimpin negara Korea optimis untuk melakukan reunifikasi, mesikpun hubungan kedua negara tidak terlalu baik. Pembagian nasional oleh negara adikuasa asing terhadap Korea akan menjadi narasi perang dingin yang kuat, maka pembubaran perang dingin global dapat juga dipahami sebagai menghilangkan oposisi asing terhadap reunifikasi kedua negara Korea.

Kata Kunci : Reunifikasi, Konvensi Wina, Korea Utara, Korea Selatan.

ABSTRACT

Reunification is an act or process of reunification of a country that has been separated. In 2018, Moon Jae In and Kim Jong Un as the president of both Korea

Penulisan karya ilmiah yang berjudul Reunifikasi Korea Selatan dan Korea Utara Berdasarkan Hukum Internasional ini merupakan ringkasan skripsi

∗∗ Penulis tunggal dalam penulisan karya ilmiah ini ditulis oleh Bridgete Christanti Irawan

∗∗∗ I Gde Putra Ariana, SH.,M.Kn, (197807042008011009) adalah dosen Pembimbing II , Email: putra.ariana@fl.unud.ac.id

strive to reunify. Reunification was slowly realized with the re-opening of the Demilitarized Zone which became the border between the two Korean countries. There are no international laws governing reunification so far, but both Korea can use the convention from state succession to become the basis of the reunification agreement between the two Korean. These conventions are the 1969 Vienna Convention, the Vienna Convention 1978 and the Vienna Convention 1983.

The purpose of this research is to find out the arrangement of the merger of two countries in international law and find out the legal consequences of the merger of two countries in a case study of South Korea and North Korea reunification plan. This research method uses normative research with a type of approach to legislation and literature.

The two Korean leaders are optimistic about reunification even though relations between the two countries are not very good. The national division by foreign superpowers against Korea will be a strong cold war narrative, then the dissolution of the global cold war can also be understood as eliminationg foreign opposition to Korean reunification.

Keywords: Reunification, Vienna Convention, South Korea, North Korea.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Sejak tahun 1948 Semenanjung Korea telah dibagi menjadi Republik rakyat Korea yang demokratis (DPRK) di utara dan Republik Korea (ROK) di selatan. 23 juta orang tinggal di DPRK dan 48,2 juta lainnya tinggal di ROK. Sejak jaman neolitik, Korea Utara lebih bergunung-gunung dan memiliki sumber daya mineral lebih besar, sedangkan Korea Selatan mendapat manfaat dari tanah pertanian yang lebih kaya.1

Semenanjung Korea memanjang sekitar 600 mil (1000km) dari utara ke selatan dan luasnya sekitar 150 mil (240km). Laut Kuning di barat, Laut Timur (Laut Jepang) di timur, dan Selat Korea di selatan dari batas alam, perbatasan Korea Utra modern adalah batas 300 mil (500km) dengan wilayah Manchuria di Cina dan

perbatasan pendek 25 mil (40km) dengan Rusia.2 Sungai Yalu dan Tumen menentukan sebagian besar perbatasan ini. Gunung Paektu yang tertinggi di Korea membentuk daerah aliran sungai antara dua sungai perbatasan utara yang didirikan pada abad ke-15. Semenanjung Korea memberikan batas-batas khas tanah yang memandai dari daratan. Itu juga bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan benua Asia dengan kepulauan pulau yang luas di sepanjang Timur Asia yang dimulai dengan pulau Kurile membentang melalui rantai Jepang dan meluas ke Filipina.

Iklim Korea tidak didominasi oleh benua atau oleh rezim maritim tetapi oleh kombinasi keduanya. Pada saat musim panas angin laut dari selatan membawa udara tropis yang hangat, sedangkan pada musim dingin, udara kering turun di dataran Mongolia.3 Musim tanam sangat bervariasi dengan garis lintang 440 di selatan dan 280 di utara. Ini mencerminkan variasi suhu yang luar biasa luas untuk area sekecil itu. Januari rata-rata suhu adalah 60 Celcius (430 fahrenheit), tetapi hanya -190 Celcius (-20 Fahrenheit) d tikungan sungai Yalu. Salju turun dimana-mana di musim dingin kecuali di bagian selatan yang ekstrem. Musim panas terasa panas dan lembab kecuali dibagian paling utara abad ini.

Pada tahun 1950, hubungan Korea Selatan dan Korea Utara terjadi ketegangan dikarenakan Korea Utara yang melakukan invansi dan penyatuan Korea secara paksa. “Perang Korea yang terjadi menjadi perang Internasional dan melibatkan 16 negara

anggota PBB untuk berperang sebagai sekutu Korea Selatan melawan Cina dan Uni Soviet dari blok komunis.4 Perang Korea yang terjadi berakhir dengan gencatan senjata yang menghasilkan garis gencatan senjata sepanjang 155 mil yang membagi Semenanjung Korea menjadi dua bagian pada tahun 1953.”

Korea Utara cenderung menjadi negara yang tertutup sejak negara Korea terbagi menjadi dua bagian. Korea Utara sangat membatasi komunikasi di antara Korea Selatan dan dunia luar. Pada tahun 1998 Korea Selatan mengeluarkan kebijakan terkait dengan upaya perdamaian di antara kedua negara Korea. Landasan pembuatan kebijakan Korea Selatan yaitu bahwa bangsa Korea adalah satu.

Proses dialog digunakan oleh Korea Selatan sebagai senjata utama untuk menghadapi Korea Utara. Pemulihan hubungan diantara kedua negara Korea tengah membutuhan perjalanan yang lama apalagi untuk mendekati kearah penyatuan kedua negara Korea. Perbandingan kualitas perdagangan dan bentuk pemerintahan yang berlaku, membutuhkan penyesuaian dalam masa kurun yang lamban. Pada tanggal 27 april 2018 hubungan kedua negara Korea membaik setelah presiden Korea Selatan Moon Jae In dan Presiden Korea Utara Kim Jong Un bersedia untuk menggelar pertemuan tingkat tinggi. Meskipun pada saat pertemuan digelar banyak yang tidak menyakinkan tentang reunifikasi kedua negara Korea.5

Korea Selatan dan Korea Utara sepakat untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea pada tanggal 20 September 2018. Korea Utara berjanji untuk menutup fasilitas uji coba rudal utama di hapadan pakar internasional serta membuka kemungkinan untuk menghancurkan kompleks nuklir apabila Amerika Serikat setuju dengan langkah tersebut.

  • 1.2    Tujuan Penelitian

“Tujuan penelitian hukum yaitu untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu sistematika dari perangkat kaedah-kaedah hukum, yang terhimpun di dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu.”6 Tujuan dari penilitan ini adalah untuk mengetahui pengaturan penggabungan dua negara dalam hukum internasional dan mengetahui akibat hukum penggabungan dua negara dalam studi kasus rencana reunifikasi Korea Selatan dan Korea Utara.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Teknik pengkajian tulisan keilmuan ini memakai pengkajian secara normative. Pengkajian hukum normative disebut dengan pengkajian norma doktrinal, yaitu sumber data hanya data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan dan data sekunder yang berupa bahan kepustakaan.7

  • 2.2    PEMBAHASAN

    • 2.2.1    Pengaturan penggabungan dua negara dalam hukum internasional

Suksesi negara yaitu peristiwa faktual yang diserai dengan pengalihan hak dan kewajiban. Suksesi negara muncul ketik ada penggantian satu negara dengan negara lain sehubungan dengan kedaulatan atas wilayah tertentu. Suksesi negara dapat terjadi dalam hal dekolonisasi, penyatuan negara, pembubaran dan pemisahan negara atau bagian-bagian wilayah.

Suksesi negara dilakukan melalui pengaturan khusus antara negara pengganti (successor state) dan negara yang digantikan (predecessor state) atau bisa juga antara negara pengganti dan negara-negara lain yang berkepentingan.

“Suksesi negara dibedakan menjadi dua, yaitu: suksesi universal dan suksesi parsial. Suksesi universal tidak lagi mementingkan international identity dari suatu negara (predecessor state) karena seluruh wilayahnya hilang. Yang tergolong suksesi universal adalah ketika wilayah suatu negara (predecessor state) habis terbagi-bagi yang masing-masing bagian dirampas oleh negara-negara lain. Beberapa negara kecil yang kemudian meleburkan diri menjadi satu negara besar juga termasuk bentuk suksesi universal. Berbeda dengan suksesi parsial, dalam bentuk ini negara predecessor-nya masih eksis tetapi sebagian wilayahnya memisahkan diri menjadi negara merdeka ataupun bergabung dengan negara lain. ”8

Terdapat 3 skenario yang berbeda yang perlu dibedakan

terhadap hal negara pedahulu yang tidak ada lagi setelah

peristiwa yang mempengaruhi integritas wilayah, yaitu:

  • 1.    Kepunahan negara pendahulu dapat mengakibatkan terciptanya satu negara baru. Hal ini merupakan kasus unifikasi negara, dimana dua negara yang ada akan bergabung untuk membentuk negara baru. Ini berbeda dari kasus persatuan negara dimana setiap negara menjaga kepribadian internasional mereka dan dimana tidak ada negara baru yang muncul.

  • 2.    Kepunahan negara pendahulu dapat menyebabkan penciptaan banyak negara baru di wilayah asal. Hal ini merupakan kasus pembuaran negara.

  • 3.    Kepunahan negara pendahulu kadang-kadang tidak menghasilkan pembentukan negara baru tetapi dalam perluasan wilayah negara yang sudah ada. hal ini merupakan kasus inkoporasi atau penyerapan dari negara, dimana wilayah suatu negara (negara penggantinya) diperbesar sebagai hasil dari integritas keseluruhan wilayah negara pendahulu. Contoh: ketika pada tahun 1990 Jerman Timur tidak lagi ada sebagai negara merdeka dan wilayah yang terdiri dari lima lander diintegrasikan ke dalam Jerman Barat yang sudah ada.9

Reunifikasi dapat mengubah hubungan di Asia Timur, dengan pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab, pemerintahan sipil serta semangat demi kesuksesan dagang, politik luar negeri Korea yang bersatu peluang hendak menjadi konservatif dan efisien karena politik luar negeri Korea Utara di

luar Semenanjung Korea dewasa ini. Reunifikasi juga dapat mempengaruhi politik internasional, contoh: masyarakat sipil yang solid di Korea akan mendukung upaya Rusia untuk lembaga-lembaga sipil yang stabil dan mendorong perkembangan mereka di Cina.10

Hukum internasional positif yang mengatur tentang suksesi negara secara komprehensif belum ada. Dilema internasional termasuk perjanjian hak dan kewajiban, tanggung jawab hutang dan aset alokasi telah menjadi pokok perdebatan dan kontroversi yang signifikan. “Kekosongan hukum mengenai bidang hukum ini telah mendorong Komisi Hukum Internasional PBB  (International  Law Commission atau ILC) untuk

mengkodifikasi aturan-aturan yang lahir dari praktik negara. ILC mengeluarkan 2 Konvensi penting mengenai suksesi negara, yaitu:

  • 1. Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam kaitannya

dengan Perjanjian tahun  1978  (Vienna Convention on the

Succession of States in Respect of Treaties);

  • 2. Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam kaitannya

dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara tahun 1983 (Vienna Convention on Succession of States in Respect of Property, Archives and Debts).11

Konvensi Wina 1978 mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip hukum kebiasaan. Konvensi Wina 1978 menyatakan bahwa suksesi negara tidak merubah status tapal

batas dan status territorial lainnya. Hal ini terdapat pada Pasal 11 Konvensi Wina 1978 yang berbunyi:

“suksesi negara tidak mempengaruhi:

  • (a)    Batas yang ditetapkan oleh suatu perjanjian; atau

  • (b)    Kewajiban dan hak-hak yang ditetapkan oleh perjanjian dan berkaitan dengan rezim batas.”

Pasal 12 Konvensi Wina 1978 ayat (1) berbunyi:

“sebuah suksesi negara tidak mempengaruhi :

  • (a)    Kewajiban yang berkaitan dengan penggunaan wilayah apapun, ataupun pembatasan penggunaanya ditetapkan oleh perjanjian untuk kepentingan dari setiap wilayah negara asing dan dianggap melekat pada wilayah tersebut.

  • (b)    Hak yang ditetapkan oleh perjanjian untuk kepentingan wilayah apapun dan terkait dengan penggunaan, atau untuk pembatasan atas penggunaan, dari setiap wilayah negara asing dan dianggap melekat pada wilayah tersebut dalam pertanyaan.” Konvensi Wina tahun 1978 dan Konvensi Wina tahun 1969

sangat berkaitan, terutama tentang hukum perjanjian yang telah ditekankan dalam pembukaan Konvensi Wina tahun 1978 tentang Suksesi Negara dalam kaitannya dengan Perjanjian. Dalam pembukaan yang sama, dinyatakan bahwa ketentutan konvensi ini merupakan kodifikasi dan pengembangan progresif hukum internasional.

  • 2.2.2 Akibat hukum penggabungan dua negara (studi kasus rencana reunifikasi Korea Selatan dan Korea Utara)

Korea dan Jerman adalah refleksi dari konflik ideologis pasca, meskipun perpecahan Korea berasal dari konflik internal yang lebih traumatis. Setelah mencapai batas-batas strategi pertumbuhan, kedua ekonomi sosialis mengalami penurunan relative yang menandakan ketidakmampuan untuk menandingi di Jerman Barat dan Korea Selatan menjauh dari ekonomi

berbasis manufaktur murni atau laju inovasi teknologi di sektor manufaktur yang tersisa.

Ketika tembok Berlin runtuh pandangan tentang proses penyatuan kemungkinan dicampur, di satu sisi spectrum lembaga ekonomi Bundesbank dan sebagian besar pengamat luar meramalkan bahwa penyatuan kemungkinan besar akan berlangsung lama dan prosesnya mahal. Namun, disisi lain spectrum pemerntah Federal berjanji “bentang alam berbunga” di Jerman Timur dalam beberapa tahun dan menyarankan cukup jelas bahwa proses penyatuan adalah situasi win-win.12

Korea Selatan mendapat manfaat dari peringatan dini dan kesempatan untuk belajar dari kesalahan unifikasi Jerman untuk merumuskan strategi unifikasi sebelum melakukan unifikasi. Keunikan institusional, lokasi, sejarah, dan tidak terkecuali lingkungan sosial dan politik yang sulit diukur menyebabkan perbedaan penting dlam dua pengalaman penyatuan. Namun, dari sekumpulan kecil negara dimana satu pasar dan ekonomi sosialis telah bersatu seperti Jerman, Vietnam, dan Yaman, dimana kasus Jerman dapat dibiang adalah pasangan terbaik untuk scenario yang secara implisit diasumsikan sebagai Korea Selatan yang dipimpin unifikasi yang mengarah pada pengenalan pasar ekonomi di Korea Utara. Unifikasi Vietnam mengambil arah yang berlawanan seperti halnya dalam bentuk modifikasi; kembalinya Hongkong ke Cina; penyatuan ekonomi Yaman walaupun ex post facto bukan politis

menimbulkan cukup banyak masalah yang mencerminkan dominasi sektor minyak dan tidak adanya jenis modal asing yang mengganggu sebagian besar ekonomi transisi.13

Lambang lama dan baru unifikasi Korea mengubah trauma pembagian nasional menjadi satu substansi untuk membangun kembali keseluruhan nasional. Gagasan perang dingin untuk kembali ke masa lalu yang tidak terbagi melalui serikat territorial terus menginformasikan politik unifikasi setelah perang dingin. Pengenaan pembagian nasional oleh negara adikuasa asing terhadap Korea menjadi narasi perang dingin yang kuat. Oleh karena itu, pembubatan perang dingin global umumnya dipahami sebagai menghilangkan oposisi asing terhadap reunifikasi Korea.14

Pasal 16 Konvensi Wina tahun 1983 tentang Suksesi Negara dalam kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang negara (Vienna Convention on Succession of States in Respect of Propert, Archives, and Debts) berbunyi:

“ketika dua atau lebih negara bersatu dan dengan demkian membentuk satu negara penerus, harta benda negara dari negara pendahulu akan beralih ke negara penerus.”

Konvesi Wina tahun 1983 menyatakan apabila terjadi suatu penyatuan negara maka seluruh harta benda negara dari negara-negara pendahulu akan beralih ke negara penerus. Artinya dalam unifikasi kedua negara Korea, apabila yang

menjadi negara penerus adalah Korea Selatan maka seluruh harta benda yang dimiliki Korea Utara akan seluruhnya beralih menjadi negara Korea Selatan.

Pasal 29 Konvensi Wina tahun 1983 berbunyi:

“Ketika dua atau lebih negara bersatu dan dengan demikian membentuk satu negara penerus, arsip-arsi negara pendahulu akan beralih ke negara penerus.”

Pasal 39 Konvensi Wina tahun 1983 berbunyi:

“Ketika dua atau lebih negara bersatu dan dengan demikian membentuk satu negara penerus, hutang negara dari negara pendahulu akan beralih ke negara penerus.”

Mengenai arsip-arsip dan hutang negara pada Konvensi Wina tahun 1983 seperti yang disebutkan pada Pasal 29 dan Pasal 39 diatas, bahw arsip-arsip dan hutang negara akan beralih dari negara pendahulu ke negera penerus apabila terjadi penyatuan negara. apabila dalam unifikasi negara Korea, yang menjadi negara penerus adalah Korea Selatan, maka seluruh arsip-arsip dan hutang negara Korea Utara akan beralih sepenuhnya ke negara Korea Selatan.

Korea Selatan dan Korea Utara mengadakan kembali pertemuan terhadp rencana reunifikasi yang diharapkan oleh kedua negara. pertemuan yang diadakan oleh kedua negara Korea akan menghasilkan sebuah perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh kedua negara Korea harus berdasarkan pada Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian. Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties) berbunyi:

“setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan harus dilakukan oleh mereka dengan itikad baik.”

Pasal 27 Konvensi Wina tahun 1969 berbunyi:

“suatu pihak tidak dapat menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai alasan pembenaran kegagalan untuk melakukan perjanjian. Aturan ini tanpa mengurangi Pasal 46.”

Artinya bahwa baik negara Korea Selatan dan Korea Utara tidak dapat menggunakan hukum nasional mereka sendiri untuk dijadikan alasan pembenar apabila terjadi sebuah kegagalan di dalam perjanjian yang mereka buat. Perjanjian harus ditaati da diikuti kedua negara Korea agar memudahkan penyatuan kedua negara Korea.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Hukum suskesi negara digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum yang timbul dari berbagai bentuk perubahan territorial. Namun hukum suksesi negara dalam hukum internasional belum dapat dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat saat ini. Norma yang ada hanya sebatas mengatur hal-hal umum dan belum mendasar terhadap suatu peristiwa yang membutuhkan perlindungan hukum yang kuat.

  • 2.    Konvensi Wina 1969, Konvensi Wina 1978, dan Konvensi Wina 1983 adalah seperangkat norma yang digunakan untuk mengatasi masalah suksesi negara. lambang lama dan baru unifikasi Korea mengubah trauma pembagian nasional menjadi suatu substansi untuk membangun kembali keseluruhan nasional. Pembubaran perang dingin global umumnya dipahami sebagai menghilangkan oposisi asing terhadap reunifikasi Korea.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Peraturan terhadap suksesi negara dalam hukum internasional sudah seharusnya dilakukan revisi dan diperhatikan lebih dalam lagi. Karena peraturan yang ada dapat dikatakan sudah terlalu lama, sedangkan dunia internasional kini sudah berubah sangat drastis dari dunia internasional yang lampau.

  • 2.    Terhadap Konvensi Wina yang mengatur tentang suksesi negara akan lebih baik untuk dibuatkan dalam satu Konvensi saja. Pada masing-masing Konvensi juga harus dibuat lebih mendetail tentang apa saja yang akan menjadi akibat dari suksesi negara. selainn itu, akan lebih baik apabila Konvesi Wina juga mempertimbangkan perkembangan hukum internasional masa kini. Penyatuan yang dilakukan kedua negara Korea harus dibawah perjanjian yang disepakati oleh kedua negara tanpa merugikan salah satu dari negara tersebut, dimana baik Korea Utara dan Korea Selatan harus terus melakukan pertemuan untuk kelangsungan penyatuan kedua negara Korea.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Asikin, Zainal dan Amiruddin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Cet. 9, Rajawali Pers, Jakarta

Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

_________, 2015, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Cetakan Ke-5, CV Keni Media, Bandung.

Keith Pratt, 2007, Everlasting Flower a History of Korea, Reaction Books Ltd, London.

Michael J Seth, 2006, A Concise History of Korea: From the Neolithic Period Trough the Nineteenth Century, Rowman & Littlefield Publishers Inc, United States.

Park Hyun Oh, 2015, the Capitalist Unconscious from Korea Unification to Transnational Korea, Colombia University

Press, New York.

Patrick Dumberry, 2007, State Succession to International Respons, Martinus Nijhoff Publishers, Boston.

Sefriani, 2014, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

Soekanto, Soerjono, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3,

Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta

Jurnal Ilmiah:

Holger Wolf, 1999, Korean Unification: Lessons From Germany, diakses                                          dalam

https://www.semanticscholar.org/paper/Korean-unification%3A-Lessons-from-Germany-Wolf//cc581470de460e5e381848fd666abbbc0d3bf63a, diakses pada tanggal 14 Mei 2019

Nicholas Esberstadt, 1997, Hastening Korean Reunification, Vol.76, No.2,                      diakses                      dalam

https://www.jstor.org/stable/20047938?read-now=1&seq=1#page_scan_tab_contents, diakses pada tanggal 23 Mei 2019.

Peraturan perundang-undangan:

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties 1978

Vienna Convention on Succession of States in Respect of State Property, Archives and Debts 1983

Internet:

Reunifikasi Dan Denuklirisasi Korea Masih Jauh Dari Kenyataan, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180426195602 -106-293927/reunifikasi-dan-denuklirisasi-korea-masih-jauh-dari-kenyataan, diakses pada tanggal 20 November 2018.

15