JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR)

Oleh

Made Adi Berry Kesuma Putra

A.A. Gde Oka Parwata A.A. Istri Ari Atu Dewi Bagian Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

Land is very important in human life because the land is place where the human born, live, and do all activities community for their life. Rampant cases of land set in the sale of land, leasing land, seizure of land inheritance, sale of garden land to the village become a problem. Linkage with such a man, according to Ter Haar said as perceived affinity and rooted in the minds of "all-pairs" (participeren Denden) it should be considered as "affinity laws" of human beings to the ground. Such a close relationship between the law of the land under their control with a magical relationship religious nature that causes people to obtain legal right to control the land, take advantage of it and collect the results. From basic conception that the land under the control law based on the principle of solidarity alliances known in customary law.

Keywords: Land, Regulation, Village, Laws

ABSTRAK

Tanah merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena tanah adalah tempat manusia untuk lahir, hidup, untuk memiliki comunity dan melakukan semua aktivitas. Maraknya kasus tanah berlatar penjualan tanah, penyewaan tanah, perebutan tanah waris, hingga penjualan tanah pekarangan desa menjadi masalah. Pertalian manusia dengan yang demikian itu, menurut Ter Haar dikatakan sebagai pertalian yang dirasakan dan berakar dalam alam pikiran “serba berpasangan” (participeren denden) itu seharusnya dapat dianggap sebagai “pertalian hukum” umat manusia terhadap tanah.1 Hubungan yang demikian erat antara masyarakat hukum dengan tanah yang dikuasainya merupakan hubungan yang bersifat religius magis yang menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan serta memungut hasil darinya. Dari konsepsi pokok bahwa tanah berada dalam kekuasaan persekutuan hukum berlandaskan asas kebersamaan yang dikenal dalam hukum adat.

Oleh karena itu tulisan ini akan menjelaskan aturan dalam menjual tanah dan lahan yang dapat menjadi jual.

Kata kunci: Tanah, Peraturan, Desa, Hukum

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Dalam masyarakat hukum adat, hubungan manusia dengan tanah adalah merupakan hubungan yang bersifat abadi, karena tanah merupakan tempat tumpuan harapan pertama dan terakhir bagi manusia. Tanah mempunyai kedudukan sangat penting dalam hukum adat, karena sifatnya, yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan meskipun mengalami menjadi lebih menguntungkan. Luas tanah yang dimiliki manusia makin terbatas, padahal jumlah manusia bertambah banyak. Semakin bertambahnya permintaan akan tanah, menjadikan tanah merupakan harta kekayaan yang mempunyai nilai ekonomis yang semakin tinggi. Ketidakseimbangan antara persediaan tanah dengan kebutuhan terhadap tanah, telah banyak menimbulkan persoalan. Persoalan tanah telah menjadi masalah klasik yang dihadapi masyarakat. Maraknya kasus tanah berlatar penjualan tanah, penyewaan tanah, perebutan tanah waris, hingga penjualan tanah pekarangan desa menjadi satu masalahnya.

  • 1.2    Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk pengembangan wawasan di bidang tanah adat, dan peneliti berkeinginan untuk memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu hukum berkaitan dengan jual-beli tanah adat yang saat ini masih terjadi dalam suatu desa pakraman. Dan mengetahui cara penyelesaian permasalahan jual beli tanah Pekarangan Desa di Desa Pekraman Penestenan.

  • II.    ISI MAKALAH

  • 2.1    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris. Jenis penelitian hukum empiris ini bertujuan untuk mengungkapkan fenomena hukum dalam kehidupan nyata dalam masyarakat. Jenis penelitian hukum empiris ini digunakan karena jual-beli tanah pekarangan desa di dalam suatu desa pakraman menjadi pokok perhatian dalam penelitian ini yang dikaji dalam perspektif empirik, yaitu melihat pelaksanaan jual-beli tanah pekarangan desa ini di dalam kenyataannya di Desa Pakraman Panestanan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Dalam penelitian hukum empiris objek penelitian ini adalah kasus yang sudah berlangsung. Dengan demikian maka dilakukan dengan teknik wawancara mendalam terhadap informan maupun terhadap responden yang mengetahui ataupun mengalami peristiwa tersebut.

Dalam pembuatan skripsi ini digunakan pendekatan kasus, yaitu secara langsung meneliti kasus yang terjadi dalam masyarakat. Adapun kasus tersebut diperoleh di Desa Pakraman Panestanan. Selain pendekatan langsung juga dengan pendekatan tidak langsung yang melalui buku bacaan penunjang skripsi ini.

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

      • 2.2.1    Latar Belakang Sengketa

Desa Pakraman Panestanan wilayahnya mencakup dua banjar Dinas Panestanan Kaja dan Penestanan Kelod, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, sedangkan banyaknya jumlah banjar yang dimiliki adalah (2) pakraman, yaitu terdiri dari: Banjar Panestanan Kaja dan Banjar Panestanan Kelod. Di Desa Pakraman Panestanan, khususnya di banjar Penestanan Kaja telah terjadi jual-beli tanah pekarangan desa seluas 100 m2, antara pihak penjual Bapak Katon (alm) dan pihak pembeli Bapak Reken dari Banjar Panestanan Kaja jual-beli yang terjadi pada tahun 1976 dengan alat bukti kwitansi yang disaksikan oleh Prajuru Banjar yang pada waktu itu adalah Bapak Ketut Cemol.

  • 2.2.2    Penjelasan atau Uraian dari Sengketa

Sebenarnya jual beli tanah desa atau disebut druwen desa tidak diperbolehkan ini dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman dan awig-awig Desa Pakraman Panestanan.

Dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 disebutkan tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikasi atas nama pribadi, serta dalam awig-awig Desa Pakraman Panestanan disebutkan dalam Pawos 26 (6) menyebutkan : “Tan kalugra ngadol utawi ngesahang padruwen Desa/Banjar yan tan kasungkemin olih Krama Desa/Banjar ring Paruman”. Maksudnya : Tidak diperkenankan menjual atau memindah tangankan tanah milik desa/banjar sebelum mendapat persetujuan dari krama desa/banjar melalui paruman/rapat desa.

Menurut Bendesa, terjadinya jual beli tanah ayahan desa di Desa Pakraman Panestanan tersebut penyelesaiannya sudah melalui proses/prosedur sesuai dengan awig-awig dan perarem yaitu diawali dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli, dilanjutkan dengan paruman desa pakraman, dimana dalam paruman desa pakraman sudah disetujui oleh desa pakraman dengan beberapa persyaratan seperti :

  • (1)    Yang bersangkutan (pembeli) diharuskan ikut mebanjar/ ngayahang tanah desa.

  • (2)    Membuat sanggah kemulan minimal rong tiga.

2

  • (3)    Ikut/tunduk sesuai dengan awig-awig Desa Pakraman Panestanan.2

Seperti diketahui mengenai pengaturan Tanah Pekarangan Desa (PKD) tidak boleh diperjual-belikan ataupun dipindah tangankan, karena belum adanya Perda yang membenarkan terjadinya jual-beli. Karena tanah pekarangan desa yang peruntukannya untuk permukiman krama desa sebagai bukti pengemong desa atau ayahan desa, segala sesuatu aturan menempati tanah pekarangan desa dipantau oleh kelihan Desa Pakraman Panestanan.

  • III.    KESIMPULAN

Bertitik tolak dari latar belakang dan mengacu pada rumusan masalah, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut :

  • 1.    Tanah pekarangan desa di Desa Pakraman Panestanan diatur oleh Desa Pakraman melalui awig-awignya yang tercantum dalam Pawos 4 tentang Indik Krama yaitu sane kabaos Krama Desa Pekraman Penestanan inggih punika sahananing

kulawarga sane ngamong karang utawi jumenek mapaumah ring wewidanga Desa Pekraman Penestanan sane meagama Hindu pemekasnya kulawarga sane nyungsung Kahyangan Tiga Desa Pekraman Penestanan, saha satinut ring sahaning awig –awig Desa utawi Banjar lan pemargin Krama Desa Pekraman Penestaan yang artinya adalah keluarga yang tinggal di Desa Penestanan yang beragama Hindu yang berkewajiban untuk ngayah di Kahyangan Desa dan mentaati awig-awig yang dimiliki oleh Banjar atauesa Pekraman Penestanan. Namun, ada juga beberapa tanah pekarangan desa yang sudah diserahkan kepada krama desa untuk dikelola, akan tetapi penguasaannya tetap dalam penguasaan desa pakraman.

  • 2.    Kasus jual beli tanah pekarangan desa di desa pakraman panestanan penyelesaiannya diatur dalam awig-awig pawos 26 : diawali dengan musyawarah antara pembeli dengan penjual; dilanjutkan kepada Kelian Adat kemudian oleh Kelian Adat disampaikan kepada Bendesa Adat untuk dibicarakan pada Sangkepan Desa Pakraman. Hasil Keputusan Desa tersebut jika sudah disyahkan oleh Desa sesuai hasil paruman itulah hasil final penyelesaian kasus adat jual beli tanah pekarangan desa.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Ketut, 2009, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar

Awig-awig Desa Pakraman Penestanan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, Tentang Desa Pakraman.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 556/DJA/1986, Tentang Penunjukan Pura

Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Sirtha, I Nyoman, 2001, “Pengkajian Hukum Adat Bali: Inventarisasi dan Identifikasi Karakteristik Hukum Tanah Adat Bali di Kabupaten Gianyar”, Laporan Penelitian, Kerjasama Pemerintah Daerah Provinsi Bali dengan Fakultas Universitas Udayana.

5