URGENSI KEBERADAAN GBHN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
on
URGENSI KEBERADAAN GBHN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh :
1I Wayan Anggi Putra Artyana*
Edward Thomas Lamury Hadjon, SH.,LLM.**
Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Garis Besar Halauan Negara (selanjutnya disebut GBHN) tidak diberlakukan kembali setelah amandemen Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Hal ini berdampak pada tidak ada gambaran tujuan dan arah pembangunan nasional jangka panjang. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (selanjutnya disebut RPJPN) yang ditujukan menggantikan posisi GBHN belum mampu menjadi panduan pembangunan nasional. Dalam jurnal ini menggunakan metode normatif yang terdapat rumusan masalah pertama adalah bagaimana GBHN dalam perspektif historis dan yuridis dan yang ke dua apa urgensi keberadaan GBHN sebagai petunjuk dan arah penyelenggaraan Negara. Menurut historisnya, GBHN menurut Tap. MPR IV/MPR/1999 tentang GBHN adalah pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh MPR untuk 5 tahun. Menurut yuridis, GBHN merupakan fungsi dari lembaga MPR dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. GBHN dinilai masih relefan digunakan di masa sekarang mengingat GBHN akan membawa dampak baik bagi arah bangsa dalam menjalankan pembangunan nasional.
Kata kunci : GBHN, Pembangunan Nasional, MPR.
ABSTRACT
The State of Halauan Outline (hereinafter referred to as GBHN) was not reinstated after the amendment to the Law of the Republic of Indonesia in 1945 (hereinafter referred to as the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia). This has an impact on the absence of long-
term national development goals and directions. National Long-Term Development Plan (hereinafter referred to as RPJPN) In this journal uses a normative method which is the formulation of the first problem is about GBHN in historical and juridical perspectives and which are the two urgent matters to be carried out by GBHN as directions and directions for the administration of the State. Historically, GBHN according to Tap. MPR IV / MPR / 1999 concerning GBHN is an agreement with the people's consent and regulated by the MPR for 5 years. According to the judiciary, the GBHN is a function of the MPR institution in carrying out its duties and authorities. GBHNambatnya is still relevant to use today, considering that GBHN will bring good influence to the nation in carrying out national development.
Key word : GBHN, National Development, MPR.
Pasca reformasi di Indonesia tahun 1998, membentuk perubahan khususnya dalam ketatanegaraan Indonesia yang mengalami perkembangan yang pesat. Reformasi juga melahirkan penataan sistem ketatanegaraan hingga keseluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) juga merupakan salah satu wujud dari agenda reformasi dalam bidang kelembagaan negara.
Legislatif yang merupakan salah satu cabang kekuasaan menurut ajaran Trias Politica diadopsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD) juga merupakan salah satu wujud dari penataan kelembagaan negara, walaupun peran DPD belum membawa peran yang begitu mendasar dalam legislatif, tetapi hal ini merupakan sebuah perubahan akan sempurna seiring berjalannya waktu. Dalam cabang yudikatif, lahirnya Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan wujud nyata dari reformasi kelembagaan dalam cabang kekuasaan yudisial. Dengan hadirnya Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY) merupakan tahap penyempurnaan dari kekuasaan kehakiman dalam rangka mengawal reformasi serta pengawasan perilaku para hakim.
Dari berbagai perubahan tersebut, harus diakui bahwa terdapat beberapa hal yang harus dikaji ulang pasca reformasi, salah satunya adalah penghapusan GBHN. Semenjak dihapuskan, bangsa Indonesia seperti kehilangan acuan dalam menjalankan pemerintahan dalam pembangunan nasional. GBHN menentukan arah dan tujuan roda pemerintahan akan dapat lebih mudah dipahami sehingga mempermudah dalam mengoreksi seberapa
berhasil pencapaian pemerintah yang sedang berkuasa. Walaupun terdapat program lain seperti RPJPN yang ditawarkan guna menggantikan posisi GBHN, namun belum mampu menjadi konsepsi yang lebih opreasional agar pembangunan tidak terombang-ambing oleh kepentingan dari berbagai pihak. Penghapusan GBHN akan menyulitkan untuk mengukur tingkat keberhasilan suati pemerintahan.
Pemerintah melakukan upaya mengeluarkan produk hukum yang bertujuan mengganti GBHN melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Undang-Undang ini memiliki isi yang hampir sama dengan GBHN. Namun RPJPN lahir pada masa otonomi daerah yang dimana daerah memiliki kekuasaan membangun daerahnya sesuai potensi dan kemampuan seluas-luasnya. Dengan adanya otonomi daerah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan pula bahwa daerah juga membentuk RPJMD sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Sesuai dengan uraian diatas, maka penulis ini ingin menelusuri tentang urgensi penerapan kembali GBHN. Maka judul karya ilmiah ini berjudul Urgensi Keberadaan GBHN dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ditinjau dari Hukum Tata Negara.
Dengan permasalahan yang ada diatas maka terdapat beberapa rumusan masalah yang akan diangkat yaitu:
-
1. Bagaimanakah GBHN dalam Perspektif Historis dan Yuridis?
-
2. Apa Urgensi Keberadaan GBHN Sebagai Petunjuk dan Arah Penyelenggaraan Negara?
Penulisan ini bertujuan untuk menjadikan karya ilmiah ini sebagai bahan bacaan untuk mengetahui bagaimana GBHN dalam perspektif historis dan yuridis serta mengetahui urgensi GBHN sebagai petunjuk arah dalam penyelenggaraan nasional.
Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Urgensi Keberadaan GBHN Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode ini juga biasanya disebut juga dengan penelitian perpustakaan yang melakukan studi dokumen dikarenakan penelitian ini ditujukan untuk melakukan kajian serta peneliti dengan mencari jawaban pada peraturan–peraturan yang tertulis saja atau bahan–bahan hukum yang lain.2
GBHN menurut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN adalah halauan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang diterapkan oleh MPR untuk lima tahun guna mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.3 Menurut Deddy Supriady Bratakusumah, GBHN merupakan keinginan rakyat yang menjadi acuan utama atas seluruh kiprah kenegaraan dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara sebagaimana secara eksplisit dituangkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Sebelum amandemen, menetapkan GBHN di atur dalam Pasal 3 UUD NRI 1945 yang kemudian dihapuskan pada UUD NRI 1945 setelah amandemen.
Menurut historisnya, pada masa orde lama, strategi pembangunan didasarkan atas pendekatan perencanaan pembangunan yang lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini sesuai dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan nasional sehingga tidak memungkinkan pelaksanaannya secara baik. Sedangkan pada orde baru, pemerintah mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial. Pemerintah meninggalkan idiologi komunis dan menjalin hubungan dengan Negara barat dan menjadi anggota PBB, IMF, dan Bank Dunia. Kondisi perekonomian Indonesia saat itu.
Selama orde baru, kekuasaan berada dalam kendali pemerintah, selama itu MPR tekah menerapkan 6 GBHN. Penerapan
GBHN ketika itu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Seluruh GBHN diterapkan dengan bentuk rumusan yang sama, yaitu pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik materiil dan spiritual yang berdasar pancaslia dan NKRI. GBHN yang diterapkan selama ini adalah TAP MPR selama orde baru adalah TAP MPR No. IV/MPR/1973, TAP MPR No. IV/MPR/1978, TAP MPR No.II/MPR/1983, TAP MPR No. II/MPR/1988, TAP MPR No. II/MPR/1993, dan TAP MPR No. II/MPR/1998. Kemudian pada masa reformasi pada 1998, MPR melalui siding MPR pada oktober 1999 menerapkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004. Dalam hal ini tujuan dari GBHN adalah memberikan arah penyelenggaraan negara dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan social, melindungi hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum dalam tatanan masyarakat dan bangsa yang beradap, berakhlak mulia, mandiri, bebas, maju, dan sejahtera untuk kurun waktu lima tahun kedepan.
Menurut perspektif yuridis, GBHN memiliki tingkat urgensitas yang memadai. GBHN dituangkan dalam bentuk TAP MPR dan patut dimaknai dalam rangka menguatkan kedudukan MPR sebagai salah satu lembaga negara.4 GBHN bukan hanya petunjuk arah bagi bangsa Indonesia, melainkan membangun kekuatan bagi posisi serta mempertahankan eksistensi lembaga MPR sebagai lembaga negara. Maka, secara yuridis formal, keberadaan GBHN membawa dampak dan arti yang bersifat multifungsi. GBHN membawa dampak positif bagi keberlansungan masa depan MPR sebagai lembaga negara yang memiliki posisi yang
sama dengan lembaga launnya.5 Mengembalikan GBHN dalam posisi semula akan menguatkan kembali keberadaan MPR dengan pemberian kewenangan penerapan GBHN tanpa tujuan mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Setiap organisasi yang baik tentu membutuhkan sebuah perencanaan. Hal ini juga tidak terkecuali bagi negara. Ketika organisasi atau negara tidak memiliki perencanaan secara pola dan konsep, maka akan sulit diprediksi arah perjalanan masa depannya. Kesulitan juga ditemui ketika mengukur keberhasilan sebuah kinerja pemerintah dimasa tersebut. Dalam rangka menyikapi berbagai perkembangan yang ada, perencanaan juga akan dapat dirancang untuk dapat menyentuh persoalan-persoalan tersebut. Di Indonesia, arah bangsa sudah dituangkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang alenia ke empat. Dalam rangka mewujudkannya bangsa Indonesia menggunakan konsep perencanaan melalui GBHN di masa lalu. Konsep-konsep pada GBHN kemudian dijadikan landasan berfikir dan bertindak bagi pemerintah yang berkuasa pada masa tersebut.
Setelah era reformasi, dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945, keberadaan GBHN justru dihilangkan. Dihilangkannya GBHN juga menghapuskan kewenangan lembaga MPR dalam membentuk GBHN.6 Setelah dihapuskannya GBHN, konsep pembangunan nasional dilegalisasikan melalui UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Namun kedua produk hukum tersebut belum mampu menggantikan GBHN sebagai petunjuk arah bagi jalannya roda pemerintahan, karena tidak mampu melakukan berbagai upaya dan terobosan dalam rangka membangun sistem pemrintahan yang lebih baik. Proses pembentukan dan perubahan Undang-Undang jauh lebih mudah ketimbang TAP MPR, sehingga produk hukum undang-undang lebih serat muatan politisinya disbanding TAP MPR yang melibatkan DPR dan DPD. 7
Dengan prosedur demikian, nuansa politik pragmatis dalam pembentukan undang-undang jauh lebih kuat dibanding TAP MPR sebagai wadah hukum dalam menerapkan GBHN. Disinilah salah satu urgensi keberadaan GBHN sebagai arah penyelenggaraan negara kedepannya.
-
1. GBHN menurut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN adalah halauan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang diterapkan oleh MPR untuk lima tahun guna mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Menurut historisnya, selama orde baru, kekuasaan berada dalam kendali pemerintah, selama itu MPR tekah
menerapkan 6 GBHN. Penerapan GBHN ketika itu
dilakukan setiap 5 tahun sekali. Seluruh GBHN diterapkan dengan bentuk rumusan yang sama, yaitu
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik materiil dan spiritual yang berdasar pancaslia dan NKRI. GBHN dituangkan dalam bentuk TAP MPR dan patut dimaknai dalam rangka menguatkan kedudukan MPR sebagai salah satu lembaga negara. Maka, secara yuridis formal, keberadaan GBHN membawa dampak dan arti yang bersifat multifungsi. Mengembalikan GBHN dalam posisi semula akan menguatkan kembali keberadaan MPR dengan pemberian kewenangan penerapan GBHN tanpa tujuan mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
-
2. Dalam rangka mewujudkannya bangsa Indonesia menggunakan konsep perencanaan melalui GBHN di masa lalu. Konsep-konsep pada GBHN kemudian dijadikan landasan berfikir dan bertindak bagi pemerintah yang berkuasa pada masa tersebut. Dihilangkannya GBHN juga menghapuskan kewenangan lembaga MPR dalam membentuk GBHN. Setelah dihapuskannya GBHN, konsep pembangunan nasional dilegalisasikan melalui UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Namun kedua produk hukum tersebut belum mampu menggantikan GBHN sebagai petunjuk arah bagi jalannya roda pemerintahan, karena tidak mampu melakukan berbagai upaya dan terobosan dalam rangka membangun sistem pemerintahan yang lebih baik. Dengan prosedur demikian, nuansa politik pragmatis dalam pembentukan undang-undang jauh lebih kuat disbanding TAP MPR
sebagai wadah hukum dalam menerapkan GBHN. Disinilah salah satu urgensi keberadaan GBHN sebagai arah penyelenggaraan negara kedepannya.
-
1. Produk hukum yang sudah pernah di terapkan dan di Indonesia dan masih relefan di gunakan di masa sekarang seperti GBHN, harusnya diterapkan kembali mengingat GBHN masih sangat cocok untuk di gunakan di masa sekarang.
-
2. GBHN seharusnya di terapkan kembali melalui amandeman UUD NRI 1945, tetapi dengan menyesuaikan kondisi Indonesia saat ini. GBHN yang baru juga bukan hanya mengatur tentang pemerintah, tetapi semua lembaga negara baik legislatif maupun yudikatif, yang menjadi halauan lembaga negara dalam laporan kinerja seluruh lembaga negara, agar bekerja sesuai rencana jangka waktu yang lebih panjang.
DAFTAR BACAAN
Ance, Iriyanto A Baso, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung.
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Edisi Kedua Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung.
Huda, Ni’matul, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, , Yogyakarta.
Kurde, Nukthoh Arfawie. 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum: Konstitusi dan Demokrasi dalam Kerangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan UUD 1945, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Lubis, M.Solly, 2009, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung.
Rasyid, Abdul, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Siallagan, Haposan, dkk, 2011, Hukum Tata Negara Indonesia, Sabar, Medan.
Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945.
Undadng-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 104), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700).
Bahaarudin. 2017. Komparasi GBHN dan RPJPN sebagai Kebijakan Politik Hukum Nasional dalam Bidang Pembangunan, Jurnal Keamanan Nasional, Vol. III URL : ojs.ubharajaya.ac.id
Diakses tanggal 19 Agustus 2019.
13
Discussion and feedback