ANALISIS YURIDIS TERHADAP GANTI KERUGIAN KEPADA KORBAN KECELAKAAN PESAWAT BERDASARKAN CONVENTION OF MONTREAL 1999 (STUDI KASUS LION AIR JT-610)
on
ANALISIS YURIDIS TERHADAP GANTI KERUGIAN KEPADA KORBAN KECELAKAAN PESAWAT BERDASARKAN CONVENTION OF MONTREAL 1999 (STUDI KASUS LION AIR JT-610)1.
Oleh :
Timothy Vito Setiajaya**, Made Maharta Yasa, S.H., M.H.***
Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Di zaman yang modern ini, segala perubahan terjadi dengan sangat cepat, perubahan tersebut tidak hanya dirasakan dalam aspek bermasyarakat, moda transportasi udara pun melakukan mobilitas perubahan yang cepat. Dewasa ini hampir setiap orang melakukan perjalanan aktivitas dari satu daerah ke daerah lain secara signifikan dan dalam kurun waktu yang singkat, sehingga moda transportasi menjadi pilihan yang sering digunakan masyarakat dalam menempuh perjalanan yang dinilai jauh dan membutuhkan waktu yang singkat. Walaupun moda transportasi udara adalah moda transportasi yang sampai saat ini dinilai paling aman dari kecelakaan, namun tidak menutup kemungkinan kecelakaan itu tetap terjadi, dan dalam hal ini regulasi dari penerbangan tersebut sangat menentukan nasib kedepannya mengenai nasib dari korban, tanggung jawab dari pengangkut dan sanksi yang akan ditanggung oleh pengangkut.
Skripsi ini berjudul Analisis Yuridis Terhadap Ganti Kerugian Kepada Korban Kecelakaan Pesawat Berdasarkan Convention of Montreal 1999 (Studi Kasus Lion Air JT-610). Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode normatif dengan meneliti bahan pustaka.
Oleh karena itu perlunya peraturan baru dalam penerbangan yang dapat memenuhi hak-hak dari penumpang tersebut yang mengacu pada konvensi montreal, karena konvensi montreal lebih memperhatikan hak-hak dari penumpang tersebut, dan Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut.
Kata Kunci : Moda Transportasi Udara, Kecelakaan, Peraturan Penerbangan
ABSTRACT
This thesis is entitled Juridical Analysis of Compensation to Aircraft Accident Victims Based on Convention of Montreal 1999 (Case Study of Lion Air JT-610). In this modern age, all changes occur very quickly, these changes are not only felt in aspects of society, air transportation modes also make rapid mobility changes. Today almost everyone travels significantly from one region to another and in a short period of time, so that the mode of transportation is a choice that is often used by people in traveling that is considered far and requires a short time. Although air transportation mode is a mode of transportation which until now has been considered the safest of accidents, it does not rule out the possibility that the accident will still occur, and in this case the regulation of the flight will determine the future fate of the victims, responsibility of the carrier and sanctions will be borne by the carrier.
This thesis is entitled Juridical Analysis of Compensation to Aircraft Accident Victims Based on Convention of Montreal 1999 (Case Study of Lion Air JT-610). The method used in this thesis is a normative method by examining library materials. Therefore the need for new regulations in aviation that can fulfill the rights of passengers refers to the montreal convention, because the Montreal Convention pays more attention to the rights of these passengers, and Indonesia has ratified the convention.
Key Words : Air Tranportation, Accident, Flight Regulation
Pesawat terbang adalah moda transportasi udara yang ditujukan untuk mengantar penumpang lintas daerah maupun lintas negara. Setelah ditemukan oleh Orville dan Wilbur Wright bersaudara pada tahun 1903, pesawat terbang dikembangkan sebagai senjata dalam Perang Dunia I setelah 15 (lima belas) tahun berselang, dan setelah 30
(tiga puluh) tahun sesudah itu pesawat terbang digunakan untuk mengangkut manusia 2
dan barang.2
Pesawat terbang sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia, sejak tahun 1914 Indonesia sudah mendirikan bagian uji terbang di Surabaya dengan tugas meneliti prestasi terbang pesawat udara untuk daerah tropis, pesawat terbang itu sendiri sudah lama dipergunakan oleh Indonesia sebagai moda transportasi, setelah merdeka Indonesia semakin melebarkan sayapnya dalam industri penerbangan ini, terbukti Indonesia adalah negara yang memiliki industri pesawat terbang sendiri dan Indoensia sebagai negara pertama se-Asia Tenggara yang memiliki industri pesawat terbang sendiri.
Transportasi udara yang terbilang paling aman pun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi kecelekaan yang bisa disebabkan oleh banyak faktor, kerusakan mesin atau system komponen, kelalaian pilot, kekurangan bahan bakar, hilangnya sinyal. Sebagai contoh ada beberapa peristiwa dimana transportasi udara mengalami kecelakaan, seperti pesawat Lion Air JT-538 pada tahun 2004 dengan tujuan Jakarta-Surabaya yang dimana keluarga korban mendapat santunan sebesar Rp.450.000.000/orang dengan rincian Rp.50.000.000 dari Jasa Raharja dan Rp.400.000.000 dari PT. Lion Air, dan bagi korban yang menjadi tulang punggung keluarga, seluruh biaya sekolah anaknya dari SD, SMP, SMA, hingga kuliah akan dibiayai oleh PT. Lion Air, dan bagi korban yang luka, seluruh biaya pengobatan akan ditanggung oleh PT. Lion Air, Merpati Nusantara Airlines pada tahun 2009, Sukhoi Superjet 100 pada tahun 2012, Garuda Indonesia pada tahun 2002, dan yang baru-baru ini terjadi yaitu Lion Air JT-610 pada tahun 2018, pesawat JT-610 ini mengambil rute Jakarta-Pangkal Pinang yang dimana ketika sedang terbang mengalami gangguan dan jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat. KNKT menyelidiki bahwa ternyata pesawat tersebut sudah rusak dari tiga hari sebelumnya terutama saat di Denpasar.
Konvensi Montreal 1999 adalah konvensi yang mengatur mengenai angkutan udara sipil yang didalamnya menyangkut asuransi penumpang dan bagaimana teknisnya, konvensi ini mengatur asuransi penumpang lebih dalam dibanding dengan Konvensi Warsaw 1929, peraturan tersebut terdapat pada Article 21 Montreal Convention 1999 yang menjelaskan bahwa mengijinkan pengangkur menaikkan ganti rugi hingga 100.000 Special Drawing Rights23 (Sekitar US$ 135.000) atau apabila dirupiahkan ± 2 Milliar per korban terlepas dari adanya kesalahan. Sedangkan Konvensi Warsawa 1929 pada Article 22 menyebutkan bahwa ganti rugi sebesar 125,000 francs atau yang apabila dirupiahkan nominalnya sebesar ±1,5 Miliar saja per korban. Konvensi Montreal ini pula sudah diratifikasi oleh Hukum Indonesia melalui Peraturan Presiden atau yang selanjutnya disebut Perpres Nomor 95 tahun 2016 mengenai Pengesahan Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu Tentang 3
Angkutan Udara Internasional.
Apabila dilihat dari peraturan dan konvensi yang ada banyak pihak yang harus bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung jawabannya apabila terjadi kecelakan, apalagi apabila terjadi kelalaian yang dilakukan oleh pihak maskapai dalam hal ini penulis mengambil dari kasus pesawat jatuh Lion Air JT-610.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan, yaitu:
-
1. Bagaimana pengaturan mengenai ganti kerugian terhadap korban dalam kecelakan pesawat berdasarkan Konvensi Montreal 1999?
-
2 Special Drawing Rights mewakili suatu “keranjang” uang ciptaan International Monetary Fund (IMF) untuk kegunaan akuntansi internal untuk menggantikan emas sebagai standar dunia, seperti dikutip dari http://www.cargolaw.com/presentations_montreal_cli.html
-
3 Direktorat Jendral Perhubungan Udara, Ratifikasi Konvensi Montreal (MC) 1999, “Indonesia Meningkatkan Daya Tawar di Penerbangan Internasional”,
http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/3019 (diakses pada 25 Januari 2019, pukul 16:27)
-
2. Bagaimana implementasi Konvensi Montreal 1999 terhadap kasus Lion Air JT-610?
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam tentang aspek Hukum Internasional mengenai tanggung jawab yang harus diberikan penyelenggara transportasi udara.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan penelitian hukum normative. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukakan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Teknik kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu dimana dicatat dan dipahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum tersebut.4
-
2.2. HASIL DAN PEMBAHASAN
-
I. Pengaturan Ganti Kerugian Terhadap Korban Kecelakaan Pesawat
Ganti kerugian merupakan bagian pembahasan dari hukum perdata oleh karenanya patut terlebih dahulu didefinisikan apakah itu hukum perdata. Hukum Perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antar orang yang satu dengan orang yang lainya. Dalam pengertian di atas terdapat beberapa unsur antara lain unsur peraturan hukum, yang dimaksud dengan peraturan hukum adalah rangkaian ketentuan mengenai ketertiban dan berbentuk tertulis dan tidak tertulis dan mempunyai sanksi yang tegas.
Unsur selanjutnya adalah unsur hubungan hukum, yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum hubungan yang diatur oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban orang perorang, sedangkan unsur yang
terakhir adalah unsur orang, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, pendukung hak dan kewajiban itu dapat berupa manusia pribadi ataupun badan hukum.5
Menurut Prof. R. Subekti S.H., hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.6 Sedangkan menurut Dr. Munir Fuadi, S.H., yang dimaksud dengan Hukum Perdata adalah seperangkat/kaidah hukum yang mengatur perbuatan atau hubungan antar manusia/badan hukum perdata untuk kepentingan para pihak sendiri dan pihak-pihak lain yang bersangkutan denganya, tanpa melibatkan kepentingan publik. Sedangkan istilah perdata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti warga, pribadi (privat), sipil (civil), hukum perdata berarti peraturan mengenai warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan hak dan kewajiban.7
Ganti rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat dari suatu perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh Perbuatan Melawan Hukum. Ganti rugi yang muncul dari wanprestasi adalah jika ada pihak-pihak dalam perjanjian yang tidak melaksanakan komitmennya yang sudah dituangkan dalam perjanjian, maka menurut hukum dia dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam perjanjian tersebut menderita kerugian karenanya.8
Indonesia dalam berbagai undang-undang bahkan dalam Peraturan Menteri sudah mengatur mengenai ganti kerugian, terkhusus dalam hal ini dalam hal apabila terjadi kecelakaan pesawat yang menimbulkan korban. UU No.1 Tahun 2009 mengenai Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 sudah mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan bagaimana nominal ganti rugi
yang harus diberikan kepada korban apabila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi korban.
Penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, namun angkutan udara yang dalam hal ini menyangkut penerbangan masih perlu dikembangkan potensi dan peranannya sehingga angkutan ini lebih efektif dan efisien dalam penerapannya, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, selain itu perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah, oleh karena itu pemerintah menerbitkan UU No.1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011.
Dalam Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dijelaskan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi baik hilang atau rusaknya bagasi kabin, hilang atau rusaknya bagasi tercatat, hilang atau rusaknya barang kargo, keterlambatan angkutan udara, kerugian yang diderita pihak ketiga, hingga penumpang yang luka-luka, cacat tetap, atau meninggal dunia.
Dalam pasal 3 peraturan tersebut dijelaskan bahwa apabila penumpang meninggal di dalam pesawat atau angkutan udara yang terjadi akibat kecelakaan udara akan diberikan ganti rugi sebesar Rp.1.250.000.000 (Satu milliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang dan apabila penumpang meninggal dunia pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat maka penumpang diberikan ganti rugi sebesar Rp.500.000.000 (Lima ratus juta rupiah) per penumpang, selain itu pada pasal 3 huruf c Permenhub Nomor 77 tahun 2011 dijelaskan untuk
penumpang yang dalam perjalanannya terjadi kecelakaan dan mengakibatkan cacat tetap, maka pengangkut wajib bertanggung jawab setelah dinyatakan cacat tetap oleh dokter dalam jangka waktu paling lama 60 hari setelah kecelakaan terjadi akan diberikan Rp.1.250.000.000 (Satu milliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang, masih tetap pada pasal 3 namun huruf e menjelaskan apabila penumpang mengalami cacat tetap sebagian dan membutuhkan perawatan rumah sakit maka pengangkut wajib memberikan santunan sebesar Rp.200.000.000 (Dua ratus juta rupiah) per penumpang.
Pengaturan Ganti Kerugian juga sudah ada dalam dunia internasional, Konvensi Warsawa 1929 adalah konvensi yang diusulkan oleh pemerintah Perancis pada tahun 1923. Konvensi Warsawa adalah konvensi yang menganut Rebuttable Presumption of Liability (tanggung jawab berdasar praduga), artinya maskapai penerbangan harus dianggap selalu bertanggung jawab, maka beban pembuktian ada pada pihak tergugat (maskapai penerbangan). Konvensi Warsawa setiap penumpang yang mengalami kecelakaan atau meninggal dunia pengangkut bertanggung jawab sebesar 125,000 franc yang apabila di rupiah kan akan menjadi Rp.119.171.400 apabila di konversi kan dari mata uang francs swiss kepada mata uang Indonesia yaitu rupiah.
Sedangkan Konvensi Montreal untuk kecelakaan yang diderita oleh penumpang terlebih hingga meninggal dunia, konvensi ini memberikan santunan yang dibebankan kepada pengangkut sebesar 100.000 Special Drawing Rights atau apabila dirupiahkan akan menjadi Rp. 1.967.545.080, ini membuktikan bahwa Konvensi Montreal sudah lebih memikirkan hak-hak dari penumpang tersebut. Namun hanya beberapa negara saja yang sudah menggunakan Konvensi Montreal 1999 ini sebagai acuan dari hukum nasionalnya mengenai penerbangan, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Montreal pada tahun 2016 dalam Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2016 tentang Pengesahan Convention For The Unification of Certain Rules For Internatinoal Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan
Tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional). Namun sampai saat ini Indonesia belum memperbaharui Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 mengenai tanggung jawab pengangkut udara yang dimana didalamnya mengatur mengenai nominal pertanggung jawaban yang harus dibayarkan oleh pengangkut.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 pasal 173 menyebutkan bahwa “pihak-pihak yang mendapat ganti kerugian dalam hal seorang penumpang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1)” yang dimana pasal 141 ayat 1 menyebutkan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara., sehingga yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ahli waris dalam hal ini adalah keluarga dari korban tersebut bisa jadi mereka adalah suami atau istri dari korban yang meninggal tersebut, anak-anaknya ataupun orang tuanya yang menjadi tanggungan dari korban tersebut. Mereka dapat menuntut gantu rugi yang dinilai sesuai dengan kedudukan dan keadaan dari penumpang tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, pada suatu kecelakaan pesawat udara dalam hubungannya dengan perjanjian pengangkutan penumpang dengan menggunakan moda transportasi angkutan udara, yang berhak untuk mendapat ganti rugi adalah keluarga atau ahli waris dari korban tersebut yang telah meninggal dunia.
Dalam hal meminta hak atas kerugian yang didapat oleh korban yang meinggal dunia maupun keluarga korban, pasal 178 menyebutkan apabila pesawat yang mengangkut korban hilang, maka akan dianggap seluruh penumpang dari pesawat tersebut telah meninggal dunia apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan,
maka keluarga korban baru dapat mengklaim setelah 3 bulan apabila sampai waktu 3 bulan tersebut belum ada kabar pasti dari pihak pengangkut.
Dalam kasus ini pesawat Lion Air JT-610 yang membawa 189 penumpang, tepatnya 178 dewasa, 8 awak pesawat, 2 orang bayi, dan seorang anak. Maka keluarga dari korban tersebut yang akan menjadi ahli waris dari pertanggung jawaban yang harus diberikan oleh pihak maskapai atau perusahaan dari maskapai tersebut. Peraturan yang mengatur mengenai asuransi yang diterima, yaitu Permenhub Nomor 77 tahun 2011 tidak menjelaskan pihak-pihak yang mendapatkan asuransi secara jelas, didalamnya hanya mengatur mengenai penumpang yang meninggal dunia maka ada mendapatkan santunan sebesar Rp.1.250.000.000 (Satu milliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang, sedangkan yang cacat setelah dinyatakan cacat tetap oleh dokter maka akan diberikan santunan sebesar Rp.1.250.000.000 (Satu milliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang, sedangkan yang mengalami luka ringan akan diberikan santunan sebesar Rp..200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per penumpang. Namun pada pasal 14 tidak dijelaskan siapa pihak ketiga tersebut apakah itu termasuk penumpang atau bukan, sehingga apabila disimpulkan bahwa 189 orang yang terdapat dalam pesawat Lion Air JT-610 akan diberikan santunan oleh asuransi dari maskapai tersebut sebesar Rp.1.250.000.000, hal ini dikarenakan UU No.1 tahun 2009 kita mengacu kepada Convention Chicago 1944 dan Permenhub kita belum mengacu kepada Montreal Convention 1999. Memang hak suatu negara menentukan peraturan internasional mana yang ingin dipakai, namun Montreal Convention sudah lebih memikirkan hak penumpang tersebut, sehingga perusahaan maskapai penerbangan lebih memperhatikan keselamatan kerja dan kelayakan pesawat tersebut untuk beroperasi sebelum akan dilakukannya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain.
Upaya hukum yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di atas juga dapat diterapkan atau digunakan oleh konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha penerbangan. Dalam praktik penerbangan komersil kerugian-kerugian yang dialami penumpang antara lain adanya
keterlambatan penerbangan (delay), kehilangan barang, dan adanya kecelakaan pesawat yang berakibat kematian atau luka-luka. Timbulnya kerugian-kerugian konsumen tersebut diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan pelaku usaha penerbangan dalam hal ini maskapai penerbangan.9
Setiap kecelakan penerbangan selalu menimbulkan kerugian bagi penumpang yang tentu saja melahirkan permasalah hukum, khususnya berkenaan dengan tanggung jawab.10 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen pasal 45 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam kata lain penyelesaian tersebut dapat diselesaikan melalui peradilan maupun diluar peradilan, Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penumpang juga mempunyai hak sebagai konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
-
III. PENUTUP
-
1. Pengaturan ganti kerugian di dunia Internasional yang serupa sudah diatur dalam Warsaw Convention 1929, Chicago Convention 1944, Montreal Convention 1999. Konvensi Warsaw dan Chicago adalah konvensi yang masih menjadi titik acuan dari peraturan-peraturan di Indonesia, sedangkan Konvensi Montreal 1999 sendiri telah Indonesia ratifikasi pada tahun 2016 dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2016, namun Indonesia belum mengamandemen undang-undang mengenai penerbangan yang apabila diperbaiki dapat lebih menguntungkan bagi penumpang karena apabila
Indonesia mengamandemen Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 mengenai penerbangan dengan mengacu pada Konvensi Montreal maka tiap penumpang akan mendapatkan Rp. 1.967.545.080.
-
2. Implementasi Konvensi Montreal 1999 dalam memberikan hak-hak penumpang lebih memberikan santunan yang lebih sepadan kepada korban. Konvensi Montreal tersebut lebih memberikan hak-hak penumpang karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengenai penerbangan yang mewajibkan maskapai memberikan santunan kepada korban sebesar Rp.1.250.000.000,- ( Satu milliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per korban sedangkan apabila peraturan Indonesia mengacu pada Konvensi Montreal maka setiap korban akan diberikan santunan sebesar Rp. 1.967.545.080,- (Satu milliar sembilan ratus enam puluh tujuh juta lima ratus empat puluh lima ribu delapan puluh perak) per korban.
-
1. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Montreal 1999 pada tahun 2016 dan sampai saat ini (2019) masih belum ada pembaharuan mengenai peraturan mengenai penerbangan, karena Konvensi Monreal lebih menguntungkan untuk pihak penumpang dan tugas dari pemerintah adalah melindungi hak-hak masyarakatnya sehingga lebih tercapai hak-hak dari masyarakat itu sendiri. Seharusnya pemerintah memperbaharui undang-undang tersebut sehingga Konvensi Montreal tersebut dapat diaplikasikan dalam undang-undang mengenai penerbangan.
-
2. Dalam pengaplikasiannya seharusnya peraturan undang-undang mengenai penerbangan tidak hanya menjadikan pengangkut sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Undang-undang penerbangan yang masih dipakai masih belum menjabarkan siapa saja pihak-pihak yang bertanggung jawab, dalam undang-undang tersebut hanya terdapat perusahaan pengangkut, dan pengguna jasa saja, tidak ada dalam undang-undang ini pertanggung jawaban dari pihak boeing itu sendiri, sehingga keluarga korban maupun perusahaan
yang merasa dirugikan tidak dapat menuntut tanggung jawab dari pihak pembuat pesawat tersebut dalam kata lain pihak boeing itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrasyid, Priyatna. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta : Pusat Penelitian Hukum Angkasa.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muhammad, Abdul Kadir. 1990. Hukum Perdata di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Kansil, C.S.T. 1995. Modul Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Fuady, Munir. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ishaq. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Subekti. R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya.
JURNAL :
Indra Suma Wijaya, Made, Ida Bagus Surya Dharmajaya, 2017, "Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga" Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, 5 April 2017, URL : https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/33212
Discussion and feedback