KEDUDUKAN HAK PEKERJA KETIKA PERUSAHAAN DINYATAKAN PAILIT*

Oleh :

Ni Putu Diah Anjeni Werdhi Wahari∗∗

I Wayan Novy Purwanto***

Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang upah dan hak pekerja yang pembayarannya diberikan hak istimewa yaitu didahulukan dari hak utang-utang lain dalam perusahaan. Namun dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur demikian, sehingga mengakibatkan hak pekerja untuk didahulukan pembayaran gaji dan hak-hak lain tidak memiliki kepastian hukum yang jelas. Masalah yang diangkat dalam penulisan ini yang pertama adalah bagaimanakah hak-hak pekerja yang di PHK akibat perusahaan yang mengalami pailit dan yang kedua yaitu bagaimanakah kedudukan hak pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengkaji dan memahami hak pekerja yang di PHK akibat perusahaan yang mengalami pailit dan kedudukan hak pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Metode dalam penelitian ini mempergunakan metode hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian

mengungkapakan bahwa adanya konflik norma yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai kedudukan gaji dan hak lain pekerja.

Kata Kunci : Pekerja, Perusahaan, Pailit

ABSTRACT

In Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, it regulates wages and rights of workers whose payments are given privileges, namely prioritization of other debt rights in the company. However, in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Delay of Obligations of Debt Payments does not regulate this, so that the right of workers to pay salaries and other rights precedence does not have clear legal certainty. The problem raised in this writing is the first is how the rights of workers who are laid off due to bankrupt companies and the second is how the position of workers' rights in the Manpower Law and Bankruptcy Law and Delaying Obligations of Debt Payment. This writing has the purpose to reviewing and understanding the rights of workers who were laid off due to companies that went bankrupt and the position of workers' rights in the Manpower Act and Bankruptcy Law and Delayed Obligations of Debt Payments. The method in this study uses normative legal methods using the statutory approach. The results of the study revealed that there was a conflict of norms contained in the Manpower Law with the Law on Bankruptcy and Delay of Obligations to Pay Debt regarding the position of salaries and other rights of workers.

Keywords: Workers, Company , Bankrupt

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Di zaman globalisasi seperti saat ini, keberadaan sebuah perusahaan semakin mengalami peningkatan. Hal ini pula menyebabkan daya saing antar perusahaan semakin meningkat, tak heran jika beberapa perusahaan bahkan perusahaan yang telah berdiri lama dan besar mengalami kerugian akibat tidak mampu bersaing dan akhirnya mengalami pailit. Pailit adalah posisi atau keadaan debitur tidak mampu membayarkan utangnya kepada para kreditur.1 Banyak faktor yang membuat suatu perusahaan mengalami pailit, salah satu faktornya adalah kesulitan kondisi keuangan yang mengalami kemunduran.2

Ketika sebuah perusahaan mengalami kemunduran maka akan timbulah masalah finansial yang dapat mengakibatkan perusahaan tidak bisa melakukan pemenuhan kewajiban untuk membayarkan utangnya. Perusahaan yang mengalami hal tersebut tidak hanya akan merugikan perusahaan itu sendiri, namun pihak lain akan terkena imbasnya yaitu misalnya pekerja di perusahan tersebut. Para pekerja akan terancam di putuskan hubungan kerjanya, yaitu pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha(PHK).3 Apabila pekerja mengalami PHK akibat perusahaan yang mengalami pailit maka pekerja berhak mendapat hak-hak mereka, hal ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 95 ayat (4) menjelaskan apabila sebuah perusahaan pailit upah dan hak-hak pekerja adalah utang yang pembayarannya

didahulukan. Secara tidak langsung pasal ini menyatakan bahwa pekerja memiliki hak previlege atau hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya. Namun kedudukan pekerja yang memiliki hak previlege yang didahulukan pembayaran utangnya dari hak utang lain tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pemabayaran Utang.

Adanya perbedaan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang sama-sama merupakan undang-undang khusus dan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepilitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memiliki kedudukan yang sama. Perbedaan pengaturan tersebut menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terhadap hak pekerja pada saat perusahaan dinyatakan pailit yang didahulukan pembayarannya dari hak utang lainnya.

Berlandaskan latar belakang yang telah dikemukakan dinilai relevan untuk melakukan suatu kajian terhadap kedudukan hak pekerja saat perusahaan dinyatakan pailit yang dituangkan ke dalam sebuah jurnal ilmiah yang berjudul “Kedudukan Hak Pekerja Ketika Perusahaan Dinyatakan Pailit”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berlandaskan latar belakang masalah diatas, dapat dikemukakan pemasalahan yang timbul dalam penulisan ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah  hak-hak pekerja yang di PHK akibat

perusahaan yang mengalami pailit?

  • 2.    Bagaimanakah  kedudukan hak  pekerja ditinjau dari

Undang-Undang Ketenagakaerjaan dan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tulisan  ini  bertujuan  untuk,  pertama adalah untuk

mengkaji hak-hak perkerja yang di PHK akibat perusahaan dinyatakan pailit. Kedua yaitu mengkaji dan memahami kedudukan  hak pekerja  ditinjau dari  Undang-Undang

Ketenagakaerjaan dan Undang-Undang Kepailitan dan Pembayaran Utang.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan adalah metode penelitian normatif. Penelitian normatif penelitan berlandaskan hukum kepustakaan atau didasarkan data sekunder.4 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer yaitu bersumber dari Undang Undang. Dan Bahan Hukum Sekunder yaitu buku-buku mengenai hukum dan jurnal hukum.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    2.2.1    Hak-Hak Pekerja Yang di PHK akibat Perusahaan Pailit

Hak timbul karena adanya suatu perjanjian, perjanjian merupakan sebuah hubungan hukum berkaitan dengan harta kekayaan dua orang atau yang memberi jaminan hak kepada satu pihak untuk dipenuhi prestasinya dan bagi pihak lain harus memenuhi prestasinya tersebut.5 Dalam pelaksanaan kewajiban itu terdapat unsur penting yaitu terkait tanggungjawab hukum atas pelaksanaan kewajiban dari pihak yang mempunyai kewajiban dan terkait pemenuhan kewajiban dari harta benda pihak yang mempunyai kewajiban dengan tidak memperhatikan siapa yang mempunyai kewajiban memenuhi kewajiban tesebut.6

Dalam menjalankan perusahaannya tentu perusahaan akan melakukan suatu perjanjian dengan pihak-pihak lain untuk memperlancar usahanya, salah satunya adalah dengan pekerja sebagai pihak yang membantu pengusaha yang didasari atas perjanjian ketenagakerjaan. Perjanjian kerja merupakan unsur pembentuk, sehingga tanpa perjanjian kerja maka tidak ada hubungan kerja.7 Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 1 angka 14 menyebutkan pada intinya yang dimaksud perjanjian kerja adalah perjanjian yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha dimana terdapat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap pihak. Perjanjian kerja menurut pandangan Hugh Collins adalah mencegah kesewenangan pengusaha terhadap tenaga kerja yang

dipekerjakan.8 Selain itu menurut Soepomo perjanjian kerja terjadi dimana pihak kesatu (pekerja) melakukan mengikatan diri untuk bekerja dengan memperoleh gaji dari pihak kedua yaitu majikan dan majikan melakuakan pengikatan diri untuk dipekerjakannya pekerja dengan memberikan gaji.9

Hak yang timbul bagi pekerja dalam perjanjian kerja salah satunya adalah hak untuk mendapat gaji, tunjangan dan hak lainnya atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja. Pembayaran gaji, tunjangan dan hak lainnya menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan. Ketika suatu perusahaan mengalami pailit yaitu keadaan debitur tidak memiliki kemampuan untuk membayar utangnya terhadap para kreditur yang berdampak pada pemutusan kerja atau PHK maka perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak para pekerja sesuai yang dinyatakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.10

Pekerja yang mengalami PHK akibat perusahaan pailit haknya berpedoman pada pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”, dari bunyi pasal tersebut jelas

dinyatakan bahwa gaji dan hak lainnya adalah utang yang didahulukan pembayarannya atau pekerja memiliki hak privilege.

Hak-hak lain pekerja diatur dalam pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan dalam terjadinyanya PHK pengusaha diwajibkan membayar uang penghargaan masa kerja atau uang pesangon dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam pasal 156 ayat (2) Undang Undang Ketenagakerjaan menyebutkan mengenai ketentuan-ketentuan masa kerja dengan jumlah pesangon yang diterima, dalam ketentuan ayat ini menyebutkan bahwa perhitungan pesangon sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit adalah masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun dan mendapatkan pesangon sebesar 1 (satu) bulan upah. Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan   mengenai   ketentuan-ketentuan   mengenai

perhitungan uang penghargaan masa kerja, dalam ayat ini menyebutkan bahwa pekerja yang di PHK memiliki hak menerima uang penghargaan dengan minimum masa kerja selama tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun dan uang penghargaan setara dengan upah dua bulan. Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan mengenai uang penggantian hak yang seharusny diterima, yang meliputi :

  • a.    cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

  • b.    biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja

  • c.    penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat

  • d.    hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

  • 2.2.2    Kedudukan Hak Pekerja Ditinjau Dari Undang-Undang Ketengakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan dan Pembayaran Utang

Dalam kepailitan baik pemegang hak jaminan ataupun hak previlege pada dasaranya mempunyai kedudukan yang sama, sesuai dengan prinsip paritas cretitorium.11 Namun prinsip pari passu prorate parte menyatakan kekayaan itu adalah jaminan bersama untuk semua pemegang hak dan pembagiannya harus secara proposional, kecuali berdasarkan undang-undang harus didahulukan pembayarannya.12

Pekerja sebagai salah satu pihak yang mempunyai hak untuk dibayar utang upahnya yang muncul karena perjanjian kerja memiliki hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya atau pekerja memiliki hak istimewa. Pekerja memiliki hak istimewa diatur Undang-Undang mengenai Ketenagerjaan dalam Pasal 95 ayat (4) yang intinya disebutkan perusahaan yang pailit atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak lain dari pekerja adalah utang yang didahulukan pembayarannya. Kedudukan hak pekerja yang dijamin dalam pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak lantas membuat kedudukan hak pekerja memiliki posisi hukum yang jelas.

Apa yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa pekerja yang memiliki hak istimewa kenyataanya dalam pembayaran utang upah atau hak-haknya seringkali ditempatkan

setelah pembayaran utang kepada hak tagih atas negara, kantor lelang, badan umum bentukan pemerintah dan utang lainnya yang memiliki hak jaminan. Hal ini terjadi karena Undang-Undang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang tidak memberikan pengaturan yang tegas mengenai posisi hak pekerja yang memiliki hak didahulukan pembayaran piutangnya dari utang-utang lain dalam perusahaan. Dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pasal 39 ayat (2) mengatur mengenai upah pekerja, dalam pasal ini menyatakan sejak pailit diucapkan upah yang terutang sebelum atau sesudah putusan diucapkan adalah utang harta pailit. Dilihat dari pasal tersebut jelas tidak mengatur bahwa utang upah pekerja didahulukan pembayarannya dan hanya merupakan utang harta pailit, sedangkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan jelas dikatakan upah pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Hal ini tentu menyebabkan permasalahan karena kedua undang undang itu ada keterkaitan yang kuat.

Selain itu kedudukan hak pekerja tidak mempunyai kedudukan yang jelas juga diakibatkan oleh ketentuan pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada intinya menyatakan bahwa setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dan Pasal 138 Undang-Undang Kepailitan dan Pembayaran Utang yang intinya menyatakan piutang yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi

dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.

Dari bunyi pasal tersebut tentu telah mengesampingkan hak pekerja karena tidak memberikan jaminan hukum yang adil bagi hak pekerja. Ketentuan dalam pasal itu telah mengesampingkan kedudukan hak pekerja yang memiliki hak didahulukan pembayaran utang upah dan hak-hak lainnya dan lebih mengutamkan pemegang hak jaminan. Adanya pertentang antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini tentunya berdampak pada kedudukan hak pekerja yang memiliki hak didahulukan pembayaran utang upah dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam Pasal 95 ayat (4), dimana kedudukan hak pekerja tidak memiliki kepastian hukum yang jelas.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Pekerja yang mengalami PHK akibat perusahaan pailit haknya berpedoman pada pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa dalam terjadinya pailit perusahaan wajib mendahulukan pembayaran upah dan hak-hak lain dari pekerja. Selain itu pekerja yang mengalami PHK akibat perusahaan pailit haknya juga diatur dalam dalam Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada intinya

menyebutkan bila terjadi PHK pengusaha diwajibkan membayar uang penghargaan masa kerja atau uang pesangon dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Kedudukan hak pekerja jika ditinjau dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah berdasrkan Pasal 95 ayat (4) Undang Undang Ketenagakerjaan jelas menyebutkan bahwa utang upah pekerja dan hak-hak lain didahulukan pembayarannya, yang artinya pekerja memilki hak previlege atau hak istimewa untuk didahulukan pembayaran utang upah dan hak-hak lain dari hak utang lain namun dalam Undang-Undang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur demikian, dalam pasal pasal 39 ayat (2) hanya menjelaskan bahwa utang upah pekerja merupakan utang harta pailit. Selain itu dalam pasal 55 dan pasal 138 Undang-Undang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga telah mengesampingkan kedudukan hak pekerja dan lebih mengetumakan pemegang hak jaminan. Perbedaan pengaturan menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap hak pekerja.

  • 3.2    Saran

Untuk menghindari benturan norma maka perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang agar kedudukan hak pekerja yang didahulukan pembayaran utang upah dan hak lainnya mempunyai kepastian hukum secara jelas dan tegas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Husni, Lalu, 2016, Pengantar Hukum  Ketenagakerjaan,

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ivida, D.A. Suci, 2016, Hukum Kepailitan Kedudukan dan Hak Kreditor Atas Benda Jaminan Debitor Pailit,  LaksBang

PRESSindo, Yogyakarta

Shubhan, Hadi, 2008, Hukum Kepailitan Prinisp, Norma dan Praktek di Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta.

Sjahdeini, Sutan, Remy, 2002, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.

Udiana, I Made, 2016, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial, Udayana Universty Press, Denpasar.

Udiana, I Made, 2018, Industrialisasi & Tanggungjawab Pengusaha Terhadap Tenaga Kerja Terlibat Hukum, Udayana Universty

Press, Denpasar.

Jurnal Ilmiah

Adeline Laureen Turangan,2018, Kedudukan Upah dan Hak-Hak Lain Pekerja Pada Perusahaan Pailit Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2-13, ALENTA Conference Series:  Local Wisdom, Social and Arts

,URL:https://talentaconfseries.usu.ac.id/lwsa/article/view/1 57/99,diakses pada tanggal 24 April 2019

Alfarizi, Hamif, Dimas, “Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Terhadap Karyawan Sebagai Kreditur Preferen Dalam Kepailitan”. Vol.5, No.6, 2016. Jurnal UNDIP, Semarang.

Sukrata,I,Wayan, 2017, Kedudukan Dan Hak Bank Terhadap Hak Preferen Upah Buruh Dalam Kepailitan, URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/36111/ 22071

Vista,Viani,Putu,2018, Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Tenaga Kerja Kontrak Sebelum Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu,URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemay a/article/view/38400

Peraturan Perundang-Undnagan

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

14