PENGENAAN PAJAK PENERANGAN JALAN TERHADAP KONSUMSI TENAGA LISTRIK YANG DIHASILKAN SENDIRI SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XV/2017
on
PENGENAAN PAJAK PENERANGAN JALAN TERHADAP KONSUMSI TENAGA LISTRIK YANG DIHASILKAN SENDIRI SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XV/2017
Oleh:
Gusti Ayu Putu Dela Werdi Absari∗ I Wayan Parsa**
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Ketersediaan energi listrik merupakan penunjang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan bertambahnya konsumen tenaga listrik yang dapat menyokong penerimaan Pajak Penerangan Jalan. Namun, pemungutan Pajak Penerangan Jalan ini dianggap merugikan para pengusaha. Oleh karenanya, pembuatan tulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai ruang lingkup obyek dari Pajak Penerangan Jalan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta pengenaan Pajak Penerangan Jalan terhadap konsumsi listrik yang dihasilkan sendiri setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017. Metode penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini yaitu metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan fakta. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil tulisan ini yaitu adanya kekaburan norma pada ketentuan mengenai Pajak Penerangan Jalan yang mengakibatkan terjadinya multitafsir karena dicampuradukannya kategori peruntukan dan sumber tenaga listrik, walaupun demikian pengenaan pajak terhadap konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri yang dalam hal ini merupakan obyek Pajak Penerangan Jalan memang dapat dilakukan selama diatur dalam undang-undang. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu perlu adanya rekonstruksi terhadap ketentuan Pajak Penerangan Jalan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah agar menjadi lebih relevan dan terciptanya kepastian hukum.
Kata Kunci: Pajak Penerangan Jalan, Konsumsi Tenaga Listrik, Putusan Mahkamah Konstitusi
ABSTRACT
The availability of electricity is a support to meet people’s needs. With the increase in concumer of electricity, it can help revenues in Street Lighting Tax. However, this collection of Street Lighting Tax is considered detrimental to enterpreneurs. Therefore the writing of this paper aims to answer the problems of the object scope of Street Lighting Tax in The Act Number 28 Year 2009 concerning Regional Taxes and Regional Retributions and the imposition of Street Lighting Tax on electricity consumption which is generated after the Decision of The Constitutional Court Number 80/PUU-XV/2017. The research method used in this
paper is a normative research method with a statue approach, an analytical legal conceptual approach, and a fact approach. The conclusions that can be drawn from the results of this paper are the vagueness the Street Lighting Tax to be multiple interpretations because of the mix of categories of allocation and source of electricity, however the imposition of taxes on electricity consumption generated by themselves, which is in this case is an object of Street Lighting Tax can indeed be carried out as long as it is regulated in statue. The suggestions that can be given are the need for reconstruction of the provisions of Street Lighting Tax in The Act Number 28 Year 2009 concerning Regional Taxes and Regional Retributions in order to relevant an the creation of legal certainty.
Keywords: Street Lighting Tax, The Consumption of Electricity, The Decision of The Constitutional Court
Di Indonesia, pajak merupakan bagian penting dalam hal pembangunan guna mensejahterakan rakyat dalam suatu negara. Pajak didefinisikan sebagai kewajiban yang dimiliki oleh seluruh rakyat kepada negara untuk membayar sejumlah iuran yang digunakan untuk melakukan pembangunan demi kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat, namun kontraprestasinya tidak didapat secara langsung.1 Disamping adanya pajak pusat yang pungutan dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak, sebagai konsekuensi dianutnya asas otonomi daerah maka daerah pun diberikan kewenangan tersebut di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Di era masyarakat modern ini, kebutuhan akan teknologi semakin meningkat, salah satu hal yang dapat menunjang hal tersebut yaitu dengan adanya sumber energi listrik. Sejalan dengan bertambahnya penggunaan listrik oleh masyarakat, maka hal tersebut dapat menyokong penerimaan Pajak Penerangan Jalan. Namun demikian, pemungutan terhadap Pajak Penerangan Jalan tersebut dalam kenyataannya tidak serta merta berjalan
dengan lancar. Dimana, masih banyak masalah yang terjadi di lapangan yakni mengenai obyek dari Pajak Penerangan Jalan, khususnya dalam hal pemungutan Pajak Penerangan Jalan terhadap konsumsi listrik yang dihasilkan sendiri. Hal tersebut dirasa cukup memberatkan wajib pajak dan subyek pajak yakni dalam hal ini para pengusaha yang membutuhkan konsumsi listrik yang cukup besar guna menunjang usahanya, namun tidak tercukupi oleh tenaga listrik yang dihasilkan oleh PLN. Oleh karenanya, perlu dilakukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1), dan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Penerangan Jalan.
Dengan demikian, dari uraian tersebut maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai obyek-obyek dari Pajak Penerangan Jalan. Oleh karenanya, dalam hal ini penulis mengangkat judul “Pengenaan Pajak Penerangan Jalan Terhadap Konsumsi Tenaga Listrik Yang Dihasilkan Sendiri Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017”.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
-
1. Apa sajakah ruang lingkup obyek Pajak Penerangan Jalan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?
-
2. Bagaimanakah pengenaan Pajak Penerangan Jalan terhadap konsumsi listrik yang dihasilkan sendiri setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
-
1. Untuk mengetahui ruang lingkup obyek Pajak Penerangan Jalan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
-
2. Untuk mengetahui pengenaan Pajak Penerangan Jalan
terhadap konsumsi listrik yang dihasilkan sendiri setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian hukum normatif dan didukung dengan bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), 55 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta bahan hukum sekunder. Kemudian, pendekatan yang dipergunakan dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan fakta.2
-
2.2 Hasil Dan Analisis Penelitian
-
2.2.1 Ruang Lingkup Obyek Pajak Penerangan Jalan Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
-
Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, pajak berperan sangat krusial dalam hal meningkatkan perekonomian suatu negara. Begitu halnya dengan adanya pajak daerah yang pemungutannya didasarkan atas adanya Peraturan Daerah, dimana pungutannya dapat dipaksakan kepada para wajib pajak hanya terbatas di wilayah administratifnya, yang kemudian hasil pungutan tersebut dipergunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.3
Salah satu pengenaan pajak yang ada di daerah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD) adalah Pajak Penerangan Jalan (selanjutnya disebut PPJ) yang dipergunakan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dalam hal pemasangan maupun pemeliharaan Penerangan Jalan Umum. Kemudian, ketentuan Pasal 1 angka 28 UU PDRD menjelaskan pengertian PPJ yang pada intinya merupakan pengenaan pajak atas adanya penggunaan atau konsumsi tenaga listrik, baik tenaga listrik yang dihasilkan sendiri maupun tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain. Berkaitan dengan hal itu, pada ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD, dijelaskan mengenai obyek dari PPJ, dimana sesungguhnya secara eksplisit sudah tertuang dalam definisi PPJ itu sendiri yang diberikan oleh UU PDRD. Adapun obyek pajak yang dimaksud yakni:
-
1. Penggunaan tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain. Adapun penggunaan (konsumsi) tenaga listrik dari sumber lain yang dimaksud disini adalah bahwa masyarakat sebagai konsumen listrik mendapatkan sumber listrik dari penyedia tenaga listrik negara yang dalam hal ini adalah Perusahaan Listrik Negara (yang selanjutnya disebut PLN). Dimana, pajak tetap dipungut oleh Pemerintah Daerah namun melalui PLN dalam bentuk kutipan pada rekening listrik.4
-
2. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri. Adapun penggunaan (konsumsi) tenaga listrik yang dihasilkan sendiri meliputi semua pembangkit listrik yang dibangun sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penggunaan seperti ini ditujukan kepada perusahaan-perusahaan di luar PLN yang memiliki dan mengoperasionalkan secara mandiri tenaga listrik tersebut. Misalnya saja konsumsi tenaga listrik di pusat perbelanjaan, di hotel-hotel, maupun di instalasi industri yang membutuhkan tenaga listrik dalam kapasitas yang cukup besar namun PLN tidak dapat memenuhinya.
Namun demikian, terdapat beberapa pengecualian dalam hal pengenaan PPJ, sebagaimana tertuang dalam Pasal 52 ayat (3) UU PDRD, seperti: konsumsi tenaga listrik oleh instansi pemerintah pusat serta pemerintah daerah, konsumsi tenaga listrik di tempat-tempat kedutaan, konsulat maupun perwakilan asing dengan asas timbal balik, konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri atau bukan berasal dari PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi terkait dan konsumsi tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.5
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UU PDRD, tarif PPJ paling tinggi sebesar 10%, tarif PPJ bagi konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan paling tinggi sebesar 3%, dan tarif PPJ bagi konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5%. Selanjutnya, ditentukan pula bahwa yang menjadi subyek PPJ dan wajib pajak PPJ adalah orang atau badan yang menggunakan tenaga listrik, ditambahkan pula wajib pajak lainnya yaitu penyedia tenaga listrik dalam hal tenaga listrik yang disediakan oleh sumber lain.
Menurut pendapat penulis dilihat dari pembahasan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD di atas terdapat ketidakserasian yang dapat menimbulkan kekaburan norma ataupun multitafsir dalam hal peristilahan PPJ dan terdapat pula kekaburan norma antara jenis pajak yang dimaksud dan obyek dari PPJ. Dimana, PPJ yang merupakan bagian dari jenis pajak obyektif menekankan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada obyeknya baik berupa peristiwa, keadaan ataupun perbuatan-perbuatan hukum yang menyebabkan adanya kewajiban untuk membayar pajak tanpa melihat keadaan diri Wajib Pajak.6
Jika menilik dari peristilahan “penerangan jalan” yang digunakan dalam PPJ, maka terlihat istilah tersebut mengarah kepada perbuatan-perbuatan yang bertujuan untuk menerangi jalan ataupun membuat jalan menjadi terang. Sehingga jika istilah tersebut diartikan secara demikian, maka PPJ yang diklasifikasikan kedalam jenis pajak obyektif dapat dikenakan bagi peristiwa-peristiwa penerangan jalan yang lazimnya menggunakan alat-alat elektronik yang bersumber dari tenaga listrik.
Selanjutnya, apabila istilah tersebut dikaitkan dengan frasa “penggunaan tenaga listrik” yang merupakan sub kalimat dari definisi PPJ, maka hal tersebut mengacu pada tindakan atau perbuatan orang pribadi atau badan untuk menggunakan listrik sebagai sumber energi untuk mengoperasikan alat-alat elektronik. Oleh karenanya pada frasa ini PPJ dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas dasar penggunaan tenaga listrik bagi penerangan jalan. Sehingga, dengan digunakannya frasa ini, secara jelas dapat dilihat bahwa PPJ merupakan jenis pajak obyektif yang merujuk pada kategori peruntukannya yaitu untuk kegiatan menerangi jalan.
Namun, dengan ditambahkannya frasa “baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain”, dibelakang frasa “penggunaan tenaga listrik”, yang mana dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak menjelaskan akan cakupan dari penggunaan tenaga listrik itu sendiri, sebaliknya dengan dituangkannya frasa tersebut justru membuat obyek PPJ menjadi semakin ambigu karena ditambahkannya ketentuan mengenai sumber tenaga listriknya. Dengan adanya obyek PPJ yang multitafsir tersebut, maka penulis menggunakan metode interpretasi hukum atau penafsiran hukum. Dimana jenis metode interpretasi hukum yang digunakan adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi sosiologis. Interpretasi gramatikal merupakan penafsiran yang bertujuan untuk mencari arti dari suatu peraturan menurut ketentuan kata-katanya.7 Dengan menggunakan interpretasi gramatikal ini, kekaburan norma terlihat pada frasa “penggunaan tenaga listrik” dan “baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain” yang menjadi obyek PPJ. Yang mana menurut pendapat penulis
ketentuan mengenai obyek PPJ ini terlihat mencampuradukkan antara kategori peruntukan atau penyediaan (alokasi) tenaga listrik dan kategori sumber atau penghasil tenaga listrik. Dengan demikian perlu adanya penekanan mengenai pengaturan obyek PPJ ini dilihat dari sisi peruntukan/penyediaan tenaga listrik ataukah dilihat dari sisi sumber tenaga listriknya.
Walaupun penggabungan kategori peruntukkan dan sumber tenaga listrik tersebut bukanlah suatu hal yang keliru jika dilihat dari perspektif konstitusi, namun dengan adanya ketentuan tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum bagi konsumen tenaga listrik yang berakibat tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945). Begitu pula dengan pemilihan peristilahan “penerangan jalan” sebagai penamaan pajak tidaklah sesuai dengan pengelompokkan jenis pajak obyektif, karena ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD menempatkan semua penggunaan tenaga listrik sebagai obyek PPJ, namun pada hakikatnya tidak semua tenaga listrik diperuntukkan untuk kepentingan penerangan jalan, PPJ ini juga sebenarnya dialokasikan untuk membiayai pembangunan daerah lainnya. Apalagi penggunaan peristilahan untuk pajak ini juga tidak sesuai dengan pola peristilahan pajak lainnya yang diatur dalam UU PDRD yang menggunakan nomenklatur sesuai obyek dari pajak tersebut, bukan alokasi dana yang diperoleh.
Kemudian, metode penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang bertujuan untuk mencari makna dari suatu peraturan yang disesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat.8 Menurut pendapat penulis menggunakan penafsiran sosiologis dapat dikaji bahwa peristilahan “penerangan jalan” dalam PPJ ini
dianggap tidak tepat untuk digunakan, karena hingga saat ini masyarakat masih rancu dengan peristilahan tersebut, bahkan sebagian besar tidak mengetahui bahwa konsumsi listrik yang mereka bayarkan dikenakan PPJ. Sebagian masyarakat juga berasumsi bahwa PPJ ini hanya dibayarkan oleh konsumen listrik PLN yang diperuntukkan untuk kepentingan penerangan jalan, walaupun sebenarnya PPJ ini juga dialokasikan untuk membiayai pembangunan daerah lainnya.9
-
2.2.2 Pengenaan Pajak Penerangan Jalan Terhadap Konsumsi Listrik Yang Dihasilkan Sendiri Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017
PPJ merupakan bagian dari pajak daerah kabupaten/kota. Dimana, peristilahan “penerangan jalan” dalam PPJ bukan hanya terkait dengan kepentingan untuk menerangi jalan saja, selain itu alokasi dana dari pajak ini juga digunakan demi kepentingan umum lainnya.
Dengan adanya kekaburan norma pada peristilahan PPJ yang diatur dalam UU PDRD, hal tersebut berakibat dengan diujinya UU PDRD ke Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) oleh pengusaha yang merasa keberatan akan pengenaan PPJ bagi konsumsi tenaga listrik yang diproduksi sendiri.10 Para pengusaha berpendapat bahwa pengenaan PPJ tersebut hanya membebani dunia usaha. Hal ini dikarenakan oleh keberadaan mesin generator atau genset milik pengusaha yang dijadikan
sumber tenaga listrik sebagai konsekuensi dari kurang mampunya PLN menyalurkan listrik yang mengakibatkan terhambatnya kinerja serta proses produksi.11 Dipertegas lagi, para pengusaha beranggapan bahwa seharusnya mereka diapresiasi karena ikut serta membuat sumber tenaga listrik yang tidak dapat terpenuhi oleh PLN yang notabenenya sebagai pemasok listrik negara.12
Mengenai hal tersebut, penulis berpendapat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang pada intinya mengatur mengenai kebolehan negara untuk melakukan pemungutan atas pajak maupun pungutan lain yang sifatnya memaksa asalkan diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain UUD NRI Tahun 1945 ini memberikan peluang bagi pemungutan PPJ bagi konsumsi listrik yang dihasilkan sendiri.
Kemudian, merujuk pada ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD mengenai obyek PPJ, maka dapat dikategorikan bahwa PPJ merupakan bagian dari pajak atas konsumsi atau concumption tax base. Adapun yang dimaksud pajak atas konsumsi yaitu pengenaan pajak atas pengeluaran yang diperuntukkan untuk konsumsi.13 Sehingga dalam hal ini, PPJ dapat ditempatkan sebagai pajak atas konsumsi listrik yang sebagian hasil penerimaannya dialokasikan untuk menyediakan penerangan jalan sebagaimana ketentuan Pasal 56 ayat (3) UU PDRD.
Pada dasarnya penerangan jalan dan penyediaan tenaga listrik merupakan bagian dari public goods. Dimana public goods ini merupakan barang yang memiliki sifat non-excludable
(konsumsi barang oleh seseorang, tidak akan membatasi konsumsi orang lain atas barang tersebut) dan bersifat non rivalry (konsumsi barang oleh seseorang, tidak akan mengurangi atau menurunkan konsumsi orang lain atas barang tersebut).14 Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penerangan jalan termasuk kedalam pure public goods yang mana sejalan dengan fungsi alokasi pemerintah yaitu peranan utama pemerintah dalam proses pengadaan penerangan jalan yang dapat dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat, berbeda dengan hal tersebut penyediaan tenaga listrik termasuk pada collective goods, yang mana masyarakat juga dapat menyediakan barang yang bersifat kolektif ini sendiri melalui voluntary action atau kesukarelaan dari masing-masing masyarakat. Namun untuk menghindari adanya free riders, maka pemerintah dapat memaksa atau memberikan kewajiban kepada masyarakat untuk memberikan kontribusinya. Dilihat dari kasus penyediaan dan penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan secara mandiri oleh para pengusaha, maka tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memintakan kontribusi berupa pengenaan pajak memang tidak dapat disalahkan, karena hal tersebut dilakukan demi menghindari free riders. Namun, yang menjadi tidak tepat dalam hal ini adalah peristilahan PPJ yang tidak relevan digunakan dalam hal pungutan terhadap konsumsi tenaga listrik.
Kemudian, terkait permohonan para pengusaha terhadap obyek PPJ mengenai konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri yang dianggap merugikan tersebut mendapatkan titik terang setelah dikeluarkannya putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017. Dimana PPJ lebih menekankan pada fungsi regulerent-
nya atau fungsi mengatur yaitu pajak memiliki fungsi sebagai alat untuk memperoleh tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan, seperti pada bidang budaya, politik, ekonomi, pertahanan keamanan. Misalnya, dalam melaksanakan perubahan terhadap tarif yang diberlakukan maupun memberikan pengecualian-pengecualian yang ditujukan terhadap masalah tertentu.15 Sehingga dalam penyediaan tenaga listrik yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu pembangkitan listrik yang tentunya memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan khususnya karena penggunaan fosil sebagai bahan bakar, maka diperlukan peran dan upaya pemerintah untuk mengendalikan dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut, karena seperti yang diketahui bahwa listrik memiliki manfaat yang penting dalam segi kehidupan. Langkah yang dapat diambil oleh pemerintah yaitu dengan melakukan pungutan pajak terhadap konsumsi listrik baik yang dihasilkan sendiri atau yang berasal dari PLN, selama diatur dalam Undang-Undang sebagaimana amanat dari ketentuan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945.
Namun, perlu ditekankan pada penggunaan peristilahan atau terminologi pajak bagi penggunaan atau konsumsi tenaga listrik perlu direkonstruksi agar menjadi lebih relevan atau lebih sesuai.16 Hal ini dilakukan untuk menghindari timbulnya kebingungan ataupun kerancuan oleh masyarakat sebagai wajib pajak dan subyek pajak. Sehingga, diperlukan pembentukan ketentuan baru mengenai pajak yang dikenakan terhadap penggunaan atau konsumsi tenaga listrik, khususnya dalam hal
penerangan jalan baik yang disediakan oleh PLN ataupun yang dihasilkan secara mandiri. Yang mana sesuai dengan perintah dari putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017, waktu yang diberikan untuk melakukan rekonstruksi terhadap ketentuan PPJ dalam UU PDRD yakni paling lama 3 tahun sejak adanya putusan ini.
Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:
-
1. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD mengenai definisi dan obyek PPJ, dapat dilihat adanya kekaburan norma yang mengakibatkan ketentuan mengenai PPJ tersebut menjadi multitafsir. Dimana terlihatnya pencampuradukan antara kategori peruntukan atau penyediaan (alokasi) tenaga listrik dan kategori sumber atau penghasil tenaga listrik. Walaupun dalam perspektif konstitusi, hal tersebut bukanlah sesuatu yang keliru, namun dengan adanya penggabungan antara kedua kategori tersebut menyebabkan adanya
ketidakpastian hukum yang hanya dapat menimbulkan kerancuan bagi pengguna atau konsumen tenaga listrik.
-
2. Ketentuan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 telah memberikan peluang untuk melakukan pungutan terhadap konsumsi listrik yang dihasilkan sendiri. Hal ini juga didukung dari adanya fungsi regulerent. Oleh karenanya setelah adanya putusan MK No. 80/PUU-XV/2017,
konsumsi tenaga listrik baik yang dihasilkan sendiri
maupun yang diperoleh dari PLN dapat dikenakan pajak selama terdapat undang-undang yang mengatur akan hal
tersebut, namun yang perlu ditekankan adalah penggunaan istilah “penerangan jalan” sebagai penamaan pajak terhadap konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri merupakan sesuatu yang tidak relevan.
Dari pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, penulis dapat memberikan saran yaitu sebagai berikut:
-
1. Kepada Pembentuk Undang-Undang sebaiknya segera mengganti peristilahan “penerangan jalan” sebagai nomenklatur suatu pajak atas konsumsi tenaga listrik. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan suatu kepastian hukum agar tidak terjadi lagi kerancuan dan kebingungan bagi konsumen tenaga listrik yang mana mereka dikenakan pajak untuk suatu konsumsi tenaga listrik yang mereka tidak lakukan yaitu dalam hal ini penerangan jalan.
-
2. Kepada Pembentuk Undang-Undang sebaiknya segera menindaklanjuti Putusan MK No. 80/PUU-XV/2017 dengan merekonstruksi atau merevisi UU PDRD yang berkaitan dengan PPJ.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anggoro, Damas Dwi, 2017, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UB Press, Malang.
Judisseno, Rimsky K., 2005, Pajak dan Strategi Bisnis Suatu
Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Marsyahrul, Tony, 2005, Pengantar Perpajakan, Grasindo, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Pohan, 2016, Chairil Anwar, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim, dan Dyah R. Panuju, 2018, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Sugianto, 2008, Pajak dan Retribusi Daerah (Pengelolaan Pemerintah Daerah Dalam Aspek Keuangan, Pajak, Dan
Retribusi Daerah, Grasindo, Jakarta.
Supramono dan Theresia Woro Damayanti, 2010, Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan Perhitungan, CV. Andi Offset (Penerbit Andi), Yogyakarta.
JURNAL
Juanda, H. Enju, 2016, “Konstruksi Hukum dan Metode Interpretasi Hukum”, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Volume 4 No. 2, September 2016.
Ramadhan, Aswin Wahyu, Imam Suyadi, dan Ahmad Husaini, 2016, “Potensi Pajak Penerangan Jalan dan Kontribusinya Pada Pajak Daerah Kota Malang Periode 2011-2013, Jurnal Perpajakan (JEJAK), Vol. 8 No. 1.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).
Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), 55 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
INTERNET
Anonim, “Pajak Penerangan Jalan Dipersoalkan, UU Pajak Daerah Digugat”, URL: http://www.hallo.id/article/pajak-
penerangan-jalan-dipersoalkan-uu-pajak-daerah-digugat, Hallo.id, diakses tanggal 13 Maret 2019.
Basari, M. Taufikul, 2017, “Keberatan Soal Pajak Penerangan Jalan, APINDO Gugat ke MK”, Bisnis.com, URL: https://m.bisnis.com/amp/read/20171018/16/700478/ke beratan-soal-pajak-penerangan-jalan-apindo-gugat-ke-mk, diakses tanggal 13 Maret 2019.
Prakasa, Ryan A., 2017, “Ternyata Pajak Penerangan Jalan dari Pelanggan PLN Digunakan Pemerintah Untuk Hal Lain”, Bangkapos,URL: http://bangka.tribunnews.com/amp/2017/01/24/ternyata-pajak-penerangan-jalan-dari-pelanggan-pln-digunakan-pemerintah-untuk-hal-lain, diakses tanggal 13 Maret 2019.
Retno, Dewi, 2003, “Pengusaha Keluhkan Pajak Listrik Non-PLN”, Tempo.co,URL: https://bisnis.tempo.co/amp/22868/pengusaha-keluhkan-pajak-listrik-non-pln, diakses tanggal 13 Maret 2019.
Saragih, Samdyasara, 2018, “MK: Bila Terminologi Tidak Direvisi, Pajak Penerangan Jalan Berlaku 3 Tahun Lagi”, Bisnis.com, URL: https://m.bisnis.com/kabar24/read/20181213/15/869359 /mk-bila-terminologi-tidak-direvisi-pajak-penerangan-jalan-berlaku-3-tahun-lagi, diakses 13 Maret 2019.
17
Discussion and feedback