PENGAWASAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP YOUTUBERS SEBAGAI PELAKU INFLUENCER DI PLATFORM MEDIA SOSIAL YOUTUBE

Oleh:

Ni Putu Suci Vikansari

I Wayan Parsa∗∗

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Youtube merupakan sebuah platform media sosial masa kini yang dapat memberikan penghasilan bagi pengguna yang serius menjadikan youtube sebagai pekerjaan dengan perhitungan cost per miles (CPM). Dengan fakta seperti ini, Pemerintah Indonesia memanfaatkan peluang untuk mengenakan pajak terhadap youtubers. Permasalahan dalam jurnal ilmiah ini memiliki tujuan untuk mengetahui proses pengawasan pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap youtubers serta kendala yang dihadapi youtubers dalam membayar pajak. Adapun metode penulisan menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, pendekatan analisis dan pendekatan konseptual.

Kesimpulan dari penulisan ini adalah proses pengawasan dengan social network analytics system belum terlaksana, petugas pajak masih memantau secara manual setiap aktivitas youtubers sehingga bukan tidak mungkin akan ada youtubers yang belum teridentifikasi karena keterbatasan manusia. Undang-undang perpajakan yang ada saat ini belum mampu mengakomodir secara maksimal pengenaan pajak bagi youtubers. Penghitungan besarnya pajak terutang berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 terdapat kekaburan norma sehingga belum terciptanya kepastian hukum terkait kejelasan penggolongan kategori terhadap youtubers serta sulit untuk melakukan penghitungan besarnya pajak youtubers mengingat besaran penghasilannya terlalu abstrak dan tidak terstruktur dimana sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan cost per miles (CPM).

Kata Kunci: Youtube, Pajak Penghasilan, Social Network

Analytics System

Penulis pertama adalah Ni Putu Suci Vikansari, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi: vikansaris@gmail.com.

∗∗ Penulis kedua adalah I Wayan Parsa, Pembimbing akademik dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi: wayan.parsa@yahoo.co.id.

ABSTRACT

Youtube is a social media platform today that can provide income for serious users to make youtube a job by calculating cost per mile (CPM). With this fact, the Government of Indonesia takes advantage of the opportunity to impose taxes on Youtubers. The problem in this scientific journal has the purpose of knowing the process of monitoring the imposition of income tax (PPh) on Youtubers and the obstacles faced by Youtubers in paying taxes. The writing method uses a type of normative research method with a legal approach and a factual approach and analyis.

The conclusion of this paper is that the monitoring process with the social network analytics system has not been implemented, tax officials still monitor each Youtubers activity so it is not impossible that there will be Youtubers who have not been identified due to human limitations. The current tax law has not been able to accommodate maximally taxation for Youtubers. Calculation of the amount of tax payable based on the Regulation of the Director General of Tax Number PER-17/PJ/2015 there is a vagueness of norms so that legal certainty has not been created related to the clarity of categories of categories against Youtubers and difficult to calculate the amount of tax Youtubers considering the income is too abstract and unstructured at any time may change according to cost per mile (CPM).

Keywords: Youtube, Income Tax, Social Network Analytics System

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

Saat ini, dunia secara global sedang menghadapi pesatnya kemajuan perkembangan teknologi informasi. Setidaknya terdapat dua teknologi dibidang komunikasi yang berkembang sangat pesat yakni adanya telepon seluler (smartphone) dan komputer, yang hampir digunakan oleh setiap orang di berbagai belahan dunia dalam mempermudah aktivitasnya sehari-hari.1 Hal ini kemudian diikuti dengan hadirnya jaringan internet yang memudahkan setiap orang untuk mengakses informasi dan hiburan. Salah satu

platform media sosial yang dapat diakses untuk kepentingan baik mencari informasi maupun hiburan adalah youtube. Youtube merupakan sebuah platform media sosial untuk berbagi video yang didirikan pada 14 Februari 2005 oleh 3 (tiga) orang mantan karyawan PayPal yakni Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim yang kemudian pada bulan November 2006, Youtube LLC dibeli oleh perusahaan google sehingga Youtube LLC resmi menjadi anak perusahaan google sampai saat ini. Youtube memungkinkan para penggunanya untuk mengunggah foto, berbagi video, maupun hanya sekedar menonton video.

Pengguna youtube khususnya sebagai pelaku youtubers (sebutan untuk seseorang yang telah terkenal di youtube dengan jutaan subcriber) menerima keuntungan dari unggahan-unggahan video berupa pemberian sejumlah uang dari pihak youtube yang dihitung berdasarkan CPM (cost per miles). Artinya, perhitungan uang setiap seribu kali penanyangan. Nilai CPM beraneka ragam tergantung lokasi geografis dan kesesuaian tema video dengan jenis iklan. Tidak hanya mendapatkan keuntungan dari banyaknya views saja, tetapi dapat juga melalui brands deals dan penjualan marchandise. Oleh sebab itu, selain tempat untuk mencari popularitas, secara tidak sengaja youtube juga dewasa ini dijadikan sebagai lahan untuk mencari penghasilan tambahan.

Dengan adanya fakta seperti ini, Pemerintah Indonesia segera memanfaatkan peluang untuk meningkatkan pemasukan negara melalui pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap pengguna youtube yang telah mendapatkan penghasilan melalui youtube maupun yang sudah menjadikan youtube sebagai pekerjaan utama.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana proses pengawasan pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap youtubers?

  • 2.    Apa kendala yang dihadapi youtubers dalam mengupayakan pembayaran pajak?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini sebagai berikut:

  • 1.    Untuk mengetahui proses pengawasan pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap youtubers.

  • 2.    Untuk mengetahui kendala yang dihadapi youtubers dalam mengupayakan pembayaran pajak.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam pembuatan jurnal ini yaitu metode penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis, pendekatan fakta dan pendekatan konseptual.2

  • 2.2    Hasil dan Analisis Penelitian

    2.2.1    Proses pengawasan Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Terhadap Youtubers

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan hampir diseluruh negara kecuali beberapa negara yang memang telah memiliki kekayaan berupa sumber

daya alam yang melimpah, sehingga negara tersebut tidak mengenakan pajak.3 Dalam hal negara yang menjadikan pajak sebagai sumber utama keuangan negara tidak melakukan pemungutan pajak maka, negara akan sulit melaksanakan pembangunan infrastruktur.4 Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Salah satu jenis pajak yang berperan penting dalam meningkatkan penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana dirubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya di sebut UU PPH), pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi maupun perseorangan dan badan yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.

Selanjutnya, secara tegas dalam Pasal 2 tertuang mengenai yang menjadi subyek pajak ialah:

  • 1.    a. orang pribadi;

  • b. warisan yang belum terbagi menjadi suatu kesatuan yang menggantikan yang berhak;

  • 2.    badan; dan

  • 3.    bentuk usaha tetap.

Kemudian Pasal 4 ayat (1) secara eksplisit menyatakan bahwa obyek dari pajak penghasilan (PPh) adalah penghasilan, yakni setiap tambahan penghasilan yang didapatkan oleh si wajib pajak baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat dipakai untuk meningkatkan kekayaan si wajib pajak yang bersangkutan,dengan nama dan dalam bentuk apapun. Bersangkutan dengan pasal tersebut, termasuk salah satunya hadiah dari undian maupun pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan (tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b). Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat bahwa pajak penghasilan di Negara Indonesia menerapkan prinsip worldwide income, artinya objek pajak penghasilan yang didapat dari dalam maupun luar negeri.5

Lebih lanjut, youtubers tersebut dapat dikenakan Pasal 21 UU PPH, hal ini karena telah sesuai dengan kriteria yang di tentukan dalam pasal tersebut. Dengan demikian, seorang youtubers yang telah memiliki penghasilan yang dimana didapat dari hadiah banyaknya viewers video dan apabila youtubers tersebut memenuhi kriteria dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikenakan pajak penghasilan yang diperuntukkan untuk menambah penerimaan negara.

Proses pengawasan pengenaan pajak penghasilan terhadap youtubers, Direktorat Jendral Pajak telah memiliki inovasi yang mengikuti perkembangan teknologi dengan mengeluarkan social network analytics system (SONETA). Inovasi dengan nama SONETA ini digunakan untuk mengawasi setiap pergerakan aktivitas para influencer seperti youtubers maupun selebgram yang mempromosikan produk, memamerkan harta kekayaan di media

sosial maupun memiliki penghasilan di platform media sosial tertentu.6 Akan tetapi, faktanya sampai saat ini petugas pajak masih memantau secara manual yang artinya para petugas pajak secara pribadi langsung mengawasi setiap aktivitas para influencer baik selebgram maupun youtubers melalui instagram maupun channel youtube, hal ini sesuai pernyataan yang disampaikan oleh Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jendral Pajak, Kementrian Keuangan.7 Kemudian, Iwan Djuniardi selaku Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi menyatakan bahwa social network analytics system (SONETA) masih belum terintegrasi maksimal sehingga baru dilakukan di masing-masing unit atau KPP.

Menurut pendapat penulis, dengan belum terlaksana social network analytics system (SONETA) secara tersistem maupun terintegrasi serta masih menggunakannya pengawasan secara manual dimana kita ketahui manusia memiliki keterbatasan bukan tidak mungkin banyak influencer-influencer baru baik di youtube maupun di instagram yang tidak teridentifikasi sehingga dapat memberi peluang untuk tidak membayar pajak penghasilan. Kemudian, ketentuan hukum mengenai pajak dewasa ini belum cukup mampu secara optimal untuk menjangkau keseluruhan influencer seperti youtubers dan selebgram maupun pekerjaan yang merangkap menjadi artis. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus segera mengintegrasikan social network anaylitcs system (SONETA) secara serempak serta terus berusaha menemukan

formulasi yang tepat untuk pengenaan pajak bagi para influencer mengingat perkembangan youtubers - youtubers baru di Indonesia sangat pesat.

Pengawasan pengenaan pajak juga berkaitan dalam hal pengawasan terhadap penggolongan pengenaan norma pajak youtubers. Perhitungan pajak terhadap youtubers dapat merujuk pada Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto. Berdasarkan Lampiran I peraturan Dirjen Pajak tersebut, penghasilan pajak youtubers dapat masuk ke dalam dua kategori yakni:

  • 1.    Kegiatan hiburan, seni, dan aktivitas lainnya memiliki besaran norma yakni 35%.

  • 2.    Pekerja seni memiliki besaran norma 50%.

Penggolongan kategori terhadap youtubers tergantung kepada hasil penilaian profesi oleh Kantor Pelayanan Pajak. Menurut pendapat penulis, penilian yang demikian dapat memberi peluang kepada petugas pajak untuk menilai secara subyektif tidak obyektif sehingga akan menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang jelas terhadap kategori pengenaan pajak terhadap youtubers berdasarkan norma perhitungan penghasilan neto.

Menurut pendapat penulis peraturan tersebut memiliki kekaburan norma, untuk itu penulis melakukan interpretasi. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo menyatakan bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode rechtsvinding atau penemuan hukum yang nantinya dapat memberi suatu pemahaman secara jelas mengenai peraturan hukum agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam penulisan jurnal ini, penulis menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi sosiologis. Metode interpretasi gramatikal dimaksudkan untuk mengetahui

makna yang sebenarnya dari kata maupun susunan kata dalam suatu norma hukum. Dengan menggunakan metode ini, penulis menemukan kekaburan dalam kata “kegiatan hiburan, seni, dan aktivitas lainnya” serta “pekerja seni” apabila dikaitkan dengan profesi youtubers. Apakah seorang youtubers dapat dikategorikan sebagai pelaku yang melakukan suatu kegiatan hiburan/seni di platform media sosial ataukah seorang youtubers dikategorikan sebagai pekerja seni. Tidak adanya batasan yang jelas antara pelaku kegiatan hiburan/seni dengan pekerja seni sehingga menimbulkan kekaburan norma oleh karenanya, diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai kategori yang dimaksud. Di lain hal, menggunakan metode interpretasi sosiologis yakni melakukan suatu penafsiran dengan melihat kenyataan dilapangan sehingga dapat mengikuti perkembangan, disini berarti peraturan hukum yang lama dibuat aktual. Melihat situasi dan kondisi saat ini, bukan tidak mungkin dewasa ini seorang youtubers dapat juga menjadi selebgram dan merangkap menjadi seorang artis. Apabila hal demikian terjadi, sudah seharusnya petugas pajak di unit atau KPP di seluruh Indonesia memiliki pemikiran seragam didasarkan atas kepastian hukum terkait kejelasan penggolongan kategori terhadap youtubers maupun youtubers yang merangkap menjadi artis sehingga tercipta keadilan dalam hal perhitungan tarif pajak.

Selanjutnya, pengawasan pengenaan pajak terhadap youtubers berkaitan pula dengan pengawasan dalam hal pemungutan pajak penghasilan tersebut, Negara Indonesia menganut self assesment system yang dapat dilihat pada Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Sistem ini merupakan suatu sistem untuk memungut pajak

dengan memberikan kewenangan penuh kepada para wajib pajak untuk melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan besarnya utang pajak.8 Artinya disini, seorang pemungut pajak (fiskus) tidak ikut campur dalam menentukan besarnya pajak terutang seorang wajib pajak yang dalam hal ini adalah seorang youtubers.

Menurut pendapat penulis, pengawasan dalam hal pemungutan pajak penghasilan menggunakan sistem seperti ini dapat memberi peluang kepada pihak youtubers untuk melaporkan pelaporan penghasilan secara tidak jujur, dikarekan tidak ada yang mengetahui secara riil nominal penghasilan yang didapat selain youtubers itu sendiri karena, besaran penghasilannya terlalu abstrak serta tidak terstruktur dimana sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan cost per miles (CPM), sehingga sistem seperti ini haruslah di dukung dengan itikad baik wajib pajak untuk jujur dan terbuka terhadap penyelenggaraan pembukuan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.9

  • 2.2.2 Kendala Yang Dihadapi Youtubers dalam Mengupayakan Pembayaran Pajak

Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang gencar mengupayakan untuk menambah pemasukan keuangan negara melalui penerapan pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap influencer salah satunya youtubers. Tidak hanya Pemerintah Indonesia yang masih memiliki kendala untuk menemukan formulasi-formulasi yang tepat terkait pengenaan pajak bagi para influencers (seperti selebgram dan youtubers), seorang youtubers

juga mengalami kendala-kendala dalam mengupayakan pembayaran pajak.

Dilansir dari media online, Brian (nama samaran pemilik channel youtube dengan 94ribu subcribers) mengatakan bahwa: “kewajiban pajak belum disadari sepenuhnya oleh para youtubers, bukan dikarenakan tidak mau melapor dan membayar pajak, akan tetapi dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang mekanisme penghitungan pajak”.10

Menurut pendapat penulis melalui pernyataan tersebut bahwa kendala yang dihadapi oleh youtubers adalah kurangnya sosialisasi Pemerintah khususnya Direktorat Jendral Pajak kepada para influencers terkait bagaimana mekanisme perhitungan besarnya pajak terutang dan tata cara perpajakan mengingat Negara Indonesia sejak Tahun 1984 menganut self assessment system sehingga kurangnya pengetahuan tentang tata cara perpajakan ditambah dengan penggunaan sistem seperti ini makin menyebabkan para influercers kurang patuh dan mengesampingkan pembayaran pajak.

Untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dikalangan influencer terutama youtubers dapat dilakukan upaya melalui peningkatan kualitas pelayanan pajak. Pelayanan yang berkualitas diharapkan mampu memberikan rasa keamanan, kenyamanan, kemudahan dan kelancaran serta kepastian hukum. Sehingga, apabila pelayanan perpajakan sudah terletak pada standar dan dapat memberikan rasa kepuasan terhadap pelanggan (dalam hal ini youtubers) dapat dipastikan para youtubers sebagai wajib pajak akan patuh membayar pajak.

Para youtubers dapat dikategorikan patuh sebagai wajib pajak didasarkan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, apabila:11

  • 1.    Seorang youtubers memberikan surat pemberitahuan (seluruh jenis pajak) tepat pada waktunya selama rentang waktu dua tahun terakhir;

  • 2.    Seorang youtubers tidak memiliki utang pajak (seluruh jenis pajak) terkecuali yang telah memperoleh ijin untuk menunda maupun mencicil pembayaran pajak;

  • 3.    Seorang youtubers tidak memiliki catatan hukum sebagai pelaku tindak pidana di bidang perpajakan dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir;

  • 4.    Seorang youtubers menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku serta terhadap wajib pajak yang pernah dilakukan perbaikan pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terhutang maksimal 5%;

  • 5.    Laporan milik seorang youtubers selama dua tahun terakhir diperiksa oleh seorang akuntan publik dengan nasihat yang wajar tanpa adanya pembebasan sepanjang hal tersebut tidak berdampak kepada laba rugi fiskal. Laporan pemeriksaan tersebut haruslah tersusun dalam long form report atau laporan dalam bentuk panjang. Sedangkan, untuk seorang youtubers sebagai wajib pajak yang laporannya tidak diperiksa oleh seorang akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan huruf a, b, c, dan d diatas.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1  Kesimpulan

  • 1.    Proses pengawasan dengan social network analytics system belum terlaksana, petugas pajak masih secara manual memantau setiap aktivitas youtubers sehingga bukan tidak mungkin akan ada youtubers yang belum teridentifikasi karena keterbatasan manusia. Sehubungan dengan itu, terdapat kekaburan norma dalam Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto, yang dikaitkan dengan penggolongan pengenaan besaran norma pajak bagi youtubers serta sulit untuk melakukan penghitungan besarnya    pajak    youtubers    mengingat    besaran

penghasilannya terlalu abstrak dan tidak terstruktur dimana sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan cost per miles (CPM).

  • 2.    Kendala yang dihadapi youtubers yakni kurangnya pengetahuan tentang tata cara perpajakan serta mekanisme penghitungan pajak.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya segera melaksanakan pengawasan dengan social network analytics system secara terintegrasi dan secara tersistem serentak di seluruh Indonesia.

  • 2.    Pemerintah Indonesia sebaiknya segera melakukan sosialisasi kepada youtubers     serta melakukan

peningkatan pelayanan di bidang pajak untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak oleh para influencer seperti youtubers.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Barata, Atep Adya, 2011, Panduan Lengkap Pajak Penghasilan, Transmedia Pustaka, Jakarta.

Ilyas, Wirawan Bermawi dan Richard Burton, 2013, Hukum Pajak: Teori, Analisis, dan Perkembangannya, Salemba Empat, Jakarta.

Kasiyanto Kasemin, 2015, Agresi Perkembangan Teknologi Informasi (Sebuah Bunga Rampai Hasil Pengkajian dan Pengembangan Penelitian Tentang Perkembangan Teknologi Informasi), Kencana, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Pandiangan, Liberti, 2007, Moderenisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan UU Terbaru dalam Rayendra L. Touran (ed.), PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2011, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta.

Waluyo, 2008, Akuntansi Pajak, Salemba Empat, Jakarta.

JURNAL ILMIAH

Supadmi, Ni Luh, 2009, “Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak

Melalui Kualitas Pelayanan”, Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Bisnis.

INTERNET

Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, 2019, “Selebgram Sudah (Seharusnya) Bayar Pajak”, tersedia di URL:     http://www.pajak.go.id/article/selebgram-sudah-

seharusnya-bayar-pajak, diakses tanggal 22 Februari 2019.

Layanan Perpajakan dan Layanan Akuntansi IndoPajak, “Pemantau Pajak Selebgram dan Youtubers”, tersedia di URL: https://indopajak.id/pemantau-pajak-selebgram-dan-youtubers/, diakses tanggal 22 Februari 2019.

Solechah, Ika Nur, 2017, “Begini Cara Menghitung Penghasilan

Youtube,            tersedia           di           URL:

http://internetmarketing.co.id/cara-menghitung-penghasilan-youtube, diakses tanggal 22 Februari 2019.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893).

Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto.

15