PERMASALAHAN FRASA “MENARUH SAMPAH” DALAM PASAL 3 AYAT (1) PERATURAN WALIKOTA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN DAN PEMBUANGAN SAMPAH DI KOTA DENPASAR

Oleh:

Desak Putu Eka Srinadi* Made Nurmawati, SH., MH** Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pada Pasal 3 ayat (1) Perwali No. 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pembuangan Sampah di Kota Denpasar mengandung kekaburan frasa “menaruh sampah”. Adanya multitafsir dalam Perwali ini akan mengakibatkan inkonsisten dalam peraturan sampah sehingga akan terjadinya pertentangan norma.Oleh sebab itu, perlu ketegasan dari Pemerintah Kota Denpasar untuk merevisi Perwali tersebut guna mewujudkan kepastian hukum. Permasalahan yang diuraikan di dalam jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana permasalahan terkait frasa “menaruh sampah” dalam Pasal 3 ayat (1) serta dampak yang muncul jika adanya peraturan yang multitafsir. Metode yang digunakan dalam artikel ini yaitu metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun hasil dan pembahasannya yaitu frasa “menaruh sampah” dalam Pasal 3 ayat (1) lebih tepat diganti dengan frasa “membuang sampah” untuk mencegah kekaburan norma dan akibat yang timbul dari peraturan yang multitafsir adalah adanya ketidak sesuaian atau kontradiktif antara aturan-aturan hukum yang berlaku sehingga memunculkan kebingungan bagi masyarakat.

Kata Kunci: Sampah, Pengelolaan, Aturan

ABSTRACT

In Article 3 paragraph (1) Mayor Regulation Number 11 of 2016 concerning Procedures for Management and Disposal of Garbage in Denpasar City uses the vagueness of the phrase “put garbage”. The existence of multiple interpretations in the Mayor Regulations will result in inconsistencies in waste regulations so that there will be a norm conflict.Therefore, the firmness of the Denpasar City Government needs to be revised to revise the Regulation to realize legal certainty.The problem described in this scientific journal aims to find out how the problems related to the phrase "put garbage" in Article 3 paragraph (1) and the impact that arises if there are multiple interpretive regulations. The method used in this article is a normative juridical method with a regulatory approach and uses primary, secondary and tertiary legal materials.The results and discussion of the phrase "put rubbish" in Article 3 paragraph (1) is more appropriate to be replaced with the phrase "throwing garbage" to prevent the obscurity of norms and the consequences that arise from multiple interpretations is the incompatibility or contradiction between legal rules applies so as to create confusion for the community.

Keywords: Garbage, Management, Rules

I.


PENDAHULUAN


  • 1.1.    Latar Belakang

Perkembangan dan pembangunan pariwisata yang ada di Indonesia saat ini secara otomatis meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat yang secara otomatis meningkatkan kebutuhan manusia akankebutuhan sandang, pangan dan papan pada umumnya. Dengan meningkatnya kebutuhan tersebut, secara otomatis meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat di Provinsi Bali. Tetapi di sisi lain dengan peningkatan akan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang menjadi tolak ukur dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari tersebut menyebabkan munculnya persoalan negatif yang menjadi objek dalam kehidupan masyarakat yaitu terkait dengan permasalahan lingkungan.

Provinsi Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang berlandaskan ajaran Tri Hita Karana yang berarti bahwa dalam kehidupan harus terdapat keseimbangan antara pencipta, manusia dan juga alam lingkungannya. Dengan demikian implementasi dari asas tersebut yaitu mengamanatkan terwujudnya rasa aman, tenteram, tertib dan nyaman dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari.

Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat salah satu persoalan yang dihadapi yang bersifat urgent sampai saat ini di Provinsi Bali, khususnya di Kota Denpasar yaitu permasalahan terkait sampah yang menyebabkan terganggunya ketertiban umum menyebabkan wabah penyakit dan pencemaran lingkungan di Kota Denpasar akibat tumpukan-tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Semakin lama, tindakan oleh umat manusia ini semakin tidak terkendali yang menyebabkan terjadinya dampak negatif akibat dari kerusakan lingkungan seperti banjir dan terutama terjadinya penumpukan sampah yang hampir merata di setiap wilayah yang sangat mengkhawatirkan1.

Penyebab utama terjadinya permasalahan sampah yang hingga kini menjadi persoalan yaitu kurangnya kesadaran dari masyarakat terkait pentingnya mengolah sampah. Banyak masyarakat yang belum menyadari tentang dampak yang akan terjadi dikemudian hari terkait dengan sampah tersebut. Jika beranjak dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang tidak membuang sampah pada tempatnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah Kota Denpasar menerapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Sampah di Kota Denpasar (selanjutnya disebut Perda Nomor 3 Tahun 2015). Sebagai aturan pelaksana dari Perda Nomor 3 tahun 2015 tersebut, maka Pemerintah Kota Denpasar mengundangkan Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pembuangan Sampah di Kota Denpasar (selanjutnya disebut Perwali No. 11 Tahun 2016).

Dengan diundangkannya Peraturan Walikota ini, diharapkan masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sampah dan menyadari pentingnya pengelolaan sampah sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran yang diakibatkan oleh sampah di

Kota Denpasar.Namun dalam hal ini, terdapat kekaburan norma di salah satu pasal di dalam Perwali Nomor 11 Tahun 2015 yaitu di dalam Pasal 3 ayat (1) terdapat frasa “menaruh sampah” sehingga menimbulkan pemaknaan yang bersifat multitafsir. Sehingga dengan penulisan jurnal ini akan dibahas lebih lanjut terkait kekaburan norma di salah satu pasal di dalam Perwali Nomor 11 Tahun 2016 serta bagaimana dampak dari adanya peraturan yang multitafsir tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik berdasarkan uraian latar belakang tersebut yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah permasalahan terkait kekaburan frasa menaruh sampah di dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016tersebut?

  • 2.    Bagaimanakah dampak dari adanya rumusan peraturan yang multitafsir?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui bagaimanakah permasalahan terkait kekaburan frasa menaruh sampah di dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016.

  • 2.    Untuk mengetahui bagaimanakah dampak dari adanya rumusan peraturan yang multitafsir.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

      2.1.1    Jenis Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian hukum yang di konsepkan sesuai dengan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau yang di konsepkan sebagai kaidah atau norma.2

  • 2.1.2    Jenis Pendekatan

Penulisan penelitian ini penulis menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan yang berlaku (statue approach).3 Statue approach adalah pendekatan yang dilakukan dengan meneliti aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan topik penelitian atau masalah yang diangkat dalam suatu penelitian.4

  • 2.1.3    Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ini, yaitu menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan5, bahan hukum sekunder6 yaitu berupa

literatur, jurnal maupun karya tulis yang berkaitan dengan hukum lingkungan dan bahan hukum tersier berupa kamus.

  • 2.1.4    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penulisan jurnal ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau studi kepustakaan yang dilakukan dengan menganalisis literatur-literatur.

  • 2.1.5    Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Pengolahan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan cara mengidentifikasi data, pemeriksaan data, dan klarifikasi data yang bertujuan untuk menghindari kesalahan atau kekurangan data yang berhubungan dengan topik yang diangkat.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1. Permasalahan Terkait Kekaburan Frasa Menaruh Sampah

Dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016

Dalam hal ini terdapat ketentuan norma kabur yang terdapat di dalam Pasal 3 ayat (1) Perwali Nomor 11 Tahun 2016. Pasal 3 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa “masyarakat tidak diperbolehkan menaruh sampah di depan rumah, telajakan, di pinggir jalan dan di atas trotoar”. Salah satu frasa yang dianggap sebagai norma kabur adalah “menaruh sampah” yang bersifat tidak jelas atau menimbulkan persepsi yang berbeda permaknaannya. Kata menaruh tersebut lebih pantas diganti dengan kata “membuang sampah” karena secara spesifik, kata membuang lebih pantas jika dikaitkan dengan sampah. Frasa menaruh menurut kamus bahasa Indonesia

berarti meletakkan atau menempatkan, sedangkan frasa membuang menurut kamus bahasa Indonesia berarti melepaskan sesuatu yang tidak berguna lagi dengan sengaja dari tangan.7

Jika menggunakan frasa menaruh, maka akan timbul permasalahan dikarenakan kata menaruh tersebut bukan atau tidak berarti membuang. Kata menaruh dalam hal ini memiliki sifat sementara yaitu diletakkan sementara lalu diambil lagi, sedangkan kata membuang lebih kepada diletakkan dan ditinggalkan oleh pemiliknya. Hal ini berdasarkan penjabaran tersebut mungkin saja pemilik sampah tersebut menaruhnya di depan rumah untuk menunggu sampah tersebut diangkut oleh truk sampah atau kemungkinan lain sampah itu ditaruh oleh pemiliknya di depan rumah atau telajakan dikarenakan terdapat tempat atau bak sampah milik pribadi di sana. Apalagi frasa menaruh tersebut diikuti oleh kata tempat seperti di depan rumah, telajakan, di pinggir jalan dan di atas trotoar. Dengan adanya kekaburan norma tersebut, menyebabkan adanya permaknaan yang berbeda di dalam pelaksanaan atau implementasi Perwali Nomor 11 Tahun 2016 tersebut, walaupun hanya sebatas kata “menaruh” tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam permaknaan dan pelaksanaannya.

Jika kata menaruh diganti dengan kata membuang, maka lebih spesifik dikarenakan kata membuang jika ditelaah menurut kamus Bahasa Indonesia berarti sudah melakukan kegiatan membuang suatu benda yang tidak terpakai dan/atau sudah menjadi sampah dan ditinggalkan. Sehingga untuk mencegah kekaburan norma

tersebut, diperlukan adanya peran dari pemerintah Kota Denpasar untuk melakukan perbaikan atau revisi terkait kekaburan norma tersebut.

  • 2.2.2. Dampak Dari Rumusan Peraturan Multitafsir

Dalam menyusun suatu peraturan yang bersifat tertulis dan ditujukan bagi masyarakat luas hendaknya memikirkan secara matang, aturan bagaimana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan atau dilarang. Inkonsisten atau ketidaksesuaian dalam menetapkan sebuah peraturan baik itu perundang-undangan, peraturan gubernur, peraturan walikota dan lain sebagainya akan berakibat terjadinya ketidakpastian hukum serta kebingungan bagi masyarakat.

Peraturan hukum lahir bukan sekadar memenuhi kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya, melainkan untuk kepentingan keperluan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Untuk itu, maka perlu berkoordinasi dengan instansi yang terkait dengan substansi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jika, ini gagal dilaksanakan maka akan berdampak sangat masif dan berbahaya karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapan peraturan tersebut sehingga pada akhirnya menggagalkan tujuan hukum untuk mengabdi pada tujuan negara yakni menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat.

Dalam negara hukum mengingat Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law, dimana peraturan perundang-undangan yang dijadikan sumber utama dalam

peraturan. Oleh sebab itu dapat dimungkinkan dalam peraturan perundang-undangan terjadinya problematika hukum di antaranya inkonsisten hukum.Kata inkonsisten adalah kontradiktif, bertentangan, tidak sesuai.8 Maka inkonsisten hukum adalah adanya ketidak sesuaian atau kontradiktif antara aturan-aturan hukum yang berlaku, sehingga aturan hukum tersebut menjadi multitafsir. Jika ini masih diberlakukan tanpa adanya tindakan cepat dari lembaga pemerintahan maka akan terjadinya kebingungan masyarakat dalam mematuhi peraturan tersebut. Kerancuan pada masyarakat itu akan mengakibatkan tidak optimalnya peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi dan akan mempengaruhi keseimbangan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarkat karena adanya perbedaan penafsiran hakim terhadap peraturan perundang-undangan yang multitafsir tersebut.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Bahwa di dalam Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pembuangan Sampah di Kota Denpasar terdapat ketentuan norma kabur yaitu di dalam Pasal 3 ayat (1) terdapat frasa “menaruh sampah” yang seharusnya diganti dengan frasa “membuang  sampah”

sehingga diperlukan peran dari Pemerintah Kota Denpasar untuk merevisi frasa tersebut demi mencegah kekaburan norma dan demi mewujudkan kepastian hukum.

  • 2.    Dampak dari perumusan multitafsir dalam peraturan Perwali Nomor 11 Tahun 2016 pada Pasal 3 ayat (1) yakni akan terjadinya problematika hukum di antaranya inkonsisten

hukum. Adanya ketidak sesuaian atau kontradiktif antara aturan-aturan hukum yang berlaku, sehingga mengakibatkan tidak optimalnya peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi. Jika ini masih diberlakukan tanpa adanya tindakan cepat dari lembaga pemerintahan maka akan menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarkat.

  • 3.2.    Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, dapat disarankan yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Bahwa Pemerintah Kota Denpasar sebagai pejabat publik diharapkan segera untuk merevisi Pasal 3 ayat (1) Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pembuangan Sampah di Kota Denpasartersebut agar tidak menimbulkan kekaburan norma di dalam pelaksanaannya.

  • 2.    Pemerintah harus jeli dalam mengevaluasi pasal demi pasal dalam sebuah peraturan yang tidak sinkron satu dengan lain yang cenderung menimbulkan multitafsir, sehingga masyarakat luas memahami betul arah dari maksud peraturan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amirudin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Erwin, Muhamad, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hamzah, A, 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Cet. 9, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjonodan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tuni Cakrabawa, I Putu, et.al, 2015, Buku Ajar dan Klinik Manual Klinik Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Udayana University Press, Denpasar.

ARTIKEL/JURNAL

Made Surya Diatmika, I Nyoman Suyatna, Kadek Sarna, 2015, “Efektifitas Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Di Kabupaten Tabanan”, Jurnal Kertha Negara, Volume 03, Nomor 03, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pembuangan Sampah di Kota Denpasar (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2016 Nomor 11).

INTERNET

Kamus Bahasa Indonesia URL:  http://id.m.wikinatory.org/wiki

(diakses pada tanggal 11 Februari 2019 Pukul 20.00 WITA).

13