ANALISIS KONTEKSTUALITAS KOMUNIKASI POLITIK PEMILIHAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 DARI PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA

Oleh:

Isakh Benyamin Manubulu* Komang Pradnya Sudibya,SH.,M.Si.**

Abstract

Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia cenderung disoroti sebagai konflik yang terjadwal apabila tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. kendatipun serangkaian peraturan telah dibuat untuk menyelesaikan persoalan pemilu, namun juga tidak selesai, bahkan masih banyak pihak yang secara terang-terangan menampilkan perannya dalam melanggar ketentuan tersebut tetapi belum ditindak. Penyurusan jurnal yang ditujukan untuk menjawab 2 (dua) rumusan masalah diantaranya (1) Bagaimana pengaturan normatif terkait kontekstualitas komunikasi politik di Indonesia dalam perspektif hukum tata negara? (2) Bagaimana stabilitas komunikasi Politik antar partai di Indonesia jelang Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia Periode 20192024 tahun 2019?. Tujuan penyusunan jurnal ini adalah dapat menguraikan dasar yuridis yang menjadi  indikator dalam menentukan kontekstualitas komunikasi politik yang

meliputi unsur waktu, situasi dan kondisi serta sarana dan prasarana. Dapat mendeskripsikan stabilitas komunikasi politik antar partai dengan meninjau dari aspek rivalitas dan platform partai jelang Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019. Jurnal ini disusun dengan metode penelitian normatif didukung dengan pendekatan analisis dan sintesis, pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Hasil akhir penyusunan jurnal ini bermuara pada kesimpulan bahwa (1) Kontekstualitas pelaksanaan pemilu di Indonesia telah ditentukan dari beberapa sudut pandang yakni waktu, sistem kampanye, sarana kampanye, wujud dan sifat pelaksanaannya; sedangkan (2) adanya ketidakstabilan dalam pelaksanaan pemilu 2019 mendatang oleh karena terjadinya sistem koalisi yang melatarbelakangi gerakan oposisi melalui gerakan #gantipresiden.

Kata Kunci : Survei, pemilihan umum, demokrasi, kontekstualitas, komunikasi politik.

Abstract

The implementation of elections in Indonesia tends to be highlighted as a scheduled conflict if it is not strictly regulated in legislation. although a series of regulations have been made to resolve the electoral issues, but they are not resolved, there are still many who openly display their roles in violating the provisions but have not been prosecuted. Journal Management which is aimed to answer 2 (two) formulation of the problem among others (1) What is the normative arrangement related to the contextuality of political communication in Indonesia in the perspective of constitutional law? (2) How is the stability of political communication between parties in Indonesia ahead of the Presidential Election of the Republic of Indonesia for 2019-2024 period 2019 ?. The purpose of this journal is to elaborate the juridical basis which is an indicator in determining the contextuality of political communication which includes elements of time, situation and conditions and facilities and infrastructure. Can describe the stability of political communication between parties by reviewing the aspect of rivalry and platform of the party ahead of Presidential Election 2019. This journal is prepared by normative research method supported by approach of analysis and synthesis, fact approach and approach of legislation. The final result of this journal preparation leads to the conclusion that (1) the contextuality of election implementation in Indonesia has been determined from several perspectives namely time, campaign system, means of campaign, form and nature of its implementation; while (2) the instability in the implementation of the 2019 election due to the coalition system that underlies the opposition movement through the movement of # gantipresiden.

Keywords: Survey, elections, democracy, contextuality, political communication.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan sebuah alternatif yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjamin kedaulatan rakyat. Pemilu dipandang sebagai sebuah fenomena kontemporer yang lazimnya diterapkan dalam negara demokrasi.1 Mudyanti menyampaikan bahwa demokrasi merupakan sebuah hal kontemporer yang menglobal sehingga untuk memahami konsep tersebut, diperlukan pula sebuah metode yang bersifat kontemporer.2 Tujuan dibentuknya negara demokrasi ialah untuk mewujudkan sifat persatuan totaliter yang menurut Soepomo merupakan sebuah sarana untuk mempersatukan golognan besar dan kecil, menjamin keistimewaan dan memanjurkan mufakat.3 Sekalipun demokrasi sendiri masih debateble di kalangan pakar hukum namun tidak menutup kemungkinan demokrasi dijalankan melalui Pemilihan Umum (untuk selanjutnya disebut dengan Pemilu) sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Dalam menjamin terselenggaranya Pemilu Presiden 2019 yang efektif, efisien dan kondusif dalam sebuah negara, maka komunikasi politik menjadi sebuah sarana yang digunakan sebagai alternatif utama.4 Bentuk komunikasi politik sendiri dilakukan dengan berbagai sarana diantaranya melalui media

cetak maupun media elektronik ataupun pendekatan persuasif dari tim penggerak Pasangan Calon Presiden.5 Chaves mengemukakan pendapatnya bahwa kampanye merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang lazimnya diterapkan dalam sebuah negara.6 Komunikasi politik menjadi sebuah hak konstitusional bagi warga negara Indonesia. Jaminan konstitusional tersebut termaktub pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang menentukan kesamaan di depan hukum dan pemerintahan serta Pasal 28 UUD 1945 yang memberikan ruang kepada setiap orang untuk dapat berkumpul, bertukar informasi dan jaminan lain sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.

Komunikasi politik telah diregulasikan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melalui aktifitas kampanye yang dirumuskan sebagai tindakan menawarkan visi misi ataupun citra diri dari seorang pasangan calon.7 Terdapat persoalan yang dihadapi dalam konteks komunikasi politik yang terjadi di Indonesia yakni kurangnya pemahaman tentang kontekstualitas komunikasi politik yang seharusnya dilaksanakan oleh sebuah partai politik sehingga tidak memicu konflik horizontal di masyarakat.8 Penggunaan bahasa Politik (politics language) melalui pesan, media, dan berpengaruh, dan memiliki tanggapan balik dari lingkungan cenderung tidak ditempatkan pada situasi dan kondisi yang tepat sehingga

berpotensi untuk menyimpangi prinsip pelaksanaan pemilu.9 Padahal, ontologis dilaksanakannya pemilu sendiri ditujukan untuk menerapkan prinsip demokrasi dalam sistem ketatanegaraan sebagai sarana kedaulatan rakyat, sekalipun beberapa pihak memiliki pandangan yang kontradiktif dengan kedaulatan rakyat tersebut sebab berpegangan pada prinsip kedaulatan tidak dapat dikuantifikasi. Dalam konteks ini, terjadi sebuah fenomena rivalitas politik antar partai yang menjunjung tinggi ideologi (ideology) ataupun kepentingan (interest) masing-masing. Komunikasi politik yang diaktualisasikan dengan memberikan dukungan terhadap calon presiden dalam ihwal ketatanegaraan memiliki ambang batasnya tersendiri yang tidak dapat untuk diterapkan dalam segala situasi dan kondisi.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1    Bagaimana pengaturan normatif terkait kontekstualitas komunikasi politik di Indonesia dalam perspektif hukum tata negara?

    • 1.2.2    Bagaimana stabilitas komunikasi Politik antar partai di Indonesia jelang Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia Periode 2019-2024 tahun 2019?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

    • 1.3.1  Dapat menguraikan dasar yuridis yang menjadi indikator

dalam menentukan kontekstualitas komunikasi politik yang meliputi unsur waktu, situasi dan kondisi serta sarana dan prasarana.

  • 1.3.2    Dapat mendeskripsikan stabilitas komunikasi politik antar partai dengan meninjau dari aspek rivalitas dan platform partai jelang Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Metode memegang peran yang sangat penting dalam sebuah penelitian sebab menentukan hasil akhir dari penelitian yang dirumuskan oleh karena statusnya sebagai alternatif atau sarana pelaksanaan penelitian.10 Berdasar pada konsep tersebut, maka metode yang digunakan dalam penyusunan jurnal ini adalah metode normatif yang diistilahkan sebagai Penelitian Pustaka oleh Soejono Soekanto dan Sri Mamudji.11 Bentuk penelitian monodisipliner ini didukung oleh pendekatan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan fakta (the fact approach) dan pendekatan analisis dan sintesis (analitical and conseptual aproach) untuk memperkuat kredibilitas dan ketajaman analisis fenomena yang ada.

  • III.    Hasil dan Analisis

    • 3.1    Konteks Komunikasi Politik Perspektif Hukum Tata Negara

Komunikasi merupakan sebuah proses interaksi dengan memberikan pesan berupa aksi (action) dan diikuti oleh tanggapan (reaction) dari dan oleh audiens.12 Proses interaksi diberikan oleh seorang agen yang menurut Nicholas Negroponte sebagai pemilah

informasi publik.13 Pemilu sebagai sebuah sarana aktualisasi komunikasi politik menjadi salah satu bagian dari komunikasi massa sebab peruntukan informasi yang diberikan relatif besar terhadap publik melalui penawaran visi dan misi melalui kampanye, bersifat heterogen dan sifatnya sementara serta membutuhkan biaya yang relatif besar.14 Pelaksanaan Pemilu di Indonesia pada kenyataannya dibatasi dalam prinsip berkomunikasi politik jika meninjau dari pendekatan sosiologis, struktural, ekologis, rasional dan psikologi sosial.15 Kondisi demikian yang memungkinkan agen untuk tidak melakukan kampanye diluar dari prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang.

Politik hukum dirumuskannya kontekstualitas pelaksanaan Pemilu dalam tataran normatif diperuntukan untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas, efektif, efisien dan konsisten sebagaimana termaktub dalam konsideran menimbang huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Disamping itu hal lain yang memberikan dukungan terhadap kontekstualitas pelaksanaan pemilu sebagaimana diungkapkan oleh Didik adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis serta memberikan jaminan penyerapan aspirasi masyarakat yang totalitoer.16 Semangat pelaksanaan pemilu dengan adanya sistem kontekstual tersebut diharapkan mampu untuk mengakomodasi dan memberikan perlindungan terhadap jalannya pemilu di tahun 2019.

Peta Koalisi Pilpres 2018 menampilkan dukungan yang diberikan kepada Jokowi telah dideklarasikan oleh Partai PDI-P, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Golkar, Partai Perindo, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura serta Partai Demokrat, PKB, dan PAN yang diproyeksi kelak akan memberikan dukungan kepada Jokowi-Jusuf.17 Sedangkan dukungan yang akan diberikan oleh Pasangan Prabowo meliputi Partai Gerindra dan Partai PKS. Jika meninjau dari hasil survei Polcomm Institute, analisis peta koalisi Partai Politik yang telah mendeklarasikan dukungannya meliputi Partai PDI-Perjuangan dengan total perolehan suara 19,46%, Partai Golkar yakni 16,25%, Partai PPP sebesar 6,96%, Partai Nasdem 6,44% dan Partai Hanura 2,86%. Jika dikalkulasikan, total perolehan suara Jokowi sebesar 51,97%.18 Lain halnya dengan Prabowo Prabowo yang dusung oleh Partai Gerindra dengan total perolehan suara 13,04% dan PKS dengan perolehan suara 7.14%. Apabila dikalkulasikan maka total perolehan suara dari Prabowo telah mencapai 20,18%. Presentase tersebut telah menampilkan pemenuhan ambang batas presidensil Threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menetapkan perolehan kursi dari partai pengusung calon presiden sebanyak 20% (dua puluh persen). Polemik pemilihan umum yang menetapkan ambang batas presidensil threshold dilatabelakangi dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menginstruksikan pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif dilaksanakan secara serentak.

Kekuatan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia disoroti oleh Achmad Rubaie sebagai konteks hukum demokratisasi hukum.19 Achmad berpendapat bahwa sekalipun konteks negative legislator tidak dapat dilepas dari Mahkamah Konstitusi namun secara konstitusional dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945) merupakan domain exclusive dari wakil-wakil rakyat jika mengacu pada prinsip Precumtion Of Liberty Of The Souvereign People.20 Berkenaan dengan isu tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menggagas paradigma berpikir baru dan pembaharuan para prinsip konstitusionil Pemilihan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945.

Polemik komunikasi politik perlu untuk dipahami sehingga dapat menuntun serta mengarahkan proses pemilihan umum yang demokratis.21 Secara normatif dalam Pasal 267 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (untuk selanjutnya disebut dengan UU Pemilu) telah secara tegas menentukan bahwa kampanye wajib dilaksanakan secara bertanggungjawab. Konsep bertanggungjawab yang dimaksud tersebut mengacu pada metode pelaksanaan kampanye yang diatur dalam Pasal 275 ayat (1) UU Pemilu yang meliputi beberapa tahap diantaranya tatap muka, pertemuan terbatas, rapat umum, pelaksanaan debat, serta penggunaan jaringan internet sebagai bagian dari cyber campage. Peruntukan ketentuan ini adalah untuk menjamin politik hukum pemilu di Indonesia yakni untuk mewujudkan fungsi representatif masyarakat yang secara

konstitusional ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Materi dalam Pelaksanaan kampanye yang dinormatifkan dalam Pasal 247 ayat (1) UU Pemilu meliputi pemaparan dan penawaran “visi, misi dan program” dari calon Presiden sehingga dapat diinterpretasikan bahwa sejauh aktifitas yang dilakukan oleh pasangan calon atau tim penggeraknya memenuhi rumusan tersebut maka tindakan yang dilakukan adalah bagian dari pelaksanaan kampanye. Selanjutnya, yang menjadi menarik disini ialah materi muatan dalam UU Pemilu tersebut telah secara limitatif menentukan bahwa pelaksanaan kampanye melalui media massa yakni media cetak, elektronik dan internet serta pemasangan alat peraga dapat dilaksanakan sejak tanggal 23 September 2018 untuk aktifitas khusus sedangkan sejak tanggal 28 April 2019 dapat dilaksanakan aktifitas umum jika mengacu pada Lampiran I Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perubahan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2018.

Survei yang ditampilkan oleh Lembaga Yayasan Publica pasca hadirnya tagar ganti presiden 2019 (#gantipresiden2019) merupakan sebuah reaksi atas fenomena politik di Indonesia. Morrissan berpendapat bahwa fenomena komunikasi masa cenderung menciptakan sebuah realitas sendiri dalam cangkupan yang terbatas.22 Hal ini bisa dipersoalkan dalam tataran hukum pemilihan umum sebab seyogianya pelaksanaan pemilu haruslah dilaksanakan secara adil, bersih dan berintegritas. Fenomena political hacker menurut Kamus Hukum ditafsirkan sebagai

kejahatan politik yang mendiskreditasikan lawan.23 Sekalipun tidak memberikan dampak yang besar namun tindakan political hacker menjadi sebuah persoalan yang telah diblacklist oleh UU Pemilu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 298 ayat (2) yang menghendaki pemasangan alat peraga dilakukan dengan bersih, memandang prinsip etika dan estetika.

Kepuasan atas pelaksanaan kinerja kepemimpinan Jokowi menjadi sebuah topik yang dipersoalkan oleh gerakan #gantipresiden2019. Meskipun hasil survei menampilkan bahwa sebanyak 72,5% masyarakat puas sedangkan 27,5% tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi yang mengindikasikan bahwa kedudukan Jokowi masih terbilang kuat namun demi mewujudkan pemilu yang berintegritas, tindakan demikian harus dihindari.24 Sehingga berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik dalam pemilihan umum jika ditinjau dari perspektif hukum tata negara merupakan sebuah tindakan yang dapat dibenarkan bahkan dijamin secara konstitusional, tetapi demi menjaga nilai estetika, etika serta perwujudan dari pemilu yang berintegritas di Indonesia maka penting bagi regulator untuk membatasi kebebasan dalam berkomunikasi politik melalui media massa ataupun alat-alat peraga tertentu.

  • 3.2    Stabilitas Komuniasi Politik Jelang Pemilu Presiden 2018

Dalam mengukur stabilitas politik di Indonesia jelang pemilu 2018 setidaknya terdapat beberapa indikator utama yang patut diperhatikan diantaranya meliputi kesamaan ideologi setiap partai

politik, rivalitas antara partai politiik, kesamaan platform partai dan integrasi sistem koalisi di Indonesia. Meninjau dari aspek elektabilitas partai politik, setidaknya hasil survei dominan partai yang akan dipilih dalam pemilu 2019 dari Yayasan Publica menampilkan bahwa PDIP dengan presentasi 25,3% sebagai partai terkuat pertama di Indonesia, kemudian diikuti oleh Gerindra 11,1%, Golkar 10,3% dan partai-partai lainnya dengan presentase <10% (lebih kecil dari sepuluh persen).25 Faktanya adalah, ketiga partai tersebut telah mendeklarasikan dukungannya untuk memilih poros Jokowi sebagai calon presiden 2019. Hasil survei Polcomm Institute menunjukan bahwa deklarasi dukungan terhadap Jokowi telah diberikan oleh 5 partai diantaranya Golkar dengan perolehan suara di parlemen yakni 16,25%, diikuti oleh PKB sebesar 8,39%, PPP sebesar 6,96%, Partai Nasdem dengan perolehan suara mencapai 6,44% dan Partai Hanura sebesar 2,86%.26 Sedangkan dukungan yang diberikan terhadap Prabowo hanya baru diberikan oleh Partai Gerindra dengan total perolehan suara 13,04%. Pada Februari 2018, Megawati sebagai pimpinan partai PDIP telah mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi sebagai calon presiden. Konteks pemberian dukungan oleh setiap partai politik dilatarbelakangi oleh kesamaan ideologi politik.

Konsep ideologi politik merupakan hasil asimilasi dari frasa “ideologi” yang menurut Kaelan sebagai sebuah pengetahuan akan ide (science of idea) dan sebuah ajaran dasar,27 sedangkan Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa politik merupakan sebuah tafsir atas ekspresi sekelompok orang untuk melaksanakan

pikiran, pandangan, keyakinan dan kebebasannya.28 Selanjutnya, Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa partai politik merupakan kumpulan orang yang hendak memuaskan “nafsu birahi” dengan mengelabui masyarakat.29 Singkatnya, ideologi politik dapat diartikan sebagai sebuah kompromi kebijakan yang dibenarkan oleh setiap partai politik.30 Pengertian demikian yang dibenarkan dalam penyusunan jurnal ini.

Dukungan yang diberikan kepada Jokowi tersebut didasarkan pada pertimbangan akan kepuasan kinerja Jokowi. Sehubung dengan itu, masyarakat juga menampilkan kepuasannya atas kinerja Jokowi sebagaimana ditampilkan dalam hasil survei Polcomm Institute bahwa sebesar 68,9% masyarakat merasa puas dengan kinerja Jokowi sehingga dapat disimpulkan bahwa kuantitas kepuasan masyarakat berada dibawah rata-rata 50%.31 Progresifitas kinerja Jokowi dalam menyelesaikan 31 agenda strategis, yang dikelompokan menjadi 9 agenda prioritas dan disebut Nawa Cita dinilai telah berjalan dengan maksimal. Hal yang menarik untuk diidentifikasi disini ialah, banyak pihak yang berspekulasi bahwa selama pemerintahannya, Jokowi telah melakukan kampanye sehingga akan lebih mudah bagi Jokowi untuk mendapatkan suara masyarakat di tahun 2019 mendatang.

Meninjau dari aspek rivalitas antara partai politik, paling tidak dapat disimpulkan bahwa akan terulang kembali fenomena pemilu 2014 lalu. Polcomm Institute mensimulasikan pemilu 3 (tiga) poros diantaranya Poros I Jokowi hasil perolehan suara

51,97% (291 kursi), Poros II Prabowo sebesar 20,18% (113 kursi), dan Poros III Koalisi SBY dengan perolehan suara 27,5 (156 kursi).32 Yayasan Publica juga turut menampilkan bahwa Jokowi dominan atas Prabowo dengan perbandingan suara 53,7% : 30,2%.33 Namun demikian, sekalipun perbedaan suara yang diberikan oleh Presiden cenderung tidak imbang, dapat diproyeksikan akan terjadi problema sosial dalam sistem ketatanegaraan apabila meninjau dari perspektif sosiologi politik.34 Munculnya gerakan #gantipresiden2019 dinilai sebagai sebuah gejolak yang timbul oleh karena ketidakpuasan atas kebijakan yang diterapkan. Sedangkan disisi lain, beberapa politisi cenderung menyoroti bahwa munculnya gerakan #gantipresiden sebagai fenomena sosial politik tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Hal ini seolah-oleh terlalu memaksakan kehendak partai PKS dan Gerindra untuk mencapai tujuannya. Konsolidasi atas potensi kekuatan oposisi yakni PKS dan Gerindra melalui swing voter dengan mempengaruhi voting behavior merupakan strategi yang beresiko. Fenomena ini menggambarkan adanya rivalitas politik antara para partai pengusung pasangan Jokowi dan Prabowo.

Dalam hal berkoalisi sebagai penjelmaan sistem demokrasi sebagaimana yang diungkapkan diatas menjadi sebuah pertanyaan yang belum sepenuhnya dapat terjawab. Apabila meninjau dari hasil survei yang dilaksanakan oleh Polcomm Institute dan Yayasan Publica sejatinya telah jelas menampilkan bahwa kekuatan dan kepuasan atas kinerja kepemimpinannya berada di tangan Jokowi. Koalisi yang telah dilakukan tersebut

merupakan perwujudan dari prinsip kesamaan platform dan ideologi partai dengan mempertimbangkan elektabilitas calon presiden sehingga dapat memperkuat kedudukan dari partai dalam kancah pemilu legislatif dan kedudukannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

  • IV.    Penutup

    4.1    Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Dalam tatam normatif telah ditentukan secara jelas terkait kontekstualitas pelaksanaan komunikasi politik. Perwujudan kebijakan yang membatasi komunikasi politik telah secara eksplisit diatur dalam Lampiran I Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perubahan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2018 yang menegaskan dari waktu pelaksanaan kampanye; Pasal 298 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur tentang tentang tempat dan wujud dari alat peraga kampanye; Pasal 275 ayat (1) UU Pemilu terkait sistem pelaksanaan kampanye; dan sifat dari pelaksanaan kampanye sendiri yang telah diatur dalam konsideran menimbang huruf d sebagai politik hukum dibentuknya UU Pemilu.

  • 2.    Stabilitas komunikasi politik jika ditinjau dari aspek rivalitas partai politik cenderung tidak stabil. Fenomena ini    diperparah    dengan    hadirnya    gerakan

#gantipresiden2019 yang dimotori oleh PKS dan Gerindra serta dinilai sebagai tindakan beresiko dari oposisi dalam menunjukan kekuatannya. Deklarasi dukungan yang diberikan kepada masing-masing calon presiden merupakan sebuah cerminan dari koalisi yang memiliki kesamaan ideologi, rasa dan pikiran. Sehubung dengan itu, tidak dapat dikesampingkan bahwa sistem koalisi yang diterapkan oleh setiap partai tersebut merupakan

upaya mewujudkan demokrasi representatif dari parpol sebagai penyalur aspirasi masyarakat.

  • 4.2    Saran

  • 1.    Para pihak harus lebih menghormati kontekstualitas pelaksanaan pemilu yang telah diintegrasikan dalam UU Pemilihan Umum dan peraturan lainnya sehingga politik hukum pemilu dalam konsideran menimbang huruf d dapat terwujud.

  • 2.  Pemerintah harus lebih tegas untuk menyelesaikan

persoalan political hacker dan cyber campange yang dalam beberapa waktu ini memuncak sebelum tanggal yang ditetapkan dalam Undang-Undang demi terwujudnya nilai etika, estetika serta pemilu yang berintegritas.

Daftar Pustaka

Buku, Jurnal, Skripsi, internet

Asshiddiqie, Jimly. 2009.  “Pengantar Hukum Tata Negara”.

Jakarta: Rajawali Press.

Kaelan. 2002. “Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa

Indonesia”. Yogyakarta: Paradigma.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010.  “Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku VIII Warga Negara dan Penduduk. Hak Asasi Manusia dan Agama)”. (Edisi Revisi). Jakarta: Sekertariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Marbun, Rocky. 2013. “Kamus Hukum Lengkap, Mencangkup

Istilah Hukum dan Perundang-Undangan Terbaru”. Jakarta: Visimedia Press.

Morrissan. 2013. “Psikologi Komunikasi”. Bogor: Ghalia Indonesia (Anggota IKAPI).

Polcomm Institute. 2018. “Temuan Survei Nasional Poltracking

Indonesia, Peta Elektoral Kandidat dan Prediksi Skenario Pilpres 2019”. Jakarta: Polcomm Institute.

Rauta, Umbu. 2014. “Menggagas Pemilihan Presiden yang Demokratis dan Aspiratif”. Jurnal Konstitusi. Program Studi Doktor Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Volume 11. Nomor 3

Rubaie, Achmad. 2017. “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi,

Perspektif Filosofis, Teoritis dan Yuridis”. Surabaya: LaksBang Press.

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2013. “Pengantar Sosiologi Politik”. Bandung.

Severin, Werner J. dan James W. Tankard. 2011.  “Teori

Komunikasi : Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa”. (cetakan kelima). Jakarta: Prenada Media.

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2004. “Penelitian Hukum

Normatif: Suatu Tinjauan Singkat”. Jakarta: Rajawali Pers.

Susanti, Dyah Octorina. 2013. “Penelitian Hukum (Legal Reseach)”. Jember: Sinar Grafika.

Yayasan Publica. 2018. “Rilis Survei Nasional, Peta Politik Indonesia Pasca Gerakan Tagar #gantipresiden2018”. Jakarta: Y-Publica.

Jurnal dan Skripsi

Anshari, Faridhian. 2013. “Komunikasi Politik di Era Media Sosial”. Jurnal Komunikasi. Program Studi Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknik (STT) PLN Jakarta. Volume 8. Nomor 1.

Hakim, Muhammad Aziz. 2016. “Repositioning Pancasila Dalam

Pergulatan Ideologi-Ideologi Gerakan Di Indonesia Pasca-Reformasi”. Jurnal Kontempelasi. Institut Agama Islam Negeri Tulungagung. Volume 4. Nomor 1.

Hasanudin. 2018. “Peta Koalisi Pilpres 2019 dan Kemiripannya

dengan       Pilkada       DKI”,       diakses       dari

https://nasional.kompas.com/read/2018/0            3/0

9/08094961/ peta-koalisi-pilpres-2019-dan-kemiripannya-dengan-pilkada-dki?page=all, pada hari Rabu 20 Juni 2018, pukul 02.41 WITA.

Sukriono, Didik. 2009. “Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di

Indonesia”. Jurnal Konstitusi. Ketua Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Universitas Kanjuruhan Malang. Volume 2. Nomor 1.

Sulaiman, Adhi Iman. 2013.  “Komunikasi  Politik Dalam

Demokratisasi”. Jurnal Balai Pengkajian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika Bandung (BPPKI). Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Jenderal Soedirman. Volume 11. Nomor 2.

Yodiansyah, Hefri. 2017. “Komunikasi Politik Media Surat Kabar Dalam Studi Pesan Realitas Politik Pada Media Cetak Riau Pos Dan Tribun Pekanbaru”. Jurnal Kajian Komunikasi. Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Yayasan Pendidikan Persada Bunda Pekanbaru. Volume 5. Nomor 1.

Bahan hukum

Undang-Undang Dasar Tahun Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008Tentang Partai Politik, Diundangkan di Jakarta, pada 15 Januari 2011 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5189.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Diundangkan di Jakarta pada 16 Agustus 2017, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2018 tentang

Perubahan Atas Perubahan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7

Tahun 2017 tentang Tahapan, program dan Jadwal

Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2018, Diundangkan di Jakarta pada 9 Januari 2018, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 137.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 23 Januari 2014.