REGULASI PEMASANGAN SPEED BUMP BERKAITAN FAKTOR KESADARAN HUKUM DI MASYARAKAT
on
REGULASI PEMASANGAN SPEED BUMP BERKAITAN FAKTOR KESADARAN HUKUM DI MASYARAKAT
Oleh:
Ni Made Adi Semadiari*
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra**
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara
ABSTRAK
Speed bump dibangun dengan harapan bahwa kendaraan bermotor yang akan melintasinya lebih waspada dan berhati-hati dengan memperhatikan dan mengontrol laju kecepatan kendaraannya. Permasalahan terjadi jika speed bump yang dibangun tidak sesuai standar yang telah diatur seperti fungsi, ukuran, ketinggian, dan lebar. Penulisan ini menggunakan mengemukakan dua permasalahan, yakni: bagaimana regulasi dan pengaturan mengenai speed bump, dan faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam kaitannya dengan pembuatan speed bump. penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan, perundangan, pendekatan konsep hukum dan pendekatan fakta. Hasil dari penulisan ini, regulasi pemasangan speed bump diatur melalui keputusan menteri dan peraturan daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum serta faktor-faktor hukum yang berfungsi dimasyarakat.
Kata Kunci: speed bump, faktor, pengaturan
ABSTRACT
Speed bump is built in the hope that the vehicle that passes it will be careful by reducing the speed of the vehicle. However, the problem occurs if the speed bump that is built does not match the function, size, height, and width because it does not comply with the prescribed standards. This writing uses two problems, namely: how are regulations and regulations regarding speed bump, and factors that influence the community in relation to making speed bump. This study uses normative legal research methods with a fact, law and legal concept approach. the results of this paper, that the regulation of speed bump installation is regulated through ministerial decrees and regional regulations. The factors that influence the community in law enforcement are five factors. Knowing the factors that influence the law so that it functions in society.
Keywords: speed bump, factor, arrangement
I.
Pendahuluan
Peran transportasi sangat penting dan strategis guna mempermudah akomodasi, perpindahan orang dan barang menggunakan kendaraan dari satu tempat menuju ke tempat lainnya.1 Sistem transportasi nasional diharapkan dapat menjangkau seluruh wilayah di Indonesia baik itu sistem transportasi darat, laut dan udara yang berbasis pada transportasi publik atau transportasi umum. Gempuran transportasi milik pribadi mengakibatkan moda transportasi umum semakin tidak populer di kalangan manusia modern.2 Salah satu rambu lalu lintas yang pembuatannya dibuat oleh Dinas Perhubungan adalah speed bump, yaitu alat perlengkapan tambahan yang diaplikasikan pada sebuah jalan dengan tujuan menghalau kecepatan dan difungsikan sebagai pengatur kecepatan pengemudi kendaraan bermotor guna mengurangi kecepatannya yang berlebihan atau melewati batas kecepatan yang telah ditentukan pada masing-msaing kelas jalan, atau memperlambat laju kendaraan bermotor yang melintasi area jalan perumahan.
Speed bump identik dikenal dengan sebutan “polisi tidur” pada kebiasaan masyarakat Indonesia, speed bump sengaja dibangun oleh masyarakat yang berdomisili pada daerah yang dibangun speed bump. Pada pengamatan penulis serta berdasarkan berita dan artikel yang penulis jadikan referensi, speed bump justru dipasang atau dibangun oleh sejumlah warga masyarakat guna mencegah para pengendara melakukan aksi kebut-kebutan dan
1 Suwardjoko P. Warpani, 2002, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ITB, Bandung, hlm. 01.
2 Witono Hidayat Yuliadi, 2015, Undang-Undang Lalu Lintas dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta, hlm. 01.
atau diharuskan berhati-hati dan membatasi kecepatannya pada jalan perumahan/pemukiman.
Speed bump dibangun dengan harapan bahwa kendaraan yang melewatinya akan berhati-hati dengan mengurangi kecepatan kendaraannya. Namun permasalahan terjadi apakah speed bump atau polisi tidur diatur dalam suatu peraturaan perundangan atau tidak. Jika terdapat pengaturan mengenai speed bump, maka speed bump yang dibangun tidak sesuai dengan fungsi, ukuran, ketinggian, dan lebar sesuai dengan standar yang telah ditentukan merupakan sebuah bentuk pelanggaran. Dampak dari pembangunan speed bump dapat menimbulkan kerugian bagi pengemudi kendaraan bermotor karena dapat merusak kendaraannya ataupun dapat menimbulkan kemacetan.
Seiring dengan meningkatnya mobilitas manusia dan kepentingan individu yang semakin kompleks maka speed bump yang dibangun atas inisiatif pribadi dan tidak dibangun oleh dinas yang berwenang, pengaturan mengenai speed bump mencerminkan kekosongan norma hukum dan kekaburan norma hukum karena tidak disebutkan secara eksplisif pengertian mengenai speed bump namun pelaksanaan terhadap pembangunan speed bump dimasyarakat khususnya pada jalan perumahan dibangun oleh swadaya masyarakat tanpa mendapat rekomendasi dari dinas yang berwenang dalam hal pemanfaatan dan fungsi jalan tersebut.
Berdasakan uraian latar belakang tersebut penulis dapat menguraikan dua permasalahan dalam penulisan jurnal hukum ini sebagai berikut:
-
1 Apa dasar hukum pengaturan pemasangan speed bump atau menekan kecepatan?
-
2 Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pemasangan speed bump?
Penulisan ini bertujuan untuk memahami, mengetahui, dan memberikan kontribusi keilmuan terkait teori-teori ilmu hukum, serta perkembangan ilmu hukum khususnya hukum administrasi negara dalam pengaturan pemasangan speed bump serta faktor faktor dalam penegakan hukum dimasyarakat terhadap penggunaan/pemasangan speed bump.
Metode adalah salah satu instrumen yang menentukan jalannya penyusunan sebuah karya tulis.3 Dalam kaitannya dengan itu, maka jenis penulisan hukum ini adalah jenis penulisan hukum normatif (doctrinal research) yang pada dasarnya menjadikan
produk hukum sebagai kajian utama dan data primer dalam mengidentifikasi sebuah persoalan.4 Metode yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan
pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) dan pendekatan fakta.5 2.2 Pembahasan
Istilah speed bump atau lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan polisi tidur, merupakan gundukan aspal atau semen
-
3 Suprapto, 2013, “Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu
Pengetahuan Sosial (Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dilengkapi dengan Teknik Pengolahan Data dan Tabel Statistik)”, CAPS, Bogor, hlm. 61.
-
4 A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 153.
-
5 H. Bahdin Nur Tanjung dan H. Ardinal, 2005, “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi dan Tesis)”, Kencana, Medan, hlm. 62.
melintang pada badan jalan tidak dikenal dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat Undang Undang LLAJ) dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Keberadaan speed bump termasuk kedalam area manajemen dan rekayasa lalu lintas, yaitu serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mendukung, mewujudkan, memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Keberadaan dan eksistensi speed bump di masyarakat ini diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang Undang LLAJ, mengenai perlengkapan jalan meliputi alat pengendali dan pengaman pengguna jalan. Ketentuan pada Pasal 27 ayat (2) Undang Undang LLAJ mengatur mengenai pemasangan perlengkapan jalan pada jalan lingkungan tertentu yang selanjutnya diatur dalam peraturan daerah. Pembangunan atau pemasangan speed bump wajib memiliki ijin dari pihak yang berwenang. Aturan larangan mengenai pemasangan speed bump terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) Undang Undang LLAJ.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakaian Jalan mengatur mengenai alat pembatas kecepatan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1), yaitu: “alat pembatas kecepatan adalah kelengkapan tambahan pada jalan yang berfungsi untuk membuat pengemudi kendaraan bermotor mengurangi kecepatan kendaraannya”. Pada ayat (2) diatur mengenai: “kelengkapan tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa peninggian sebagian badan
jalan yang melintang terhadap sumbu jalan dengan lebar, tinggi dan kelandaian tertentu”.6
Penggunaan atau pemasangan speed bump tidak seluruhnya memiliki izin atau mendapat rekomendasi. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat Permenhub No.3/2004), pada Pasal 5 ditentukan mengenai kriteria pembangunan speed bump atau pembatas kecepatan kendaraan bermotor. Ketinggian maksimal dari speed bump adalah 12 cm, lebar minimal 15 cm, dan sisi miring dengan kelandaian maksimal 15%. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Permenhub No.3/2004 tidak seluruhnya diterapkan dalam pembangunan speed bump sehingga menimbulkan ketidak nyamanan para pengemudi dalam melakukan perjalanannya. Pasal 4 Permenhub No.3/2004 menentukan bahwa jalan yang memiliki polisi tidur atau speed bump wajib memiliki rambu peringatan.
Speed bump seharusnya terbuat dari material karet (rubber) sehingga tidak merusak kendaraan, serta tidak membuat tubuh pengendara menjadi terhempas ketika melewatinya, selanjutnya diberi cat warna garis belang hitam dan kuning, atau hitam dan putih dengan komposisi hitam panjang 30 cm dan putih/kuning 20 cm agar pengguna kendaraan bermotor dapat melihat dengan jelas dan lebih waspada dalam melewatinya. Standar mengenai pembangunan speed bump lebih jelas ditetapkan pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan No.AJ.003/5/9/DRJD/2011 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Perlengkapan Jalan.
Ketentuan mengenai speed bump diatur melalui Pasal 4 ayat (5) huruf b Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun
6 Soeerjono Soekanto 2010, Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum), Mandar Maju, Bandung, hlm.42-43.
2010 tentang Acuan Pengelolaan Lingkungan Perumahan Rakyat. Pada pasal tersebut mengatur mengenai pengelolaan lingkungan perumahan yang mencakup pelayanan jasa, meliputi ketertiban dan keamanan lingkungan. Sebagai wujud dari kegiatan pelayanan jasa yang berkaitan dengan ketertiban dan keamanan lingkungan mengatur mengenai pemasangan portal jalan dan polisi tidur di jalan lingkungan. Ketentuan ini hanya berlaku bagi jalan khusus, yakni jalan yang dibangun atas swadaya masyarakat setempat yang bukan merupakan kategori jalan umum dan jalan protokol.
Ketentuan mengenai speed bump diatur melalui peraturan daerah, khusus mengenai pemasangan speed bump pada Provinsi Bali diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Meskipun secara eksplisif dan secara yuridis tidak ditemukan mengenai istilah speed bump atau polisi tidur¸ serta tidak memberikan definisi mengenai istilah tersebut, Perda Provinsi Bali menyebutkan adanya penggunaan tanggul jalan dan pita pengaduh, namun tidak mengatur mengenai speed bump.
Pita pengaduh dan alat pembatas kecepatan tidak didefinisikan sebagaimana ketentuan pada Pasal 9 Perda Provinsi Bali sebagai bagian dari alat pengaman pemakaian jalan, dan alat pengendali pemakai jalan. Ketentuan ini tidak memiliki norma hukum yang kuat atau dapat dikatakan sebagai norma kabur karena pembatas kecepatan yang tercantum dalam subtansi Pasal 9 tidak memiliki penjelasan khusus mengenai regulasi, pembuatan, dan pelanggarannya, serta tidak memiliki sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada pasal tersebut.
Peraturan Daerah Provinsi Bali belum mengatur secara jelas mengenai mekanisme pembuatan polisi tidur, pemberian peringatan atau sanksi terhadap pelanggaran pembuatan polisi
tidur. Berbeda dengan di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, menurut Pasal 53 huruf b Perda DKI Jakarta 12/2003, “setiap orang tanpa izin dari Kepala Dinas Perhubungan dilarang membuat atau memasang tanggul pengaman jalan dan pita penggaduh (speed trap). Pelanggar diancam pidana kurungan maksimum 3 bulan atau denda maksimum Rp 5 juta. Begitu juga di Bandung, Pasal 37 huruf n perda No 3 dan 11/2005, “siapapun dilarang masang polisi tidur pada jalan umum tanpa izin walikota atau pejabat lain yang ditunjuk. Dan bagi pelanggarnya bisa dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum 1 juta rupiah, dan atau penahanan KTP, dan atau pengumuman di media massa.
Kesadaran masyarakat terhadap hukum masih dalam tahap pemahaman tentang hukum, karena dalam prateknya masih belum mengerti tentang peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Efektifitas implementasi hukum secara teoritis membicarakan daya kerja hukum untuk mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Kesenjangan implementasi hukum antara masyarakat dengan pemerintahan sering terjadi, baik itu kesalahan pemerintah dalam menegakkan hukum atau kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai hukum. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat menaati hukum, faktor- faktor tersebut adalah:7
-
1. Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang
didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukum atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan
7 Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, hal 153154.
hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibat kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah–kaidah hukum tersebut.
-
2. Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai instrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah– kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan–hubungan tersebut sehingga kepatuhan tergantung pada baik buruknya interaksi tadi.
-
3. Internatization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah– kaidah hukum di karenakan secara instrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah–kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai–nilai diri pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai–nilai yang semula dianutnya.
-
4. Kepentingan–kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.
Selain faktor-faktor yang mempengaruhi msayarakat untuk mematuhi hukum, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi hukum sehingga dapat berfungsi di masyarakat, antara lain:8
-
1. Kaidah hukum, pada teori-teori ilmu hukum terdapat tiga macam keberlakuan hukum sebagai suatu kaidah, yaitu: Kaidah hukum berlaku secara yuridis; Kaidah hukum
8 ZainuddinAAli, 2014, SosiologiAHukum. ASinarAGrafika, Jakarta, hlm. 63
berlaku secara sosiologis; Kaidah hukum berlaku secara filosofis.
-
2. Penegak hukum, seorang atau sekelompok orang yang
bertugas menerapkan dan menegakan hukum. Dalam menerapkan hukum, seyogianya petugas memiliki pedoman tertulis untuk mengatur ruang lingkup tugas.
-
3. Sarana dan fasilitas, berperan penting dalam mengefektifkan suatu peraturan, seperti sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
-
4. Masyarakat, derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan indikator berfungsinya hukum
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi hukum sehingga berfungsi dimasyrakat, maka dalam kasus pembuatan polisi tidur yang belum relevan dengan peraturan perundangan. Bisa diklarifikasi bahwa titik kesenjangan berada pada tahap penegak hukum yang belum efisien dalam melakukan pengawasan yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan terjadi pada tahap sarana atau fasilitas, karena belum ada pemahaman hukum pada masyarakat, sosialisasi atau komunikasi tentang peraturan pembuatan polisi tidur yang dilakukan oleh penegak hukum. Kesalahan terjadi pada faktor warga masyarakat yang tingkat kesadaran tentang hukum masih rendah ini terbukti bahwa tidak ada upaya yang nyata untuk memahami hukum atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat, Karena semakin tingkin derajat kesadaran hukum maka ketaatan masyarakat terhadap hukum tinggi dan hukum berfungsi dengan efektif. Faktor yang berkaitan tentang peningkatan kesadaran hukum di masyarakat sebagai berikut:9
9 Ibid, hlm. 66-69
-
1. Pengetahuan hukum, secara yuridis peraturan perundangan yang telah diterbitkan dan diundangkan sesuai dengan tahapan dan prosedur yang sah, maka telah dapat dikatakan berlaku secara yuridis dan perlu diketahui oleh masyrakat.
-
2. Pemahaman hukum kepada masyarakat diharapkan dapat menafsirkan suatu peraturan perundangan sehingga tujuan yang hendak dicapai oleh pembentukan pperaturan perundangan dapat terlaksanakan dan dicapai demi ketertiban bersama.
-
3. Ketaatan hukum masyarakat dipengaruhi oleh adanya sanksi yang berlaku jika melanggar suatu peraturan, atau kesesuaian hukum dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat sehingga masyarakat mentaati hukum.
-
4. Pengharapan terhadap hukum, masyarakat dapat merasakan ketertiban dan ketentraman dalam dirinya sebagai penghargaan atas keberlakuan suatu norma hukum.
-
5. Kesadaran hukum, memiliki tujuan agar masyarakat dapat memahami hukum dan mengetahui hukum terutama mengenai pembuatan speed bump atau tanggul jalan tanpa ijin.
-
III. Penutup
-
3.1. Kesimpulan
-
1. Dasar hukum speed bump tidak terdapat secara eksplisif pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Pengaturan mengenai speed bump hanya sebagai alat perlengkapan jalan, tidak diatur khusus melalui sebuah ketentuan pasal yang terdapat dalam peraturan perundangan. Speed bump hanya diatur regulasinya melalui surat keputusan dan peraturan meteri, khususnya speed bump yang dibangu pada jalan perumahan.
-
2. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
menaati hukum, yaitu: Identification, Compliance,
Internatization, Kepentingan masyarakat dijamin oleh hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum sehingga berfungsi di masyarakat yaitu penegak hukum; sarana dan fasilitas; kaidah hukum; masyarakat. Faktor peningkatan kesadaran hukum di masyarakat, yaitu: ketaatan hukum; peningkatan kesadaran hukum; pengharapan terhadap hukum; pengetahuan hukum; pemahaman hukum.
-
1. Disarankan kepada pemerintah untuk mengatur lebih tegas dan jelas mengenai keberadaan speed bump melalui peraturan perundangan, sehingga memiliki dasar pengaturan dan sanksi sehingga keamanan dan ketertiban dalam berlalu lintas dapat tercapai.
-
2. Disarankan kepada masyarakat agar lebih memahami setiap peraturan perundangan khususnya mengenai pembuatan speed bump sehingga tidak merugika pengemudi kendaraan bermotor.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, 2014, Sosiologi Hukum. Sinar Grafika, Jakarta.
Fajar, A. Muktie dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nur Tanjung, H. Bahdin dan H. Ardinal, 2005, “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi dan Tesis)”, Kencana, Medan.
Salman, Otje dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum Mengikat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2010, Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum), Mandar Maju, Bandung.
__________, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Suprapto, 2013, “Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial (Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dilengkapi dengan Teknik Pengolahan Data dan Tabel
Statistik)”, CAPS, Bogor.
Warpani, Suwardjoko. P, 2002, Pengelolaan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, ITB, Bandung.
Yuliadi, Witono Hidayat, 2015, Undang-Undang Lalu Lintas dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta.
Murtha, Luh Ketut Deva Ganika, 2013, Pengaturan Polisi Tidur Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Umum, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kertha Patrika, Denpasar.
Undang Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025).
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2010 tentang Acuan Pengelolaan Lingkungan Perumahan Rakyat
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakaian Jalan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2016 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4).
Surat Keputusan Kementerian |
Direktorat Jendral Perhubungan Darat Perhubungan No.AJ.003/5/9/DRJD/2011 |
tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Perlengkapan Jalan
14
Discussion and feedback