IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52 TAHUN 2011 TERHADAP OBJEK PAJAK HIBURAN OLAHRAGA GOLF
on
IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 52 TAHUN 2011 TERHADAP
OBJEK PAJAK HIBURAN OLAHRAGA GOLF
Oleh:
Ketut Nindy Rahayu Sugitha* I Gusti Ngurah Wairocana**
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat melepaskan diri dari manusia lainnya. Manusia hidup dalam tataran yang lebih besar yaitu sebuah negara. Tentu negara dalam mendukung kelangsungan hidup masyarakat, perlu adanya peran serta dari masyarakat itu sendiri, salah satunya melalui pajak. Namun, pemerintah selaku pembuat kebijakan terkadang kurang teliti dalam membuat kebijakan bagi masyarakat sehingga berdampak merugikan masyarakat, sebagai contohnya ialah pemungutan pajak ganda terhadap olahraga golf. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam jurnal ini akan dibahas mengenai implikasi yuridis dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52 Tahun 2011 terhadap olahraga golf yang dikenakan pajak ganda. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang meggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa olahraga golf tidak lagi dikenakan pajak ganda, melainkan hanya sebagai objek dari Pajak Pertambahan Nilai.
Kata Kunci: Golf, Pajak Ganda, PPN, Pajak Hiburan
ABSTRACT
Humans are social being which cannot separate themselves one another. They live in a bigger social context, a state. In order to maintain the well-being of a society, the state requires people’s support through taxes. On the other hand, the government usually pays less attention to the policy-making process. Thus, negatively impact the society. One of the phenomena is double taxation policy in golfing sports. This journal article will address this issue by discussing juridical implications of Indonesian Constitutional Court’s Decision No. 52 2011 regarding Golfing Sports and Double Taxation. The method in this article is normative research, using laws and regulation approach and law concept analysis.
Based on the research findings, golfing sport is no longer bound by double taxation policy. Instead, it is bound by value-added taxation policy.
Key Words: Golf, Double Taxation, Value Added Tax, Entertainment Tax.
Manusia merupakan makhluk sosial dalam menjalani kehidupan kesehariannya, hal tersebut dapat dilihat dari seseorang tidak dapat melepaskan diri dari manusia lainnya. Dalam lingkup kehidupan, manusia hidup bersama-sama dalam masyarakat untuk tataran lebih besar yang akan terjelma ke dalam suatu wadah yaitu sebuah negara. Negara tentunya membutuhkan sarana dan juga prasarana guna mendukung kelangsungan hidup masyarakat yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama-sama dalam berbagai bentuk, salah satunya ialah pajak. 1
Setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), sumber hukum keberadaan hukum pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menegaskan “pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pasal 23A UUD NRI 1945 pada hakikatnya tetap memuat asas legalitas yang bermula dari Pasal 23A ayat (2) UUD 1945. Sekalipun demikian, perubahan yang prinsipil karena bukan hanya mengenai sumber hukum pajak melainkan pungutan yang bersifat memaksa harus pula diatur dengan undang-undang. Perubahan ini menunjukkan perkembangan positif agar negara yang diwakili oleh pejabat pajak tidak sewenang-wenang membebankan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga
negara tanpa diatur dengan Undang-Undang sebagai perwujudan dari negara hukum.2
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyatakan bahwa pengertian dari pajak ialah kontribusi wajib terhadap negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, tanpa adanya kontraprestasi langsung serta digunakan untuk keperluan negara dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Tidak hanya terdapat dalam undang-undang, namun ada banyak pandangan para sarjana mengenai pajak, diantaranya pandangan dari Rachmat Soemitro, bahwa pajak peralihan kekayaan dari sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditujunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tjuan yang ada di luar bidang keuangan negara.3 Kemudian pandangan dari Soeparman Soemahamidjaya, memberikan definisi pajak ialah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesehjateraan umum 4 Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan, bahwa pengertian dari pajak ialah iuran wajib yang
dipungut dari masyarakat dan dibayarkan kepada negara guna untuk mensejahterakan kepentingan masyarakat.
Dalam pajak ada subjek pajak dan objek pajak, yang mana subjek pajak dapat berupa orang, badan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, termasuk Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment). Sedangkan objek pajak adalah segala sesuatu karena Undang-Undang sehingga dapat dikenakan pajak.5
Pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang penyelenggaraan olahraga golf dan penggiat olahraga golf (pembangunan dan pengusahaan serta menjalankan usaha lapangan golf, prasarananya dan jasa termasuk penyewaan lapangan atau peralatan golf, pendidikan dan pelatihan golf dan pengelolaan dan penyelenggaraan turnamen golf yang mengalami pelanggaran hak konstitusi, karena tidak diperlakukan sama di bidang perpajakan seperti halnya pelaku usaha di bidang olahraga lain di Indonesia.
Golf golf merupakan salah satu cabang olahraga yang berasal dari Skotlandia, digemari oleh kalangan dari berbagai usia, hal tersebut dikarenakan olahraga ini merupakan olahraga yang santai, tidak menghabiskan banyak energi, dan hanya memerlukan konsentrasi yang tinggi. Dengan banyaknya penghobi olahraga golf, sehingga tidak menutup kemungkinan olahraga golf merupakan objek yang dapat dikenakan pajak.
Olahraga ini merupakan cabang olahraga yang sudah diakui oleh masyarakat dan badan-badan olahraga dunia, dan juga oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Namun pemerintah, memasukkan olahraga ini ke dalam objek Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut dengan istilah PPN) sekaligus sebagai salah satu objek dari pajak hiburan. Hal ini berarti, olahraga golf
dikenakan pajak ganda berdasarkan peraturan yang ada.
Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011 (selanjutnya disebut Putusan MK No. 52 Tahun 2011), dinyatakan bahwa Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) mengenai setiap orang berhak mendapat perlakuan yang adil di hadapan hukum, dan juga pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Berdasarkan hal ini maka disusunlah jurnal ilmiah dengan judul: “IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52 TAHUN 2011 TERHADAP OBJEK PAJAK HIBURAN OLAHRAGA GOLF” 1.2 Rumusan Masalah
-
1. Apakah terdapat pengenaan pajak ganda terhadap objek yang sama selain olahraga golf yang dikatagorikan sebagai objek pajak hiburan?
-
2. Bagaimanakah kedudukan golf sebagai pajak hiburan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52 Tahun 2011?
Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan olahraga golf terkait dengan pengenaan pajak setelah adanya Putusan MK Nomor 52 Tahun 2011 dalam tatanan hukum pajak di Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.6
Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan jenis pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conseptual Approach). Jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach) merupakan pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi. 7 Kemudian jenis pendekatan yang kedua adalah pendekatan konseptual yang digunakan untuk memahami dan menemukan konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang tepat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:
-
1. Bahan hukum primer yang terdiri dari; Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Putusan MK No. 52 Tahun 2011.
-
2. Bahan hukum sekunder; adalah bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer seperti hasil karya ilmiah, hasil penelitian hukum maupun bahan literatur yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
-
3. Bahan hukum tersier; adalah bahan hukum yang akan memberikan petunjuk dan penjelasan terkait dengan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
Jurnal ilmiah ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang dapat dilakukan dengan cara seperti studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis. Adapun beberapa langkah-langkah yang dilakukan yakni mengumpulkan, membaca dan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat serta mengutip beberapa pendapat maupun pernyataan yang mendukung untuk menjawab permasalahan tersebut dan kemudian disusun secara sistematis sebagai landasan hukum untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Adapun teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif dan teknik sistematisasi. Teknik deskriptif ialah teknik yang menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik sistematisasi adalah teknik untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara peraturan perundang-undangan yang tidak sederajat.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengenaan Pajak Ganda Terhadap Objek yang Sama Ketika Golf Dikatagorikan Sebagai Objek Pajak Hiburan Golf merupakan olahraga yang dimainkan di sebuah
-
lapangan terbuka yang terdiri dari sebanyak sembilan atau
delapan belas lubang, lapangan golf dan pertandingan antar pemain golf pertama kali juga ada di Skotlandia, lalu menyebar ke berbagai negara lainnya seperti Inggris hingga belahan dunia lain sampai dengan saat ini di Indonesia.
Saat ini perkembangan mengenai olahraga golf sudah sangat berkembang, sudah ada lebih dari seratus lapangan golf tersebar di wilayah Indonesia, dan yang paling banyak terdapat di daerah Jawa. Khususnya di daerah Bali, ada sebanyak lima lapangan golf yang dapat digunakan oleh para peminat dan atlet golf, dan kelima lapangan tersebut masing-masing sudah pernah menjadi tempat perlombaan baik nasional maupun internasional.
Mengenai pajak itu sendiri sudah diatur dalam berbagai Undang-Undang, dua diantaranya adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Derah dan Retribusi Daerah. Walaupun peraturan di atas befungsi untuk dijadikan dasar hukum yang jelas guna tercapainya kepastian hukum, namun masyarakat terkadang masih beranggapan bahwa pemungutan pajak memberatkan serta tidak memenuhi rasa keadilan. Anggapan tersebut muncul karena adanya fakta-fakta yang terjadi di kehidupan masyarakat, diantaranya adalah pungutan pajak yang dilakukan dua kali atas suatu objek yang sama. Hal ini terjadi, saat pemerintah kurang cermat dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, yang memasukkan satu objek pajak ke dalam dua undang-undang yang berbeda. Hal ini tentu berdampak langsung ke masyarakat. Karena masyarakat merupakan subyek utama dari pajak, apabila tidak ada masyarakat, otomatis pemungutan pajak tidak akan dapat berjalan dengan baik dan efektif.
Dalam hal ini, salah satu pengenaan pajak ganda terjadi
pada olahraga golf, permainan bilyar dan boling sesuai dengan Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang mnyebutkan bahwa tiga olahraga tersebut termasuk dalam objek pajak hiburan, kemudian dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) yang menyatakan bahwa jasa usaha lapangan golf dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Namun pengenaan pajak hiburan yang dikenakan terhadap olahraga golf dinyatakan melanggar konstitusi dengan adanya Putusan MK No. 52 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa golf tidak layak dikenakan pajak hiburan karena tidak sesuai dengan prinsip perlindungan, jaminan hukum dan kesetaraan di hadapan hukum serta asas yang ada dalam perpajakan, yaitu asas kesehjateraan. W.J. de Langen menyatakan bahwa asas kesehjateraan adalah pemerintah memiliki tugas yang mana dari tugas tersebut satu sisi diberikan atau disediakannya barang dan jasa untuk masyarakat, dan di sisi lain juga ditariknya pungutan-pungutan dalam membiayai kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah, namun sebagai keseluruhan yaitu untuk meningkatkan kesehjateraan seluruh masyarakat Indonesia. 8
Berdasarkan Putusan MK No. 52 Tahun 2011 pada bagian pokok permohonan huruf a angka 10, menyatakan bahwa, apabila golf dimasukkan kedalam salah satu cabang hiburan, dikarenakan adanya kesalahan pemahaman gramatikal atas perbedaan pengertian dari olahraga dan hiburan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian golf adalah cabang olahraga dengan menggunakan bola kecil untuk dipukul dengan tongkat pemukul ke dalam tiap-tiap rentetan liang-liang (9 atau 10 buah) berturut-
turut.9 Sedangkan arti kata hiburan menurut Putusan MK No. 52 Tahun 2011 adalah sesuatu atau perbuatan yang dapat menghibur hati (melupakan kesedihan, dsb): taman ~ rakyat. Dilihat dari dua pengertian di atas, tentu ada kekeliuran apabila olahraga golf dimasukkan ke dalam katagori hiburan karena dari segi bahasa, golf diakui sebagai salah satu cabang olahraga yang merupakan kegiatan aktif karena dimainkan oleh para atlet, berbeda dengan hiburan yang merupakan kegiatan pasif.
Dengan dikeluarkannya Putusan MK No. 52 Tahun 2011 ini, maka olahraga golf bukan lagi merupakan objek dari pajak hiburan, melainkan hanya dikenakan PPN saja. Namun pengenaan pajak ganda terhadap bilyar dan boling masih berlaku hingga sekarang, karena belum adanya peraturan baru atau Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur mengenai bilyar dan boling secara lebih lanjut.
-
2.2.2 Kedudukan Pengenaan Pajak Olahraga Golf Setelah
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52 Tahun 2011
Pada masa sekarang, pajak dapat dikatakan sebagai gejala sosial dalam masyarakat, karena dalam hal ini subjek utamanya ialah masyarakat itu sendiri, apabila masyarakat tidak ada, maka pajak tidak akan dapat berjalan. Pajak dari persepektif ekonomi dapat dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat ke sektor publik, adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah, pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa, kemudian yang kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang
merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat.10 Sementara, ada pula pemahaman pajak dari persepektif hukum yang dikemukakan oleh Soemitro, yang menyatakan bahwa pajak merupakan suatu perikatan yang dapat timbul dari adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, dan negara mempunyai kekuatan untuk memaksa, dan uang hasil pemungutan pajak berfungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan, kemudian dapat dipahami bahwa pajak yang dipungut dari masyarakat harus berdasarkan undang-undang agar kepastian hukum terjamin baik bagi fiskus maupun wajib pajak.11
Tidak dapat dipungkiri, semakin hari pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seringkali mendapat sorotan negatif dari masyarakat. Hal ini disebabkan, karena setiap dilakukan pemungutan pajak yang dilaksanakan dua kali terhadap satu objek pajak yang sama. Dimana objek pajak tersebut dimasukkan ke dalam dua undang-undang yang berbeda, dan hal ini tentu menimbulkan keresahan masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum dan keadilan di dalamnya.12
Dalam hal ini, olahraga golf terdahulu diatur di dalam UU PPN dan UU PDRD, dan sebelum adanya Putusan MK No. 52 Tahun 2011, bahwa olahraga ini terkena pemungutan pajak ganda. Pengenaan pajak ganda yang terjadi merupakan salah satu persoalan serius yang harus dikaji agar tidak merugikan masyarakat, dan pemerintah juga memiliki kewajiban untuk peka
dalam membuat aturan mengenai pajak yang dampaknya langsung terhadap masyrakat itu sendiri.
Setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 52 Tahun 2011 yang diajukan oleh beberapa asosiasi pemilik lapangan golf di Indonesia, yang di dalamnya berisi pertimbangan-pertimbangan yang menyatakan bahwa olahraga golf tidak lagi termasuk dalam pajak hiburan, golf jelas merupakan olahraga sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 2005, karena golf merupakan kegiatan fisik yang mengembangkan jasmani, rohani dan sosial masyarakat sama seperti olahraga pada umumnya. Golf merupakan salah satu olahraga yang membawa Indonesia ke kancah dunia, karena saat ini ketertarikan terhadap olahraga golf kian meningkat, sehingga sudah banyak atlet muda maupun atlet senior yang mewakili Indoneisa di berbagai ajang perlombaan tidak hanya di Indonesia, namun mencakup perlombaan internasional.
Dengan dikabulkannya permohonan berdasarkan Putusan MK No. 52 Tahun 2011, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedudukan olahraga golf saat ini tidak lagi dikenakan pajak ganda tetapi hanya merupakan objek dari PPN saja.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Bahwa dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyebutkan ada sebanyak tiga olahraga yang termasuk dalam objek pajak hiburan, yaitu golf, permainan bilyar, dan boling, kemudian dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) yang menyatakan bahwa ketiga olahraga tersebut juga termasuk objek pajak yang dapat dikenakan PPN. Dengan dimasukkannya ketiga objek pajak di atas ke dalam dua undang-undang secara sekaligus, maka sebelum adanya Putusan MK No. 52 Tahun 2011, olahraga golf dikenakan pajak ganda. Namun, dengan berlakunya Putusan MK No. 52 Tahun 2011, olahraga golf hanya dikenakan PPN saja, tetapi berbeda halnya dengan bilyar dan juga boling yang tetap dikenakan pajak ganda karena belum ada peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut secara lebih lanjut.
-
2. Sebelum adanya Putusan MK No. 52 Tahun 2011 olahraga golf dimasukkan ke dalam dua undang-undang perpajakan secara bersamaan, yaitu ke dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyebutkan bahwa olahraga golf merupakan salah satu objek dari pajak hiburan, yaitu kemudian dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) yang menyatakan olahraga golf juga termasuk objek pajak yang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, kedudukan olahraga golf berubah setelah adanya Putusan MK No. 52 Tahun 2011, yang memasukkan olahraga golf hanya sebagai objek dari Pajak Pertamabahan Nilai, dan tidak lagi dikenakan pajak ganda.
Saran yang dapat penulis berikan sesuai dengan
permasalahan dan pembahasan di atas ialah untuk dapat
mencapai kepastian hukum dan kesehjateraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, maka pemerintah selaku pembuat kebijakan hendaknya lebih teliti dalam membuat peraturan, yang di dalamnya mencakup seluruh kebutuhan dari masyarakat, yang berorientasi pada kesetaraan. Selain pemerintah, tentu masyarakat harus berperan aktif juga dalam pembangunan negara, pemerintah harus melakukan cross checking antara aturan yang satu dengan aturan lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih maupun pertentangan di antara aturan yang dibuat, sehingga dikemudian hari pajak sebagai pemasukan terbesar bagi negara dapat dilakukan secara lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bohari, H., 2014, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Saidi, Muhammad Djafar, 2014, Pembaharuan Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soemitro, Rochmat, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung.
Sutedi, Adrian, 2016, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2015, Penelitian Hukum,
Prenamedia Group, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 1986, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Pudyatmoko, Y. Sri 2009, Pengantar Hukum Pajak, C.V Andi Offset, Yogyakarta.
Jurnal
Ilyas, Wirawan B, 2012, “Analisis Hukum Terhadap Pengenaan Pajak Ganda”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Universitas Al Azhar, Jakarta Selatan.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
16
Discussion and feedback