DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM VIRGINITY TEST SEBAGAI PRASYARAT CALON POLWAN DAN CALON PRAJURIT TNI DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL*

Oleh:

Sally Joanna**

Ida Bagus Wyasa Putra***

A.A. Sri Utari****

Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul “Diskriminasi Perempuan dalam Virginity Test sebagai Prasyarat Calon Polwan dan Calon Prajurit TNI dalam Perspektif Hukum Internasional”. Pentingnya dilakukan penelitian adalah untuk mengatahui mengenai pengaturan diskriminasi perempuan dalam virginity test berdasarkan Hukum Internasional dan pengaturan tanggung jawab Indonesia sebagai subjek hukum internasional dalam pelaksanaan virginity test.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.

Kesimpulan yang dapat diambil penulis yaitu, virginity test merupakan bentuk diskriminasi perempuan dinilai dari konvensi CEDAW, ICCPR, dan CAT. Indonesia bertanggung jawab untuk menghapus diskriminasi perempuan di mana suatu stereotip ada dalam pelaksanaan virginity test dengan mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya. Sebaiknya dibuatkan aturan yang spesifik mengenai virginity test dalam instrumen hukum internasional. Kemudian, konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Indonesia tersebut seharusnya dilaksanakan dengan itikad baik (good faih). Kata kunci : Diskriminasi perempuan, Tes keperawanan, Polisi wanita, Tentara Nasional Indonesia

ABSTRACT

This paper entitled "Discrimination of Women in Virginity Test as a Prerequisite of Police Candidates and Prospective Soldiers of the Indonesian Army in International Law Perspective". The importance of the research is to know about the regulation of the discrimination of women in virginity test based on International Law and the regulation of Indonesia's responsibility as the subject of international law in the implementation of virginity test.

The method used in this research is normative law research. Normative legal research is a legal research conducted by examining library materials or secondary data only.

The conclusions of the paper that can be drawn by the writer is virginity test is a form of discrimination of women seen from the conventions CEDAW, ICCPR, and CAT. Indonesia is responsible for eliminating the discrimination of women in which a stereotype exists in the implementation of virginity tests by taking legislative, administrative, legal or other effective measures. It is advisable to establish specific rules regarding virginity tests in international legal instruments. Then, the conventions that Indonesia has ratified should be implemented in good faith.

Keywords: Women's Discrimination, Virginity Test, Police woman, Indonesian Army

  • I.    PENDAHULUAN

    1.1.    LATAR BELAKANG

Sasaran utama dari pembangunan nasional negara Indonesia adalah perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Proses pembangunan tersebut dibutuhkan adanya keterlibatan masyarakat; laki-laki dan perempuan secara serasi, selaras dan seimbang atau dengan kata lain dibutuhkan adanya emansipasi dalam bidang kesempatan kerja. Selama ini pendekatan pembangunan yang dilaksanakan belum mempertimbangkan manfaatnya secara adil terhadap laki-laki dan perempuan, khususnya perempuan. Seperti dalam tujuan kelima dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development, yakni menjamin kesetaraan gender serta

memberdayakan seluruh wanita dan perempuan. (Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).

Secara umum, publik mengenal dan memahami definisi dan konsep mengenai seks dan gender sebagai manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan; di mana jenis kelamin laki-laki identik dengan maskulinitas dan jenis kelamin perempuan dengan femininitas, yang diasosiasikan dengan peran domestik sekaligus fungsi reproduksi. Definisi konsepsi ini umumnya dipahami bersifat esensial dan universal (sama di mana pun).1 Relasi sosial diantara konsepsi seks atau gender yang menyangkut masalah sosial, politik, maupun ekonomi, menjadi fokus dan inti pembahasan penulis yang mengkaji adanya kesenjangan sosial di mata dunia terhadap Indonesia dalam memperlakukan perempuan yang ingin menjadi polisi wanita maupun calon prajurit Tentara Nasional Indonesia. Adanya virginity test atau dikenal dengan Tes Dua Jari” menjadi sorotan pembela hak asasi manusia (HAM) khususnya di sini hak asasi perempuan.

"Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap tes keperawanan yang semena-mena oleh angkatan-angkatan ini mencerminkan ketiadaan itikad politik buat melindungi hak perempuan Indonesia," jelas Nisha Varia, direktur advokasi Human Rights Watch dari divisi hak perempuan. Tes tersebut diskriminatif, melecehkan perempuan, serta menghalangi akses kesetaraan bagi perempuan untuk memiliki pekerjaan penting."2

Dapat dilihat dari pernyataan di atas bahwa kesetaraan dan Keadilan gender sudah menjadi tuntutan oleh masyarakat

internasional kepada Indonesia. Adanya perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.3

Virginity test yang dinilai diskriminatif ini dikarenakan melanggar kententuan dalam The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau, International Covenant on atau Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau, dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) atau Konvensi Menentang Penyiksaan, serta beberapa instrumen internasional lainnya. Virginity test tidak berlaku bagi laki-laki, praktik ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan, yang menghalangi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kesempatan bekerja sebagai polisi atau tentara.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 36 menjelaskan bagi calon anggota prajurit perempuan harus menjalani pemeriksaan “obstetrics dan gynaecology” (rahim dan genitalia). Meskipun peraturan tersebut tidak secara gamblang menyebutkan virginity test atau tes

keperawanan. Juru bicara Tentara Nasional Indonesia, Fuad Basya, mengatakan bahwa tes keperawanan adalah cara menyingkirkan calon prajurit perempuan yang kepribadiannya tidak bagus. Tes keperawanan mencakup tes dua jari yang dipakai buat memeriksa apakah hymen para calon prajurit masih utuh, tidak ada bukti ilmiah terhadap akurasi dan kegunaan tes ini. Sekalipun para calon prajurit yang hymen tak utuh tak berarti langsung tak lolos, semua responden yang ditemui Human Rights Watch mengatakan bahwa tes tersebut menyakitkan, memalukan, dan meninggalkan trauma.4

  • 1.2.    RUMUSAN MASALAH

    • 1.2.1.    Bagaimanakah pengaturan diskriminasi perempuan dalam virginity test berdasarkan Hukum Internasional?

    • 1.2.2.    Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab Indonesia sebagai subjek hukum internasional dalam pelaksanaan virginity test?

  • 1.3.    TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis tentang diskriminasi perempuan dalam Virginity Test dengan melihat pandangan hukum internasional dan tanggung jawab negara Indonesia sebagai subjek hukum internasional dalam menangani tes keperawanan yang dinilai diskriminatif.

II.ISI MAKALAH

2.1.    METODE PENULISAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka.5 Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), pendekatan kasus (The Case Approach) pendekatan Fakta (The Fact Approach), dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conceptual Approach).

  • 2.2.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1. Diskriminasi Perempuan dalam Virginity Test Dilihat dari Perspektif Hukum Internasional

“The National Police has confirmed that the virginity test on female cadets is used to measure their physical fitness as well as their morality.”6 Dikatakan bahwa moralitas merupakan faktor dilaksanakannya praktik tes keperawanan yang sudah lama berlangsung tersebut. Moral berasal dari kata “mores” dalam Bahasa Latin yang juga berasal dari kebiasaan.7 Adapun sistem patriakhi yang menjadi faktor tes keperawanan berlanjut. Menurut teoritisi penindasan gender, situasi wanita sebagai akibat dari hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan wanita, laki-laki memiliki kepentingan mendasar dan konkret untuk mengendalikan, menggunakan, menaklukkan, dan menindas wanita, yaitu untuk melakukan dominasi. Dominasi adalah setiap hubungan antara satu pihak (individu/kolektif) yang dominan berhasil membuat pihak lain (individu/kolektif) yang disubordinasikan sebagai alat keinginannya dan menolak untuk mengakui subjektivitas pihak yang disubordinasikan. Patriarki

adalah struktur kekuasaan primer yang dilestarikan dengan maksud yang disengaja. Menurut kebanyakan teoritisi penindasan, perbedaan dan ketimpangan gender adalah hasil sampingan sistem partriarki.8

Individu merupakan subjek hukum internasional. Seperti pendapat Prof. Georges Scelle, pakar hukum kenamaan dari Perancis bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional. Para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa bukankah tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu dia mendapatkan perlindungan internasional.9 Oleh karena itu, perempuan adalah individu yang mendapatkan perlindungan internasional.

Tes keperawanan sering kali dipakai untuk memisahkan perempuan-perempuan “murni” dari perempuan-perempuan “tidak murni”. Di beberapa komunitas, hanya perempuan-perempuan "murni" yang harus menikah, dapat memiliki pekerjaan tertentu, atau dihormati.10 Terlebih tes keperawanan hanya berlaku bagi perempuan. Namun, hal ini bertentangan dengan Konvensi CEDAW telah disepakati dalam Pasal 1:

“Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum

perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.”

Diterangkan lagi bahwa pemeriksaan keperawanan itu sendiri telah mengakibatkan kerusakan fisik pada peserta ujian juga sering mengakibatkan trauma psikologis dengan efek merugikan jangka panjang, termasuk tetapi tidak terbatas pada kecemasan, depresi, kehilangan harga diri, dan keinginan bunuh diri. Dan dijelaskan bahwa tes keperawanan tidaklah akurat. Hal tersebut bila ditelaah bertentangan dengan aturan dalam ICCPR yang diratifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik, yaitu Pasal 7 ICCPR: “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.”

Selajutnya dalam pemeriksaan keperawanan juga sering mengakibatkan trauma psikologis dengan efek merugikan jangka panjang, termasuk tetapi tidak terbatas pada kecemasan, depresi, kehilangan harga diri, dan keinginan bunuh diri. Human Rights Watch mewawancara polisi wanita maupun pelamar polisi wanita di enam kota Indonesia yang telah menjalani tes keperawanan, dua di antaranya pada tahun 2014. Semua narasumber menjelaskan tes tersebut menyakitkan dan membuat trauma.11 Melihat pernyataan ini, menentang isi dalam CAT yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, pada Pasal 1 angka (1) CAT:

“Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

Bila dilihat unsur-unsur pokok pasal diatas mencakup:

  • a.    Timbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa.

  • b.    Oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat-pejabat Negara yang berwenang.

  • c.    Untuk suatu tujuan tertentu, seperti mendapatkan informasi, penghukuman atau intimidasi.12

Selanjutnya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) juga dijelaskan dalam Pasal 5, bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Profesional kesehatan juga mengidentifikasi pelanggaran privasi dan otonomi sebagai efek buruk dari tes keperawanan. Sesuai dengan ketentuan dalam DUHAM Pasal 12 bahwa,

“Tidak seorangpun boleh diganggu secara sewenang-wenang dalam urusan pribadi, keluarga, rumah tangga atau hubungan surat-menyuratnya, juga tidak boleh dilakukan

serangan terhadap kehormatan dan reputasinya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau penyerangan seperti itu.”

Pasal 25 angka (1) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, usia lanjut, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya. Dalam pelaksanaannya tes keperawanan tidak menjamin kesehatan reproduksi, maupun kesehatan jasmani dan mental perempuan yang di tes tersebut.

Terakhir, tes keperawanan dilaporkan memiliki dampak sosial yang merugikan termasuk pengucilan sosial, anggapan yang dianggap tidak layak dibawa ke keluarga dan masyarakat, diskriminasi kerja, penghinaan, dan peningkatan risiko kekerasan seksual. Alasan sosial yang berlaku untuk pengujian adalah bahwa keperawanan perempuan yang belum menikah menunjukkan karakter moral dan nilai sosialnya, akan tetapi diteliti tidak ada hubungannya. Demikian hal tersebut bertentangan dalam DUHAM Pasal 7 yang mengatakan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apa pun. Semua orang berhak untuk mendapatkan perlindungan yang sama terhadap diskriminasi apa pun yang melanggar deklarasi ini dan terhadap segala hasutan untuk melakukan diskriminasi tersebut.

  • 2.2.2. Pengaturan Tanggung Jawab Indonesia sebagai Subjek Hukum Internasional dalam Pelaksanaan Virginity Test

Hukum internasional telah mengatur bahwa di dalam kedaulatan terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Karenanya, suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakan atau kelalaiannya yang melawan hukum.13 Setiap perbuatan hukum akan mempunyai akibat hukum. Apabila perbuatan negara melalui Lembaga atau alat perlengkapan negara merugikan subjek hukum internasional lainnya, akan menimbulkan tanggung jawab negara atas kerugian tersebut.14

Akibat hukum dari telah diratifikasinya Konvensi CEDAW oleh Indonesia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala), secara moral, negara dan seluruh bangsa Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan seluruh asas-asas yang tercantum dalam konvensi tersebut, kecuali apabila ada asas yang direservasi pada waktu dilakukan penandatanganan perjanjian dimaksud. Menurut Pasal 2 CEDAW, negara wajib:

  • a.    Mengutuk diskriminasi, melarang segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui peraturan perundang-undangan, serta realisasinya;

  • b.    Menegakan perlindungan hukum terhadap wanita melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, serta perlindungan wanita yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminatif; c) Mencabut semua aturan dan kebijaksanaan, kebiasaan dan praktik diskriminatif terhadap wanita.

Tes keperawanan ditinjau sebelumnya merupakan tes yang tidak akurat, tidak masuk dalam literatur medis. Ini bertentangan dengan Pasal 7 Konvensi ICCPR: “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau meredakan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.” Pengabaian terhadap terhadap tes keperawanan sama dengan pengabaian terhadap hak asasi perempuan, khususnya dalam bidang kesehatan.

Dijelaskan pula bahwa negara bertanggung jawab untuk melindungi masyarakatnya dari hal-hal yang diskriminatif, khususnya di pembahasan ini yaitu diskriminasi gender, seperti yang tertuang dalam Pasal 26, yang berbunyi:

“Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”

Tes keperawanan yang dilakukan oleh instansi Kepolisan dan TNI diatur diluar hirarki peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), yaitu dalam bentuk petunjuk teknis (juknis) yang hanya merupakan peraturan pelaksana UU yang bersifat fungsional non-hirarkis. Batasan kewenangan yang telah dilanggar dalam Juknis ini adalah aspek wewenang obyektifnya yaitu keliru menafsirkan status kesehatan bagi yang sudah tidak perawan lagi kedalam status kesehatan tingkat 4 yang artinya dianggap memiliki kelainan berat

sehingga tidak mampu melakukan tugasnya padahal keperawanan tidak ada hubungannya dengan kemampuan fisik dan status kesehatan seseorang secara medis. Selain itu batasan kewenangan lainnya yang dilanggar adalah kewenangan subyektifnya, dimana pejabat yang membuat ketentuan ini menentukan sendiri secara keliru bagaimana cara melakukan rekruitmen TNI, dengan hanya mendasarkan uji status kesehatan keseluruhan pada satu organ tubuh kewanitaan yang sebetulnya tidak terlalu berarti. Melihat hal itu, CAT Pasal 2 menegaskan:

  • 1.    Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.

  • 2.    Tidak ada terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

  • 3.    Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

Didukung juga dalam pasal 16 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap Negara Pihak harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apa bila tindakan semacam itu telah dilakukan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya....”

Dikatakan pula dalam hal ini tes keperawanan tidaklah akurat dalam dunia medis, maka negara harus melakukan penyelidikan terhadap tes keperawanan yang mengandung unsur penyiksaan melalui instansi kedokteran. Seperti yang tertuang pada Pasal 12, “Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi-instansi yang berwenang harus melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan

yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya.”

  • III. KESIMPULAN

  • 3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: Pengaturan diskriminasi perempuan dalam Virginity Test (tes keperawanan) berdasarkan Hukum Internasional. Pertama, berdasarkan Konvensi CEDAW, bahwa memisahkan perempuan-perempuan “murni” (perawan) dari perempuan-perempuan “tidak murni” merupakan bentuk diskriminasi perempuan. Kedua, dijelaskan bahwa tes keperawanan tidaklah akurat. Hal ini bertentangan dengan Konvensi ICCPR. Ketiga, Konvensi CAT menilai tes keperawanan merupakan diskriminasi karena mengakibatkan trauma psikologis dengan efek merugikan jangka panjang. Terakhir, dalam DUHAM, dikatakan tes ini berupa pelanggaran privasi dan otonomi,setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun, serta hak kesehatan reproduksi (jasmani) dan mental perempuan.

Pengaturan tanggung jawab negara Indonesia sebagai subjek hukum internasional dalam pelaksanaan virginity test. Berdasarkan CEDAW, ICCPR, dan CAT, Indonesia berkewajiban menghapus diskriminasi perempuan, stereotip yang ada dalam pelaksanaan tes keperawanan dengan mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya.

  • 3.2.    Saran

Saran, sebaiknya dibuatkan aturan yang konkrit atau spesifik mengenai tes keperawanan dalam instrumen hukum internasional. Sehingga hukum nasional dapat mengadopsinya untuk mengatasi diskriminasi perempuan dalam tes keperawanan. Negara Indonesia sebaiknya menanamkan nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik melalui sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan pertahanan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Fakih, Mansour, 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet.XV, Pustaka Belajar, Yogyakarta.

Mauna, Boer, 2005, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era Dinamika Global, Alumni, Bandung.

Santoso, H.M. Agus, 2012, Hukum, Moral & Hukum, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta.

Sefriani, 2016, Hukum Intenasional: Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

______,  2016, Peran Hukum Nasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Soetjipto, Ani, 2013, Gender dan Hubungan Internasional Sebuah Pengantar, Jalasutra, Yogyakarta.

Jurnal

Olson, Rose McKeon dan Claudia García-Moreno, 2017, “Virginity testing:  a systematic review”, US National Library of

Medicine National Institute of Health – URL : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5437416/ #CR29, diakses tanggal 22 Maret 2018.

Dokumen Internasional dan Peraturan Perundang-undangan.

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts

Women

International Covenant on Civil and Political Rights

Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment

Universal Declaration of Human Rights

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Lembaran Negara Republlk Indonesia Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 136)

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009, tentang Pedoman Pemeriksaa Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Internet

Anonim, 2012, “Konvensi Anti Penyiksaan”, Institute of Criminal Justice Reform – URL:  http://icjr.or.id/konvensi-anti-

penyiksaan/, diakses tanggal 7 Mei 2018.

Anonim, 2017, “Indonesia: Tes Keperawanan Masih Berlanjut”, https://www.hrw.org/id/news/2017/11/22/311756, diakses 5 Januari 2018.

Perdani, Yuliasri dan Hans Nicholas Jong, 2017, “Virginity test to confirm cadets' morality: Police”, The Jakarta Post – URL : http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/20/virginit y-test-confirm-cadets-morality-police.html, diakses tanggal 27 Maret 2018/

16