IMPLIKASI DARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 DALAM KAITANNYA DENGAN TUGAS, FUNGSI, DAN KEWENANGAN DPD
on
IMPLIKASI DARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 DALAM KAITANNYA DENGAN TUGAS, FUNGSI, DAN KEWENANGAN DPD
Oleh :
Daud Jusuf Thommor Rudy
Edward Thomas Lamury Hadjon
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
ABSTRAK
Penulisan ini berjudul Implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Mengingat akhir bulan Maret, tepatnya pada tanggal 27/2013, menjadi hari bersejarah bagi Sistem Pemerintahan di Indonesia, khususnya bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, melalui pendekatan undang-undang. Adapun tujuan yang ingin diperoleh dari makalah ilmiah ini yaitu untuk mengetahui Implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Mahkamah Konstitusi (MK) telah secara resmi membacakan putusannya terkait dengan perkara pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari putusan tersebut, lahirlah sebuah kejelasan mengenai fungsi dan kewenangan DPD dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan daerah, sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) juncto pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Kata Kunci : Implikasi, Putusan, Mahkamah Konstitusi
ABSTRACT
The writing is titled Implications of Constitutional Court Decision No.92/PUU-X/2012. Given the end of March, exactly at the date of 27/2013, a historic day for the administration system of Indonesia, particularly for Regional Representative Council (DPD). Research methods used in writing this is a normative, legal research approach through legislation. As for the goals of scientific papers is to know the implications of the Constitutional Court Decision No.92/PUU-X/2012. The Constitutional Court (MK) has been formally read out the verdict in connection with proceedings of Act No.27 of 2009 on the People's Consultative Assembly, the House of Representatives, Regional Representatives Council, and Regional House of Representatives and the Law 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945. Of the verdict, was born a clarity on the functions and authority of the DPD in the formation of legislation related to the area, as contained in the provisions of article 22D paragraph (1) and (2) in conjunction with article 20 paragraph (2) of the 1945 Constitution.
Keywords: Implications, Decision, The Constitutional Court
Politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum, salah satunya peraturan perundang-undangan yang dapat menunjukkan sifat kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.1
Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.2 Sedangkan Abdul Wahid mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (be-leids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya).3
Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. pembentukan peraturan perundang-undangan akan selalu dipengaruhi oleh unsur politik itu sendiri, karena arah kebijakan suatu pembentukan peraturan perundang-undangan akan selalu mangikuti perkembangan politik yang ada pada saat itu. Untuk melihat perkembangan atau politik hukum maupun politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu, secara substansial sebenarnya dapat dilihat dari produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui Implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan kejelasan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan DPD dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan daerah.
Pada penulisan ini metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam peraturan perundang – undangan.4
Meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara menjadi fungsi, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan badan lembaga tinggi negara yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) UUD 1945.5
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dangan undang-undang.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa sistem perwakilan di MPR menganut sistem bicameral dimana MPR adalah forum bersama (joint session) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kehadiran DPD yang kemudian merubah sistem perwakilan menjadi dua kamar tetap mempertahankan keberadaan MPR untuk menyebut nama rumah parlemen yang terdiri atas dua kamar itu. Dalam kaitan dengan checks and balances sehingga diajukan
gagasan perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan) menjadi parlemen sistem bikameral (dua kamar). Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yaitu DPR dan lembaga perwakilan teritorial yaitu DPD. Namun pada prakteknya DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam UUD 1945. Keberadaan DPD dianggap sebagai aksesoris demokrasi dalam sistem perwakilan.6
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dianggap mereduksi kewenangan DPD dalam mengambil keputusan membentuk UU. Statusnya hanya terbatas pada kewenangan mengusulkan RUU yang tidak setara dengan RUU dari DPD & Presiden, karena DPD hanya mengajukan RUU ke DPR lalu apabila RUU disetujui atau disetujui dengan perubahan RUU tersebut akan menjadi RUU DPR. Kewenangan DPD membahas dan memberi pertimbangan terhadap RUU, ada atau tidak ada pendapat dari DPD tidak menyebabkan terhentinya pembahasan RUU. Dalam pasal 150 ayat (3) juga mengecualikan DPD untuk terlibat dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagaimana DPR dan Pemerintah, padahal pengajuan dan pembahasan DIM justru merupakan inti dari pembahasan RUU dan menentukan politik hukum dari suatu RUU.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) pasal 20 ayat (1) dijelaskan bahwa “Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah” yang menurut DPD tidak sejalan dengan pasal 22D UUD 45. Lalu dalam ayat (3) dijelaskan bahwa “Penyusunan Prolegnas DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari: fraksi, komisi, anggota DPR, anggota DPD, dan/atau masyarakat.” Pasal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan DPD untuk mengajukan RUU didistorsi seolah-olah sama seperti kewenangan fraksi dan komisi sebagai alat kelengkapan DPR. DPD hanya berwenang untuk mengusulkan rancangan UU untuk diajukan kepada DPR, sehingga DPD menjadi subordinat dan organ pelengkap DPR. Dalam pasal 65 ayat (3) “keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I” yang telah mengurangi posisi kedudukan DPD dalam legislatif.
Beberapa kondisi tersebut mendorong DPD untuk menegaskan konstitusionalitas fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam sistem parlemen dua kamar (bicameral) dengan mengajukan gugatan kepada MK melalui instrumen constitutional review terkait UU MD3 dan UU P3 yang telah mereduksi kewenangan DPD dalam hal proses legislasi berdasarkan UUD 45. Perkara No.92/PUU-X/2012 diputus Februari 2013 dikabulkan oleh MK yang berakibat kepada posisi DPD dalam legislasi. MK menilai bahwa UU MD3 dan UU P3 mengurangi kewenangan konstitusional DPD untuk membahas RUU yang telah ditentukan dalam UUD 45 pasal 22D (2):
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.”
Atas pengujian tersebut MK menyimpulkan 5 pokok persoalan konstitusional DPD, Pertama, kewenangan DPD mengusulkan RUU yang di atur dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR. Kedua, kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebut pada pasal 22D 1945 bersama DPR dan Presiden. Ketiga, kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebut dalam pasal 22D UUD 1945. Keempat, keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang menurut DPD sama dengan keterlibatan Presiden dan DPR. Kelima, kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebut pada pasal 22D UUD 1945.
Implikasi dari putusan MK No.92/PUU-X/2012 adalah DPD menjadi setara dengan DPR dan Presiden di bidang legislatif. Sehingga DPD berwenang mengajukan RUU yang akan dibahas dan ditanggapi oleh DPD dan Presiden. DPD juga ikut membahas, mempertimbangkan dan memberi persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh DPR atau Presiden. DPD terlibat dalam penyusunan Prolegnas dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diajukan oleh masing-masing lembaga negara (DPR, DPD, Pemerintah). Konsekuensi dari putusan MK ini adalah terciptanya proses legislasi model tripartit (DPR-DPD-Presiden).
III.KESIMPULAN
Tugas, fungsi dan kewenangan DPD yang diatur oleh UUD 45 telah direduksi oleh beberapa pasal yang terdapat di UU MD3 dan UU P3 yang mengurangi tugas, fungsi dan kewenangan DPD. Sehingga UU tersebut perlu direvisi untuk dapat menyesuaikan tata tertib lembaga pemerintahan, agar dapat mengakomodir proses legislasi DPD. Karena DPD sebagai lembaga tinggi negara harus diberikan kewenangan yang signifikan sebagai territorial representation, agar dapat mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan daerah serta dapat mentransformasi aspirasi dan mandat masyarakat menjadi produk kebijakan nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/PUU-X/2012 memberikan perubahan pada pola legislasi DPD menjadi setara dengan DPR dan Presiden, tidak lagi sebagai subordinat DPR. Selanjutnya DPD berhak dan berwenang mengusul dan membahas RUU yang berkaitan dengan daerah, serta ikut dalam penyusunan prolegnas.
IV. DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Manan, Bagir, 1994, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta.
Haryadi, Agus, et.al, 2006, Bikameral Bukan Federal, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta.
Rahman, Hasanuddin, 2004, Dewan Perwakilan Derah: Bicameral Setengah Hati, Media Pressindo, Yogyakarta.
Wahid Masru, Abdul, 2003, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
6
Discussion and feedback