PERANAN UNITED NATIONS HIGH COMMISSIONER FOR REFUGEES DALAM PENANGANAN PENGUNGSI SURIAH DI UNI EROPA

Oleh:

Anak Agung Sagung Mahandhani Krisna

Putu Tuni Cakabawa Landra

Program Kekhususan Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengakui praktik pemberian suaka (asylum) kepada orang-orang yang lari dari persekusi, atau bahaya di negara sendiri. Pengungsi Suriah sebagai subjek yang membutuhkan perlindungan harus lari ke negara-negara terdekat salah satunya ialah Jerman, dan Yunani yang merupakan anggota Uni Eropa. Peranan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), diperlukan demi memberikan perlindungan, dan solusi jangka panjang yang efektif bagi pengungsi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini menemukan dua masalah yakni bagaimanakah kebijakan penanganan pengungsi Suriah di Uni Eropa, dan bagaimana peranan UNHCR dalam penanganan pengungsi Suriah di wilayah negara-negara Uni Eropa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian normatif. Kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah kebijakan penanganan pengungsi di Uni Eropa dikeluarkan dalam bentuk Common European Asylum System (CEAS), pernanan UNHCR dalam penanganan pengungsi terwujud dengan kerjasama langsung dengan negara-negara anggota Uni Eropa seperti Jerman, Yunani dan Hungaria.

Kata Kunci: Pengungsi Suriah, UNHCR, Uni Eropa, Negara-negara Eropa

Abstract

Universal Declaration of Human Rights states that everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution. The right to asylum extends to Syrian refugees who had to flee from their country in fear of persecution, they had to flee to European Union Countries member such as Germany, and Greece to find safe haven. United Nations High Commissioner for Refugees as United Nations agency with mandate to protect refugees, the organisation roles is crucial in order to give a long term durable solution for Syrian refugees. Therefore the problems found in this research is how is the regulation on Syrian refugees protection in the European Union, and how is UNHCR roles in giving protection to the Syrian refugees within the members of European Union. Method used in this research is normative legal. In conclusion the regulation on refugees in European Union is named Common European Asylum System (CEAS), and UNHCR roles in giving protection is acted by cooperating with European Union members like Germany, Greece, and Hungary.

Key words: Syrian refugees, UNHCR, European Union, European countries

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 2011, lebih dari 250.000 warga Suriah meregang nyawa akibat konflik bersenjata, yang diawali oleh demonstrasi anti pemerintah sebelum kemudian berujung pada konflik dalam negeri yang berkepanjangan.1 Setidaknya lebih dari 11 juta penduduk Suriah terpaksa harus meninggalkan rumah mereka, diakibatkan kelompok pendukung Presiden Bashar al-Assad dan kelompok oposisi saling berperang satu sama lain.2 Mayoritas warga Suriah yang berhasil selamat dari konflik telah mengungsi ke negara-negara tetangga.

Setidaknya 866.831 warga Suriah tiba di negara-negara Uni Eropa ditambah dengan Norwegia dan Swiss dari April 2011 hingga Februari 2016.3 Dalam kurun waktu setahun jumlah pengungsi Suriah mencapai 378.000, menyumbang 29% dari total pencari suaka di Eropa serta menduduki peringkat terbesar di antara negara-negara lain. Jumlah ini meningkat dari 125.000 pada tahun 2014 dan 49.000 di tahun 2013.4

Jerman sebagai negara tujuan pengungsi terbesar di Eropa menerima setidaknya 98.700 pengungsi.5 Bahkan diperkirakan jumlah permintaan suaka pengungsi di negara tersebut melambung di atas perhitungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) saat ini.6 Hal ini kemudian diikuti oleh Swedia yang menerima 64.700 pengungsi, lalu Hungaria sebanyak 18.800 pengungsi, Denmark sebanyak 11.300, Perancis 6700 dan Britania Raya menerima sebanyak 7000 pengungsi.7

Uni Eropa sebagai organisasi regional yang menanungi negara-negara di Eropa melakukan upaya untuk membantu menangani masalah pengungsi yang dihadapi negara-negara anggotanya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemebentukan Common European Asylum System (CEAS), yang

merupakan standar bagi Negara-Negara anggota Uni Eropa dalam menghadapi masalah pengungsi.8

Kerja sama antara negara-negara dalam naungan Uni Eropa, dengan UNHCR, dilakukan untuk membantu mengatasi masalah pengungsi Suriah. UNHCR sebagai badan PBB yang menangani masalah pengungsi berkewajiban memberikan perlindungan, memberikan solusi jangka panjang terkait penanganan pengungsi.9 Pengungsi-pengungsi yang dilindungi adalah pengungsi-pengungsi yang tidak dibatasi dateline seperti konvensi mengenai pengungsi tahun 1951, juga tidak dibatasi batas geografis tertentu.10 Peranan UNHCR tersebut dilakukan agar hak-hak dari para pengungsi tidak dilanggar oleh Negara yang tidak mengehendaki hadirnya pengungsi di wilayah negaranya.

  • 1.2.    Tujuan

Tujuan penulisan jurnal ini untuk mengetahui bagaimana kebijakan penanganan pengungsi Suriah di Uni Eropa dan bagaimana peranan United Nations High Commissioner for Refugees dalam penanganan pengungsi Suriah di wilayah negara-negara Uni Eropa.

  • II.    Isi Makalah

    2.1.    Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan suatu penelitian Hukum Normatif. Penggunaan penelitian hukum normatif berarti

penelitian meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.11 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan conceptual.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1. Kebijakan Penanganan Pengungsi Suriah di Uni

Eropa

  • 2.2.1.1.    Kebijakan Penyelamatan Hidup Pengungsi Di Laut

Negara-negara anggota Uni Eropa telah menyetujui penetapan European Border and Coast Guard yang baru pada bulan Juni 2016, tujuannya ialah untuk memperkuat manajemen dan keamanan dari perbatasan Uni Eropa.12 Adanya European Border and Coast Guard dapat membantu memberikan tambahan bantuan secara teknis serta memfasilitasi kerja sama antara petugas perbatasan negara anggota yang satu dan lainnya.13 Bantuan secara teknis ini ialah berupa bantuan peralatan seperti perahu, pesawat terbang dan juga staff yang sudah terlatih secara khusus. 14

  • 2.2.1.2.    Kebijakan Perlindungan Batas-Batas Wilayah Uni Eropa

Selain itu demi mengatasi masalah jaringan kriminal, Kantor Polisi Eropa kemudian membentuk European Migrant Smuggling Centre (ESMC) untuk membantu negara-negara anggota Uni Eropa, dalam membongkar jaringan kriminal

yang bertanggung-jawab dalam penggelapan migran secara

terorganisir.15 Terbentuknya ESMC diharapkan akan membantu mengimplementasikan action plan Uni Eropa, terhadap penyelundupan migran dan meningkatakan fungsi Uni Eropa dalam menghadapi jaringan penyelundup manusia yang ada.16

  • 2.2.1.3.    Kebijakan Relokasi, Pemukiman Ulang, dan Pemulangan

Berdasarkan proposal dari Komisi Eropa, negara anggota telah menyetujui pemindahan 160.000 pencari suaka dari Yunani dan Italia ke negara-negara anggota Uni Eropa lainnya hingga bulan September 2017.17 Walau berkomitmen untuk dapat merelokasi 160.000 orang, hanya 98.255 orang akan direlokasi, hal ini dikarenakan 54.000 akan menjalani proses resettlement di luar Uni Eropa bukannya direlokasi di dalam, serta 7.745 di antaranya belum dialokasikan.18

Sebuah Voluntary Resettlement Program yang telah disetujui oleh negara anggota Uni Eropa dibentuk untuk melaksanakan transfer 22.500 orang dari luar Uni Eropa ke negara anggota Uni Eropa, 7.745 di antaranya belum dialokasikan.19 Peningkatan pengembalian migran yang tidak memiliki hak untuk tinggal di Uni Eropa ke negara

asalnya juga telah dilakukan.20 Negara anggota setuju untuk mengaplikasikan aturan untuk pengembalian, dan agensi perbatasan Uni Eropa akan membantu mereka, dengan cara mengkoordinasikan pengembalian penerbangan.21

  • 2.2.1.4.    Pembentukan Perjanjian Bilateral Antara Uni

    Eropa Dan Turki

Untuk menghentikan penyelundupan manusia dan memberikan bantuan kepada pengungsi, Uni Eropa dan Turki sepakat bahwa pencari suaka yang tiba di pulau-pulau sekitar Yunani secara illegal akan dipulangkan kembali ke Turki mulai 20 Maret 2016.22 Untuk setiap pengungsi Suriah yang dipulangkan ke Turki dari Yunani, Uni Eropa akan mengambil pengungsi Suriah yang berada di Turki.23 Tim Pengembalian telah beroperasi dari pulau-pulau di Yunani hingga ke Turki, bersamaan dengan penerbangan resettlement secara langsung dari Turki ke negara-negara anggota Uni Eropa.24

  • 2.2.1.5.    Kebijakan Stopping Irregular Uncontrolled Migration

Uni Eropa membentuk pusat penerimaan pengungsi di Yunani dan Itali untuk membantu pihak setempat menangani laju migrasi.25 Para ahli pun dikirim untuk membantu mendata orang-orang yang datang dan

mengkoordinir pengembalian beberapa migran ke negara asal mereka.26 Diikuti oleh aliansi dengan negara-negara asal dari pengungsi, demi menyelamatkan lebih banyak jiwa, meningkatkan pengembalian.27 Dalam jangka panjang harapannya langkah-langkah ini dapat membantu pertumbuhan dari negara-negara asal tersebut demi mengentaskan akar penyebab dari migrasi ini.

  • 2.2.1.6.    Reformasi Ketentuan-Ketentuan Uni Eropa Berkaitan dengan Pencari Suaka

Meski Uni Eropa baru membentuk a common asylum policy di tahun 1999, peraturan-peraturannya memang tidak pernah ditujukan untuk menghadapi jumlah besar migran yang tiba dalam kurun waktu yang singkat.28

Negosiasi terhadap Common European Asylum System (CEAS) dimulai sejak tahun 1999 di Kota Tampere, Finlandia.29 Dalam negosiasi tersebut negara-negara anggota Uni Eropa menghendaki unifikasi peraturan pada sistem suaka, untuk mengatasi beberapa masalah utama seperti klaim suaka yang berulang (asylum shopping).30 Fase pertama selesai pada tahun 2006 dibawah Hague Programme, dan fase Kedua selesai pada Tahun 2013 dibawah Stockholm Programme, yang merupakan amandemen dari fase pertama.31

CEAS terdiri atas Temporary Protection Directive, Family Reunification Directive, Reception Condition Directive, Asylum Procedure Directive, Qualification Directive, Dublin Regulation, dan Eurodac Regulation.32 Berikut adalah uraiannya:

  • (1)    Temporary Protection ialah langkah yang tepat untuk membantu displaced persons dari negara bukan anggota Uni Eropa, yakni orang-orang yang tidak bisa kembali ke negara asal mereka, bantuan pun diberikan dengan diberikannya perlindungan sementara secara langsung.33

  • (2)    Family Reunification memungkinkan warga negara ketiga yang telah tinggal secara sah di negara anggota untuk bergabung dengan anggota keluarga mereka.34 Di dalamnya ditentukan standar dan dalam kondisi bagaimana family reunification diberikan, penetapan jaminan prosedur serta hak-hak anggota keluarga yang bersangkutan.35

  • (3)    Reception Condition Directive ialah instrumen hukum yang menjelaskan mengenai standar penerimaan yang diberikan pada pencari suaka yang telah mengajukan aplikasi suakanya untuk mendapatkan perlindungan.36

  • (4)    Asylum Prodecure Directive, ialah seperangkat aturan yang isinya mengatur segala hal berkaitan dengan standar prosedur proses klaim suaka di dalam Negara anggota.37

  • (5)    Qualification Directive berfungsi untuk menetapkan standar kualifikasi pada orang-orang tanpa kewarganegaraan dan warga negara ketiga.38

  • (6)    Dublin Regulation ialah sistem yang lahir karena Konvensi Dublin. Konvensi ini diadopsi menggantikan persetujuan Schengen yang sebelumnya diimplementasikan dengan tujuan menghilangkan batas-batas negara di wilayah Eropa.39 Tidak adanya batas menimbulkan kebutuhan akan harmonisasi pada instrumen hukum di dalam Uni Eropa, terutama mengenai suaka. Dublin Regulation II lalu lahir di tahun 2003 dimana prinsip dasar Konvensi Dublin masih berlaku, namun terdapat penjelasan yang lebih mendetil tentang kriteria dan tanggung jawab negara anggota. Kemudian di tahun 2013 aturan berganti lagi menjadi Dublin Regulation III.40 Hal ini karena aturan sebelumnya dianggap belum adil dalam mendistribusikan tanggung jawab penanganan terhadap aplikasi suaka.41

  • (7)    Eurodac Regulation ialah mekanisme yang dibentuk untuk membantu jalannya Dublin Regulation II, dengan cara mendirikan pusat sistem dan database untuk menyimpan sidik jari dari pemohon suaka dan juga individu yang tertangkap basah melewati batas-batas Uni Eropa.42

  • 2.2.2. Peranan United Nations High Commissioner for Refugees dalam penanganan pengungsi Suriah di Wilayah Negara-negara Uni Eropa

Sesuai dengan mandatnya untuk membantu pengungsi, peranan UNHCR dalam membantu pengungsi Suriah dapat dibagi menjadi dua yakni secara diplomatik

dan non diplomatik. Secara diplomatik UNHCR melakukan hubungan diplomatik dengan perwakilan-perwakilan negara Eropa yang merupakan negara tujuan Pengungsi Suriah. Sedangkan secara non diplomatik, UNHCR melindungi pengungsi Suriah korban ISIS melalui cara-cara non-diplomatik baik dengan negara-negara Eropa, organisasi internasional maupun masyarakat internasional.

Uni Eropa dan negara-negara anggotanya telah lama memiliki tradisi sebagai tempat berlindung bagi mereka yang takut akan persekusi, komitmen Uni Eropa tersebut diwujudkan dalam bentuk Common European Asylum System (CEAS). UNHCR mendukung komitmen tersebut dengan terlebih lagi ketika kapasitas dari negara-negara anggota Uni Eropa seperti Austria, Jerman, Yunani, Italia, dan Swedia merasakan dampak yang cukup signifikan dalam misi mereka membantu pengungsi.

  • 2.2.2.1.    Kerjasama dengan Yunani

Pada periode September 2017, setidaknya lebih dari 20,000 ribu pengungsi dan migran telah mencapai tepi pantai Yunani, hampir 40% para pengungsi ini berasal dari Suriah.43 Terlepas dari jarak yang cukup dekat antara Turki dan pulau-pulau di perbatasan Yunani, perjalanan tersebut tetap memakan korban jiwa dimana para pengungsi dan migran tenggelam di Lautan Aegea. Jatuhnya korban jiwa dikarenakan Uni Eropa menutup dan memperketat titik masuk perjalanan mealui rute Mediterania tersebut, diikuti rute melalui laut Aegea.

Besarnya jumlah kedatangan pengungsi di pulau-pulau perbatasan tersebut memerlukan tenaga staff ahli terutama di bidang kesehatan, makanan, tempat berlindung serta dalam bidang psikologi. Demi memperbaiki situasi tersebut, staff UHNCR telah memindahkan para pengungsi yang dianggap layak ke dalam akomodasi UNHCR di Crete, Yunani untuk melanjutkan prosedur suaka mereka disana.

Upaya diatas kemudian diikuti dengan penyediaan sejumlah 18.427 tempat tinggal bagi para pengungsi pada Juli 2014, bantuan merupakan hasil dari kerjasama antara UNHCR, pemerintah Yunani dan NGO yang ada.44 Pada September 2017, sejumlah 32.416 ribu orang, mendapatkan bantuan berupa dana langsung oleh Yunani yang didistribusikan langsung dari UNHCR melalui kartu GCA (Greece Cash Alliance).45 UNHCR juga telah mendistribusikan 360.000 ribu barang-barang keperluan musim dingin seperti selimut, kantung tidur, sepatu boot dan baju hangat.

  • 2.2.2.2.    Kerjasama dengan Jerman

Di antara negara-negara anggota Uni Eropa lainnya, Jerman merupakan negara yang dianggap paling dermawan dan paling terbuka dalam memberikan bantuan terhadap penanganan krisis pengungsi Suriah. Sejak tahun 2013 Jerman telah berkomitmen untuk meringankan beban negara-negara tetangga dalam sebuah program yang dinamakan Temporary Humanitarian Admission Programme (THAP).

Skema ini mulai berjalan pada awal maret 2013, kemudian fase kedua pada akhir tahun 2013 dan yang ketiga pada tahun 2014, hasilnya Jerman telah menerima setidaknya 30.000 ribu pencari suaka. UNHCR mendukung tindakan Jerman tersebut, pada 13 Juni 2014 wakil UNHCR untuk Jerman menyebut bahwa keputusan tersebut memperkuat posisi Jerman dalam peranannya dalam penerimaan Pengungsi Suriah yang terpaksa lari dari negaranya karena konflik.

  • 2.2.2.3.    Kerjasama dengan Hungaria

Pada Rabu 16 September 2015, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban mengeluarkan keputusan untuk menutup perbatasannya dengan Serbia yang dilakukan demi mengurangi influks pengungsi yang tidak mampu mereka tangani. Tindakan kemudian diikuti dengan pemasangan pagar besi pada perbatasan Hungaria dengan Kroasia dan juga Rumania, untuk menjaga perbatasan tersebut polisi bersenjata ditempatkan setiap perbatasan Hungaria.

Mulai berlaku sejak 5 Juli 2016 peraturan baru yang dikeluarkan Hungaria tersebut memiliki efek dimana, pengungsi atau migran yang tertangkap berusahan melewati perbatasan sepanjang 8 km dari 175 km batas antara Hungaria dan Serbia maka akan di kirim kembali ke perbatasan yang di kelilingi oleh pagar besi dibentuk sejak september 2015. Polisi menyebutkan bahwa 621 orang pengungsi telah dikirim kembali ke perbatasan sejak peraturan baru tersebut mulai berlaku.

  • III.    Penutup

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Kebijakan reformasi penanganan pengungsi Suriah di Uni Eropa dikeluarkan dalam bentuk Common European Asylum System (CEAS), yang terdiri atas beberapa aturan berikut yakni; Temporary Protection Directive, Family Reunification Directive, Reception Condition Directive, Asylum Procedure, Qualification Directive, Dublin Regulation, dan Eurodac Regulation.

  • 2.    Peranan Uniteds Nations High Commisioner for Refugees dalam penanganan pengungsi Suriah di wilayah negara-negara Uni Eropa terwujud melalui kerjasama dengan negara seperti Yunani, Jerman, dan Hungaria. Di Yunani kerjasama berupa bantuan dana langsung melalui kartu GCA (Greek Cash Alliance). Selanjutnya di Jerman, kerjasama terwujud dalam program bernama Temporary Humanitarian Admission Programme (THAP). Di Hungaria, usaha kerja sama UNHCR menemui penolakan, pengungsi yang berusaha melewati perbatasan antara Hungaria dan Serbia justru dikirim kembali ke perbatasan negara tersebut.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    UNHCR hendaknya mendesak negara-negara di Uni Eropa untuk melaksanakan program-program baru demi memenuhi kebutuhan akan perlindungan pengungsi Suriah, dibarengi dengan pengawasan oleh UNHCR agar berjalan sesuai dengan standar bersama.

  • 2.    UNHCR dan Uni Eropa perlu merumuskan sanksi bagi negara-negara yang menolak untuk ikut membantu menangani masalah pengungsi Suriah di dalam

wilayah Uni Eropa sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara Negara anggota yang satu dan lainnya.

Daftar Pustaka

Buku

Mukti Fajar, dkk, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

European Commission, 2014, the EU Explained: Migration and Asylum, European Commission Directorate, Brussel

Clara Smyth, 2014, European Asylum Law and the Rights of Child, Routledge

Caroline Sawyer, 2012, Textbook on Immigration and Aylum Law, OUP Oxford, Oxford

Katrien Desimpelaere, 2015, The Dublin Regulation: Past, Present, Future, Ghent University, Belgia

Stephen Kabera, 2008, Transparency and Proportionality in the Schengen Information System and Border Control Co-operation, Martinus Nijhoff, Boston

Jurnal

Ani Kartika Sari, 2015 “Upaya Uni Eropa Dalam Menangani Pengungsi dari Negara-Negara Mediterania Selatan di Kawasan Eropa”, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional Vol. 3 No. 3, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman: Samarinda

Peraturan Perundang-Undangan

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Manusia)

Convention Relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi mengenai Status Pengungsi 1951)

Council Directive 2003/86/EU

Council Directive 2013/33/EU

Council Directive 2011/95/EU

Council Directive 2013/604/EU

Council Directive 2013/603/EC

15