PELAKSANAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

DAN BANGUNAN TERHADAP TANAH WARIS DI KABUPATEN BADUNG

Oleh:

Ida Purnama Sari* I Wayan Parsa** I Ketut Suardita***

Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan. Negara memperoleh pemasukan kas negara dari sektor pajak diantaranya melalui pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tarif BPHTB di Kabupaten Badung mengalami perubahan sebelum ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB. Dengan ditetapkannya perda tersebut, timbul beberapa permasalahan, yaitu pelaksanaan pengenaan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan terhadap tanah waris di Kabupaten Badung pasca pemberlakuan Perda No.28 Tahun 2013 cenderung menghambat pelaksanaan pengenaan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Metode penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini adalah penelitian hukum empiris dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif BPHTB tanah waris pasca pemberlakuan Perda Kabupaten Badung No. 28 Tahun 2013 adalah menyangkut perubahan tarif yang semula ditetapkan sebesar 1% (satu persen) kemudian diubah menjadi sebesar 0% (nol persen). Penetapan peraturan ini menimbulkan dua hal, Pertama, terjadi pembebasan beban pajak masyarakat untuk BPHTB tanah waris, Kedua, terjadi pengurangan sumber pendapatan pajak daerah Kabupaten Badung sebab pengenaan tarif pajak BPHTB tanah waris sebesar 0% (nol persen) atau ditiadakan. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pengenaan BPHTB tanah waris, antara lain terjadinya penafsiran keliru oleh pejabat dalam melakukan perhitungan dan pembayaran BPHTB waris, khususnya mengenai suatu peristiwa di mana seorang ahli waris atau para ahli waris berniat memberikan bagian warisannya kepada salah seorang ahli waris. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi mengenai peraturan-peraturan tersebut di dalam masyarakat.

Kata Kunci : Pelaksanaan, BPHTB, Tanah Waris, Kabupaten Badung

ABSTRACT

Taxation as one of the source of state revenue is the realization of state obligation and as community participation in financing development. The State looking this opportunity to get the State’s cash inflows from the Tax sector through the collection of Land and Building Rights Acquisition Duty. However, there has been a change in the rate of BPHTB in Local regulation of Badung regency No. 28 of 2013 on the Amendment of Local Regulation No. 14 of 2014 on BPHTB. The problems that happen are comeerning the implementation of the imposition of the tariff of the acquisition of land and building rights to the land of inheritance in Badung regency after the enactment of Regional Regulation Number 28 of 2013 and become the imposition of the tariff on the acquisition of land and building rights.

The research method used in this discussion is empirical legal research with the statvte approach. The results of this study indicate that the imposition of tariff BPHTB inheritance land post-implementation Local regulation regency 28 Year 2013 is related to the change of tariff which was originally set at 1% (one percent) then changed to 0% (zero percent). This regulation has two aspects. Firstly, there is a tax burden for the BPHTB of the second heirs, there is a reduction in the source of tax revenue of Badung regency because of the imposition of the zero hedge BPHTB tax rate of 0% (zero percent) or abolished. Constraints in the implementation of BPHTB of inheritance, among others, the misinterpretation by officials in calculating and paying for inheritance BPHTB, particularly regarding an event in which an heir or heir intended to give part of his or her inheritance to one of the heirs. This is due to the lack of socialization of the regulation in the community.

Keywords : Implementation of BPHTB, inherited land, Badung Regency.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Pada umumnya Negara yang memiliki administrasi pemerintahan modern seperti Indonesia, penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung penerimaan APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan sebagai sumber utama penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan gambaran partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di negaranya. Sesuai falsafah Undang-Undang Perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari

setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan dan pembangunan negara.1

Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara dari sektor Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali adalah jenis Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.2 Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan. BPHTB dipungut oleh pemerintah Indonesia sebagai Pajak pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988) yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2001.3

Pewarisan merupakan salah satu peristiwa hukum yang mengakibatkan beralihnya hak kebendaan pewaris kepada ahli warisnya.4 Berdasarkan Pasal 528 KUHPerdata, hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Karena itu hak waris diangggap sebagai hak kebendaan.5 Salah satu hak

kebendaan pewaris yang beralih kepada ahli warisnya dapat berupa tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Pasal 42 ayat (1) dan (2) Nomor 24 Tahun 1997, ahli waris wajib untuk mendaftarkan peralihan hak karena pewarisan, baik hak atas tanah dan bangunan yang sudah terdaftar.6 Setiap peralihan hak atas tanah dan bangunan terutang BPHTB termasuk peralihan karena pewarisan. Jumlah tersebut terutang sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota. Besarnya pengenaan BPHTB sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah serta Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-47/PJ/2010 diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah Kabupaten/Kota.

Sejak Januari 2011, Pemerintah Kabupaten Badung menetapkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Mengenai tarif pajak BPHTB untuk waris terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pada pasal 6 ayat 1 dan 2 yaitu : 1) Tarif Pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen), 2) Pengenaan tarif pajak sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian.

Penetapan peraturan tersebut mengatur perubahan mengenai tarif pajak BPHTB untuk waris yaitu pada pasal 6 ayat 1 dan 2 Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun

2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi : 1) Tarif Pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen), 2) Pengenaan tarif pajak sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri.

Perubahan tersebut memberi dampak yang baik terhadap masyarakat sebagai wajib pajak khususnya bagi hibah wasiat, waris atau ahli waris karena tidak merasa dibebani oleh pungutan tarif pajak. Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai salah satu dasar hukum pajak daerah, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah Kabupaten Badung untuk memungut dan mengelola sendiri BPHTB sehingga diharapkan dapat secara maksimal meningkatkan PAD agar kesejahteraan masyarakat Kabupaten Badung juga dapat meningkat. Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah hanya memberikan limitasi terkait pemungutan BPHTB di daerah, kemudian memberikan rongga untuk pemerintah daerah dapat mengekspansi regulasi tersebut menjadi sesuai dengan kabutuhan di daerah.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pelaksanaan pengenaan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Tanah Waris di Kabupaten Badung pasca pemberlakuan Perda no 28 tahun 2013 ?

  • 2.    Apa kendala yang menghambat pelaksanaan pengenaan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Tanah Waris di Kabupaten Badung ?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengenaan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Tanah Waris di Kabupaten Badung pasca pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013, dan mengetahui kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Tanah Waris di Kabupaten Badung.

II.ISI MAKALAH

  • 2.1.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun artikel ini adalah metode penelitian hukum yuridis empiris,7 dan pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan mengkaji semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang telah ditangani. Selain itu pendekataan fakta dilakukan dengan cara penelitian langsung di lapangan berdasarkan fakta pelaksanaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1.    Pelaksanaan Pengenaan Tarif BPHTB Terhadap Tanah Waris Pasca Pemberlakuan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 dan 6, Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang BPHTB, pejabat yang diberi tugas perpajakan daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah (selanjutnya disebut Dispenda) Pesedahan Agung Kabupaten Badung. Fungsi dan kewenangan Dispenda Pesedahan Agung Kabupaten Badung adalah “Mengelola Pendapatan Daerah sebagai sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, dengan tujuan agar kemandirian daerah dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat terwujud. Sedangkan kewenangan Dispenda Pesedahan Agung Kabupaten Badung adalah “melakukan pemungutan atau pengenaan Pajak Daerah untuk lebih mendorong pemerintah daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah.”

Kinerja Dispenda Pesedahan Agung Kabupaten Badung terkait penerapan sistem dan prosedur pengelolaan BPHTB didasarkan pada Peraturan Bupati Badung Nomor 73 Tahun 2010 tentang sistem dan prosedur pengelolaan BPHTB sebagai pelaksanaan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perda Kabupaten nomor 14 Tahun 2010 tentang BPHTB.

Dispenda Pesedahan Agung Kabupaten Badung dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengelolaan BPHTB tidak bekerja sendiri, tetapi berkoordinasi dengan lembaga lain, baik Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, Kantor Lelang Negara yang mempunyai wilayah keja di Kabupaten Badung, PPAT/ Notaris dan termasuk badan usaha milik daerah (BUMD). Dalam hal ini dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa suatu otonomi dapat

digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila, pertama, urusan rumah tangga daerah dengan cara-cara tertentu, kedua, sistem supervisi atau pengawasan, ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.8

Penerapan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 ini berimplikasi langsung terhadap sumber penerimaan pajak di daerah Kabupaten Badung. Di satu sisi, BPHTB sebagai pajak daerah pada dasarnya berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Badung. Menurut Bapak I Made Adi Adnyana selaku Kepala UPT PBB-P2 Badung Selatan menyatakan, dengan ditetapkan Undang – Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, menyebabkan daerah diberikan kewenangan yang lebih beda untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dalam rangka untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, serta memudahkan masyarakat untuk mengontrol pemanfaatan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD)

Tabel 1.1 Perbandingan Tarif BPHTB Tanah Waris Dalam Perda Kab.Badung

Persamaan

Perda Kab. Badung No. 14 Tahun 2010

Perda Kab.Badung

No. 28 Tahun 2013

Besaran Tarif Pajak

5%

5%

Perbedaan

Perda Kab. Badung No. 14 Tahun 2010

Perda Kab. Badung No. 28 Tahun 2013

Pengenaan Tarif Pajak

1%

0%

Sumber : Data peraturan disadur dari JDIH Bagian Hukum dan

HAM Setda. Kabupaten Badung, Provinsi Bali (http://jdih.badungkab.go.id).

Namun di sisi yang lain, terjadi perubahan yang signifikasi pasca pemberlakuan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013, dimana terjadi penurunan pendapatan pajak daerah di Kabupaten Badung. Hal ini disebabkan pengenaan tarif pajak BPHTB yang sebelumnya ditetapkan sebesar 1% (satu persen) sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010, kemudian diubah menjadi sebesar 0% (nol persen). Hal ini sesuai dengan keterangan dari pihak Dispenda Pesedahan Agung Kabupaten Badung, yang menyatakan bahwa terjadi perubahan yang signifikan karena dengan pemberlakuan Perda terebut menyebabkan penurunan pendapatan pajak daerah, karena untuk tanah waris dikenakan pajak BPHTB dengan tarif sebesar 0% (nol persen).

Salah satu alasan sehingga Pasal 6 ayat (2) Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 diubah melalui Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013, adalah untuk memenuhi asas-asas keadilan khususnya terhadap BPHTB Tanah Waris. Dalam kaitan ini, menurut Bapak I Made Adi Adnyana menyatakan, bahwa penerapan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 dalam rangka merespon ketidakmampuan masyarakat dalam membayar pajak BPHTB dalam kaitan tanah waris, sehingga tidak terbebani dalam membayar pajak dengan harapan tidak terjadi alih fungsi lahan atau penjualan tanah-tanah warisan karena ketidakmampuan membayar pajak BPHTB. Dengan demikian pemberlakuan kebijakan Pemerintah Kabupaten Badung untuk membebaskan beban pajak masyarakat untuk BPHTB tanah

waris, sebagaimana yang dimaksud dalam perubahan Pasal 6 ayat (2) Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013, maka tidak ada yang dapat diharapkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak BPHTB tanah waris.

  • 2.2.2.    Kendala-Kendala Pelaksanaan Pengenaan tarif BPHTB di Kabupaten Badung

Pada tahap pelaksanaan Perda Nomor 28 Tahun 2013 tersebut, Pemerintah Kabupaten Badung menghadapi kondisi yang dilematis sebab terjadi perubahan pada Peraturan Daerah mengenai pengenaan tarif BPHTB tanah waris. Peraturan Daerah yang dimaksud adalah Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang BPHTB. Perubahan signifikan pada peraturan tersebut terutama menyangkut Nilai Perolehan Objek Pajak, dimana dasar pertimbangan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 Tentang BPHTB, menyebutkan bahwa; “besaran Tarif Pajak dan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberian hibah wasiat, termasuk suami/istri perlu ditinjau kembali”.

Selanjutnya dalam penjelasan atas Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013, menyebutkan bahwa “Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang BPHTB diharapkan dapat memenuhi asas-asas keadilan, kepastian hUkum, legalitas dan sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam membayar pajak”. Inti

perubahan dalam Peraturan Daerah ini utamanya menyangkut dengan asas-asas keadilan, dimana semula pengenaan tarif pajak BPHTB untuk waris ditetapkan sebesar 1% (satu persen), kemudian diubah menjadi sebesar 0% (nol persen) sebagaimana ketentuan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013.

Timbulnya kendala dari Pemkab Badung dengan mengenakan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) tersebut, mewajibkan Pemkab Badung untuk mengupayakan penyelesaian atas kendala yang timbul tersebut. Tindakan nyata dan tegas dari Pemkab Badung sangat diperlakukan dalam hal itu, karena masyarakat sangat membutukan suatu kepastian hokum dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibat wasiat. Memang secara umum masyarakat terlihat sangat diuntungkan dengan pemberlakukan kebijakan pengenaan tarif sebesar 0% (nol persen) terhadap pajak BPHTB. Namun pada kenyataannya masih sangat banyak kendala-kendala yang terjadi ketika diterapkan kebijakan tersebut oleh Pemkab Badung.

Perubahan terhadap pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat ini apabila dilihat dari segi perhitungan memang sangat menarik. Dalam hal mana ketika masyarakat Kabupaten Badung hendak mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan dengan cara waris, dan hibat wasiat tidak dikenakan pajak BPHTB. Padahal jelas bahwa setiap perolehan hak atas tanah dan atau bangunan wajib untuk dikenakan pajak BPHTB tersebut Hal penting yang patut untuk diperhatikan dengan adanya kebijakan pengenaan tarif 0% (nol persen) pajak BPHTB dengan adanya anggapan dari masyarakat Kabupaten Badung bahwa waris, hibah dan hibah wasiat yang mereka lakukan tidak dikenakan pajak BPHT. Padahal yang hanya dikenakan tarif 0% (nol persen) hanya untuk orang pribadi yang masih dalam

hubungan keluarga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberian hibat wasiat suami/istri.

Oleh karena itu, dengan adanya beberapa kendala-kendala sebagaimana yang telah disebut di atas maka upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala-kendala dalam pengenaan tarif pajak BPHTB waris atau hibah wasiat adalah antara lain, Pertama, melakukan sosiolisasi ke daerah-daerah pedesaan yang terdapat di Kabupaten Badung. Sosialisasi tentang pengenaan tarif BPHTB sebesar 0% (nol persen) atas waris atau hibat wasiat dilakukan dengan melibatkan aparat desa mulai dari kelihan adat ataupun kelihan dinas, perbekel atau kepala desa setempat. Kedua, dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) atas waris, hibah dan hibah wasiat yang hanya berlaku untuk orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberian hibah wasiat termasuk suami/istri.

Pada intinya keseluruhan dari kendala-kendala yang sudah disebutkan di atas, upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala yang terjadi adalah dengan melakukan pengkajian. Disinilah peranan dibuatnya naskah akademik dalam sebuah perda, karena didalam naskah akademik tersebut akan berisikan tentang maksud dan tujuan serta hasil penelitian, konsep-konsep yang akan diadopsi ke dalam perda terhadap rancangan perda yang akan dibuat. Disamping itu yang menjadi sangat penting untuk diperhatikan adalah partisipasi masyarakat serta praktisi khususnya dari ahli-ahli hukum agar suatu perda tersebut dapat dipahami dan dapat memberikan suatu keadilan.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada pembahasan penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Pengenaan tarif BPHTB tanah waris pasca pemberlakuan Perda Kabupaten Badung No. 28 Tahun 2013 adalah menyangkut perubahan tarif yang semula ditetapkan sebesar 1% (satu persen) kemudisn diubah menjadi sebesar 0% (nol persen). Implementasi peraturan ini berimplikasi terhadap dua aspek, Pertama, terjadi pembebasan beban pajak masyarakat untuk BPHTB tanah waris sebab Pemkab Badung melalui Perda  tersebut  menghendaki agar

masyarakat tidak terbebani membayar pajak BPHTB tanah waris. Kedua, terjadi pengurangan sumber pendapatan pajak daerah Kabupaten Badung sebab pengenaan tarif pajak BPHTB tanah waris sebesar 0% (nol persen) atau ditiadakan. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pengaturan pengenaan BPHTB tanah waris, antara lain terjadinya penafsiran keliru oleh pejabat dalam melakukan perhitungan dan pembayaran BPHTB waris, khususnya mengenai suatu peristiwa di mana seorang ahli waris atau para ahli waris berniat memberikan bagian warisannya kepada salah seorang ahli waris. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi mengenai peraturan-peraturan tersebut di dalam masyarakat.

  • 2.    Kendala dalam pelaksanaan pengaturan pengenaan BPHTB tanah waris, antara lain terjadinya penafsiran keliru oleh pejabat dalam melakukan perhitungan dan pembayaran BPHTB waris, khususnya mengenai suatu peristiwa di mana seorang ahli waris atau para ahli waris berniat memberikan

bagian warisannya kepada salah seorang ahli waris. Kendala tersebut disebabkan kurangnya sosialisasi mengenai peraturan-peraturan tersebut di dalam masyarakat (Wajib Pajak dan para Pejabat yang diberi wewenang untuk memungut pajak).

  • 3.2    Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan yaitu :

  • 1.    Dinas Pendapatan Daerah Pesedahan Agung Kabupaten Badung disarankan untuk mensosialisasikan peraturan mengenai pengenaan pajak BPHTB Tanah Waris kepada masyarakat.

  • 2.    Pemerintah kabupaten Badung harus meningkatkan kedasaran dan kepatuahan masyarakat akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undang tentang Perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Afandi, Ali, 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta

Barata, Atep Adya, 2013, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; Menghitung Obyek dan Cara Pengajuan

Keberatan Pajak, Gramedia, Jakarta

Kementerian Keuangan, 2011, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta

Upik Hamidah, 2012, Pembaharuan Standar Prosedur Operasi Pengaturan Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Hibah Wasiat Berdasarkan Alat Bukti Peralihan Hak, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol.6, ISSN 1978-5186

Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum FH UII, Yogyakarta

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian  Hukum,

Universitas Indonesia, Jakarta

Ramulyo, M.Idris, 2005, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta

Jurnal

Ketut Sista Putri Wijaya, 2014, Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung Memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988)

Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 213; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4030)

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 28; Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 27)

Peraturan Bupati Badung Nomor 73 Tahun 2010 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Berita Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010 Nomor 57)

15