PERLUASAN KEWENANGAN OMBUDSMAN UNTUK MEMILIKI KEWENANGAN MENGADILI DIKAJI DENGAN MENGGUNAKAN TEORI SELF AUXILARY BODIES
on
PERLUASAN KEWENANGAN OMBUDSMAN UNTUK MEMILIKI KEWENANGAN MENGADILI DIKAJI DENGAN MENGGUNAKAN TEORI SELF AUXILARY BODIES
Oleh:
Ni Putu Diah Chandra Paramita∗
Ni Luh Gede Astariyani∗∗
Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Lembaga negara Ombudsman yang terbentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Indonesia kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang mengubah nama, status kelembagaan, ruang lingkup serta kewenangan. Namun kewenangan tersebut tidak diperluas dengan diperbolehkannya Ombudsman untuk mengadili suatu perkara maladministrasi. Adanya penemuan ide baru tersebut maka penulis akan mengkaji analisa tersebut. Tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk lebih memahami pengertian mengenai kelembagaan negara dan mengetahui apakah lembaga negara Ombudsman tersebut dapat diperluas kewenangannya sesuai dengan pemahaman istilah self auxiliary bodies. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan komparatif. Sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. State Auxiliary Bodies dipahami sebagai lembaga negara yang hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga negara utama. Dengan rekomendasi seperti yang disebutkan diatas tersebut, penulis menyiratkan agar UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia diadakan suatu penemuan hukum terbaru yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada Pasal 8 mengenai kewenagan Ombudsman.
Kata Kunci : Lembaga Negara, Ombudsman, State Auxiliary Bodies, UU. No. 37 Tahun 2008, Kewenangan.
∗ Ni Putu Diah Chandra Paramita, adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana, dece1997@yahoo.com.
∗∗ Ni Luh Gede Astariyani, adalah Dosen Pengajar bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana.
ABSTRACT
Ombudsman as a state institution formed through Presidential Decree No. 44/2000 of Indonesian Ombudsman Commission that subsequently changed with the issuance of Law Number 37 Year 2008 regarding the Ombudsman of the Republic of Indonesia which has changed the nomenclature, institutional status, and authority scope. However, the current authority is not extended by allowing the Ombudsman to adjudicate maladministration case. By the discovery of new ideas, author will review the analysis. The purpose of this scientific journal writing is to understand the definition of the institutional state and to find out whether the authority of Ombudsman can be expanded in accordance with the understanding of the term “state auxiliary bodies”. The research method used is normative legal research with statute approach and comparative approach. The legal sources used are in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. State Auxiliary Bodies is known to be a state institution that is solely responsible for serving or in its duties and authorities related to major state institutions. With the above mentioned recommendations, the author implies that the Act. No. 37 of 2008 concerning the Ombudsman of the Republic of Indonesia shall held a new rechtsvinding (legal discovery) which will grants broader authority on Article 8 concerning the Ombudsman authority.
Keywords : The State Institutions, Ombudsman, State
Auxiliary Bodies, Act. No. 37 of 2008, Authority.
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang terdiri dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuatan rakyat atau suatu bentuk pemerintagan dimana rakyat berpengaruh di dalamnya. Cara melakukan demokrasi tersebut
adalah melakukan tindakan dalam pelaksanaan kekuasaan negara tidak bertentangan dengan kepentingan dan kehendak rakyat1.
Mengutip pendapat Hans Kelsen yang berpendapat bahwa, “Negara bertindak hanya melalui organ-organnya. Kebenaran yang acapkali dinyatakan dan diterima umum ini berarti bahwa tatanan hukum hanya dapat dibuat dan diterapkan oleh individu-individu yang ditunjuk oleh tatanan hukum itu sendiri.” 2 Memberikan pengertian bahwa negara membutuhkan individu untuk membentuk tatanan hukum. Perkembangan jaman seperti saat ini disertai pengaruh globalisme menghendaki adanya suatu struktur organisasi negara yang mampu tanggap akan aspirasi mereka.
Sebelum amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dikenal dua jenis lembaga negara, yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Lembaga Tinggi Negara yang kewenangannya datur oleh UUD NRI 1945. Namun, setelah amandemen UUD NRI 1945 tidak ada lagi istilah “Lembaga Tertinggi Negara”.
Dalam perkembangannya, bermunculan lembaga negara yang kekuasaannya di luar kekuasaan trias politica seperti yang disebut diatas. Lembaga negara yang baru terbentuk tersebut mempunyai fungsi pembantu yang disebut dengan Auxiliary State Organ yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara penunjang.3
Diantara lembaga itu ada yang disebut self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga yang
menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan namun dilakukan secara bersama oleh satu lembaga tersebut. Pada negara demokrasi banyak bermunculan lembaga negara semacam itu, dan bentuk lembaganya adalah komisi, komite, dewan atau dengan sebutan lainnya yang menjalankan fungsi sebagai pengelola pelayanan umum (management of public services).4
Lembaga negara Ombudsman yang terbentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Indonesia (Keppres. No. 44 Tahun 2000), kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang mengubah nama, status kelembagaan, ruang lingkup dan kewenangan. Mengenai status kewenangan semakin diperluas yakni, meliputi mengawasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah serta objek kewenangan Ombudsman diperluas dan diperinci yaitu dengan perbuatan maladministrasi. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2008 Maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam Penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan atau/ inmateriil bagi masyarakat atau orang perseorangan.
Namun kewenangan tersebut tidak diperluas dengan diperbolehkannya Ombudsman untuk mengadili atau seperti definisi self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan. Adanya penemuan ide baru tersebut maka penulis akan mengkaji analisa tersebut yang berjudul, “PERLUASAN KEWENANGAN OMBUDSMAN UNTUK MEMILIKI KEWENANGAN MENGADILI DIKAJI DENGAN MENGGUNAKAN TEORI SELF AUXILARY BODIES”. Merujuk pada judul tersebut diatas, maka penulis akan mengangkat permasalahan yaitu mengenai pengertian self auxiliary bodies serta apakah Indonesia menerapkannya dan apakah kewenangan ombudsman pada UU No. 37 Tahun 2008 tersebut dapat diperluas.
Adapun tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk lebih memahami mengenai kelembagaan negara dan mengetahui apakah lembaga negara Ombudsman tersebut dapat diperluas kewenangannya sesuai dengan pemahaman istilah self auxiliary bodies.
-
II. Isi Makalah
-
1.1. Metode Penelitian
-
1.1.1. Jenis Penelitian
-
Jenis penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah penelitian hukum normatif dimana penelitian tersebut meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas, norma kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin/ajar.5 Penelitian hukum normatif bertujuan menghasilan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi.6
Jenis pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan komparatif (Comparative Approach). Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dengan mengkaji semua
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
permasalahan tersebut diatas yaitu mengkaji UU No 37 Tahun 2008 serta Keppres No. 44 Tahun 2000. Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian hukum normatif tersebut memiliki kegunaan baik secara praktis maupun akademis. 7 Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan peraturan perundang-undangan satu negara dengan negara lainnya. Kegunaannya adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan diantara Undang-undang tersebut.8
Adapun bahan hukum yang digunakan dalam jurnal ilmiah ini adalah sebagai berikut:
-
1. Bahan hukum primer yang terdiri dari yaitu UUD NRI 1945, UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia dan Keppres. No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Indonesia.9
-
2. Bahan hukum skunder, meliputi bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, hasil penelitian dan pendapat ahli.10
-
3. Bahan hukum tersier, yang memberikan penjelasan untuk bahan hukum primer maupun tersier. Sepeti kamus, ensiklopedia.11
Dalam jurnal yang menggunakan penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan terhadap bahan hukum yang didapat, baik itu bahan hukum primer, skunder maupun tersier yang berhubungan dengan jurnal ini.
Dalam penelitian hukum normatif, pada analisis normatif dipergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber penelitiannya. Adapun tahapannya meliputi, merumuskan dasar-dasar hukum, merumuskan pengertian hukum, pembentukan standar-standar hukum, perumusan kaidah-kaidah hukum.12
-
1.2. Hasil Analisa
-
1.2.1. Self Auxiliary Bodies di Indonesia
-
Banyak terdapat lembaga negara di Indonesia, baik yang dibentuk melalui UUD NRI 1945 ataupun dibentuk dengan
peraturan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar. Sri Soemantri berpendapat bahwa,
Untuk sistem ketatanegaraan di Indonesia yang hanya berkenaan dengan sistem ketatanegaraan yang ada dalam UUD, hal itu berkaitan dengan sistem ketatanegaraan dalam arti sempit. Sedangkan jika yang hanya dimaksud juga dengan lembaga negara di luar UUD, hal ini berkaitan dengan sistem ketatanegaraan dalam arti luas.13
UUD NRI 1945 mencantumkan, Majelis Perwakilan rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Monstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Judical Review Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK), menyebutkan bahwa sebagai lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs), lembaga negara tersebutlah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi kekuasaan negara yang utama (main state function, principal state function) yang hubungannya diikat oleh prinsip check and balances.
John Alder menyebutkan bahwa beberapa lembaga negara disebut public corporations natinalised industries, beberapa disebut sebagai Non-department bodies, public agencies, commission, board and authorities. 14 Oleh karenanya lembaga tersebut pada umumnya memiliki sifat quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun terkadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur tetapi, juga menghukum seperti yudikatif
yang dicampur dengan legislatif. Oleh sebab itu lembaga tersebut juga memiliki sebutan lain seperi, self regulatory agencies, agencies independent supervisory bodies, atau lembaga yang menjalankan fungsi campuran.
Lembaga negara bantu (Auxiliary) adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias politica. 15 State Auxiliary Bodies dipahami sebagai lembaga negara yang hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga negara utama. Meski tugasnya hanya melayani, akan tetapi menurut Sri Soemantri secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional.16 Asimov berpendapat bahwa komisi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu, komisi negara independen dan komisi negara biasa.17 Komisi negara independen yaitu lembaga negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar kekuasaan baik kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi ketiganya. Komisi negara biasa (state commission), yaitu komisi negara yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.
Pada awal terbentuknya Ombudsman di Indonesia pada tahun 2000 dengan menggunakan dasar hukum, Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000. Padahal Ombusman yang mempunyai peran penting dalam rangka perwujudan prinsip-prinsip good governance dalam rangka pelayanan umum (public services). Ombudsman dapat berperan penting dalam pengawasan
dan penyaluran keluahan masyarakat akan buruknya kualitas pelayanan oleh birokrasi pemerintahan. 18 Pada tahun 2008, ditetapkanlah Undang-undang yang mengatur mengenai Ombudsman tersebut dengan nama Ombudsman Republik Indonesia.
Istilah ombudsman muncul di Swedia, bermula dari adanya King’s Ombudsman yang dibentuk oleh Raja Charles XII dimana dikenal dengan sebutan Chancellor of Justice (Justitiekanseler) yang diangkat oleh Raja Charles XII untuk mengatasi kekacauan akibat ditinggalkan oleh rajanya ke luar negeri selama tiga belas tahun.
Terdapat dua model Ombudsman di Swedia saat ini, meliputi Chancellor of Justice yang berfungsi untuk melakukan pengawasan dan penuntutan atas nama Raja. Ombudsman yang dimaksud haruslah seseorang yang dikenal memiliki kemampuan yang luas dalam bidang hukum. Tugasnya adalah sebagai wakil Riskdag dalam melakukan supervise, mengamati pelaksanaan peraturan dan putusan oleh hakim. Perbedaan antara Chancellor of Justice melakukan tugas sesuai kepentingan Raja. Sedangkan Justiceombudsman mewakili Riskgad untuk melindungi hak-hak warga negara.19
Ombudsman tidak hanya ada di Indonesia maupun di Swedia, organ negara tersebut telah tersebar hinggal kini hampir seluruh negara di dunia memiliki lembaga tersebut. Keberadaan Ombudsman satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan. Ada
yang disebut ombudsman publik dan ombudsman privat. Perbedaan terletak pada cara pengangkatannya. Pada Ombudsman publik diangkat oleh pejabat publik, sedangkan Ombudsman privat tidak.
Dilihat dari lembaga yang diawasi, dapat dikemukakan Ombudsman yang hanya mengawasi aparat atau lembaga pemerintahan (eksekutif) dan ada Ombudsman yang selain mengawasi lembaga eksekutif juga mengawasi lembaga peradilan. Ombudsman Swedia dan Finlandia adalah contoh Ombudsman yang mengawasi lembaga atau aparatur yudisial selain eksekutif. Sedangkan Indonesia menurut Keppres. No. 44 Tahun 2000 juga merupakan Ombudsman yang mengawasi aparat peradilan dan aparat pemerintahan, sedangkan Ombudsman Inggris, Norwegia, Australia merupakan contoh negara yang hanya mengawasi aparat atau lembaga peradilan.20
Philipus M. Hadjon memberikan pendapat mengenai karakteristik Ombudsman Klasik yaitu,
-
1. Merupakan lembaga non yudisial.
-
2. Ombudsman merupak perpanjangan tangan parlemen
-
3. Ombudsman tidak memiliki wewenang formal untuk menetapkan suatu upaya pemulihan.21
Ombudsman dapat melakukan penyelidikan terhadap berbagai dokumen yang diperlukan dalam rangka melakukan tugas investigasinya. Sampai hasil akhir dari kegiatannya, Ombudsman dapat membuat rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki lembaga yang diawasinya. Akan tetapi Ombudsman tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa agar rekomenasinya diindahkan.
Ombudsman tidak sama dengan seorang hakim, sebab Ombudsman tidak menjatuhkan suatu putusan (vonis) seperti seorang hakim yang mengikat para pihak yang berperkara, Ombudsman hanya dapat menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah yang bersifat anjuran tentang penyelesaian atau jalan keluar dari sengketa itu.
Undang-undang berisifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Undang-undang sebagaimana norma pada umumnya berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan atau ditegaskan. Dalam peraturannya tidak ada (kekosongan hukum) maka tersedialah metode penalaran (redenering, reasoning, argumentasi, kontruksi). 22 Jadi, jika melihat kondisi maladministrasi yang makin merajalela di tengah masyarakat dan melihat keadaan Ombudsman yang tidak memiliki kewenangan untuk mengadili langsung perkara yang dihadapi dirasa kurang tepat jika kita masih menggunakan peraturan lama yang tidak memberikan kewenangan Ombudsman untuk mengadili suatu kasus, namun hanya sebatas memberikan rekomendasi hakim.
Dengan rekomendasi seperti yang disebutkan diatas tersebut, penulis mengharapkan agar UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia diadakan suatu penemuan hukum terbaru yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada Pasal 8 mengenai kewenagan Ombudsman. Ombudsman yang merupakan salah satu State Auxiliary States atau lembaga pembantu dapat menjadi self regulatory agencies yang memiliki fungsi campuran untuk membuat masyarakat menjadi lebih nyaman berinteraksi dengan birokrasi pemerintahan.
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dalam Jurnal ilmiah ini adalah sebagai berikut:
-
1. State Auxiliary Bodies dipahami sebagai lembaga negara yang hanya bertugas melayani atau membantu dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga negara utama. Meski tugasnya hanya melayani, akan tetapi menurut Sri Soemantri secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Di luar dari UUD NRI 1945 berkembang auxiliary bodies tanpa kendali. Asimov berpendapat bahwa komisi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu, komisi negara independen dan komisi negara biasa. Komisi negara independen yaitu lembaga negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar kekuasaan baik kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi ketiganya. Komisi negara biasa (state commission), yaitu komisi negara yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.
-
2. Dengan rekomendasi seperti yang disebutkan diatas tersebut, penulis mengharapkan agar UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia diadakan suatu penemuan hukum terbaru yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada Pasal 8 mengenai kewenagan Ombudsman. Ombudsman yang merupakan salah satu State Auxiliary States atau lembaga pembantu dapat menjadi self regulatory agencies yang memiliki fungsi campuran untuk membuat
masyarakat menjadi lebih nyaman berinteraksi dengan birokrasi pemerintahan.
Penulis berharap tulisan ini nantinya dapat dijadikan sebagai referensi pemerintah untuk memberi perluasan kewenangan pada Ombudsman Republik Indonesia. Agar masyarakat luas dapat merasakan manfaat dan maladministrasi di Indonesia dapat ditanggulangi.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Asmara, Galang, 2016, Hukum Kelembagaan Negara: Kedudukan Ombudsman dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Cet. II, Laksbang PRESSIndo, Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cet. I, Sinar Pustaka, Jakarta.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cet. III, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Kansil, C.S.T & Christine Kansil, 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cet. XI, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2016, Penelitian Hukum, Cet. XII,
Kencana, Jakarta.
Prakorso, Abintoro, 2016, Penemuan Hukum: Sistem, Metode,
Aliran, dan Prosedur dalam Menemukan Hukum, Karangrejo, Surabaya.
Tutik, Titik Triwulan, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, Cet. II, Kencana, Jakarta.
Trisulo, Evy, 2012, “Konfigurasi State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Indraputra, Tjokorda Gde & Made Bagiastra, 2014, “Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Institutions)”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899)
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi, “Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006”, tentang Judical Review Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK).
15
Discussion and feedback