PENGAWASAN BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM BALI TERHADAP PENGGUNAAN GAJAH DALAM ATRAKSI WISATA DI BALI KHUSUSNYA DI ELEPHANT SAFARI PARK
on
PENGAWASAN BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM BALI TERHADAP PENGGUNAAN GAJAH DALAM ATRAKSI WISATA DI BALI KHUSUSNYA DI ELEPHANT SAFARI PARK
Oleh :
Gusti Ayu Sri Sintya** I Made Arya Utama***
Program Kekhususan Hukum Pemerintah Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract :
Bali Natural Resource Conservation Center is a committed Technical Unit of the Ministry of Environment and Forestry, which in carrying out all duties and functions refers to a performance commitment as outlined in the Strategic Plan. This writing aims to find out and analyze the monitoring of BKSDA Bali against the use of elephants in tourist attractions in Elephant Safari Park. This writing empirical method using the approach of legislation and approach facts. The conclusion of this writing is the supervision of BKSDA Bali to the elephant that is used as an animal tourism attraction in Elephant Safari Park has been running well, there are only a few obstacles in the implementation, the BKSDA does not have experts in the field of health, by looking at the surrounding circumstances such as animals stranded, should BKSDA have their own doctors and BKSDA difficulty in monitoring the elephants in implementing safari and attractions, because there is no specific rules regarding the utilization of elephants.
Keywords: Supervision, Conservation, Elephant, Attractions
Abstrak :
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali adalah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki komitmen akuntabel, dimana dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsinya mengacu kepada suatu komitmen kinerja yang dituangkan dalam Rencana Strategis. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengawasan BKSDA Bali terhadap penggunaan gajah dalam
atraksi wisata di Elephant Safari Park. Penulisan ini menggunakan metode empiris dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta. Kesimpulan dari penulisan ini adalah pengawasan BKSDA Bali terhadap gajah yang digunakan sebagai hewan atraksi wisata di Elephant Safari Park sudah berjalan dengan baik, hanya saja terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu pihak BKSDA belum mempunyai tenaga ahli di bidang kesehatan, dengan melihat keadaan sekitar seperti satwa terdampar, seharusnya BKSDA mempunyai dokter sendiri dan pihak BKSDA kesulitan dalam mengawasi gajah dalam melaksanakan safari maupun atraksi, karena belum ada aturan khusus mengenai pemanfaatan gajah.
Kata Kunci : Pengawasan, Konservasi, Gajah, Atraksi
Sumber daya alam berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu, sumber daya alam hayati atau biotik dan sumber daya alam non hayati atau abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.1 Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pada kenyataannya kira-kira 10% dari semua makhluk yang hidup dan menghuni bumi ini terdapat di Indonesia.2 Salah satu yang menjadikan ciri keunikan Indonesia di bidang keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman satwanya.
Kondisi satwa yang ada di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Indonesia secara geografis terletak pada perbatasan Lempeng Asia Purba dan Lempeng Australia itu menyebabkan perbedaaan tipe satwa di kawasan Barat, Tengah, dan Timur Indonesia.3 Populasi hewan langka yang semakin berkurang merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan. Hal ini
disebabkan oleh banyak masalah, seperti kerusakan habitat, perubahan iklim polusi, perdagangan ilegal, dan lainnya. Dalam memenuhi kebutuhan dan mendapatkan keuntungan yang besar bagi sebagian orang, seringkali para spesies yang eksotis yang dimiliki Indonesia menjadi sasaran empuk untuk diperdagangkan karena keunikan dan kelangkaannya. Gajah Sumatra, Komodo, Badak Bercula Satu, burung Kakaktua Jambul Kuning, Orang Utan, Tapir, dan burung Cendrawasih hanya beberapa dari binatang-binatang yang sering diperdagangkan secara ilegal. Belum lagi hasil bumi seperti kayu Mahoni, Cendana, Ulin, dan sebagainya.
Kehilangan habitat, fragmentasi habitat serta menurunnya kualitas habitat gajah karena pemanfaatan sumber daya hutan untuk keperluan pembangunan non kehutanan maupun industri kehutanan merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya. Ancaman lain yang tidak serius adalah konflik berkepanjangan dengan pembangunan dan perburuan ilegal gading gajah. Saat ini gajah sudah digunakan sebagai hewan Atraksi Pariwisata, seperti yang dapat kita lihat di daerah Taro terdapat tempat Wisata Gajah atau Elephant Safari Park yang sering juga disebut Gajah taro. Gajah Taro merupakan salah satu Wisata Gajah di Bali. Wisata gajah ini berlokasi di Desa Taro Tegalalang Gianyar.
Untuk menangani hal tersebut, di Indonesia sendiri pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap satwa, selain terdapat undang-undang maupun aturan lain yang mengatur tentang hal tersebut, pemerintah maupun aparatur penegak hukum tidak dapat bekerja sendiri. Pemerintah maupun aparatur penegak hukum dalam penanganan kasus terhadap konservasi satwa memerlukan kerjasama dengan masyarakat maupun lembaga pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan satwa. Dalam hal ini Lembaga yang berperan melaksanakan perlindungan hukum terhadap satwa adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali, yang selanjutnya disebut dengan BKSDA Bali.
Tujuan penulisan ini adalah yang pertaman untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan BKSDA Bali terhadap gajah yang digunakan dalam atraksi wisata di Elephant Safari Park, yang kedua untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengawasan BKSDA Bali terhadap penggunaan gajah dalam atraksi wisata di Elephant Safari Park, dan yang ketiga untuk mengetahui sanksi hukum yang dapat dan telah diterapkan oleh Lembaga BKSDA Bali terhadap pengelolaan Elephant Safari Park yang melanggar kewajiban untuk melindungi gajah yang digunakan sebagai atraksi.
Jenis penelitian yang digunakan dalam membahas masalah ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian Hukum Penelitian Empiris merupakan penelitian ilmiah yang menjelaskan fenomena hukum tentang terjadinya kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat (kesenjangan antara das Sollen dan das Sein atau antara the Ought dan the is atau antara yang seharusnya dengan senyatanya di lapangan. Obyek penelitian hukum empiris berupa pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam penerapan hukum.4 Dalam penelitian ini mengkaji penerapan mengenai pengawasan Lembaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali terhadap penggunaan gajah dalam atraksi wisata di Elephant Safari Park yang diatur dalam Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
Mengingat bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat), maka pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas dan tegas guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. Hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari pembngunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan harus diberi dasar dan landasan hukum yang jelas.5
Pasal 4 angka 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan: “Taman Satwa Khusus adalah tempat pemeliharaan jenis satwa tertentu atau kelas taksa satwa tertentu pada areal sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar.”
Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan: “Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakkan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya”. Gajah merupakan salah satu satwa yang tergolong satwa dilindungi menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam hal ini, gajah merupakan salah satu satwa yang dilindungi yang terdapat di suatu Lembaga Konservasi.
Ruang lingkup kewenangan BKSDA diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi Dan Tata Cara Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam. Berdasarkan penjelasan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi Dan Tata Cara Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, bahwa unit
pelaksana konservasi sumber daya alam khususnya di Bali adalah BKSDA Bali. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi Dan Tata Cara Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, BKSDA mempunyai tugas mengawasi penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di taman wisata alam, dan juga termasuk Elephant Safari Park yang berada di Desa Taro berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali terbagi atas seksi-seksi wilayah. Walaupun terdiri dari seksi-seksi wilayah yang berbeda, seksi wilayah tetap memiliki tugas yang sama. Dalam melaksanakan tugasnya seksi wilayah menyelenggarakan fungsi di wilayah kerjanya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi Dan Tata Cara Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.
Kewenangan BKSDA hanya sebatas mengawasi, berkordinasi dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta mengadakan pembinaan terhadap Lembaga Konservasi, sejauh mana Lembaga Konservasi sudah melaksanakan kewajiban dalam mengelola taman satwa khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ni Putu Sista Indrayuni, SH selaku Polisi Hutan Pertama, apabila ada lembaga konservasi yang melanggar aturan yang berlaku, pihak BKSDA akan melakukan kordinasi kepada Pusat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Apabila SK sudah dikeluarkan oleh Pusat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka pihak BKSDA berhak memberikan sanksi kepada lembaga konservasi yang melanggar aturan tersebut. Sanksi-sanksi tersebut antara lain: Penghentian sementara pelayanan administrasi dilakukan bagi lembaga konservasi yang tidak disiplin dalam memenuhi kewajibannya dan mencabut izin lembaga konservasi yang apabila jangka waktu izinnya telah berakhir dan tidak diperpanjang oleh lembaga konservasi yang bersangkutan.
Menurut Bapak Fathur Rohman, SP selaku kordinator Lembaga Konservasi dan Penangkaran, beliau mengatakan bentuk pengawasan BKSDA Bali terhadap Elephant Safari Park , antara lain: mengawasi kecukupan pakan, karena hal tersebut penting bagi kelangsungan hidup satwa yang digunakan sebagai satwa atraksi wisata; mengawasi kewajiban tertib administrasi permohonan izin pemanfaatan dan pendayagunaan gajah; memberikan penandaan hanya dapat dilakukan dari pihak BKSDA, di karenakan penandaan tersebut digunakan sebagai tanda pengenal bagi satwa agar tidak ada pertukaran satwa secara illegal; mengadakan penilaian yang dilaksanakan oleh BKSDA Bali, yang dilakukan paling lambat dua tahun sejak diterimanya ijin; dan mengawasi gajah yang mengamuk, sakit, melaksanakan USG, dan melahirkan.
Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan, dari seluruh bentuk pengawasan yang telah dijelaskan di atas, belum ada pengawasan secara langsung dari BKSDA terhadap pelatihan anak gajah yang dilaksanakan di Elephant Safari Park. Pengawasan tersebut penting dilaksanakan oleh BKSDA, karena untuk menghindari hal-hal negatif seperti terjadinya kekerasan maupun pemaksaan pada saat pelatihan gajah.
-
2.2.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN
PENGAWASAN BKSDA TERHADAP PENGGUNAAN GAJAH DALAM
ATRAKSI WISATA DI ELEPHANT SAFARI PARK
Dalam rangka terlaksananya dengan baik kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di masyarakat, maka terdapat beberapa faktor-faktor yang memperngaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.6 Menurut Bapak Fhatur Rohman, SP selaku kordinator Lembaga Konservasi dan Penangkaran
beliau mengatakan faktor pendukung pelaksanaan pengawasan terhadap Elephant Safari Park antara lain: adanya anggaran dari Pemerintah untuk pelaksanaan pengawasan BKSDA terhadap satwa yang masuk ke dalam anggaran pembinaan terhadap Lembaga Konservasi, serta penangkar tumbuhan dan satwa; sumber daya manusia yang memadai karena BKSDA terbagi atas seksi-seksi wilayah, seksi wilayah tersebut bertugas untuk mengawasi satwa yang ada di wilayahnya; adanya dukungan dari pihak Elephant Safari Park, karena menurut Ibu Ketut Nursarifah selaku manager Elephant Safari Park, beliau mengatakan pihak Elephant Safari Park secara rutin melaporkan tentang kesehatan gajah, pemotongan gading gajah, membuat laporan triwulan, serta laporan tahunan; dan adanya dukungan dari masyarakat setempat karena masyarakat turut membantu dalam pelaksanaan pengawasan BKSDA terhadap penggunaan gajah yang digunakan sebagai hewan atraksi.
Menurut Ibu Ni Putu Sista Indrayuni, SH selaku Polisi Hutan Pertama, beliau mengatakan faktor penghambat pelaksanaan pengawasan terhadap Elephant Safari Park antara lain: pihak BKSDA belum mempunyai tenaga ahli di bidang kesehatan, dengan melihat keadaan sekitar seperti satwa terdampar, seharusnya BKSDA mempunyai dokter sendiri, tapi itu merupakan kewenangan dari pusat untuk memilih dokter ahli dan menempatkannya di BKSDA dan pihak BKSDA kesulitan dalam mengawasi gajah dalam melaksanakan safari maupun atraksi, karena belum ada aturan khusus mengenai pemanfaatan gajah.
Pelaksanaan hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tentu memerlukan kegiatan operasional oleh aparat secara berkesinambungan, disertai disiplin dan tanggung jawab yang tinggi. Setiap pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus ditangani secara proporsional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyatakan:
-
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
-
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
-
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lima 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
-
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
-
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tidak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
Dari hasil pengawasan dan penilaian yang dilaksanakan oleh BKSDA, belum pernah ada pelanggaran atas kegiatan yang bertentangan dengan aturan konservasi gajah yang dilaksanakan di Elephant Safari Park, sehingga sampai saat ini belum ada penerapan sanksi yang mengacu kepada Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.276/Menhut-II/2004 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan dan Pendayagunaan Gajah (Elephas maximus sumatranus) binaan kepada PT. Wisatareksa Gajah Perdana.
Berdasarkan uraian dalam pembahasan yang telah di kemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
-
1. Terkait dengan bentuk pengawasan BKSDA, tidak terlepas dari ruang lingkup kewenangan BKSDA Bali yang hanya sebatas mengawasi, berkordinasi dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta mengadakan pembinaan terhadap Lembaga Konservasi, sejauh mana Lembaga Konservasi sudah melaksanakan kewajiban dalam mengelola taman satwa khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam pengawasan, BKSDA melaksanakan bentuk
pengawasan dalam hal mengawasi kecukupan pakan, mengawasi kewajiban tertib administrasi pihak Elephant Safari Park, mengawasi penandaan yang sudah terpasang di tiap satwa, mengadakan penilaian setiap tahunnya terhadap Lembaga Konservasi, mengawasi apabila terdapat satwa yang mengamuk, sakit, mengawasi pelaksanaan USG, maupun satwa yang melahirkan.
-
2. Dalam pengawasan BKSDA terhadap gajah yang digunakan sebagai hewan atraksi di Elephant Safari Park, terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung pelaksanaannya antara lain: Adanya anggaran dari Pemerintah untuk pelaksanaan
pengawasan terhadap satwa masuk ke dalam anggaran pembinaan terhadap Lembaga Konservasi, serta penangkar tumbuhan dan satwa, sumber daya manusia yang memadai karena BKSDA terbagi atas seksi-seksi wilayah yang bertugas untuk mengawasi satwa yang ada di wilayahnya, adanya dukungan dari pihak Elephant Safari Park serta adanya dukungan dari masyarakat setempat dimana masyarakat turut membantu dalam pelaksanaan pengawasan BKSDA terhadap penggunaan gajah yang digunakan sebagai hewan atraksi. Faktor penghambat pelaksanaanya antara lain: BKSDA belum mempunyai dokter sendiri yang ahli di bidangnya, tapi itu merupakan kewenangan dari pusat untuk memilih dokter ahli dan 10
menempatkannya di BKSDA. Faktor penghambat selanjutnya adalah BKSDA kesulitan dalam mengawasi gajah dalam melaksanakan safari, karena belum ada aturan khusus mengenai pemanfaatan gajah.
-
3. Sanksi terhadap pelanggaran kewajiban perlindungan gajah terkait kegiatan atraksi wisata di Elephant Safari Park diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dari hasil penelitian, pengawasan dan penilaian yang dilaksanakan oleh BKSDA sampai saat ini belum pernah ditemukan adanya pelanggaran atas kegiatan yang bertentangan dengan aturan konservasi gajah yang dilaksanakan di Elephant Safari Park, sehingga sanksi yang mengacu kepada Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.276/Menhut-II/2004 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan dan Pendayagunaan Gajah (Elephas maximus sumatranus) binaan kepada PT. Wisatareksa Gajah Perdana belum di terapkan.
-
1. Dalam mengatasi hambatan pelaksanaan pengawasan BKSDA, maka pihak BKSDA harus mendesak agar dibuatkan aturan khusus mengenai pemanfaatan satwa, demi menjaga keselamatan satwa dan memudahkan BKSDA dalam melaksanakan pengawasan terhadap Elephant Safari Park.
-
2. Dalam mengatasi hambatan-hambatan yang ada terkait pengawasan BKSDA terhadap satwa, maka pihak BKSDA harus segera berkonsultasi mengenai dokter ahli yang seharusnya dimiliki BKSDA demi lancarnya pelaksanaan pengawasan.
-
3. Dalam melaksanakan pengawasannya pihak BKSDA agar lebih meningkatkan intensitas pengawasan terhadap Elephant Safari Park agar jika terjadi sesuatu hal yang mendesak terkait kesehatan satwa maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan satwa, BKSDA dapat segera di tindaklanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Fatchan, A, 2013, Georafi Tumbuhan dan Hewan, Penerbit Ombak,Yogyakarta.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Marlang Abdullah dan Rina Maryana, 2015, Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Mitra Wacana Media, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan Indonesia , cet ke-2, Sinar Grafika, Jakarta.
Widada, Sri Mulyati, Hirosi Kobayashi, 2016, Sekilas Tentang Konservasi Smber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Perlindungan Hukum dan Konservasi Alam, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1990 Nomor 49)
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi Dan Tata Cara Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.
Jurnal Ilmiah:
Eva Yunita, 2013, Penerapan Outsourcing di Lembaga Konservasi Bali Zoo, URL: http:/ojs.unud.ac.id, Diakses tanggal 15 September 2017
13
Discussion and feedback