PENGATURAN INTERNASIONAL VANDALISME TERHADAP TERUMBU KARANG DI INDONESIA
on
PENGATURAN INTERNASIONAL VANDALISME
TERHADAP TERUMBU KARANG DI INDONESIA
Oleh:
Riski Bagus Try Ananda∗ Ida Bagus Wyasa Putra∗∗ A. A. Sri Utari***
Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional
Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Perkembangan teknologi yang sangat pesat berbanding lurus dengan kebutuhan manusia akan wisata. Wisata alam adalah salah satu alternatif pilihan bagi manusia untuk menenangkan pikirannya namun, tidak semua manusia yang melakukan kegiatan wisata ikut serta dalam menjaga kelestarian alam tersebut. Tangan-tangan perusak seringkali menghasilkan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan makhluk hidup yang berada disekitar tempat wisata. Atas hal tersebut maka timbulah suatu permasalahan pertama bagaimanakah penjabaran pengaturan internasional mengenai vandalisme terhadap terumbu karang?; kedua, bagaimanakah penjabaran pengaturan
pertanggungjawaban hukum vandalisme terumbu karang di Indonesia?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum primer yang merupakan pengaturan internasional dan nasional yang terkait dengan pokok permasalahan serta sumber hukum sekunder dan tersier yang mendukung sumber hukum primer. Dalam pengumpulan sumber bahan hukum primer, penulis akan melakukan penelitian terhadap pengaturan internasional dan nasional yang berkaitan dengan pokok bahasan pertama dan kedua, sedangkan pengumpulan sumber bahan hukum sekunder dan tersier penulis melakukan penelitian kepustakaan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, maka didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Telah terdapat pengaturan internasional yang dapat digunakan Indonesia dalam melindungi terumbu karang akan tetapi pengaturan tersebut masih bersifat
Softlaw. 2. Dalam hal tidak terdapatnya suatu konvensi yang bersifat Hardlaw dan global maka Indonesia dapat melakukan ekstradisi karena vandalisme telah melanggar ketentuan UUPPLH dan UU Kepariwisataan Indonesia. Hukum Internasional harus mampu menghasilkan suatu peraturan yang bersifat Hard Law dan global. Indonesia juga harus memanfaatkan perjanjian ekstradisi yang telah diratifikasi dengan baik.
Kata Kunci: vandalisme terhadap terumbu karang, ekstradisi, pengaturan internasional
ABSTRACT
Rapid technological development is directly proportional to the human need for travel. Ecotourism is one of the alternative options for people to calm their mind however, that not all humans who do travel activities to participate in the natural preserve. Hands of ignorant tourists often produce disastrous consequences for the survival of which are located around the tourist attractions. The destruction by the hands of ignorant traveler can lead to sustainability, harmony, and the benefits that are in the marine ecosystem become disrupted.
This study uses normative legal research with the legislation approaches, case approaches, and conceptual approaches. The author through this thesis will discuss two main legal issues namely: the existence of international law in dealing with vandalisme on coral reefs and how the perpetrators of vandalisme towards the reef will be charged.
Through normative research of this Journal, it can be deduced as follows: 1. The absence of a global convention that binds on the countries in the world in the face of vandalisme on coral reefs. The regulations are only soft laws which does not have the legal certainty of the countries in the world. So it has not reached a global consensus in the face of vandalisme on coral reefs. 2. In case of the absence of a global convention then Indonesia can extradite. International law must be able to produce a regulation that is Hard Law and globally. Indonesia should also take the advantages of the extradition treaty which has been well ratified.
Keywords: vandalisme on coral reefs, extradition, international regulation
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan bahwa luas daratan Indonesia adalah 1.890.754 KM2 sedangkan luas lautan Indonesia sebesar 3.302.498 KM2. Luas wilayah Laut
Indonesia sendiri terdiri sebagai berikut: 0,3 juta km2 adalah laut territorial, 2,8 juta km2 merupakan perairan kepulauan, dan 2,7 Juta km2 merupakan Zona Ekonomi Eksklusif.1 Keadaan laut Indonesia yang begitu luas membuat Indonesia menjadi ekosistem yang disukai oleh flora dan fauna penghuni laut.
Salah satu flora dan fauna laut tersebut adalah terumbu karang. Perkembangbiakan dan pertumbuhan ekosistem laut tidak terlepas dari keadaan terumbu karang yang menjadi ekosistem tempat tinggal flora dan fauna tersebut. Terumbu karang tepian memiliki fungsi sebagai pemecah kecepatan angin dan gelombang lautan sehingga dapat mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh badai di lautan.2 Apabila terumbu karang dalam keadaan yang prima maka, biaya sebesar 550.000 dolar AS untuk perlindungan pantai oleh erosi lautan dapat dihemat. Sebaliknya apabila terumbu karang rusak, diperlukan dana yang banyak untuk memulihkannya serta memakan waktu yang cukup lama.3
Perkembangan teknologi yang sangat pesat berbanding lurus dengan kebutuhan manusia akan wisata. Wisata alam adalah salah satu alternatif pilihan bagi manusia untuk menenangkan pikirannya. Para wisatawan yang datang ke Bali tidak selalu menjaga kelestarian alam Bali, seperti aksi vandalisme terumbu karang yang diunggah oleh OK Divers melalu media sosial. Keadaan ini membuat Gubernur Bali pada 11 September 2016 melalui “Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja” menyatakan
kekecewaannya akan ulah wisatawan mancanegara yang melakukan aksi vandalisme saat berlibur di Pulau Dewata.4
Perlindungan Hak terhadap wisatawan diatur di dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR), Global Code of Ethics for Tourism (GCET), dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (IESCR).5 Perlindungan hak tersebut diikuti kewajiban setiap wisatawan untuk menjaga kelestarian lingkungan daya tarik wisata. Kewajiban pengaturan internasional tersebut, tidak diikuti dengan sanksi bagi setiap pelaku wisatawan yang melakukan vandalisme.
Di Indonesia, kepariwisataan diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan). Dalam poin menimbang huruf (a) dijelaskan bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumberdaya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Perlindungan Lingkungan Hidup juga diatur tersendiri dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Kedua pengaturan tersebut belum diatur mengenai pertanggungjawaban wisatawan asing yang melakukan aksi vandalisme terhadap terumbu karang. Berdasarkan uraian latar
belakang tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) permasalahan, yaitu: pertama, bagaimanakah penjabaran pengaturan
internasional mengenai perilaku vandalisme terhadap terumbukarang oleh wisatawan di Indonesia? Kedua, bagaimanakah penjabaran pengaturan pertanggungjawaban hukum Vandalisme terhadap terumbu karang di Indonesia?
-
1. Bagaimanakah penjabaran pengaturan internasional mengenai perilaku vandalisme terhadap terumbukarang oleh wisatawan di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah penjabaran pengaturan pertanggungjawaban hukum Vandalisme terhadap terumbu karang di Indonesia?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan internasional yang berhubungan dengan perilaku vandalisme terhadap terumbu karang oleh wisatawan global serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh dalam mengatasi perilaku vandalisme terhadap terumbu karang.
Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengaturan internasional maupun pengaturan nasional dalam menangani kasus vandalisme terhadap terumbu karang.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang mengkaji suatu permasalahan yang bersumber dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.6
-
2.1.2 Jenis Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan jenis pendekatan antara lain:
-
1. Pendekatan Perundang-Undangan
Penulis akan menelaah pengaturan internasional dan pengaturan nasional yang berkaitan dengan kasus vandalisme terhadap terumbu karang.
-
2. Pendekatan Kasus
Dalam penelitian ini akan diangkat sebuah kasus yaitu kasus vandalisme yang dilakukan oleh turis-turis yang tidak bertanggungjawab. Kasus tersebut terjadi di perairan Nusa Penida, Bali dimana para wisatawan menggurat tubuh terumbu karang sehingga membentuk tulisan-tulisan. Tulisan itu antara lain: Phey Lym, Miya, dan 33 Baby sedangkan sisanya ditulis dengan aksara Mandarin dan Korea.
Selain itu vandalisme terhadap terumbu karang juga terjadi di kawasan perairan Raja Ampat Papua. Terumbu karang mulai rusak karena diinjak-injak oleh para wisatawan dengan sengaja, bahkan pemilik yacht pribadi tidak segan membuang rantai jangkar begitu saja ke kawasan perairan Raja Ampat Papua.7
-
3. Pendekatan Konseptual
Dalam penulisan ini, penulis akan menelaah konsep-konsep hukum yang terdapat pada berbagai peraturan hukum primer maupun peraturan hukum lainnya yang memiliki korelasi dengan kasus yang diangkat. Melalui pendekatan ini, penulis akan menghubungkan kasus dan fakta-fakta yang terjadi yang
kemudian akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik internasional maupun nasional.8 2.1.3 Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer antara lain:
-
A. Resolution of General Assembly Number
A/C.2/65/L.28/Rev.1 “Protection of Coral Reefs for
Sustainable Livelihoods and Development tanggal 22
November 2010”;
-
B. Resolution adopted by the General Assembly on 20
December 2010 Number A/RES/65/150 “Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development”;
-
C. Resolution adopted by the General Assembly on 22 December 2011 Number A/RES/66/194 “Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development”.
-
D. Resolusi United Nations Environment Programme (UNEP) No. 2/12 tanggal 23-27 Mei 2016 “Sustainable Coral Reefs Management”;
-
E. GCET;
-
F. Regional Plan Of Action Coral Triangle Initiative On Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF);
-
G. ASEAN Declaration on Environmental Sustainability (deklarasi Singapura 2007);
-
H. UUPPLH;
-
I. UU Kepariwisataan; dan
J. UU Ekstradisi.
Selain bahan hukum primer yang telah disebut di atas, penelitian ini juga menggunakan bahan hukum sekunder yang
merupakan bahan penunjang yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.9
-
2.1.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan penyesuaian pokok permasalahan yang akan diteliti dan pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan.
-
2.1.5 Teknik Analisis
Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis antara lain: teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik konstruksi, teknik argumentasi, dan teknik sistematis.
-
2.2.1 Penjabaran Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Perilaku Vandalisme Terhadap Terumbu Karang Oleh
Wisatawan Indonesia
Vandalisme adalah penghancuran terhadap karya seni, monumen, dan benda apapun dimana memiliki akibat yang bersifat mencela sebagai perbuatan biadab, bodoh, atau menghilangkan nilai seni sehingga tidak bermakna.10 Vandalisme dipengaruhi oleh faktor keluarga dan masyarakat di sekitar tempat tinggal seseorang.11 Selain itu vandalisme juga sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitar dan lingkungan sekitar seperti kebersihan, kekacauan publik, dan pengemis yang agresif.12
Pengaturan mengenai vandalisme terhadap terumbu karang secara tidak langsung telah diatur di dalam beberapa pengaturan internasional yang dibentuk oleh PBB, yakni:
-
a. Resolution adopted by the General Assembly on 22
December 2011 Number A/RES/66/194 “Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development”,
resolusi ini bertitik fokus pada berbagai cara yang mungkin untuk diambil oleh negara dalam melindungi terumbu karang serta ekosistem terkait terhadap mata pencaharian dan pembangunan berkelanjutan demi
mencapai tujuan bersama yaitu, untuk memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa merusak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.
-
b. Resolution adopted by United Nations Environment Programme No. 2/12 tanggal 23-27 Mei 2016, resolusi ini menganjurkan kepada seluruh negara dan organisasi internasional untuk membuat suatu peraturan hukum nasional. Hukum nasional tersebut harus berkaitan dengan tindakan di semua tingkatan untuk melindungi terumbu karang dan ekosistem yang terkait dalam mata pencaharian dan pembangunan berkelanjutan. Resolusi ini telah diadopsi oleh Indonesia ke dalam UUPPLH.
-
c. GCET dibentuk sebagai acuan dasar dalam hal kepariwisataan yang bertanggungjawab dan
berkelanjutan. Larangan vandalisme tercermin pada Pasal 3 Ayat (1) yang menyatakan bahwa pelaku kegiatan pariwisata wajib menjaga kelestarian lingkungan alam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang dengan adil.
Pengaturan ini kemudian diadopsi oleh Indonesia ke dalam UU Kepariwisataan Pasal 27 Ayat (1).
Indonesia juga menjadi anggota beberapa organisasi internasional yang bergerak di bidang perlindungan terumbu karang. organisasi-organisasi tersebut juga membuat beberapa pengaturan terkait terumbu karang, antara lain:
-
a. Asia-Pasifik
Dalam ruang lingkup Asia- Pasifik, Indonesia telah tergabung dengan negara-negara segitiga terumbu karang. Organisasi internasional tersebut bernama Coral Triangle Inisiative (CTI). Forum ini bekerja dalam menangani tiga isu global yakni: konservasi laut, pengelolaan perikanan, dan adaptasi perubahan iklim. CTI sendiri merupakan organisasi baru yang berdiri pada tanggal 29 Agustus 2015. CTI sendiri memiliki prinsip-prinsip utama yang dibukukan pada Regional Plan of Action Coral Triangle Initiative.
Adapun tujuan dari dibentuknya CTI adalah untuk memperkuat pengelolaan bentang laut, mendukung pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan, membangun dan meningkatkan manajemen yang efektif dalam melakukan perlindungan laut, meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim, dan melindungi spesies yang terancam.
CTI sendiri belum mengeluarkan peraturan mengenai perlindungan terhadap terumbu karang mengingat CTI merupakan organisasi yang baru saja dibentuk di Manado pada tahun 2009. Prinsip-prinsip CTI sendiri banyak yang diadopsi dari pengaturan mengenai kelautan di Indonesia karena pelopor berdirinya CTI adalah Indonesia.
-
b. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
Kerjasama lingkungan negara-negara ASEAN pertama kali dilakukan dalam ASEAN Ministral Meeting yang diselenggarakan pada April 1981. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila tentang Lingkungan Hidup. Deklarasi Manila sering juga disandingkan dengan Deklarasi Stockholm, yang membuat kedua deklarasi ini berbeda hanya pada ruang lingkup negara anggota saja.13 Deklarasi ini melahirkan suatu badan ASEAN yang bergerak dibidang lingkungan hidup yaitu ASEAN Cooperation on Environment. Badan tersebut telah melahirkan Deklarasi Singapura dengan judul ASEAN Declaration on Environmental Sustainability. Pada point ke delapan dijelaskan bahwa ASEAN akan mempromosikan konservasi dan pengelolaan ekosistem kunci yang termasuk di dalamnya adalah ekosistem terumbu karang.
Apabila dilihat dari ragam pengaturan internasional yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat suatu kelemahan dimana pengaturan-pengaturan tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat. Adapun derajat keterikatan dari resolusi-resolusi PBB bersifat tidak mengikat bagi negara anggotanya meskipun resolusi tersebut diadopsi dari kesepakatan bersama.14 Dari penjelasan tersebut maka pengaturan-pengaturan yang telah dipaparkan sebelumnya bersifat Softlaw.
Softlaw seringkali mendapat pertentangan karena seharusnya hukum bersifat mengikat. hukum internasional perihal pengaturan vandalisme terhadap terumbu karang
merupakan softlaw karena tidak memberikan kepastian hukum terhadap pelakunya.15
Penegakan pengaturan-pengaturan hukum internasional di atas sangatlah sulit mengingat tidak adanya aturan internasional tersebut yang bersifat hardlaw. Pengaturan-pengaturan tersebut tidak mampu mengikat negara-negara di dunia dalam menyelesaikan masalah vandalisme terhadap terumbu karang.
-
2.2.2 Penjabaran Pengaturan Pertanggungjawaban Hukum
Vandalisme Terhadap Terumbu Karang di Indonesia
Hukum lingkungan nasional setiap negara telah ada jauh sebelum dibentuknya Konferensi Stockholm tahun 1972, namun hukum lingkungan nasional tersebut hanya bersifat sektoral dan mengabaikan perlindungan lingkungan hidup itu sendiri. Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai vandalisme terhadap terumbu karang tercermin pada UUPPLH dan UU Kepariwisataan. Dalam UUPPLH tepatnya pada pasal 98 dan 99 telah dijelaskan hukuman pidana terhadap setiap orang baik disengaja maupun tidak disengaja mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup termasuk terumbu karang.
Didalam UUPPLH, untuk dikenakan suatu hukuman pidana lingkungan, seseorang harus melakukan perusakan melampau batas kriteria baku kerusakan terumbu karang. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka seseorang tidak dapat dikenakan pidana sesuai UUPPLH.
Ukuran mengenai baku kerusakan terumbu karang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (Kepmen Terumbu Karang). Dalam lampiran Kepmen Terumbu Karang dijelaskan bahwa keadaan ekosistem terumbu karang dinyatakan
buruk ketika prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup memiliki angka 0%-24,9%.
Jika dilihat dari besaran pada Kepmen Terumbu Karang tidak dimungkinkan pelaku vandalisme terhadap terumbu karang dapat melakukan pengrusakan terumbukarang lebih dari 75,1% dalam luas terumbu karang tutupan. Sehingga seseorang sangat sulit untuk dijerat peraturan yang terdapat pada UUPPLH.
UU Kepariwisataan mengatur pidana terhadap pelaku vandalisme terhadap terumbu karang pada Pasal 27 Ayat (1). Pada pasal ini dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan pengrusakan terhadap daya Tarik wisata dapat dipidana tidak peduli seberapa besar perusakan tersebut dilakukan. Pasal ini juga menjelaskan unsur setiap orang sehingga pasal ini tidak membedakan Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing. Dalam peraturan mengenai vandalisme terhadap daya Tarik wisata di UU Kepariwisataan tidak mencantumkan besaran yang harus dipenuhi sehingga UU Kepariwisataan sangatlah cocok untuk menghukum pelaku vandalisme terhadap terumbu karang.
Vandalisme yang dilakukan oleh wisatawan di perairan Nusa Penida dan Raja Ampat telah sangat jelas dilakukan oleh wisatawan asing sehingga cukup sulit apabila wisatawan asing tersebut telah kembali ke negara asalnya. Indonesia dapat memanfaatkan perjanjian ekstradisi sesuai UU Ekstradisi dalam menyelesaikan kasus tersebut. Dalam Undang-Undang ini deijelaskan bahwa ekstradisi adalah proses formal dimana negara lain meminta untuk mengembalikan orang yang membantu atau
terlibat dalam suatu kejahatan untuk diadili di negara yang meminta.16
Setiap pelaku vandalisme terhadap terumbu karang dalam skala kecil, dapat dipidana sesuai Kepariwisataan akan tetapi apabila vandalisme dilakukan secara brutal dan menyeluruh seperti yang dilakukan kapal pesiar Nobel Caledonia, maka perusahaan mewakili pelaku dapat dijerat pidana lingkungan sesuai Pasal 98 UUPPLH. Apabila vandalisme terhadap terumbu karang dilakukan oleh wisatawan mancanegara yang telah kembali ke negara asalnya, maka Indonesia dapat memanfaatkan perjanjian ekstradisi yang telah disetujui oleh Indonesia mengingat terumbu karang merupakan asset berharga milik negara sesuai dengan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Selain UU Kepariwisataan dan UUPPLH, belum ada pengaturan hukum internasional mengatur mengenai sanksi dari perilaku vandalisme terhadap terumbu karang. Peraturan-peraturan hukum internasional yang ada hanyalah bersifat Softlaw dan tidak memiliki kekuatan mengikat negara-negara anggotanya.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Pengaturan internasional mengenai vandalisme terhadap terumbu karang sudah ada dan telah diadopsi ke dalam UUPPLH dan UU Kepariwisataan namun, pengaturan internasional yang ada masih bersifat softlaw sehingga
membuat vandalisme terhadap terumbu karang hanya bisa diatasi melalui pengaturan nasional.
-
2. Vandalisme terhadap terumbu karang telah melanggar ketentuan dalam UUPPLH dan UU Kepariwisataan namun, dalam Undang-Undang tersebut tidak terdapat suatu ketentuan mengenai pelaku vandalisme terhadap terumbu karang yang dilakukan oleh wisatawan asing. Langkah yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah ekstradisi yang harus didasari oleh perjanjian ekstradisi.
-
1. Untuk negara-negara di dunia agar segera membentuk suatu perjanjian internasional yang bersifat memaksa negara-negara di dunia dalam menanggulangi masalah vandalisme terhadap terumbu karang. Peraturan tersebut harus bersifat global dan mengikat dalam bentuk konvensi PBB sehingga dapat mengisi kekosongan hukum internasional.
-
2. Indonesia harus memaksimalkan kesiapan hukum nasionalnya dalam memanfaatkan perjanjian ekstradisi baik yang telah ada dan diratifikasi maupun melakukan perjanjian dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral serta sesegera mungkin memanfaatkan perjanjian ekstradisi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.
Dario Gamboni, 2007, The Destruction of Art: Iconoclasmand Vandalisme Since the French Revolution, London: Biddles Ltd.
Maurice Knight, dkk, 2012, Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang, World Resources Institute, terjemahan Yayasan Terangi, Jakarta: Yayasan Terangi.
Malcolm Gladwell, 2000, The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, New York City: Little Brown, and Company.
Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Seventh Edition, London: Oxford University Press.
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal
Dorothy L. Taylor, etc, 1997, “Family Fators, Theft, Vandalisme, and Major Deviance Among A Multiracial Or Multiethnic Sample of Adolescent Girls”, Journal of Social Distress and The Homeless, University Of Miami, Florida.
Pierre Marie Dupuy, 1991, “Soft Law and the International Law of the Environment”, jurnal Hukum International, Michigan University, Michigan.
Tesis
Sukanda Husin, 1991, “National and International Laws for Heavy Industrial Air Pollution With Emphasis on the North American an Indonesian Regimes”, Thesis Faculty of Law Dalhosie University, Halifax, Canada.
ARTIKEL INTERNET
Echi, 4 April 2016, “Video Wisatawan Snorkeling Sambil Injak-Injak Terumbu Karang di Raja Ampat Buat Geram Netizen”. Phinemo, URL : http://www.phinemo.com/Video-Wisatawan-Snorkeling-Sambil-Injak-Injak-Terumbu-Karang-di-Raja-Ampat-Buat-Geram-Netizen. diakses pada tanggal 29 September 2016 pukul 18.19 WITA.
LIPI, 17 Februari 2016, “LIPI Ditetapkan Sebagai Wali Data Ekosistem Terumbu Karang dan Padang Lamun, siaran press, URL : http://www.lipi.go.id/siaranpress/LIPI-Ditetapkan-
Sebagai-Wali-Data-Ekosistem-Terumbu-Karang-dan-Padang-Lamun/15010, diakses pada tanggal 11 Februari 2017.
Liputan6, 11 September 2016, “Parah, Penyelam Corat-Coret Terumbu Karang Pantai Bali”. Liputan6 Regional, URL : http://www.liputan6.com/regional/read/2599327/parah-penyelam-corat-coret-terumbu-karang-pantai-bali, diakses
pada tanggal 14 September 2016 pukul 20.32 WITA.
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL
ASEAN Declaration on Environmental Sustainability (deklarasi Singapura 2007).
CTI-CFF, 2011, The Agreement on the Establishment of the Regional Secretariat of the Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security.
Global Code of Ethics for Tourism tanggal 1 Oktober 1999.
Regional Plan Of Action Coral Triangle Initiative On Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) tanggal 15 Mei 2009.
Resolution of General Assembly Number A/C.2/65/L.28/Rev.1 dengan judul Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development tanggal 22 November 2010.
Resolution adopted by the General Assembly on 20 December 2010 Number A/RES/65/150 dengan judul Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development.
Resolution adopted by the General Assembly on 22 December 2011 Number A/RES/66/194 dengan judul Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development.
Resolusi United Nations Environment Programme (UNEP) No. 2/12 tanggal 23-27 Mei 2016 dengan Judul Sustainable Coral Reefs Management.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
18
Discussion and feedback