PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN SPESIES LANGKA BERDASARKAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES)

Oleh

A.A. Alit Mas Putri Dewanti

Edward Thomas Lamury Hadjon

Program Kekhususan Hukum Internasional

ABSTRACT

This paper entitled “Legal Arrangements Against Trade in Endangered Species under CITES” that aims to analyze CITES as an international convention governing trade in certain species of wild flora and fauna. This study used normative legal research which is done by reviewing library materials and related regulations. This study shows that the mechanism controlling trade in endangered species based on Appendix I of the appendix that which prohibited trade , while Appendix II and III can be traded but controlled strictly. Law enforcement to CITES can be done in 3 stpes which is implementation, compliance, and enforcement.

Keywords : CITES , International Trade, Endangered Species of wild flora and fauna

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul “Pengaturan Hukum Terhadap Perdagangan Spesies Langka Berdasarkan CITES” bertujuan untuk menganalisa CITES sebagai suatu konvensi Internasional yang mengatur perdagangan spesies tertentu dari flora dan fauna langka . Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang dimana dilakukan dengan mengkaji bahan pustaka dan peraturan- peraturan yang terkait. Penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme pengendalian perdagangan spesies langka berdasarkan appendiks yang dimana Appendiks I dilarang untuk diperdagangkan, sementara Appendiks II dan Appendix III dapat diperdagangkan tetapi dikontrol secara ketat. Penegakan hukum terhadap CITES dilakukan dalam 3 tahap yaitu Implementasi, Pemenuhan kewajiban, dan Pelaksanaan Hukum.

Kata Kunci : CITES , Perdagangan ilegal , Spesies langka

I.PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG

Maraknya perdagangan illegal flora dan fauna (spesies) langka mengancam keberlangsungan hidup spesies tersebut. Keuntungan yang besar serta belum optimalnya upaya penegakan hukum membuat banyak masyarakat yang memperdagangkan spesies langka secara illegal Kehidupan spesies langka telah diambang kepunahan apabila usaha perlindungan dan pelestariannya tidak dilakukan secara maksimal. Perdagangan spesies

langka hingga kini masih dilakukan secara illegal dan sulit diberantas karena perdagangan spesies langka tersebut sangat diminati banyak kalangan dengan harga tinggi1.

Melihat kenyataan tersebut, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menganjurkan pembatasan perdagangan spesies langka dengan melahirkan sebuah perjanjian internasional yaitu CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora2. Permasalahan perdagangan spesies langka yang sedang marak terjadi sangatlah menarik untuk dikaji terutama peranan CITES dalam menangani perdagangan spesies langka.

  • 1.2    TUJUAN PENULISAN

Tulisan ini hendak menganalisa mengenai peranan CITES dalam praktek perdagangan flora dan fauna langka dan sanksi hukum yang diberikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan konvensi.

  • II.    HASIL PEMBAHASAN

    2.1    METODE PENELITIAN

Dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan pustaka. Penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum3.

  • 2.2    PENGATURAN PERDAGANGAN FLORA DAN FAUNA LANGKA DALAM

    KERANGKA CITES

CITES adalah sebuah perjanjian internasional dimana didalamnya diatur mengenai perdagangan spesies tertentu dari flora fauna liar yakni spesies yang termasuk kategori terancam punah. CITES didasari atas kenyataan bahwa banyak terjadi perdagangan illegal yang mengeksploitasi flora maupun fauna liar. Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme penggolongan

perlindungan berdasarkan appendix. Satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan ke dalam tiga jenis appendiks :

  • a.    Appendix I CITES

Pengaturan mengenai perdagangan spesies yang termasuk dalam appendix I diatur dalam Article III CITES. Dalam Article II (1)4 menyatakan Appendix I memuat daftar dan melindungi seluruh spesies flora dan fauna liar yang terancam punah sehingga dilarang dari segala bentuk perdagangan internasional. CITES melarang segala bentuk perdagangan spesies yang termasuk dalam appendix I. Impor atau ekspor spesies yang termasuk appendix I diizinkan sepanjang tidak untuk tujuan komersial (perdagangan) contohnya untuk penelitian dan penangkaran.

  • b.    Appendix II CITES

Regulasi mengenai perdagangan spesies yang termasuk dalam diatur dalam Article IV CITES. Dalam Article II (2)5 menyatakan bahwa appendix II memuat daftar spesies appendix II yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah apabila perdagangan spesies tersebut tidak terkontrol. Perdagangan spesies yang termasuk dalam appendix II diizinkan dengan syarat harus melampirkan export permit atau re-export certificate. Permit atau certificate tersebut hanya dapat dikeluarkan oleh Otoritas pengelola dari Negara pengekspor apabila perdagangan tersebut tidak merugikan kelangsungan hidup spesies yang bersangkutan.

  • c.    Appendix III CITES

Regulasi mengenai perdagangan spesies yang termasuk dalam appendix III diatur dalam Article V CITES. Menurut Article II (3)6 appendix III memuat daftar spesies flora dan fauna yang telah dilindungi di suatu Negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya dengan tujuan untuk mencegah dan membatasi eksploitasi spesies tersebut.

Pelaksanaan perdagangan internasional dilaksanakan melalui sistem permit / certificate yang dikeluarkan oleh CITES management authority yang dimana Appendiks I dilarang diperdagangkan, sementara Appendiks II dan III dapat diperdagangkan tetapi dikontrol secara ketat.

  • 2.3    PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN ILEGAL

    BERDASARKAN CITES

Untuk melihat apakah aturan-aturan dalam CITES berlaku secara efektif atau tidak dalam suatu negara,menurut Juan Carlos Vaquue CITES harus melakukan tiga tahap yaitu 7:

  • 1.    Implementasi (Implementation)

Suatu negara mengimplementasikan kewajiban-kewajiban CITES melalaui tiga Fase yang berbeda pertama; dengan mengadopsi tindakan-tindakan implementasi nasional termasuk tindakan-tindakan legislatif dan ekonomi, sistem informasi, rencana manajemen, dan unit pelaksana hukumnya, kedua; memastikan tindakan-tindakan nasional telah terpenuhi sesuai dengan yang ada di dalam wilayah yuridiksi dan kendali, ketiga; memenuhi kewajiban-kewajiban sekretariat CITES seperti, melaporkan volume perdagangan dan tindakan-tindakan (measure) yang dapat berpengaruh terhadap kewajiban internasionalnya

  • 2.    Pemenuhan kewajiban (compliance),

Tahap ini memiliki dua dimensi, pada tingkat internasional berkaitan dengan apa yang telah dilakukan Negara anggota untuk memenuhi kewajibannya dengan obligasi yang ada di konvensi, dan pada tingkat nasional mengacu ke langkah-langkah yang diambil oleh individu atau entitas legal seperti korporasi dan agen-agen pemerintah untuk memenuhi kewajiban undang-undang domestiknya.

  • 3.    Pelaksanaan Hukum (enforcement).

Dalam konteks CITES, pelaksanaan hukum adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh Negara anggota untuk menghentikan atau menghambat perdagangan legal ini termasuk inspeksi untuk menentukan status dari pemenuhan kewajiban undang-undang dan mendeteksi legal yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban dan menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar aturan konvensi atau aturan nasional.

Penegakan ketentuan CITES memiliki kelemahan yaitu hanya memuat upaya pelaksanaan aturan yang bersifat umum dan mengembalikan pada masing-masing negara anggota dalam perumusannya, hal ini tercermin pada artikel VIII CITES. Kelemahan inilah yang membuat implementasi aturan CITES tidak dapat berjalan karena hanya beberapa negara anggota yang memiliki undang-undang mengenai perlindungan satwa yang memadai. Hasilnya, tingkat perburuan liar dan penyelundupan satwa masih tetap tinggi.

  • III.    KESIMPULAN

  • 1.    Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme penggolongan perlindungan berdasarkan appendiks yang dimana Appendix I dilarang diperdagangkan, sementara Appendix II dan III dapat diperdagangkan tetapi dikontrol secara ketat.

  • 2.    Penegakan hukum terhadap CITES dilakukan dalam 3 tahap yaitu Implementasi (Implementation), Pemenuhan kewajiban (compliance), dan Pelaksanaan Hukum (enforcement).

DAFTAR PUSTAKA

Heru Susanto, 2004, Arwana, PT.Niaga Swadaya, Jakarta.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian hukum normative : Suatu Tinjauan

Singkat , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Supriatna Jatna, 2008, Melestarikan Alam Indonesi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, 2003, Pelaksanaan Konvebsi CITES di Indonesia, Japan International Coorporatin Agency, Jakarta.

Convention on International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora

5