UPAYA HUKUM TERHADAP PRAKTIK MONOPOLI

YANG TIMBUL SETELAH DILAKUKANNYA
RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN

Evelyn Theresya Sugianto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis upaya hukum terhadap praktik monopoli yang timbul setelah dilakukannya restrukturisasi perusahaan, yakni terkait wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menetapkan pembatalan atas restrukturisasi yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli. Hal ini merupakan suatu bentuk konflik norma terhadap tugas Komisi dalam melakukan penilaian awal atas rencana aksi restrukturisasi perusahaan. Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif dimana dalam pengkajiannya akan mengedepankan aspek analisis konsep hukum dan perundang-undangan untuk menyelesaikan masalah yang ada. Untuk mengumpulkan data, digunakan teknik studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum. Dimana hasil studi menunjukkan bahwa upaya hukum berupa penetapan pembatalan atas restrukturisasi perusahaan yang merupakan wewenang Komisi merupakan bentuk kelalaian Komisi sendiri dalam memberikan penilaian awal terhadap rencana aksi restrukturisasi perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, pembuat undang-undang seharusnya dapat menyediakan upaya hukum lain guna mencegah praktik monopoli, namun tetap memperhatikan kepentingan umum maupun kepentingan pelaku usaha.

Kata Kunci: restrukturisasi, monopoli, upaya hukum

ABSTRACT

The objective of this writing is to examine legal remedies that contradicts the arisen practices of monopoly after a company restructuring is carried out, in which, may result in monopolistic acts done by the Commission for the Supervision of Business Competition due to the decisions of restructuring being cancelled. This is a sort of norm conflict with the task of the commission’s role of conducting an initial review of the company’s restructuring action plan. The applied research method is a lawful normative legal research method and methodology based on the notion of legal analysis as well as data collection procedures carried out through a literature review on legal materials. The results of the study show that legal remedies in the form of stipulating cancellation of company restructuring which is the authority of the commission is a form of negligence by the Commissioni itself in providing an initial assessment of the previous company restructuring action plan. Therefore, legislators should be able to provide other legal remedies to prevent monopolistic practices, nevertheless, being attentive towards the interests of society and business actors.

Keywords: restructuring, monopoly, legal remedy

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Molengraff, Perusahaan dapat diartikan seluruh kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan yang bertujuan untuk mendapatkan pendapatan dengan memperjualbelikan barang dan/atau jasa.1 Pengertian ini juga selaras dengan pengertian perusahaan yang diatur dalam Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menentukan bahwa perusahaan mencakup berbagai macam usaha yang sifatnya tetap atau fix dan berkelanjutan yang bertujuan untuk mendapatkan laba, serta berdiri, bekerja, serta berkedudukan di Indonesia.

Di Indonesia, jenis badan usaha berdasarkan bentuk hukumnya dibedakan menjadi badan usaha berbadan hukum dan badan usaha non berbadan hukum.2 Pada badan usaha berbadan hukum, dilakukan pemisahan kekayaan antara badan usaha dan para pemilik/pendirinya sehingga pemilik/pendiri hanya memiliki tanggung jawab sebatas kepemilikan sahamnya dan tidak bertanggung jawab terhadap harta kekayaan di luar kepemilikan sahamnya. Dalam hal terjadi tuntutan hukum, badan usaha tersebut menjadi subyek hukum yang bertanggung jawab, bukan pendirinya atau pengurusnya. Adapun badan usaha berbadan hukum yaitu Koperasi, Yayasan, dan Perseroan Terbatas (PT). Pada badan usaha non berbadan hukum, kekayaan badan usaha digabungkan antara aset milik para pemilik/pendirinya dengan aset badan usaha sehingga subyek hukum yang bertanggung jawab apabila terjadi penuntutan ialah pendiri/pengurusnya, bukan badan usahanya. Hal ini berarti penyitaan dapat dilakukan terhadap aset pribadi pemilik/pendirinya. Adapun contoh badan usaha non berbadan hukum, yaitu Perusahaan Dagang (PD)/Usaha Dagang (UD), Persekutuan Perdata, Persekutuan Komanditer (CV), dan Firma (Fa).

Sebagaimana pengertian perusahaan yang diatur dalam UU Wajib Daftar Perusahaan dan UU Dokumen Perusahaan, setiap perusahaan tentu bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Adapun salah satu cara Perseroan Terbatas (PT) untuk dapat mempertahankan atau bahkan mengembangkan perusahaannya guna memperoleh keuntungan atau laba, yakni dengan melakukan upaya restrukturisasi perusahaan.

Menurut Brahmantyo, restrukturisasi perusahaan merupakan strategi bagi perusahaan guna dijadikan sebagai jalan keluar bagi perusahaan yang sedang sakit, tidak berkembang, maupun terancam keberlangsungan usahanya dimana setelah dilakukan restrukturisasi, perusahaan diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan. Hal itu dilakukan dengan mengubah perusahaan baik secara struktur, strategi, maupun operasionalnya. Adapun tujuan restrukturisasi awalnya digunakan untuk menyehatkan BUMN yang dilakukan dengan memperbaiki kondisi internal perusahaan dimana restrukturisasi diharapkan mampu meningkatkan performa dan nilai perusahaan di kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.3 Bagi perusahaan yang telah go public, restrukturisasi terhadap badan usaha juga bertujuan

untuk meningkatkan harga saham perusahaan agar dapat memaksimalkan nilai dari perusahaan.4

Namun, kegiatan restrukturisasi perusahaan tidak selalu berdampak positif. Restrukturisasi dapat digunakan oleh para pelaku usaha nakal untuk menimbulkan praktik monopoli dengan menciptakan kekuatan pasar (market power) yang sangat besar dimana kekuatan ini mungkin telah dimiliki oleh salah satu perusahaan sebelum dilakukannya restrukturisasi. Hal ini yang menyebabkan pemerintah bersikap lebih selektif dalam memberikan izin restrukturisasi kepada para pelaku usaha. Oleh karena itu, Pasal 29 UU 5/1999 kemudian mengamanatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“Komisi”) untuk mengawasi dan mengendalikan restrukturisasi perusahaan guna mencegah dan menangani para pelaku usaha nakal tersebut.5

Adapun judul dari artikel yang dibuat, yaitu Upaya Hukum terhadap Praktik Monopoli yang Timbul Setelah Dilakukannya Restrukturisasi Perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksinambungan dari upaya hukum yang dilakukan oleh Komisi terhadap praktik monopoli yang muncul sebagai akibat dari restrukturisasi perusahaan dimana Komisi bertugas melakukan penilaian awal atas rencana aksi restrukturisasi perusahaan, namun Komisi juga yang bertugas menetapkan pembatalan atas restrukturisasi perusahaan tersebut apabila restrukturisasi tersebut berpotensi menimbulkan praktik monopoli di kemudian hari. Penulisan artikel ini juga ditunjang dari berbagai referensi tulisan dari penelitian sebelumnya. Adapun di antaranya berjudul “Merger Perseroan Terbatas Ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha” oleh Ayu Cindy T. S. Dwijayanti dan I Ketut Tjukup dimana dalam penelitian-penelitian ini dijelaskan bahwa restrukturisasi perusahaan dapat disalahgunakan oleh para pelaku usaha nakal untuk menciptakan monopolisasi yang di kemudian hari dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.6 Oleh karena itu, penulisan ini akan mengkaji lebih lanjut mengenai upaya hukum terhadap praktik monopoli yang timbul setelah dilakukannya restrukturisasi perusahaan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah untuk penulisan ini, yaitu: 1. Bagaimana bahaya restrukturisasi yang dapat menimbulkan praktik monopoli? 2. Bagaimana upaya hukum terhadap praktik monopoli yang timbul setelah dilakukannya restrukturisasi perusahaan?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan ini, yakni untuk menganalisis upaya hukum terkait praktik monopoli yang timbul setelah dilakukannya restrukturisasi perusahaan. Adapun upaya hukum ini berkaitan dengan kewenangan Komisi dalam membatalkan restrukturisasi yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli. Padahal pada prakteknya, Komisi sendiri yang sebelumnya ditugaskan untuk memberikan penilaian awal terhadap rencana aksi restrukturisasi perusahaan. Dengan demikian, penetapan pembatalan atas restrukturisasi perusahaan dapat diartikan sebagai bentuk kelalaian

Komisi dalam menjalankan tugasnya, yakni kesalahan dalam memberikan penilaian awal terhadap rencana aksi restrukturisasi perusahaan sebelumnya. Hal ini merupakan bentuk konflik norma dalam Hukum Perusahaan yang dapat menjadi celah bagi perkembangan praktik monopoli yang berdampak buruk pada persaingan usaha di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dalam menganalisis problematika yang berkaitan dengan praktik monopoli yang timbul setelah dilakukannya restrukturisasi perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya konflik norma mengenai wewenang Komisi yang diberikan oleh undang-undang dalam menetapkan pembatalan atas restrukturisasi badan usaha yang dapat mengakibatkan praktik monopoli. Padahal sebelum dilakukan restrukturisasi, Komisi sendiri yang bertugas menilai rencana aksi restrukturisasi perusahaan tersebut. Hal ini tentunya bersifat merugikan para pelaku usaha dan dapat menjadi celah bagi perkembangan praktik monopoli di Indonesia.

Dalam penulisan ini, digunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum. Dimana untuk mengumpulkan data, digunakan teknik studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum mulai dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal-jurnal hukum, hingga internet. Dimana kepustakaan ini dianalisis menggunakan teknik deskriptif kualitatif dengan mengulas, menjabarkan, dan meringkas data-data yang telah dikumpulkan. Data dalam penulisan jurnal ini disajikan dalam bentuk teks naratif untuk mempermudah pembaca untuk memahami informasi yang telah dijabarkan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Bahaya Restrukturisasi Perusahaan Yang Dapat Menimbulkan Praktik Monopoli

Setiap perusahaan yang didirikan dan dijalankan oleh pelaku usaha tentu bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan/atau laba. Dimana laba yang diperoleh perusahaan ini dapat menjadi sumber pendapatan negara, misalnya dalam bentuk pembayaran pajak. 7 Pajak dari perusahaan yang dipungut oleh negara kemudian akan digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. Dengan demikian, perusahaan memegang peran yang strategis dalam perekonomian dan pembangunan di suatu negara.8

Untuk mencapai tujuan tersebut, pelaku usaha akan mengimplementasikan perusahaan mereka dengan prinsip Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan yang baik, yakni strategi perusahaan untuk mengelola perusahaannya dengan baik dan benar. Selain mengimplementasikan prinsip tersebut, perusahaan juga dapat melakukan aksi restrukturisasi sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan, mengembangkan strategi baru, dan memperoleh kredibilitas di pasar modal guna mewujudkan tujuan usahanya.9 Adapun restrukturisasi perusahaan terdiri dari 4 (empat) jenis, yakni peleburan badan usaha (konsolidasi), penggabungan

badan usaha (merger), pemecahan usaha (pemisahan), dan pengambilalihan saham (akuisisi).10

Dalam hal konsolidasi, dua atau lebih perusahaan membentuk perusahaan baru dengan cara meleburkan diri. Setelah konsolidasi, perusahaan yang dilebur akan lenyap demi hukum tanpa disertai dengan adanya likuidasi. Konsolidasi akan mengakibatkan perusahaan baru yang merupakan hasil peleburan memperoleh aset dan liabilitas dari perusahaan yang sebelumnya telah meleburkan diri.11 Namun, perusahaan baru yang merupakan hasil peleburan tersebut harus mengajukan diri kembali kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) guna menerima kembali statusnya sebagai suatu badan hukum yang baru. Salah satu konsolidasi yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu konsolidasi yang dilakukan 4 (empat) bank BUMN pada tahun 1999. Aksi ini dilakukan untuk menyelamatkan keempat bank yang terancam gulung tikar akibat krisis moneter. Adapun 4 (empat) bank tersebut terdiri dari Bank Ekspor-Impor Indonesia, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Bumi Daya yang hasil konsolidasinya kini dikenal dengan Bank Mandiri.12

Merger adalah aksi restrukturisasi dengan menggabungkan antara dua perusahaan atau lebih. Status badan usaha yang bergabung akan berakhir karena hukum dimana aset dan liabilitasnya juga akan berpindah kepada perusahaan yang menerima aksi penggabungan tersebut. Merger sering kali dinilai sebagai aksi restrukturisasi yang paling sederhana dan murah dibandingkan dengan aksi restrukturisasi yang lain.13 Salah satu contoh aksi merger di Indonesia, yaitu merger yang dilakukan antara Gojek dan Tokopedia (GoTo) pada tahun 2021 lalu.

Pemisahan dapat dibagi menjadi pemisahan murni dan pemisahan tidak murni. Jika pemisahan menghasilkan dua atau lebih perusahaan yang aset dan liabilitas milik perusahaan yang memisahkan diri berpindah seluruhnya kepada dua perusahaan atau lebih yang menerima peralihan tersebut, maka pemisahan ini termasuk dalam kategori pemisahan murni.14 Dalam pemisahan murni, perusahaan yang telah memisahkan diri sebelumnya akan lenyap secara hukum. Jika hanya sebagian aset dan liabilitas perusahaan yang dialihkan secara hukum ke satu atau lebih perusahaan yang mendapatkan peralihan serta perusahaan yang menjalankan restruktusisi dengan pemisahan ini masih ada, pemisahan jenis ini termasuk pemisahan tidak murni (spinoff). Adapun contoh pemisahan yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu spin off yang dilakukan oleh PT Aneka Tambang Tbk. dengan melakukan pemisahan sebagian usaha pertambangan nikelnya ke 2 (dua) perusahaan, yaitu PT Nuka Karya Arindo (NKA) dan PT Sumberdaya Arindo (SDA).

Sementara akuisisi terjadi ketika suatu perusahaan mengambil alih sebagian dari saham perusahaan yang akan diakuisisi. Hal ini menyebabkan perusahaan yang mengakuisisi (akuisitor) memperoleh wewenang atas pengendalian seluruh aspek manajemen perusahaan yang akan diakuisisi. Namun, proses akuisisi tidak akan

menghasilkan perusahaan baru.15 Hal ini dikarenakan masing-masing perusahaan masih dapat berjalan sebagai suatu badan hukum independen. Salah satu contoh akuisisi terbesar yang pernah terjadi, yaitu akuisisi yang dilakukan oleh Google yang telah mengakuisisi Android pada tahun 2005 lalu.

Namun, restrukturisasi perusahaan kenyataannya tidak selalu berdampak positif. Restrukturisasi perusahaan ternyata telah memiliki hubungan yang erat dengan monopolisasi bahkan sejak awal munculnya restrukturisasi perusahaan itu sendiri. Secara historis, restrukturisasi perusahaan dimulai pada awal abad ke-19 di Amerika Serikat, yakni penggabungan badan usaha (merger) yang digunakan sebagai strategi untuk mengembangkan usaha (business expansion).16 Secara internal, restrukturisasi perusahaan dimaksudkan untuk menciptakan operasional yang lebih baik sehingga badan usaha dapat menyediakan barang dan/atau jasa terbaik dengan harga yang tepat dan sesuai kesanggupan konsumen, serta meminimalkan kerugian yang dialami. Sementara secara eksternal, restrukturisasi perusahaan diharapkan dapat meminimalkan lahirnya praktik monopoli yang memicu persaingan usaha tidak sehat.17 Namun, banyak pula upaya restrukturisasi perusahaan yang pada akhirnya berujung pada monopolisasi. Hal ini menjadi indikasi gagalnya penegakan hukum persaingan usaha, salah satunya yakni pembubaran Northern Securities Co. yang merupakan hasil dari penggabungan badan usaha yang dilakukan Northern Pacific dan Great Northern oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1904 karena Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap aksi restrukturisasi tersebut bermaksud untuk menciptakan monopoli pasar rel kereta api pada masa itu.18

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 5/1999, monopoli terjadi ketika satu atau beberapa pelaku usaha berkuasa atas produksi, pemasaran, dan/atau penggunaan barang dan/atau jasa. Dimana praktik ini dapat menciptakan pemusatan kekuatan ekonomi terhadap pasar. Konsekuensi dari praktik tersebut adalah hak konsumen dalam mengonsumsi atau memakai barang dan jasa yang sesuai dengan pilihan mereka terancam. Padahal, hak ini telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, praktik monopoli di kemudian hari akan menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian bagi kepentingan publik baik secara materiil maupun immateriil.19 Bahkan menurut Paripurna Suganda, seorang ahli Hukum Persaingan Bisnis, praktik monopoli sesungguhnya lebih berbahaya jika dibandingkan kejahatan korupsi. Jika kejahatan korupsi hanya merugikan uang Negara, praktik monopoli merugikan uang rakyat secara langsung. Uang rakyat dapat dikuras oleh para pelaku usaha yang melakukan monopoli melalui harga tinggi yang harus dibayarkan oleh masyarakat selaku konsumen karena adanya keterbatasan pilihan barang dan/atau jasa.20

Restrukturisasi perusahaan yang memiliki hubungan dengan kemunculan praktek monopoli juga turut berdampak akan hal ini. Hasil restrukturisasi dapat

menciptakan kekuatan pasar (market power) yang sangat besar dimana kekuatan ini mungkin telah dimiliki oleh salah satu perusahaan sebelum dilakukannya restrukturisasi.21 Apabila restrukturisasi semacam ini tidak dilarang, tentu saja dapat memunculkan perusahaan-perusahaan raksasa yang dapat mematikan pengusaha kecil. Padahal sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU UMKM”), tidak hanya perusahaan besar, pelaku usaha kecil juga turut berperan strategis dalam pembangunan nasional, misalnya dalam hal menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Usaha kecil meliputi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah (UMKM). Oleh karena itu, lahirlah peraturan perundang-undangan yang berperan memagari kegiatan usaha agar persaingan usaha dapat berlangsung tanpa hambatan sehingga perekonomian nasional dapat tetap terjaga dan kepentingan setiap pihak dapat dilindungi.22

  • 3.2    Upaya Hukum terhadap Praktik Monopoli yang Timbul setelah Dilakukannya Restrukturisasi Perusahaan

Dalam konteks hukum persaingan bisnis, terdapat suatu asas yang disebut dengan asas keseimbangan kepentingan.23 Asas ini merupakan asas yang mengutamakan keseimbangan kepentingan para pihak, mulai dari kepentingan para pelaku usaha hingga kepentingan publik.24 Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 126 ayat (1) UU PT yang menentukan bahwa kepentingan perusahaan dan kepentingan para pihak yang terlibat, seperti pemegang saham minoritas, kreditor, karyawan, mitra usaha, dan masyarakat wajib diperhatikan untuk dapat membentuk persaingan usaha sehat di Indonesia. Artinya, restrukturisasi tidak dapat dilakukan apabila berpotensi dapat menimbulkan kerugian terhadap kepentingan pihak-pihak tersebut dan berpotensi menimbulkan monopoli yang tentunya merugikan kepentingan umum.25 Melalui Pasal 28 UU 5/1999, pemerintah kemudian melarang aksi restrukturisasi badan usaha yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli agar aksi restrukturisasi yang diharapkan dapat mendorong perekonomian nasional tidak mengganggu kepentingan umum.

Selain itu, pemerintah juga bersikap lebih selektif dalam memberikan izin restrukturisasi. Pemerintah lebih lanjutnya membentuk suatu lembaga negara yang bersifat komplementer (state auxiliary organ) melalui Pasal 30 ayat (1) UU 5/1999, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang berperan untuk mengawasi segala bentuk perilaku usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha agar tidak menciptakan praktik monopoli.26 Struktur Komisi terdiri dari 1 (satu) orang ketua yang merangkap sebagai anggota, 1 (satu) orang wakil ketua yang juga merangkap sebagai anggota, dan paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Komisi juga dibantu oleh sekretariat.

Dalam hal hasil restrukturisasi diperkirakan akan menyebabkan nilai aset perusahaan dan/atau nilai penjualan setelah restrukturisasi lebih tinggi daripada jumlah yang dinilai yang dapat menciptakan praktik monopoli, pelaku usaha diwajibkan melakukan pemberitahuan restrukturisasi (post-restructuring notification) pada waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari sejak dilakukannya restrukturisasi kepada Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU 5/1999. Guna mengoptimalkan penerapan sistem tersebut di Indonesia, Komisi juga menyediakan fasilitas konsultasi bagi pelaku usaha sehingga resiko pelanggaran transaksi yang diduga mengarah kepada praktik monopoli dapat diminimalisir. Untuk memanfaatkan fasilitas ini, langkah pertama adalah mengisi formulir penilaian transaksi yang diserahkan beserta dokumen rencana restrukturisasi kepada Komisi sebelum transaksi dilaksanakan. Setelah formulir dan dokumen terkait diserahkan kepada Komisi, maka Komisi akan mengevaluasi dan menilai isinya. Penilaian tersebut dapat berupa nasihat, petunjuk, atau pendapat tertulis mengenai rencana restrukturisasi perusahaan tersebut.27

Penilaian yang dilakukan oleh Komisi dilakukan untuk mencegah posisi dominan perusahaan agar posisi tersebut tidak disalahgunakan untuk menciptakan praktik monopoli. Awalnya, Komisi melakukan penilaian dengan menganalisis aspek-aspek tertentu, seperti keadaan pasar, hambatan yang dihadapi oleh perusahaan pesaing untuk bergabung ke dalam pasar, kemungkinan munculnya perilaku anti-kompetitif, efisiensi, hingga resiko kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, penilaian tersebut kini dilakukan dengan menganalisis dampak restrukturisasi terhadap persaingan usaha di kemudian hari. Penilaian ini diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan Komisi 3/2019 dimana penilaian yang dimaksud adalah penilaian awal terhadap rencana aksi restrukturisasi sebelum pelaku usaha melakukan restrukturisasi perusahaan.

Apabila Komisi menilai bahwa hasil restrukturisasi perusahaan dapat menciptakan kedudukan dominan yang akan disalahgunakan dengan menjalankan praktik monopoli oleh pelaku usaha, Komisi berwenang mengenakan sanksi yang berbentuk tindakan administratif.28 Adapun salah satu tindakan administratif yang menjadi wewenang Komisi sebagaimana diatur pada Pasal 47 ayat (2) huruf e UU 5/1999, yakni membatalkan restrukturisasi suatu perusahaan yang berpotensi menciptakan praktik monopoli. Namun jika tindakan administratif dianggap telah tidak efektif karena tidak dapat memberikan efek jera pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, mereka dapat dijatuhi sanksi pidana berupa denda minimal Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan maksimal Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah), atau kurungan pengganti denda selama paling lama 6 (enam) bulan sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) UU 5/1999.

Namun pada praktiknya, banyak restrukturisasi dilakukan dengan tujuan untuk menjamin kelangsungan hidup suatu perusahaan (rescue restructuring) dimana Komisi sebagai otoritas yang menangani persaingan dapat memberlakukan pengecualian (exception) dalam kondisi demikian.29 Untuk mendapatkan izin restrukturisasi demikian, para pihak akan mengajukan failing firm defense (FFD), yakni pernyataan bahwa pelaku usaha tersebut sedang berada pada kondisi hampir bangkrut (nearly failing/financially

distressed). Kondisi ini diperbolehkan karena aksi restrukturisasi akan dianggap sebagai suatu upaya penyelamatan perusahaan sehingga aksi restrukturisasi yang dilakukan akan bersifat anti-persaingan. Hal ini berkaitan dengan dampak bahaya yang akan dihadapi oleh struktur pasar pada masa yang akan datang jika perusahaan tersebut tidak melakukan restrukturisasi dan keluar dari pasar.30 Selain itu, faktor perlindungan konsumen dan perlindungan terhadap kepentingan umum merupakan unsur penting dalam penerapan FFD. Menurut US Supreme Court, FFD lebih mudah diterapkan pada pada sektor perbankan mengingat industri perbankan berperan dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana masyarakat sehingga kelangsungan usahanya secara alamiah memiliki dampak yang luas bagi kepentingan umum dimana hal ini sesuai dengan tujuan dari doktrin FFD.

Seperti restrukturisasi perusahaan pada umumnya, rescue restructuring dengan doktrin FFD sesungguhnya juga memiliki potensi untuk menimbulkan monopoli. Walaupun terdapat kemungkinan bahwa monopoli tersebut tidak direncanakan dan tidak disengaja sebelumnya oleh pelaku usaha. Di satu sisi, Pasal 47 ayat 2 huruf e UU 5/1999 mengatur bahwa Komisi memiliki kewenangan dalam membatalkan restrukturisasi perusahaan yang dinilai dapat berpotensi menciptakan praktik monopoli. Namun di sisi lain, Komisi sendiri jugalah yang bertugas menilai apakah terdapat kemungkinan perusahaan yang melakukan restrukturisasi menyalahgunakan posisi dominan yang diperolehnya sebagai akibat dari restrukturisasi sehingga berpotensi melahirkan praktik monopoli. Artinya, Komisi seharusnya telah mengetahui dan memahami akibat dari restrukturisasi perusahaan tersebut sebagai hasil dari dilakukannya penilaian awal terhadap rencana aksi restrukturisasi perusahaan sebelum pelaku usaha melakukan aksi restrukturisasi.

Dengan demikian, pengaturan mengenai penetapan pembatalan atas restrukturisasi perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli sesungguhnya merupakan bentuk kelalaian Komisi dalam menjalankan tugasnya, yakni kesalahan terhadap memberikan penilaian awal tersebut. Oleh karena itu, tindakan administratif berupa pembatalan restrukturisasi yang ditetapkan oleh Komisi tentunya tidak adil bagi pelaku usaha yang dari awal sebenarnya berniat melakukan restrukturisasi demi menyelamatkan perusahaan dan yang tidak berniat melakukan praktik monopoli.

Selain itu, para pelaku usaha juga akan mengalami kerugian baik materiil maupun immateriil akibat dari penetapan pembatalan atas restrukturisasi perusahaan padahal rencana dari aksi tersebut merupakan hasil dari penilaian awal yang dilakukan oleh Komisi. Dimana sebelum melakukan restrukturisasi, umumnya pelaku usaha sendiri juga telah menggunakan jasa penilai (appraisal) pribadi untuk menghitung nilai aset perusahaan, nilai penjualan, dan/atau nilai perusahaan setelah dilakukannya restrukturisasi untuk mencegah terjadinya praktik monopoli. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi perusahaan setelah dilakukannya penetapan pembatalan atas restrukturisasi perusahaan menjadi lebih buruk dibandingkan kondisi perusahaan sebelum dilakukan restrukturisasi.

  • 4.    Kesimpulan

Restrukturisasi berpotensi menimpulkan praktik monopoli sangat berbahaya bagi perekonomian nasional karena perusahaan hasil restrukturisasi dapat menciptakan kekuatan pasar (market power) yang besar dan tidak terkendali. Oleh karena itu, diperlukan upaya hukum dari para pihak yang terlibat dalam restrukturisasi

perusahaan. Pelaku usaha berupaya mencegah terjadinya monopoli dengan menghitung nilai aset perusahaan, nilai penjualan, dan/atau nilai perusahaan setelah dilakukannya restrukturisasi dengan menggunakan jasa penilai (appraisal) pribadi, sedangkan pemerintah membentuk Komisi yang berupaya mengawasi dan menetapkan pembatalan terhadap restrukturisasi perusahaan yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli. Namun, upaya yang dilakukan Komisi dalam menetapkan pembatalan restrukturisasi perusahaan dapat menjadi bentuk kelalaian Komisi sendiri dalam melakukan penilaian awal terhadap rencana aksi restrukturisasi perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, penetapan pembatalan restrukturisasi perusahaan sebagai upaya hukum yang dilakukan Komisi terhadap praktik monopoli yang timbul setelah dilakukannya restrukturisasi perusahaan seharusnya dapat dipertimbangkan agar upaya ini tidak merugikan pelaku usaha secara sepihak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hidayat, Freddy. 2020. Mengenal Hukum Perusahaan. Purwokerto: Penerbit CV. Pena Persada

Lubis, Andri Fahmi, dkk. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Praptono, Eddhie dan Idayanti, Soesi. 2020. Hukum Perusahaan. Yogyakarta: Penerbit Tanah Air Beta

Subagiyo, Dwi Tatak, dkk. 2017. Hukum Perusahaan. Surabaya: PT Revka Petra Media Jurnal

As’ari, Hasim, dkk. “Pengaruh Restrukturisasi Perusahaan terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Kasus pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”, Jurnal Akuntansi & Ekonomi FEB UN PGRI Kediri 4, No. 3 (2019)

Dwijayanti, Ayu Cindy T. S. dan Tjukup, I Ketut . “Merger Perseroan Terbatas Ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Kertha Semaya 1, No. 10 (2013)

Dwiliandari, Anggie Fauziah. “Dilematika Pelonggaran Pengawasan Aksi Merger sebagai Kebijakan Reformasi Pemulihan Ekonomi”, Jurnal Persaingan Usaha 1, No. 1 (2021)

Fendy. “Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Mendorong Persaingan Usaha yang Sehat di Sektor Motor Skuter Matic”, E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta 1, No. 1 (2016)

Fidhayani, Dwi dan Arifah, Risma Nur. “Penerapan Prinsip Rule of Reason pada Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2020 tentang Dugaan Praktik Diskriminasi antara Telkom-Telkomsel dan Netflix”, Jurnal Persaingan Usaha 1, No. 1 (2021)

Kusuma, I Made Kristian Yuda dan Laksana, I Gusti Ngurah Dharma. “Analisis Terkait Kewajiban Pelaporan oleh Perusahaan setelah Melaksanakan Restrukturisasi dalam Tujuan Mencegah Terjadinya Praktik Monopoli”, Jurnal Kertha Desa 10, No. 8 (2022)

Pradipta, Raditya dan Hadi, Hernawan. “Konsultasi Merger dan Akuisisi sebagai Solusi Penguatan Pencegahan Terciptanya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia”, Jurnal Kertha Desa 10, No. 8 (2022)

Putra, Rizky Novyan. “Urgensi Keberadaan Hukum Persaingan Usaha dan Anti Monopoli di Indonesia”, Business Law Review 1, No. 5 (2016)

Rani, Amalia dan Wirasila, Anak Agung Ngurah. “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Akibat Persaingan Curang”, Jurnal Kertha Semaya 4, No. 1 (2016)

Simatupang, Taufik H. “Legalitas Subjek Hukum Yayasan sebagai Badan Hukum”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 7, No. 1 (2013)

Sudjana. “Merger dalam Perspektif Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Postitum 1, No. 1 (2016)

Surya, Satrisca Sagitha dan Suyatna, I Nyoman. “Akibat Hukum Bentuk-Bentuk Restrukturisasi Perusahaan di Indonesia”, Jurnal Kertha Semaya 2, No. 5 (2014)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat

Internet

Azzura, Siti Nur. “Sejarah Perbankan di Indonesia: Berawal dari Penggabungan 4 Bank, Ini Sejarah Bank Mandiri”. KLY KapanLagi Youniverse, diakses dari https://www.merdeka.com/uang/berawal-dari-penggabungan-4-bank-ini-sejarah-bank-mandiri.html, pada tanggal 27 April 2023 pukul 11.31.

Gusti. “Kejahatan Monopoli dan Kartel Lebih Berbahaya dari Korupsi”. Universitas Gadjah Mada, diakses dari https://www.ugm.ac.id/id/berita/9360-kejahatan-monopoli-dan-kartel-lebih-bahaya-dari-korupsi, pada tanggal 27 April 2023 pukul 15.22.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 4 Tahun 2023 hlm 434-444

444